Menu Close

Menjadi Ketua ASEAN 2023, Indonesia bisa bantu akhiri krisis Myanmar dan wujudkan perdamaian kawasan

Suasana Demonstasi di Myanmar, Februari 2021. Antara

Apakah Indonesia sudah melupakan krisis di Myanmar?

Krisis yang disebabkan oleh kudeta militer tersebut telah mengakibatkan Myanmar, salah satu negara tetangga kita, jatuh ke dalam perang sipil tak berujung.

Per Januari 2022, 12.000 warga sipil ditangkap paksa dan 1.500 lainnya tewas. Kemudian, 14,4 juta orang terjebak dalam kemiskinan dan pengungsi mencapai 230.000 orang.

Dampak krisis Myanmar tidak hanya dirasakan oleh masyarakatnya sendiri, melainkan juga negara-negara lain di Asia Tenggara, karena harus menghadapi lonjakan pengungsi dan instabilitas regional.

Sayangnya, upaya ASEAN yang dibutuhkan untuk menangani krisis Myanmar masih terbatas.

Di tahun 2023 mendatang, Indonesia secara resmi akan kembali menjadi ketua ASEAN. Banyak yang berharap Indonesia mampu mencetuskan inisiatif-inisiatif strategis untuk menjawab tantangan yang dihadapi negara-negara anggota ASEAN.

Inilah saatnya bagi Indonesia untuk membangkitkan kepemimpinan regionalnya dan menjadi penentu dalam manajemen krisis regional, terutama dalam merespons konflik di Myanmar.

ASEAN masih terjebak netralitas

Pada awal krisis, ASEAN sendiri terjebak dalam sikap netral karena perbedaan sikap negara anggotanya dalam memahami norma ASEAN, khususnya non-interferensi.

Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei menyatakan sikap bahwa ASEAN harus menolak kudeta dan menyelesaikan krisis Myanmar. Di sisi lain, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Laos menganggap krisis Myanmar merupakan permasalahan internal yang tidak seharusnya diintervensi karena norma non-interferesi. Sementara itu, Filipina merespons dengan samar karena menurunnya kualitas HAM di negaranya sejak Presiden Duterte berkuasa.

Dikarenakan perbedaan tersebut, ASEAN memilih netral. Hal ini ditandai dengan adanya inisiasi tanpa rencana implementasi yang jelas.

Pada April 2021, ASEAN menyepakati Konsensus Lima Poin yang memuat beberapa butir kesepakatan, seperti penghentian kekerasan, dialog, bantuan kemanusiaan, dan pembentukan utusan khusus.

Pada Oktober lalu, ASEAN juga menolak kehadiran junta militer dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN karena dianggap tidak mewakili masyarakatnya.

Terjebaknya ASEAN membuka ruang untuk perbedaan sikap karena sistem keketuaan yang bergilir.

Di saat utusan khusus ASEAN gagal mengunjungi Myanmar karena tidak terbukanya pihak junta, Kamboja selaku Ketua ASEAN tahun ini mengunjungi Myanmar tanpa konsultasi dengan ASEAN.

Kamboja menganggap kunjungan itu penting untuk memastikan kepatuhan Myanmar. Akan tetapi, kunjungan tersebut berpotensi membuat junta militer merasa terlegitimasi sebagai pemerintahan resmi.

Kunjungan Kamboja seakan menegaskan bahwa sistem keketuaan bergilir berpotensi membawa visi dan cara yang berbeda dalam mengatasi krisis Myanmar.

Menunggu bangkitnya kepemimpinan regional Indonesia

Indonesia sering dianggap sebagai pemimpin Asia Tenggara, baik karena ukuran geografis dan populasinya maupun kemampuan memimpinnya.

Sayangnya, kepemimpinan regional Indonesia memudar di masa kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Presiden Jokowi lebih menekankan pada keuntungan domestik dari kebijakan luar negerinya. Alhasil, urusan Indonesia di ASEAN hanya dianggap sebagai business as usual.

Hal tersebut tidak salah, tetapi berdampak pada berkurangnya partisipasi Indonesia dalam regionalisme.

Salah satu contohnya adalah kontrasnya sikap Indonesia mengenai Laut Cina Selatan. Indonesia pada tahun 2012 pernah berkeliling ASEAN untuk menggalang dukungan dari negara-negara tetangganya setelah gagal menyepakati joint communique. Di tahun 2016, lagi-lagi para Menteri Luar Negeri ASEAN tidak sepakat mengenai Laut Cina Selatan. Bedanya, Indonesia - khususnya Menteri Luar Negeri - tidak mengupayakan adanya konsensus.

Upaya menangani krisis Myanmar memerlukan upaya konkret. Upaya ini yang perlu didukung dan dilaksanakan oleh Indonesia.

Pertama, Indonesia harus mendesak pengiriman utusan khusus ke Myanmar sesegera mungkin untuk menemui seluruh pihak yang terlibat. Selain mampu mendengar aspirasi secara langsung, adanya utusan khusus juga ‘menempatkan’ ASEAN dalam krisis Myanmar secara simbolik.

Kedua, Indonesia dapat memfasilitasi perdamaian dengan berperan sebagai mediator. Indonesia cukup berpengalaman menjadi mediator konflik regional. Salah satunya adalah ketika Indonesia berperan aktif dalam meredam Perang Kamboja-Thailand pada tahun 2011. Indonesia tidak memiliki kepentingan fundamental apapun di Myanmar selain perdamaian. Inilah yang membuat Indonesia bisa menjadi mediator yang sempurna.

Tentu ada keraguan mengenai kemampuan Indonesia dalam menjadi mediator konflik di kawasan, mengingat rekam jejak HAM yang tidak sempurna di dalam negeri. Namun, apabila kita bandingkan dengan negara-negara lainnya, rekam jejak Indonesia berada dalam tingkat yang lebih baik.

Indonesia juga lebih demokratis dibandingkan sebagian besar negara-negara ASEAN, yang membuatnya lebih terbuka terhadap HAM.

Keraguan lain adalah mengenai apakah upaya Indonesia - dan ASEAN - mengkhianati norma non-interferensi. Meskipun tidak berwenang mencampuri urusan domestik, ASEAN dapat membantu Myanmar untuk menemukan kembali perdamaiannya.

Peran ASEAN tidak akan ‘mencampuri’ tetapi akan membantu ‘mengarahkan’ Myanmar menuju cara-cara damai untuk menghentikan kekerasan dan eksodus pengungsi.

Inti dari berbagai upaya kepemimpinan regional bermuara pada komitmen politik. Maka dari itu, poin utamanya bukanlah pada kemampuan Indonesia sendiri, namun lebih kepada kemauan Indonesia untuk mengambil inisiatif.

Di tahun 2023 nanti, saat Indonesia resmi menduduki kursi sebagai ketua ASEAN, saat itulah terbuka kesempatan bagi Indonesia untuk membawa perdamaian di kawasan dan membangkitkan kembali kepemimpinan regionalnya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now