Menu Close

Menyebarluaskan riset itu penting, tapi survei kami tunjukkan dukungan kampus masih sedikit

Akademisi semakin dituntut untuk membagikan riset mereka bukan hanya di kalangan akademik, namun juga ke khalayak luas.

Tapi, studi terbaru kami yang mengamati akademisi di Australia dan Jepang menemukan bahwa kampus di sana masih hanya fokus mendukung produksi karya ilmiah saja. Dukungan bagi peneliti untuk berinteraksi dengan pihak-pihak di luar lingkup akademik yang sebenarnya membutuhkan riset mereka masih relatif minim.

Di Indonesia, kita juga bisa melihat pola yang serupa. Berbagai tantangan seperti tuntutan mengajar hingga sistem karir yang cenderung fokus pada syarat administratif ketimbang kualitas akademik membuat dosen minim berinteraksi atau berkolaborasi dengan rekan sejawatnya - apalagi dengan berbagai pihak di luar universitas.


Read more: Insularitas akademis membuat Indonesia tertatih dalam dunia riset sosial


Berinteraksi dengan pemerintah, industri, maupun lembaga filantropi sebenarnya membawa manfaat bagi universitas.

Saat akademisi membagikan risetnya pada publik, industri, dan pembuat kebijakan, mereka bisa meningkatkan reputasi institusi di mana mereka bekerja. Hal tersebut kemudian mempermudah mereka mendapatkan pendanaan riset.

Namun, yang sering dilupakan adalah tantangan menyebarkan pengetahuan di luar komunitas akademik demikian besar.

Sebagai contoh, saat kami menulis untuk The Conversation, butuh waktu lebih untuk mencari berbagai referensi yang kredibel, menulis dengan nada yang tepat, mengkomunikasikan ide yang kompleks secara mudah dan jelas, serta menanggapi komentar dari tim editor. Kami juga harus bisa berbicara dengan media terkait temuan kami, lalu merespons tanggapan masyarakat saat tulisan diterbitkan.

Kampus tidak menyediakan waktu bagi akademisi

Salah satu responden kami menjelaskan mengapa mereka belum membagikan riset mereka dengan pihak-pihak di luar komunitas akademik:

Universitas tidak mengakuinya. Ketika ini tidak diakui, artinya saya tidak akan punya beban kerja yang bisa dialokasikan. Beban saya dipakai untuk mengerjakan hal lain sehingga tidak ada waktu untuk ini.

Membagikan penemuan kami di luar lingkar akademik secara umum tidak dianggap sebagai bagian dari beban kerja akademik kami. Ini bermasalah bagi akademisi yang sebelumnya bahkan sudah kesulitan mencari waktu untuk menyelesaikan tuntutan pekerjaan mereka sehari-hari.


Read more: Lebih dari sepertiga dosen Indonesia tidak menerbitkan riset: 3 solusi memperbaikinya


seorang perempuan berkonsentrasi melakukan pekerjaan di laptop
Akademisi membutuhkan tenaga dan waktu untuk menulis artikel atau berinteraksi dengan non-akademisi melalui berbagai cara lain, tapi kampus jarang menganggap ini sebagai bagian penting dari tuntutan akademik. Mangostar/Shutterstock

Dalam penelitian kami, batasan waktu dan beban kerja adalah hal yang paling sering menghambat akademisi membagikan riset di luar lingkar akademik. Salah satu responden mengatakan ia melihat banyak peluang untuk membangun kemitraan dengan melakukan penelitian di lapangan, namun juga menyayangkan bahwa:

[Saya] sama sekali tidak bisa melakukan itu, karena saya sedang melakukan hal lain yang memiliki prioritas yang lebih tinggi.

Kami menghabiskan waktu untuk membagikan riset dengan para pembaca akademik melalui artikel jurnal, publikasi konferensi, maupun buku akademik, karena hal tersebut lebih dihargai oleh pihak universitas yang mempekerjakan kami. Berbagai karya ini, dan seberapa baik komunitas ilmiah menilainya, adalah metrik yang lebih berpengaruh dalam evaluasi kinerja seorang akademisi.

Tahun lalu, seorang akademisi di Australia hampir kehilangan pekerjaannya karena dianggap gagal memenuhi target publikasi ilmiah dari universitasnya.

Riset kami menemukan bahwa akademisi yang berbasis di Jepang merasakan beban ekspektasi yang lebih besar ketimbang mereka yang ada di Australia dalam berinteraksi dengan audiens yang beragam di luar kalangan akademik.

Universitas sendiri jelas-jelas mengharapkan keterlibatan seperti ini, namun seringkali tidak mendukungnya dengan alokasi beban kerja, sumber daya, maupun pelatihan yang tepat.

Institusi pendidikan tinggi perlu menawarkan dukungan yang lebih baik apabila mereka mengharapkan interaksi yang lebih intens antara akademisi dengan audiens yang beragam. Kampus juga harus mempertimbangkan manfaat maupun risiko dari interaksi ini.

Akademisi merasakan manfaat dari menyebarluaskan riset

Para akademisi yang menjadi responden kami menilai bahwa berinteraksi dengan audiens yang beragam membawa manfaat. Mereka senang melihat rekan-rekannya menggunakan riset mereka dengan cara yang bermanfaat. Bahkan membagikan riset sering membantu mereka mendapatkan pendanaan.

Mereka juga melihat keterlibatan dengan publik sebagai peluang untuk belajar dari para pengguna akhir (end user) dari penelitian. Ini membantu memastikan riset mereka dapat merespons berbagai tantangan dunia nyata.

Bahkan, sejak masa-masa awal karir mereka, banyak peneliti sudah berangan-angan untuk membagikan ilmu dan riset dengan masyarakat di luar komunitas akademik. Pada beberapa riset terdahulu, kami menemukan bahwa kandidat doktoral bisa jadi lebih memilih tesis dengan rangkaian publikasi ilmiah (sering dikenal dengan thesis by publication) ketimbang mengerjakan tesis dengan cara konvensional, karena keinginan mereka untuk menyebarluaskan temuan ilmiah.

Seorang dokter dan peneliti berbicara tentang temuan riset
Berinteraksi dengan masyarakat umum dan end user dari riset memberikan timbal balik yang berharga untuk akademisi. Halfpoint/Shutterstock

Read more: Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia


Tantangan lain yang dihadapi peneliti

Peneliti di awal karir yang menjadi responden kami menyinggung beberapa hambatan dan risiko lain dalam membagikan karya mereka dengan audiens yang beragam. Universitas seringkali tidak membantu mereka menghadapi tantangan tersebut.

Mereka menjelaskan adanya beberapa celah kemampuan berkomunikasi ketika akademisi berupaya mengadaptasi riset mereka untuk audiens yang beragam. Misalnya, cara mengkomunikasikan riset ke praktisi di industri harusnya berbeda dengan apabila disampaikan ke pemerintah atau masyarakat umum.

Peneliti bisa jadi harus belajar cara mengkomunikasikan ide mereka dalam berbagai macam bentuk. Mereka mungkin harus punya kompetensi dalam memproduksi laporan industri, melakukan wawancara televisi dan radio, atau menyampaikan temuan mereka di berbagai forum internasional.

Beberapa berujung frustrasi saat membagikan riset melalui proses birokrasi pemerintahan. Misalnya, salah satu responden kami menjelaskan:

Masih terjadi banyak kasus ‘bolak balik’ karena ada tiga atau empat lembaga pemerintahan dengan berbagai orang yang berbeda terlibat dalam proses. Beberapa orang bahkan tidak ingin ini menjadi lebih baik karena mereka sudah terbiasa dengan cara lama, lalu kemudian harus menyampaikan ke menteri mereka, lalu tiba-tiba ada pergantian pemerintah pusat dan semuanya berubah lagi.

Banyak yang merasa tidak siap apabila harus berhadapan dengan media.

Salah satu responden menjelaskan bahwa mereka juga harus berhati-hati untuk tidak melebih-lebihkan dampak dari riset mereka. Di berbagai bidang ilmiah, ada banyak klaim, seperti: “Ini adalah jawaban untuk masalah ini”, atau “Ini akan menyembuhkan kanker”. Mereka “khawatir akan secara tidak sengaja membuat klaim yang terlalu berlebihan.”

Responden juga menggambarkan beberapa risiko dari membagikan riset yang sensitif atau berpotensi menimbulkan kontroversi di luar komunitas akademik.

Apa yang bisa dilakukan universitas?

Responden di Australia maupun Jepang mengakui beban kerja yang berat dan beragam membuat mereka tidak sempat melihat peluang untuk menyebarluaskan riset. Universitas tidak bisa sekadar berharap bahwa tanggung jawab membagikan riset bisa dilakukan di sela-sela beban kerja yang sudah banyak.


Read more: Indonesia ingin jadi No. 1 di ASEAN, tapi dalam dunia ilmu pengetahuan kolaborasi lebih penting


Apabila lembaga pendidikan tinggi serius dalam mendukung pembagian riset di luar komunitas akademik, mereka harus mengakui manfaat dari berbagai kontribusi ini. Sebagai contoh, akademisi Australia biasanya harus memenuhi tuntutan pengajaran, penelitian, dan pengabdian dalam beban kerja mereka - hal yang serupa dengan ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’ di Indonesia.

Apabila menyebarluaskan riset dengan audiens umum diperhitungkan dalam beban kerja pengabdian, akademisi bisa menggunakan cara ini untuk dapat promosi jabatan.

Universitas bisa lebih baik lagi dalam mendukung akademisi untuk membagikan riset mereka dengan publik, industri, dan pemerintah. Memperbaiki akses ke pelatihan dan mentoring untuk mengkomunikasikan temuan riset di dalam maupun di luar dunia akademik adalah salah satu langkah penting yang juga bisa diambil.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now