Dalam kurun waktu sebulan terakhir, muncul banyak pemberitaan terkait kontroversi pengangkatan guru besar. Salah satu kejanggalan yang diungkap adalah penggunaan jurnal predator—jurnal dengan proses publikasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan—untuk memenuhi syarat pengajuan gelar guru besar.
Tahun 2023, liputan Kompas menunjukkan bahwa terdapat penolakan sebanyak 64% pengajuan guru besar karena pelanggaran akademis, kualitas jurnal, dan linieritas bidang ilmu.
Terbaru, muncul kabar praktik perjokian publikasi bahkan berkomplot dengan asesor yang menilai angka kredit jabatan fungsional.
Praktik-praktik curang tersebut berpangkal pada permasalahan mendasar dalam aturan dan orientasi karier dosen.
Syarat pengajuan guru besar, contohnya, lebih menekankan pada publikasi jurnal internasional dan standar-standar lain yang cenderung bersifat kuantitatif daripada level kebaruan riset. Artinya, riset dengan level kebaruan yang rendah pun, selama dimuat di jurnal internasional bereputasi, masih memenuhi syarat pengajuan guru besar. Paradigma inilah yang kemudian menyuburkan praktik-praktik pelanggaran akademis.
Tengok ulang syarat menjadi guru besar
Kualitas riset ditentukan oleh beberapa aspek yaitu, pertanggungjawaban nilai kebenaran, nilai kebaruan dan level kebaruan, serta kontribusi. Artinya, nilai kontribusi dari riset layak menjadi capaian akademis tertinggi.
Sayangnya, hal ini justru kurang diatur dan ditekankan dalam sistem karier akademis dosen yang lebih fokus ke publikasi internasional. Padahal, publikasi jurnal internasional bereputasi bukanlah jaminan kualitas kebaruan riset. Sebab, tidak ada kewajiban untuk meraih level kebaruan tertentu dan level kebaruan tertinggi, yaitu temuan teori baru dalam syarat publikasi tersebut.
Jika menengok praktik di negara-negara lain, indikator kualitas riset tidak hanya ditentukan oleh jumlah sitasi, H-index, atau jumlah paper. Aspek kualitas, terutama efek sosial, justru menjadi prioritas utama.
Penelitian telah menunjukkan bahwa sitasi tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal dari kualitas riset. Tak heran jika di beberapa negara Eropa, akademisi yang ingin menjadi profesor harus terlebih dahulu menunjukkan kontribusi apa yang telah ia berikan terhadap ilmu pengetahuan, melalui penelitiannya. Jadi bukan hanya asal diterbitkan di jurnal internasional.
Selain itu, praktik riset juga menghargai lintas ilmu atau tidak kaku dengan kelinieran. Sehingga, kreativitas keilmuan dan kolaborasi antar bidang keilmuan lebih terjamin.
Read more: Proses kenaikan jabatan profesor di Indonesia tak lagi relevan dengan tuntutan global
Universitas di negara-negara Barat juga mulai tidak percaya dengan ukuran-ukuran kuantitas. Universitas Zurich di Swiss, misalnya, baru-baru ini mengundurkan diri dari sistem pemeringkatan dunia karena ingin lebih menekankan aspek kualitas riset daripada aspek kuantitas.
Hal yang sama juga dilakukan Universitas Utrecht di Belanda. Mereka beralasan, pemeringkatan membuat orang terlalu fokus pada skor dan kompetisi, sementara universitas ingin berkonsentrasi pada kemitraan dan sains terbuka.
Lebih dari sekadar jabatan
Selain tidak mempertimbangkan temuan atau teori baru, proses menjadi guru besar juga lebih berorientasi pada jabatan karena memiliki gengsi tinggi dan tunjangan besar.
Orientasi pada jabatan ini rentan penyelewengan karena tidak menempatkan jalan dan tujuan secara proporsional. Dengan fokus pada tunjangan dan pengakuan, muncul kecenderungan untuk mengejar keuntungan dengan cara-cara yang melanggar kode etik akademis. Sehingga, praktik perjokian dan kapitalisme publikasi menjadi marak. Dengan kata lain, pelanggaran akademis adalah konsekuensi logis dari orientasi akademis yang keliru.
Situasi ini akan berbeda jika orientasi karier adalah kontribusi pada khalayak. Penekanan pada temuan dan teori baru dapat membantu menurunkan praktik pelanggaran akademis karena memerlukan waktu lama, pembuktian yang kuat, dan pembiayaan yang memadai, sehingga tidak bisa diperjualbelikan secara instan.
Gelar profesor seharusnya dimaknai lebih dari sekadar jabatan akademis tertinggi. Sebagai profesi yang bergantung pada kejujuran akademis, para profesor justru harus mempromosikan dan memperjuangkan kebebasan akademis serta membantu publik memahami pentingnya hal ini dalam ranah ilmu pengetahuan.
Harapan untuk berbenah
Seruan penegakan etika akademis dengan desakralisasi jabatan profesor untuk menanggulangi pelanggaran akademis yang ramai digaungkan akhir-akhir ini memang diperlukan, tapi tidak cukup.
Read more: Jangan panggil saya 'Prof': mengapa desakralisasi gelar profesor perlu dilakukan?
Permasalahan syarat guru besar dan orientasi akademis perlu juga ditengok karena telah menyebabkan pelanggaran-pelanggaran akademis yang mengakar. Dengan mengembalikan orientasi karier dosen untuk memberikan kontribusi terbaik melalui teori baru dan inovasi tekhnologi, gelar profesor dapat dikembalikan sesuai proporsinya. Sehingga, tidak ada lagi langkah-langkah instan demi mengejar jabatan.