Air adalah bagian penting dari siklus alam. Namun, air juga memiliki dimensi sosial yang dikenal sebagai siklus hidrososial. Artinya: air, masyarakat, dan struktur sosial merupakan aspek yang berhubungan dan saling memengaruhi.
Oleh karena itu, pemahaman kita tentang air seharusnya tidak hanya melibatkan aspek lingkungan dan teknis. Kebijakan, budaya, dan dinamika sosial juga memengaruhi serta dipengaruhi oleh keberadaan dan pengelolaan air.
Sayangnya, pengelolaan air sering kali didorong oleh kepentingan ekonomi, menjadikannya komoditas yang diperjualbelikan.
Dalam sistem kapitalistik, air diprivatisasi dan dikelola oleh perusahaan, baik swasta maupun milik negara. Keduanya lebih berfokus pada keuntungan ketimbang keadilan akses.
Akibatnya, kebutuhan rumah tangga dan pertanian kecil sering terabaikan. Industri besar malah sering mendapat prioritas. Selain menyebabkan ketidakadilan dalam akses, praktik dalam sistem ini juga mengakibatkan degradasi ekosistem dan pencemaran.
Namun, banyak warga tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan tersebut. Kami, bersama akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan aktivis lingkungan merekam berbagai upaya warga Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Kabupaten Semarang serta Kota Semarang (Jawa Tengah) untuk memulihkan hak atas air. Pemulihan ini tak hanya terkait pengaliran air, tapi juga aksi-aksi sosial dan restorasi ekosistem di sekitarnya.
1. Sleman
Salah satu kisah dari Desa Sumberarum, Sleman, menunjukkan bagaimana praktik ngelep (membasahi/menggenangi) menjadi bentuk perlawanan terhadap kelangkaan air dan ketidakmampuan membayar air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Praktik ini melibatkan aktivitas membasahi tanah di sekitar sumur komunal (PAM Dusun) dengan air dari Sungai Progo. Tujuannya untuk menjaga dan sekaligus mengutak-atik (tinkering) aliran air ke sumur yang terganggu akibat penambangan pasir di hilir.
Masyarakat padukuhan Sejati Desa di Desa Sumberarum menggunakan teknologi sederhana untuk menyaring air. Mereka menaruh ijuk (serat dari pelepah pohon aren) dan melindungi tepian sumur dengan batu yang disemen.
Tanggul berguna untuk mencegah air masuk ke dalam sumur ketika Sungai Progo meluap. Langkah tersebut merupakan contoh inovasi sederhana untuk memastikan pasokan air berkualitas tetap tersedia.
2. Kota Yogyakarta
Di Kota Yogyakarta, warga menghadapi konflik dengan hotel-hotel yang mengabaikan hak mereka atas air.
Ketika pemerintah mendukung pembangunan pariwisata yang tidak terkendali, warga beralih menjadi agen perubahan. Dengan inisiatif sendiri, warga melakukan survei muka air tanah sejak 2016 dengan cara mengukur jarak permukaan air di sumur-sumur milik warga dengan permukaan tanah.
Hal itu dilakukan untuk mengetahui penurunan muka air tanah sebagai akibat dari penggunaan sumur-sumur dangkal oleh hotel-hotel di sekitar permukiman warga. Sains warga seperti ini digunakan untuk menunjukkan dampak negatif pembangunan pariwisata.
Tak sampai di situ, warga juga melakukan protes dan tuntutan hukum untuk memperjuangkan hak mereka atas air.
Di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Yogyakarta, warga melawan penumpukan sampah yang mengancam kualitas air dan kesehatan. Protes dan blokade dilakukan secara organik sebagai respons terhadap masalah tersebut.
Protes melalui aksi unjuk rasa diarahkan kepada pemerintah provinsi DIY sebagai pengelola TPST Piyungan. Warga menuntut perbaikan saluran limbah sampah agar tidak mencemari pemukiman dan sumur warga.
Ketika tuntutan tak kunjung mendapat tanggapan, warga menghalangi pintu masuk TPST Piyungan dengan batu-batu, untuk menghentikan masuknya truk-truk pembawa sampah.
Di kota ini pula, perempuan miskin yang tidak mampu membeli air bersih sering mengandalkan air dari sumur tetangga. Praktik berbagi air menunjukkan solidaritas dan gotong royong masyarakat dalam mengatasi masalah bersama.
Kondisi yang dialami sebagian warga Yogyakarta itu, khususnya perempuan di Piyungan, merupakan ironi dari citra pariwisata romantis dan ideal tentang Yogyakarta yang sering kali beredar di media sosial. Masalah nyata seperti TPST Piyungan dan krisis air yang terjadi di belakang “panggung” sering disembunyikan.
Hal ini menunjukkan bahwa pencitraan positif tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
3. Ambarawa
Selain membahas air bersih, terdapat juga diskusi mengenai air dan ruang hidup, seperti respons terhadap banjir dan sedimentasi danau.
Di danau Rawa Pening, Kabupaten Semarang, warga melawan pematokan sepihak oleh Kodam V/Diponegoro dan BBWS Pemali-Juana, dengan mitos mistis untuk mengelola ruang hidup mereka.
Pematokan adalah bagian dari proyek revitalisasi dan perluasan danau Rawa Pening untuk mengatasi sedimentasi. Sayangnya, langkah pemerintah malah berujung rencana penggusuran sepihak lahan pertanian dan permukiman sekitar danau, sehingga merugikan masyarakat sekitar.
Untuk melawan penggusuran, masyarakat Rawa Pening menggunakan mitos tentang ular besar Baru Klinting sebagai penjaga dan asal-usul danau. Mitos tersebut menjadikan Rawa Pening tempat keramat yang perlu dilestarikan.
Adanya perubahan ekosistem danau membuat warga mengubah mata pencaharian sesuai dengan kondisi air. Saat air surut pada musim kemarau warga bertani padi. Sementara, kala air sedang pasang, warga mendulang rezeki dengan menangkap ikan di danau.
4. Semarang
Di Kota Semarang, warga perumahan Tanah Mas di Kelurahan Panggung Lor menghadapi masalah banjir yang berulang. Mereka membentuk organisasi warga untuk menggantikan tanggung jawab pengembang yang kewalahan menghadapi banjir di area perumahan. Warga juga memprotes langkah pemerintah menangani banjir yang tidak sesuai dengan situasi setempat.
Warga kemudian mengembangkan solusi lokal dengan membangun pintu air berbasis pengetahuan yang mereka miliki tentang dinamika air. Hasilnya, wilayah permukiman tetap terhindar dari genangan banjir dengan tidak menimbulkan pembengkakan biaya operasional pompa.
Sementara itu, di Kampung Tambakrejo, Kecamatan Semarang Utara, warga menggunakan aktivisme untuk mempertahankan hak atas tempat tinggal dan cara penghidupan mereka dari ancaman penggusuran.
Mereka mengorganisasi diri untuk melawan ancaman terhadap ruang hidup, melakukan aksi kolektif, dan menekan pemerintah agar mengakui hak-hak mereka.
Selain itu, warga sangat cermat dan adaptif dengan kondisi ekosistem. Mereka, misalnya, memerhatikan lokasi dan kondisi lingkungan yang mendukung budi daya kerang, termasuk area yang perlu dirawat untuk menghindari lumpur dan limbah.
Gabungan antara aktivisme dan strategi adaptif-waspada menunjukkan bagaimana warga Tambakrejo merawat ruang hidup dengan cara yang efektif dan berkelanjutan. Ini mencerminkan kedekatan mereka dengan lingkungan dan keinginan untuk menjaga ekosistem lokal.
Melampaui persoalan air
Kisah warga empat kota di atas termuat dalam Buku “Ngelep, Ngrumat, Niteni: Ekologi Politik Merawat Air dan Ruang Hidup di Jawa Bagian Tengah”.
Buku ini adalah hasil kerja sama organisasi seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Yogyakarta dan Semarang, Yayasan Amerta Air Indonesia, dan CARING (Air Warga).
Kisah-kisah warga menunjukkan bahwa merawat air bukan hanya tentang mempertahankan hak dan kehidupan, tetapi juga mengubah struktur sosial dan politik yang tidak adil. Keduanya penting untuk mencapai keadilan sosial.
Melalui aktivisme, sains warga, dan pemanfaatan pengetahuan lokal, masyarakat membangun solidaritas dan memengaruhi pembuatan kebijakan yang lebih adil.
Kisah-kisah tersebut juga memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana warga memaknai konsep merawat dan mengelola air. Mereka menunjukkan bahwa resistensi terhadap kebijakan yang tidak adil, desentralisasi dalam pengelolaan air, dan transformasi tata kelola air adalah kunci untuk mencapai keadilan lingkungan dan sosial.
Resistensi muncul ketika warga menghadapi ketidakadilan dalam akses air. Seperti yang terlihat di Yogyakarta dan Semarang, warga tidak hanya menentang kebijakan yang merugikan, tetapi juga mengorganisasi diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Melalui aktivisme dan aksi kolektif, warga mampu menantang kekuatan yang berusaha memonopoli sumber air dan mengabaikan hak-hak komunitas lokal.
Lebih lanjut, desentralisasi dalam upaya warga berarti memberdayakan komunitas lokal untuk mengelola sumber air mereka sendiri.
Cerita dari Desa Sumberarum di Sleman menunjukkan bagaimana pendekatan lokal dalam pengelolaan air dapat menghasilkan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Warga setempat yang merawat sumur dengan teknologi sederhana untuk memastikan akses air bersih, dapat mempertahankan kontrol atas lingkungan dan memastikan distribusi air lebih merata.
Sementara itu, transformasi tata kelola air diperlukan untuk memastikan bahwa pengelolaan air tidak lagi didominasi oleh logika kapitalistik.
Hal tersebut membutuhkan perubahan sistemik yang melibatkan semua pihak, termasuk komunitas lokal, pemerintah, dan sektor swasta.
Dengan memperkuat peran warga dan memastikan partisipasi yang konsisten dalam pengambilan keputusan, tata kelola air yang lebih inklusif dan berkelanjutan dapat dicapai.
Transformasi pengelolaan air
Indonesia memerlukan transformasi yang menjamin hak warga dan prinsip merawat air untuk memenuhi keadilan sosial yang lebih luas.
Transformasi ini harus mengubah paradigma dari penaklukan menuju kepedulian. Pemerintah harus menempatkan warga sebagai penjaga air yang melindungi, merawat, menggunakan, dan menolak pendekatan yang memperlakukan air sebagai komoditas.
Advokasi yang lebih kuat dan kebijakan publik yang responsif akan mendukung upaya-upaya ini untuk memastikan (re)distribusi air yang lebih adil dan berkelanjutan.