Menu Close

Menjawab ketidakjelasan agenda dekolonisasi ilmiah: benarkah pendidikan sains di Indonesia ‘dijajah’ pemikiran Barat?

Belakangan ini muncul wacana ‘dekolonisasi sains’ atau gerakan membebaskan Indonesia dari dominasi sains dan pendidikan yang dianggap ‘eurosentris’, atau berkiblat pada dunia Barat.

Dominasi itu dianggap sebagai bagian dari imperialisme kultural atau penjajahan budaya. Kritik terhadap imperialisme kultural memiliki akar dari beberapa paham seperti pascamodernisme, orientalisme, bahkan relativisme.


Read more: Dekolonisasi sains: pentingnya memerdekakan ilmu pengetahuan dari ketergantungan pada dunia Barat


Secara umum, paham-paham ini menentang adanya superioritas sistem pengetahuan – dalam hal ini yang muncul dari Barat atau yang seringkali dianggap memuat pengetahuan yang tidak inklusif.

Dengan janji bahwa dekolonisasi tidak menolak ‘sains Barat’, pengusung dekolonisasi menuntut penempatan wawasan ilmiah dari dunia non-Barat dalam derajat yang sama dan setara dalam produksi pengetahuan global.

Dekolonisasi memang memiliki potensi mendorong pencarian pengetahuan yang mengandung wawasan lokal di Indonesia.

Tapi, menurut saya, proyek dekolonisasi harus lebih dulu memperjelas konsep-konsep yang diajukannya. Pasalnya, ada banyak hal yang sebenarnya sudah dilakukan oleh internal sains itu sendiri supaya lebih inklusif, seperti demokratisasi sains, keterbukaan, dan kolaborasi internasional.

Jika tidak, banyak potensi buruk yang bisa muncul karena kesalahpahaman agenda ini.

Stigma negatif yang disematkan pada ‘sains Barat’ dapat melemahkan kepercayaan pada pengetahuan ilmiah maupun upaya pencarian solusi terhadap permasalahan utama yang dihadapi dunia pendidikan.

Benarkah ‘dijajah’ pemikiran Barat?

Agenda dekolonisasi sains selama ini mengusung beberapa argumen yang menurut saya kurang rinci. Berikut beberapa contohnya:

Pertama, ada anggapan “Indonesia harus didekolonisasi dari pendidikan Barat”.

Tanggapan saya, kita harus memperjelas dulu apakah memang pendidikan Barat itu dominan dalam konteks Indonesia. Bentuk institusi pendidikan yang terorganisasi dan didanai penguasa serta warga, sudah ada sejak masa pra-kolonial dalam pendidikan Islam di kerajaan Islam, pendidikan politik etis Belanda, dan pasca kemerdekaan.

Pandangan Ki Hajar Dewantara memiliki peran besar dalam filosofi pendidikan Indonesia. Unsur ke-Indonesiaan, misalnya, masih kental dalam pengenalan ideologi Pancasila di setiap kompetensi Inti Kurikulum 2013.

Muatan lokal juga diperkenalkan sebagai sesuatu yang sangat vital. Negara mendorong hal ini secara sistematis, termasuk melalui penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Dari semua penghargaan terhadap budaya ini, dekolonisasi pendidikan harus memperjelas celah mana yang akan diisinya.

Apakah termasuk dekolonisasi kurikulum dari dominasi Bahasa Indonesia yang ‘menjajah’ bahasa daerah?

Sejumlah warga Bali memprotes penggabungan mata pelajaran bahasa daerah, seni budaya, dan pendidikan jasmani menjadi satu mata pelajaran dalam Kurikulum 2013. Apakah dekolonisasi kurikulum termasuk menghilangkan dominasi Bahasa Indonesia yang ‘menjajah’ bahasa daerah? (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)

Kedua, kritik terkait konten kurikulum.

Sains yang saat ini ada di dalam kurikulum Indonesia bukanlah dominasi mutlak Eropa. Sains empiris khas Abad Pencerahan tidak murni ditelurkan di dunia Barat, tapi merupakan kontribusi juga dari zaman keemasan Islam, pengetahuan Cina, dan yang lainnya.

Matematika yang kita kenal saat ini lahir dari pemikiran lintas era dari para ilmuwan Islam, Mesopotamia, Mesir Kuno, India, Cina, dan Barat. Inilah yang telah masuk ke dalam pendidikan Indonesia. Dekolonisasi pendidikan Indonesia harus memperjelas arah gerakannya dalam rumpun bidang yang mana.

Matematika yang kita kenal saat ini lahir dari dari para ilmuwan Islam, Mesopotamia, Mesir Kuno, India, Cina, dan Barat. (Flickr/Jimmy Baikovicius), CC BY-SA

Ketiga, dekolonisasi mengusulkan bahwa pengetahuan lokal harus diberikan kesempatan yang sama agar tidak terpinggirkan dan ikut berada dalam tataran yang sama dengan sains Barat.

Di mata saya, peran penting teori dari Barat merupakan konsekuensi dari manfaat dan kemampuan teori-teori tersebut untuk bertahan. Ketahanan teori (termasuk metode ilmiah) ini lalu dianggap tepat untuk Indonesia, bukan atas dasar ketimpangan kuasa.

Dalam banyak kasus, metode ilmiah berkolaborasi, menjelaskan, mengadopsi, dan secara umum melengkapi pengetahuan lokal.

Kulit pohon dedalu telah lama digunakan sebagai analgesik (pereda rasa sakit) sejak 3500 tahun yang lalu. Akan tetapi, dengan metode ilmiah dan eksperimen pengetahuan, hal ini dimanfaatkan menjadi aspirin dan sampai sejauh ini menjadi obat paling banyak digunakan di seluruh dunia.

Fakta bahwa kulit pohon telah lama digunakan masyarakat tradisional adalah sesuatu yang diakui dan tidak dihilangkan, tapi dilengkapi dan diperbaiki.

Selain itu, telah banyak contoh kolaborasi ilmuwan Barat dan non-Barat berkolaborasi dalam tataran yang setara ataupun yang dipimpin oleh ilmuwan non-Barat.

Keempat, ada seruan bahwa Indonesia harus bergabung dalam gerbong atau tren dekolonisasi sains.

Tanggapan saya, Indonesia tidak harus terburu-buru masuk dalam wacana dekolonisasi ini. Meski telah dicoba, upaya-upaya dekolonisasi kurikulum banyak yang berguguran karena sangat sulit diterapkan sehingga wujudnya kebanyakan hanya dalam tataran teoretis. Hal ini banyak terjadi di Afrika.

Yang berhasil adalah perangkulan yang berjalan secara organik dan kolaboratif antara para pemikir pendidikan di Indonesia dan ahli-ahli dari lembaga pendidikan terkemuka.

Dominasi tidak serta merta berarti imperialisme

Artinya, dalam pendidikan sains modern, tidak ada istilah ‘sains Barat’.

Label sains Barat muncul dalam wacana panjang perang sains yang merambah ke ruang-ruang publik. Di sini, ‘dominasi’ tidaklah sama dengan ‘imperialisme’, sesuatu yang memiliki konotasi negatif.

Dominasi sains seperti metode ilmiah, teori-teori dasar ekonomi, ataupun prosedur eksperimen masih tetap mendominasi sejak kolonialisme berhasil karena pihak yang mengadopsinya memilihnya secara sadar dengan mempertimbangkan manfaat sains. Agensi inilah yang membuatnya menjadi dominan.

Agensi yang sama juga dimiliki oleh pihak manapun untuk menanggalkannya. Seperti yang kita lihat, alih-alih ditanggalkan, sains malah semakin menjadi patokan sebagai cara mengungkap kebenaran ilmiah sebagaimana yang terjadi di banyak negara.

Mengatakan bahwa pilihan ini terjadi secara imperialistik sama dengan menolak adanya kebebasan masyarakat ilmiah untuk memilih.

Banyak PR yang terlupakan

Sebelum dekolonisasi, pendidikan Indonesia sebelumnya harus dibebaskan dari semangat yang antagonistik atau sinis terhadap dunia Barat.

Ada banyak tugas yang belum selesai, seperti memperbaiki kemampuan literasi dan numerasi – dua hal yang merupakan pendorong utama munculnya literasi kritis dan cara berpikir metodologis dan rasional.

Alih-alih hanya fokus pada pemahaman yang tidak jelas dari proyek dekolonisasi, pendidikan Indonesia harus melakukan ‘dedogmatisasi’ (lepas dari cara mendidik yang kolot dan satu arah) dan ‘demistifikasi’ (lepas dari nilai-nilai mistis atau non-ilmiah) dalam pendidikan sains. Ini penting agar wawasan keilmuan dapat berkembang, baik dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Di luar negeri, banyak pihak berupaya mempengaruhi komunitasnya menggunakan argumen non-ilmiah.

Penolakan sains kadang juga digunakan untuk mendorong gerakan penolakan vaksin dan kewajiban menggunakan masker. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Bahkan, penolakan sains Barat, dan kadang dengan semangat dekolonisasi, digunakan untuk mendorong penolakan pada vaksin. Hal ini juga bisa kita lihat dalam penyebaran misinformasi dan diinformasi yang bahkan masih beredar di perguruan tinggi.


Read more: Profesor pun bisa kena hoaks: selain pembumian sains, budaya rasionalitas juga harus jadi fokus utama pendidikan tinggi


Selain itu, kurikulum di perguruan tinggi Indonesia masih mengandung banyak mata kuliah yang sifatnya ideologis dan tidak relevan dengan bidang ilmu tersebut.

Dekolonisasi adalah obat yang memang dapat memberikan solusi – tapi hanya jika ada pengekangan pada pengetahuan lokal.

Tapi kenyataannya, sesuai pemikiran ilmuwan Soviet bernama Lev Vygotsky, pengetahuan ekologis keseharian tentang pengelolaan air di sebuah komunitas adat, misalnya, bisa saja menjadi konsep ilmiah yang sahih jika melewati proses tinjauan sejawat dan metode ilmiah yang benar.

Demokratisasi pengetahuan ini tidak harus dilakukan melalui wacana antagonistik Barat dan non-Barat, atau penjajah dan terjajah.

Untuk menjadi energi yang dapat membawa kebaikan dan kesetaraan, dekolonisasi sains harus memperjelas arah gerakannya sehingga tidak malah menjadi kontra-produktif terhadap upaya memajukan pendidikan sains di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now