Menu Close

Menuntut ilmu ke Cina dan AS untuk cegah tersungkurnya industri manufaktur Indonesia

Industri manufaktur
Dari Cina dan Amerika Serikat, kita bisa belajar banyak untuk memajukan industri manufaktur kita. karolina grabowska/pexels, CC BY-SA

Industri manufaktur yang dahulu menjadi fondasi perekonomian Indonesia, kini terjerembab. Pada tahun 1997, sebelum krisis moneter terjadi, persentase nilai industri terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sampai dengan 27%. Bahkan, setelah proses perbaikan setelah krisis di Asia, kontribusinya mencapai puncak hingga 32% pada 2002.

Sejak tahun 2008, nilai tambah industri terhadap PDB turun dari 28% menuju 19% pada 2021.

Salah satu yang bisa menjelaskan bertumbuhnya industri pada era sebelum dan pascakrisis adalah transisi Indonesia – pun kebanyakan negara berkembang lainnya – dari negara pertanian yang berpenghasilan rendah, menuju negara yang fokus menghasilkan barang jadi dengan disokong oleh peningkatan pendapatan.

Sektor industri memang menyerap tenaga kerja yang banyak dan bertambah jenisnya, namun produktivitas terus melandai karena kurangnya inovasi pengembangan.

Studi yang dilakukan Organisation of Economic Co-Operation and Development (OECD) menyimpulkan bahwa banyak kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak memperhatikan inovasi dan pertumbuhan industri. Peringkat inovasi Indonesia, berdasarkan penilaian World Intellectual Property Organization (WIPO), berada pada posisi 72 dari 132 negara pada 2022.

Padahal, seperti kita lihat di negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Cina – yang kerap bersaing dalam perekonomian – inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya jadi yang terpenting untuk menjaga dan menggenjot pertumbuhan industri. Kita pun bisa belajar dari kedua negara ini.

Belajar ke negeri Cina: inovasi untuk mendukung permintaan domestik

Paradigma Cina adalah dengan menggunakan metode dual circulation. Pendekatan ini pertama kali disebutkan dalam pertemuan Politburo, komite pembuat kebijakan Cina yang berisi 25 anggota, pada pertengahan 2020. Dual circulation menempatkan fokus lebih besar pada pasar domestik Cina, sebuah langkah strategis untuk beradaptasi dengan dunia luar yang semakin tak stabil, melalui manajemen rantai pasok berdasarkan inovasi yang ada dan bersumber dari dalam.

Strategi ini tertuang dalam kebijakan 5 tahunan Cina ke-14.

Rencana Cina bukan hanya menjadi produsen barang yang secara harga efisien, tetapi menjadi produsen teknologi tinggi. Beberapa teknologi yang diprioritaskan adalah bioteknologi, IPTEK, dirgantara, energi terbarukan, dan industri strategis yang berkaitan dengan militer – mulai dari pengembangan persenjataan sampai riset besar-besaran di bidang tersebut. Proyeksi jangka panjang Cina mendorong negara tersebut untuk mengeluarkan anggaran riset dari 5% pada 2000 menjadi hampir 23% terhadap anggaran belanja negara pada 2020.

Salah satu cara Cina untuk mengembangkan penelitian industrinya adalah dengan kebijakan insentif. Misalnya, dalam wujud pengurangan pajak untuk biaya penelitian dan pengembangan, serta keseluruhan industri yang menggunakan teknologi tingkat tinggi seperti semikonduktor, bioteknologi, dan farmasi.

Hal ini menyebabkan peringkat inovasi Cina menurut WIPO naik dari posisi 29 pada 2015, menjadi 11 pada 2022. Bahkan, Cina merupakan pemegang paten terbesar di dunia.

Untuk memenuhi strateginya, salah satu pergeseran industri Cina adalah dari industri dengan teknologi menengah menjadi produksi otomotif dengan tenaga listrik, demi memenuhi meningkatnya kebutuhan domestik seiring ambisinya untuk memerangi polusi. Pada 2019, industri ini memiliki persentase 11,5% terhadap PDB, dan ditargetkan mencapai 17% pada 2025. Pentingnya inovasi sangat diperhatikan oleh Cina dengan memberikan subsidi kepada otomotif, lewat berbagai skema termasuk peniadaan pajak pembelian dan penghapusan pajak tahunan bagi kendaraan listrik.

AS: restorasi industri

Kebijakan perdagangan era Donald Trump membuat beberapa industri strategis yang diproteksi oleh tarif, seperti industri baja dan besi, justru mengalami kemunduran secara produktivitas. Sebab, dibatasinya impor membuat harga komoditas untuk suplai industri melambung.

Pemerintahan Joe Biden mengambil langkah berbeda dengan berusaha untuk membuat kebijakan industri. Kebijakan ini memprioritaskan pada industri farmasi dan semi konduktor karena memiliki serapan tenaga kerja yang besar dan merupakan industri dengan teknologi tinggi.

Biden memiliki satu platform yang dinamakan Build Back Better Agenda (agenda membangun kembali dengan lebih baik), yang berfokus pada penguatan kembali kelas menengah sebagai tulang punggung perekonomian. Menurut White House, sebutan untuk istana kepresidenan AS, kerangka kerja ini akan mengarahkan AS untuk memenuhi tujuan iklimnya, menciptakan jutaan pekerjaan dengan gaji yang baik, memungkinkan lebih banyak warga untuk bergabung dan bertahan dalam angkatan kerja, serta menumbuhkan ekonomi dari bawah ke atas. Kebijakan ini membuat terobosan pendidikan terbesar dalam 100 tahun terakhir, yakni dengan menggratiskan pra-sekolah.

Beberapa cara juga dilakukan untuk meningkatkan produktivitas industri AS, yaitu menambahkan aturan tentang paten. Jika sebelumnya riset pengembangan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan besar dan juga pusat lab, maka sekarang pemerintah federal bisa memberikan insentif agar riset juga dilakukan di tingkat universitas dan kontraktor dengan skala bisnis lebih kecil.

Kebijakan industri yang tak kalah penting adalah Buy America Policy. Kebijakan tersebut mendorong proyek konstruksi di tingkat federal menggunakan besi dan baja asli AS, yang memang merupakan industri penting negara tersebut sebagai salah satu produsen terbesar dunia untuk kedua komoditas ini.

Lewat kebijakan terkait besi dan baja tersebut, pemerintah AS berusaha agar tingkat komponen dalam negeri bisa mencapai 75% pada 2029. Bahkan, beberapa produk turunan harus menggunakan industri dalam negeri agar rantai produksi mengalami peningkatan.

Indonesia bisa belajar apa?

AS dan Cina memiliki ambisi untuk menjadi garda terdepan pengembangan teknologi di bidang industri. Dari AS, Indonesia bisa belajar bagaimana mengembangkan industri yang punya fokus dalam penggunaan bahan baku dalam negeri. Sedangkan, dari Cina, Indonesia bisa belajar untuk mengembangkan industri yang memiliki value chain atau rantai nilai sehingga bisa mendukung pasar dalam negeri.

Salah satu prasyarat dari pengembangan teknologi adalah anggaran riset yang didukung dan juga master plan pengembangan industri. Anggaran riset tersebut bisa berbentuk dukungan pemerintah seperti di Cina atau dengan bentuk kerja sama swasta. Dengan pengembangan teknologi tersebut, niscaya pertumbuhan industri akan meningkat di Indonesia.

Menyikapi perkembangan industri dan implikasinya pada 2023, seharusnya Indonesia bisa mulai mendekati potensi pasar yang ada. Kementerian Perindustrian bisa menyiapkan peta jalan lewat berbagai program kerja sama dengan negara lain. Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar seharusnya memegang peranan penting bukan hanya sekadar menarik investor asing tetapi juga alih teknologi.

Pemerintah boleh saja berbangga ketika dalam masa pandemi ini, pertumbuhan industri mencapai 6,9%, kurang lebih sepadan dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua 2021 sebesar 7,07%. Namun, tanpa perubahan kebijakan industri, perkembangan tersebut akan menjadi business as usual.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now