Menu Close

Menunggu reaksi pasar pasca instruksi Jokowi menurunkan harga tes PCR COVID-19

antarafoto target testing covid riv.

Presiden Joko Widodo baru saja menginstruksikan agar harga tes polimerase rantai ganda atau PCR untuk COVID-19 diturunkan menjadi di kisaran Rp 450.000 - Rp 500.000 dari sebelumnya mulai dari Rp 800.000.

Menurut riset, tes PCR memberikan keuntungan bagi pemulihan ekonomi karena membantu dalam melacak kasus positif. Untuk itu penting agar tes ini bisa lebih terjangkau bagi masyarakat.

Namun jika banyak perusahaan mundur dari bisnis impor tes PCR, kebijakan yang dikeluarkan secara tiba-tiba oleh pemerintah ini bisa juga menimbulkan dampak buruk.

Pemerintah perlu memastikan perubahan kebijakan harga tidak berpengaruh buruk terhadap pasokan tes PCR.

Tes pcr karyawan restoran. Antara Foto

Tingginya permintaan melambungkan harga tes

Berdasarkan teori ekonomi, harga adalah titik temu permintaan dengan pasokan. Maka jika tidak ada keterlibatan dari pemerintah saat permintaan untuk tes PCR tinggi, hasilnya harga tes akan cenderung naik. Sebaliknya kalau pasokan berlimpah harga cenderung turun.

Permintaan masyarakat untuk tes PCR sangat tinggi, karena diperlukan untuk berbagai macam keperluan, seperti melakukan perjalanan dengan pesawat sampai dengan melahirkan.

Jadi jalan menekan harga saat permintaan tinggi adalah memastikan pasokan berlimpah.

Karena Indonesia tidak bisa produksi alat tes PCR sendiri, artinya pasokan sepenuhnya impor.

Pemerintah perlu meninjau apakah penyebab tingginya harga tes PCR ini dikarenakan jumlah importir yang terlalu sedikit.

Saat ini sejumlah perusahaan swasta mendominasi dalam mengimpor alat kesehatan dalam penanganan COVID-19, dengan hampir 80% dari impor dilakukan oleh pihak swasta.

Impor alat PCR sendiri cukup besar karena mencapai US$340,5 juta atau hampir Rp 5 triliun pada tahun lalu.

Kebijakan berpotensi tidak efektif dan sebabkan kelangkaan alat tes

Sebenarnya kebijakan mematok harga hanya akan efektif kalau pasokan tes PCR berlimpah dan semua komponen biaya diketahui oleh pemerintah.

Jika harga patokan terlalu tinggi, tentu ada konsumen yang tidak mampu. Tetapi kalau terlalu rendah, importir bisa mundur sehingga terjadi kelangkaan atau bahkan bisa membentuk pasar gelap yang berisi alat tes yang diimpor secara tidak resmi.

Agak sulit untuk menilai efektivitas kebijakan ini tanpa informasi lengkap komponen biaya. Yang bisa pemerintah perhatikan adalah reaksi pasar nantinya.

Jika setelah dipatok malah banyak laboratorium yang tidak menawarkan tes PCR lagi atau terjadi kelangkaan ketersediaan alat tes, ini berarti harga patokan tidak bisa menutupi biaya laboratorium. Terlebih kebijakan dari pemerintah ini dikeluarkan secara tiba-tiba.

Setelah kebijakan ini keluar belum semua laboratorium menurunkan harga tes PCRnya, baik di Jakarta, maupun daerah lainnya seperti di Papua dan Bali.

Dengan revisi ini, harga tes PCR di Indonesia sudah setara dengan negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipina, namun memang belum serendah India yang menjual tes PCR kurang dari Rp 100.000.

Tetapi, India dan Indonesia tidak bisa dibandingkan secara langsung.

India jumlah penduduknya lebih besar dan kapasitas produksi industri kesehatannya juga di atas Indonesia.

India mampu memproduksi sekitar 34 juta alat tes rapid test dan PCR per bulan, sedangkan Indonesia masih sepenuhnya impor.

Membantu pengendalian COVID-19

Harga PCR yang terjangkau akan membantu upaya test-and-trace atau pengetesan dan pelacakan. Semakin banyak tesnya tentu pola penyebaran penyakitnya makin jelas dan intervensi bisa lebih terarah.

Saat ini target pemerintah untuk bisa melakukan pengetesan COVID-19 500.000 tes per hari belum tercapai. Pada bulan Juli lalu jumlah pengetesan rata-rata hanya 140.000 tes per hari.

Pengetesan COVID-19 hanya satu komponen kecil di usaha pengendalian pandemi yang rumit. Pemulihan ekonomi akan bergantung dari gabungan banyak faktor termasuk perubahan perilaku masyarakat dan kesuksesan program vaksinasi.

Pemerintah harus tingkatkan pasokan

Yang paling aman yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah menaikkan pasokan alat tes PCR.

Karena alat tes PCR belum diproduksi di dalam negeri, maka untuk jangka pendek jalur impor alat tes dan pengolahan PCR perlu diperbanyak dan prosesnya dipermudah.
Sedangkan untuk jangka menengah-panjang, pemerintah perlu berusaha untuk menarik investasi manufaktur alat kesehatan di dalam negeri.

Semakin banyak yang importir yang bisa mendatangkan alat tes PCR, maka pasokan semakin banyak dan harga alat tes tentu akan semakin murah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now