Menu Close
Shutterstock.

Negara berkembang hasilkan 14 miliar liter air tinja setiap harinya, tapi ke mana perginya? Tidak ada yang tahu

Untuk mencegah penyebaran penyakit dan mengurangi pencemaran, tinja manusia harus dikelola secara aman dan efektif. Sayangnya, sekitar 4,2 miliar penduduk – setara lebih dari setengah populasi global – kekurangan akses sanitasi yang layak.

Di negara berkembang, setiap orang rata - rata menghasilkan enam liter air limbah toilet setiap hari. Jika angka ini dikalikan penduduk yang tak memiliki akses sanitasi yang layak, maka ada sekitar 14 miliar liter air limbah toilet (yang juga terkontaminasi tinja) setiap hari. Volume air segitu dapat mengisi 5.600 kolam renang olimpiade.

Air limbah tersebut berkontribusi pada peningkatan gejala diare dari penyakit kolera, tipus, dan rotavirus. Setiap tahunnya, penyakit-penyakit tersebut menyebabkan sekitar 297.000 kematian balita, atau sekitar 800 anak per hari.

Angka tertinggi dari kematian terkait diare dialami warga miskin di sejumlah negara, misalnya Afghanistan, India, dan Kongo.

Meski masalah ini amat mengkhawatirkan, praktisi sanitasi ternyata justru masih belum mengetahui ke mana air hasil buangan manusia itu mengalir. Akar masalahnya klasik, karena data yang tidak reliabel atau bahkan tidak ada sama sekali.

Perubahan iklim memperburuk sanitasi

Sanitasi yang tidak layak bukan hanya persoalan kesehatan publik, tapi juga masalah lingkungan. Diperkirakan sekitar 80% air limbah toilet dari negara maju dan berkembang justru terbuang begitu saja ke lingkungan di sekitarnya.

Nah, nutrien yang berlebih (seperti nitrogen dan fosfor) dari limbah tersebut yang terbuang ke lingkungan akan memperburuk ekosistem dan mengganggu mahluk-mahluk perairan. Salah satunya adalah terumbu karang yang banyak tersebar di negara-negara berkembang kawasan tropis.

Negara-negara tersebut pun memiliki keterbatasan kapasitas pengelolaan tinja, di tengah padatnya jumlah penduduk. Akhirnya, seperti yang terjadi di Indonesia dan Filipina, banyak air limbah toilet yang terbuang langsung ke kawasan terumbu karang.

_Clown fish_ yang berenang di antara terumbu karang.
Pembuangan air limbah toilet sangat berdampak pada terumbu karang, khususnya di negara-negara tropis. Shutterstock

Air pembuangan yang tak tersaring juga membawa limbah padat, material endokrin (bahan kimia yang mengacaukan hormon), nutrien anorganik, logam berat dan mikroorganisme berbahaya langsung ke karang. Akibatnya sangat parah. Pertumbuhan karang bisa terhambat lantaran serangan penyakit, angka perkembangbiakannya juga jauh berkurang.

Krisis tersebut akan semakin parah karena perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan dan banjir. Sistem pembuangan meluap dan mencemari sekitarnya. Negara-negara di Pasifik sangat rentan akan hal ini karena kenaikan muka air laut dan siklon tropis yang lebih sering terjadi.

Di belahan dunia lainnya, kekeringan berkepanjangan akan mengakibatkan kelangkaan air. Hal tersebut juga mengganggu kinerja sistem pengelolaan air limbah. Contohnya kesalahan sistem pengelolaan air publik yang buruk di Harare, Zimbabwe, mengakibatkan kerusakan sistem pembuangan. Jutaan orang kemudian menjadi sangat rentan terkena penyakit menular (yang menyebar melalui air).

Negara-negara maju sebenarnya tak luput dari risiko ini. Di Australia, peningkatan frekuensi cuaca ekstrem dan bencana termasuk kebakaran, justru menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada infrastruktur sanitasi.

Target global untuk meningkatkan kualitas sanitasi

Peningkatan pasokan air bersih dan sanitasi termasuk salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Harapannya, penduduk seluruh negara secara mudah dapat mengakses sanitasi yang layak. Tujuan lainnya adalah pemangkasan volume air limbah yang tak terkelola hingga 50%.

Seorang pria mengosongkan jamban di kawasan urban Tanzania
Seorang pria mengosongkan jamban di perkotaan Tanzania. Jacqueline Thomas, Author provided

Pencapaian target ini relatif sulit. Pasalnya, tidak ada data yang betul-betul bisa diandalkan , khususnya terkait angka pasti sistem sanitasi di negara-negara berkembang yang sudah terkelola dengan baik.

Sementara, studi-studi di tingkat lokal di negara seperti Tanzania hanya memasok sejumlah kecil informasi seputar kelayakan sistem sanitasi. Cakupan riset-riset tersebut belum cukup besar untuk ditingkatkan menjadi skala nasional.

Kenapa data sanitasi begitu jelek?

Salah satu alasan utama buruknya data sanitasi adalah cakupan sistemnya yang begitu besar. Klasifikasinya juga cukup rumit.

Misalnya, di negara-negara berkembang, banyak penduduk yang memiliki sistem sanitasi pribadi seperti septic tanks (tangki septik) atau sekadar kolam beton, hingga jamban (kolam penampungan yang digali di tanah). Ketiadaan standar fasilitas sanitasi di negara-negara ini menyebabkan tangki septik tidak dibangun dengan kualitas yang sama sehingga tinja tidak bisa ditampung dan dikelola secara layak.

Sebuah lubang di tanah, dilapisi dengan dua batu bata, dan ember biru di sampingnya
Sebuah lubang kakus di pedesaan Tanzania. Jacqueline Thomas, Author provided

Sayangnya, pembangunan tangki septik tak berstandar justru marak karena ongkos pembuatannya lebih murah. Saat melakukan penelitian di kawasan pedesaan Fiji, saya melihat ukuran tangki septik begitu kecil yang dibuat dengan material alternatif (bekas tangki air) untuk menghemat tempat dan ongkos material.

Alih-alih menjadi fasilitas penampungan dan pengelolaan, model tangki seperti itu justru menyebabkan kebocoran tinja di lingkungan sekitarnya.

Sebuah pipa putih menjorok keluar dari tangki plastik biru dan masuk ke tanah.
Tangki septik ‘non-standar’, yang menggunakan plastik, di Fiji. Jacqueline Thomas, Author provided

Tangki septik standar didesain untuk dikosongkan selama periode tertentu. Kotoran-kotoran di dalamnya harus dibersihkan dengan pompa besar yang ada dari truk untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan. Nah ruang-ruang di tangki tak berstandar yang tak terlapisi dengan baik dapat mengurangi penumpukan kotoran tersebut, dan menunda proses pembersihan yang mahal.

Tantangan lainnya dalam pengumpulan data adalah bagaimana menentukan infrastruktur sanitasi yang berfungsi dengan baik. Sekalipun desain awalnya memenuhi standar, banyak kekurangan operasinal dan aktivitas perawatan yang justru menyebabkan tangki septik tidak bekerja optimal.

Terminologi juga menjadi persoalan. Ketika disurvei oleh tim SDG PBB, sejumlah rumah tangga mengklaim mereka memiliki tangki septik. Kenyataannya, mereka tidak tahu bahwa tangki tersebut sebenarnya tidak memenuhi standar – hanya menjadi kolam penampungan tinja, bukan fasilitas pengelolaan.

Bagaimana solusinya?

Upaya mencapai tujuan 6 SDGs membutuhkan dataset yang cukup mewakili skala nasional. Di tingkat tersebut, negara-negara berkembang harus menjawab sejumlah pertanyaan penting.

  • di setiap toilet, ke mana tinja akan berhilir? Apakah sudah ditampung secara aman? Pengelolaannya di tempat tersebut atau di lokasi lainnya?

  • jika tidak ditampung atau dikelola dengan baik, sejauh mana tinja mengalir ke saluran air atau terserap ke dalam tanah?

  • ketika tinja disedot dari tangki septik ataupun jamban, ke mana ia dibuang? Apakah dibuang begitu saja atau dikelola dengan baik?

  • apakah sistem saluran pembuangan masih tersambung dan terhubung ke instalasi pengolahan air limbah yang berfungsi yang melepaskan efluen (limbah yang diolah) dengan kualitas yang aman?

Saat ini, metode pengumpulan data sanitasi versi SDG belum menjawab pertanyaan-pertanyaan penting di atas. Kita membutuhkan desain program survei dan sampel yang lebih valid, bersamaan dengan sumber daya dari otoritas sanitasi suatu negara untuk menjalankan strategi pengumpulan data yang lebih cermat.

Hal lainnya yang juga penting adalah pendanaan terpadu dari seluruh pihak, khususnya pemerintah, organisasi internasional, dan sektor swasta, untuk membangun sanitasi yang lebih berkelanjutan. Pendanaan ini amat penting untuk melindungi kesehatan manusia maupun mahluk hidup lainnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now