Menu Close

Monster-monster di balik bayang: Marxisme Kultural di Barat dan Hantu Komunisme di Indonesia

Pengunjuk rasa membakar kain bersimbol komunis dalam sebuah aksi di depan kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur.
Didik Suhartono/Antara Foto

Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Tragedi 1965.


Ketakutan dan kebencian akan “komunisme” telah ditumbuhkan dan disemaikan selama berpuluh-puluh tahun oleh Orde Baru.

Walau Soeharto sudah jatuh pada 1998, berita-berita soal kegiatan yang dibubarkan karena membahas komunisme, Marxisme, atau 1965 terus ada.

Cap “komunis” bisa disematkan pada siapa saja yang tidak sesuai atau disukai. Di negara-negara Barat, fenomena serupa - yang juga berakar pada era Perang Dingin - juga terjadi.

Ada kesamaan antara penggunaan narasi anti-komunisme di Indonesia dan penggunaan narasi anti-Marxisme di Barat.

Teori konspirasi

Lima-enam tahun terakhir, gerakan populis sayap kanan muncul di banyak negara Barat, kerap kali dengan perilaku ekstrem.

Gerakan pro-Trump di Amerika Serikat (AS) dan kelompok politik kanan ekstrem “alt-right” adalah contoh paling mencolok.

Bagi para pengikut aliran-aliran kanan ini, “Peradaban Barat” sedang mendapat ancaman dari beragam perkembangan sosial: masuknya imigran, feminisme, lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT), sekularisme, dan sebagainya.

Semua ancaman itu menggerogoti institusi-insitusi tradisional yang sangat penting menurut mereka, seperti keluarga, agama, dan pendidikan tradisional.

Gerakan ini berbeda dari aliran konservatisme tradisional (yang juga menjunjung tinggi institusi-institusi tradisional). Gerakan baru ini mengambil sikap anti-elite dan menganggap gerakan mereka sebagai gerakan kaum tertindas.

Gerakan ini juga mengembangkan “politik jalanan”, misalnya lewat demonstrasi dan kelompok-kelompok laskar yang mengedepankan kekuatan fisik. Dalam hal ini, gerakan-gerakan ini mempunyai sifat yang mirip dengan fasisme klasik.

Kepada para pengikutnya, gerakan ini menggunakan pandangan-pandangan dan ideologi-ideologi tertentu dalam menjelaskan situasi dunia.

Salah satu yang paling kuat digunakan adalah teori tentang adanya Marxisme Kultural (Cultural Marxism).


Read more: "Darah itu merah, Jenderal!", tapi konflik PKI vs militer dalam kasus 1965 tidak selalu hitam putih


Apa itu Marxisme Kultural

Di negara-negara Barat, populis sayap kanan mengatakan bahwa dunia saat ini berada dalam keadaan kacau, menakutkan, dan mengancam akibat Marxisme Kultural.

Ancaman terhadap kehidupan bermasyarakat ada di mana-mana: feminis dan aktivis LGBT mengancam nilai-nilai keluarga, serikat pekerja mengancam keberlangsungan bisnis yang efektif, imigran (terutama imigran Muslim) mengancam identitas budaya nasional, dan kaum sekuler (dan kaum Muslim) mengancam agama dan moralitas.

Ideologi populis sayap kanan menjabarkan begitu banyak ancaman - dan mungkin tidak bersesuaian satu sama lain.

Beberapa aliran politik sayap kanan menggunakan konsep Marxisme Kultural sebagai salah satu payung besar yang menaungi semua ancaman-ancaman ini.

Bagi aliran sayap kanan, Marxisme adalah target yang tepat. Marxisme telah menghasilkan beberapa ide-ide progresif paling berpengaruh dalam lebih dari 150 tahun belakangan.

Marxisme memiliki dampak pada aliran politik yang sangat beragam, mulai dari komunis revolusioner, parlementarian sosio-demokratis, hingga feminis dan pejuang anti-kolonial.

Termasuk di antara pejuang anti-kolonial ini adalah adalah sebagian besar pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia misalnya Sukarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara - yang menerjemahkan lagu sosialis L'internationale.

Para ideolog sayap kanan menggunakan kata “Kultural” untuk mempertajam narasi mereka agar terlihat spesifik dan memiliki elemen sejarah.

Selain itu, dengan penambahan kata “kultural”, kelompok kanan juga bisa melekatkan musuh-musuh mereka dengan dunia budaya kosmopolitan.

Kelompok kanan selalu memandang budaya kosmopolitan dengan curiga. Ini nampak, misalnya, dalam bagaimana Nazi menggambarkan “kesenian bobrok” (degenerate art), konsep “Bolsjewisme Budaya”, atau kalimat yang sering salah dikutip “kalau saya mendengar kata ‘budaya’, saya segera mengambil senjata saya.”

Pada dasarnya, narasi dimulai ketika ada satu kelompok Marxis yang dekat dengan Partai Komunis Jerman yang mendirikan Institut Riset Sosial (Institute for Social Research atau ISR) di Frankfurt pada 1923.

Kelompok ini memulai sebuah proses untuk mengembangkan strategi mengalahkan kapitalisme dan Peradaban Barat lewat kegiatan kebudayaan.

Kelompok Marxis itu dikatakan melakukan strategi ini antara lain sebagai respons terhadap kegagalan Marxisme “ekonomis” ortodoks yang fokus kepada isu ekonomi dan perjuangan kelas.

Pada awal 1930-an, seiring Hitler meraih kekuasaan di Jerman, ISR pindah dari Frankfurt ke Swiss, lalu ke New York, AS. Perpindahan ini turut membantu penyebaran ide-ide institut itu ke negara-negara berbahasa Inggris.

Menurut narasi “Marxisme Kultural” lagi, pada 1960-an ide-ide tersebut berperan penting dalam perkembangan kelompok Kiri Baru (New Left), menjadi dominan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta turut berperan dalam penyebaran ide-ide anti-kapitalis, anti-agama, feminis, dan pro-LGBT.

Populis sayap kanan mengklaim inilah cara “Marxisme Kultural” mendominasi ranah intelektual dan wacana publik.

Matthew Sharpe, peneliti filsafat asal Deakin University, Australia, melakukan survei dan menemukan bahwa klaim itu tidak masuk akal.

Temuan Sharpe menunjukkan bahwa pengaruh kaum intelektual Marxis di dunia akademis relatif menurun selama empat dekade terakhir.

Temuan itu menunjukkan bahwa pengaruh Marxis telah dikalahkan oleh pemikir “post-structuralist” (atau penganut pascamodernisme) seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Judith Butler dan Deleuze.

Lalu mengapa kelompok “alt-right” dan kelompok lain terus menyebarkan narasi soal Marxisme Kultural?


Read more: 55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965


Musuh ada dimana-mana

Memang, ada unsur-unsur dalam narasi Marxisme Kultural yang berhubungan dengan fakta sejarah nyata. Misalnya: ISR nyata pernah (dan masih) ada, Kiri Baru adalah fenomena yang nyata terjadi di akhir 1960-an dan 1970-an, dan jurnal New Left Review masih ada hingga sekarang.

Namun, secara umum, Marxisme Kultural adalah sebuah teori konspirasi yang memungkinkan kaum kanan untuk melihat adanya satu musuh yang hadir dimana-mana.

Ibaratnya, teori ini menempatkan semua hal yang mereka tidak sukai dalam satu kotak.

Oleh karena itu, bagi kaum anti-Marxisme Kultural, pemikiran pascamodernisme tidaklah menggeser Marxisme Kultural - sebagaimana ditemukan oleh Sharpe. Sebaliknya, pascamodernisme adalah penjelmaan baru konspirasi Marxisme Kultural.

Tidak hanya itu, lewat narasi Marxisme Kultural, kelompok kanan menempatkan gerakan musuh sebagai sesuatu yang asing: musuh-musuh ini adalah hasil persengkongkolan yang dibuat pada tahun 1920-an di Jerman, lalu dibawa ke AS oleh orang Yahudi pencari suaka politik.

Di dalam dunia “Marxisme Kultural”, tidak ada bedanya antara kaum progesif liberal, penganut pascamodernisme, aktivis LGBT, Trotskyist, pemimpin gerakan Black Lives Matter, feminis, anarkis, dan lain-lain.

“Marxisme Kultural” menjadi label yang bisa ditempelkan pada mereka semua.

A man wears an 'I Hate the Left' protective vest at a Proud Boys rally in Delta Park, in Portland, Oregon, US
Sebagian peserta dalam sebuah aksi oleh kelompok kanan di Portland, Oregon, AS. Allison Dinner/AP

Marxisme Kultural dan Komunisme

Kita bisa melihat pola yang sama antara yang menempatkan Marxisme Kultural dan komunisme sebagai monster-monster yang harus ditakuti dan dibenci.

Ini karena keduanya menggunakan strategi dasar yang sama yang digunakan saat Perang Dingin sedang panas-panasnya, dan masih digunakan di banyak tempat.

Kala itu, saat Dunia Barat (AS dan NATO) bersitegang dengan Dunia Komunis (Uni Soviet dan sekutunya), segala sesuatu yang tidak disukai oleh Barat pasti disebut “komunis”.

Di Indonesia, saya menyebut ini sebagai “zombie anti-komunis” karena strategi ini tidak banyak berubah sejak 1965.

Seperti Marxisme Kultural, anti-komunisme di Indonesia juga sering dipakai untuk menyamakan beragam aliran intelektual progresif, antara lain menganggap ideologi politik liberal itu sama dengan komunisme.

Dalam sejarah, pemikiran konspiratif semacam ini - termasuk narasi anti-komunis - kerap digunakan untuk menjustifikasi kekerasan politik berskala besar: misalnya di Rusia dan Jerman pada 1930-an, di Indonesia dan Cina pada 1960-an, dan di Cile pada 1970-an.

Kini sudah 55 tahun sejak peristiwa pembunuhan pemimpin-pemimpin kunci TNI-AD dalam “Gerakan 30 September” yang disusul dengan gelombang pembantaian massal dalam wacana membasmi “komunisme”.

Kita patut waspada bahwa pemikiran konspiratif yang bisa digunakan untuk menjustifikasi kekerasan yang demikian keji itu dapat pula hadir dalam masa-masa yang lebih damai.

Memberikan cap-cap semacam ini pada para musuh (terutama mereka yang progresif secara politik) akan menjadi jembatan menuju kekerasan, bahkan dalam situasi demokratis dan damai.

Inilah yang terjadi saat Anders Breivik membunuh 77 simpatisan Partai Buruh di Norwegia pada 2011, dan saat Brenton Tarrant membunuh 51 orang di Mesjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, tahun lalu.

Breivik secara terbuka dan mendetail mengacu pada teori-teori konspirasi Marxisme Kultural; Tarrant mengambil ilham dari Breivik dan mengemukakan pandangan-pandangan konspiratif serupa.

Perang Dingin mungkin telah usai, tapi seperti halnya zombie anti-komunisme yang terus hidup di Indonesia, ketidaksetaraan dan ketegangan sosial di dunia Barat telah menghidupkan kembali narasi anti-komunisme Perang Dingin.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now