Menu Close

Menghindari gluten bisa merugikan bila Anda tidak mengidap penyakit seliak

Diet bebas gluten tren lumayan baru di dunia makanan. Shutterstock

Penyakit seliak, alergi terhadap gluten yang menyebabkan kerusakan pada usus, mempengaruhi 1% orang Australia. Namun lebih dari 10 kali lipat jumlah ini, atau sekitar 11% populasi, memilih untuk mengikuti diet bebas gluten, dan hingga 30% orang di Amerika Serikat mencoba mengurangi asupan gluten mereka. Di kota besar Indonesia diet ini juga mulai populer.

Makanan bebas gluten sering dipersepsikan sebagai alternatif yang lebih sehat, karena selaras dengan “gaya hidup sehat”. Namun adakah bukti ilmiah yang mendukungnya?

Apakah diet bebas gluten lebih sehat?

Studi skala besar baru-baru ini tidak menemukan manfaat kesehatan dari diet bebas gluten, malah yang terjadi adalah sebaliknya.

Peneliti mengikuti kelompok berjumlah lebih dari 100.000 orang di AS selama hampir 30 tahun dan menemukan bahwa diet bebas gluten tidak berhubungan dengan jantung yang lebih sehat. Tidak jelas apakah ini disebabkan oleh sesuatu pada makanan bebas gula, atau karena menghindari biji-bijian utuh, yang dianggap protektif terhadap penyakit jantung.

Satu studi menunjukkan, gluten mungkin bermanfaat karena menurunkan kadar trigliserida dalam darah. Ini adalah lemak “jahat” yang meningkatkan risiko penyakit jantung.

Studi skala besar lainnya telah menemukan hubungan yang berlawanan antara asupan gluten dengan diabetes tipe 2. Orang dengan asupan gluten yang lebih rendah memiliki angka diabetes tipe 2 lebih tinggi. Peneliti menemukan bahwa kelompok ini juga memiliki asupan serat lebih rendah, dan bertanya-tanya apakah penyebabnya adalah serat yang rendah. Namun bahkan setelah memperhitungkan asupan serat yang lebih rendah, tetap ada hubungan. Menunjukkan bahwa menghindari gluten tidaklah protektif terhadap diabetes tipe 2.

Tidak makan cukup gluten bisa meningkatkan risiko diabetes. from www.shutterstock.com

Bebas gluten dan diabetes

Produk biji-bijian utuh dibuat menggunakan tiga bagian biji—bran (kulit ari yang kaya akan serat), germ (inti biji), dan endosperma (pusatnya yang bertepung dan kaya akan karbohidrat). Bersama, mereka membentuk sepaket serat, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Produk bebas gluten yang dikemas seperti roti, seringnya hanya menggunakan komponen karbohidrat, menggunakan tepung halus dari beras, jagung, atau kentang.

Makanan tinggi karbohidrat ini bisa menyebabkan peningkatan tajam kadar gula darah dan dalam jangka panjang bisa meningkatkan kecenderungan terhadap diabetes. Produk bebas gluten dalam kemasan sering mengandung tambahan gula untuk meningkatkan rasa dan tambahan pengemulsi dan pengental untuk memperbaiki tekstur dan menjadikannya mirip dengan roti.

Pasar bebas gluten telah meningkat secara tajam dalam dua dekade terakhir karena permintaan konsumen, bahkan meluas hingga produksi makanan bebas gluten untuk anjing. Kita tidak tahu apakah pasar akan berkembang atau menghilang seiring waktu. Namun fesyen makanan bukanlah barang baru.

Misalnya popularitas diet rendah lemak pada 1980-an, ketika mentega dianggap penjahat. Sekarang mentega kembali jadi tren, dengan penjualan yang meningkat. Demikian pula anggur merah dulu dianggap protektif untuk kesehatan jantung, tapi pedoman untuk konsumsi alkohol yang aman kini merekomendasi agar asupannya dikurangi.

Tentu saja, produk bebas gluten alami seperti makanan berbasis tumbuhan, biji-bijian kuno, dan produk susu, semuanya adalah bagian dari pola makan sehat dan seimbang. Namun pengganti bebas gluten yang diproses dan dikemas tidak tampak lebih bermanfaat bagi kesehatan ketimbang yang berbasis gandum.

Mengapa diet bebas gluten sangat populer?

Sensitivitas gluten non-seliak berbeda dengan penyakit seliak. Pada penyakit seliak, asupan gluten merusak dinding usus, yang membaik dengan diet bebas gluten. Pada sensitivitas gluten non-seliak (disebut juga “intoleransi gluten”), gejala seperti kembung dan buang angin biasa terjadi, tapi tidak terjadi kerusakan usus maupun pengaruh terhadap kesehatan dalam jangka panjang.

Untuk memahami kondisi ini dengan lebih baik, peneliti mencari tahu apakah yang berkontribusi adalah asupan gluten ataukah persepsi dari asupan gluten. Mereka merancang sebuah studi di mana orang yang menyatakan diri sensitif gluten diberi makan makanan bebas gluten, rendah gluten dan tinggi gluten.

Diet-diet lainnya juga dibikin rendah kadar gula yang menyebabkan kembung, disebut FODMAP, yang bisa menyebabkan gejala serupa. Mereka menemukan, sebagian besar kelompok membaik, terlepas apakah mereka menjalani diet tinggi gluten, rendah gluten atau bebas gluten. Disimpulkan, tidak ada bukti bahwa hanya gluten saja yang bertanggungjawab; pengurangan FODMAP juga bisa menjelaskan mengapa gejalanya membaik.

Alasan lain orang melaporkan perbaikan ketika menjalani diet bebas gluten yakni karena menghilangkan banyak makanan lain yang diketahui tidak sehat, seperti kue, biskuit, cracker, dan bir. Perubahan pola makan ini juga berkontribusi pada kesehatan secara keseluruhan.

Lantas bagaimana?

Bagi orang tanpa penyakit seliak, tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa diet ketat bebas gluten bermanfaat bagi kesehatan. Bahkan mungkin yang benar adalah sebaliknya; dan menghindari biji-bijian utuh yang menyebabkan rendahnya asupan serat, bisa merugikan.

Mengingat makanan bebas gluten harganya 17% lebih mahal, mungkin ini saatnya mempertimbangkan kembali pilihan soal diet ketat bebas gluten dan menggantinya dengan beragam makanan bergluten maupun bebas gluten, dengan variasi makanan sebagai kuncinya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now