Menu Close

“Neraka pada 2050”: krisis iklim isu hidup mati bagi generasi muda

“Neraka pada 2050”: krisis iklim isu hidup mati bagi generasi muda

Pada akhir Oktober ini, dunia akan bertemu dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (disebut COP) yang ke-26 di Glasgow, Skotlandia untuk membahas komitmen terbaru setiap negara untuk mengatasi krisis iklim.

Jika dunia terus menghasilkan emisi gas rumah kaca dan membiarkan perubahan iklim, suhu bumi bisa melebihi 2°C (dihitung sejak revolusi industri) antara tahun 2030-2050 – dengan konsekuensi yang luar biasa bagi umat manusia.

Namun, pada tahun 2050, salah satu pihak yang akan paling merasakan dampak dari krisis iklim adalah generasi muda yang hidup saat ini.

Pada tahun tersebut, generasi muda berpotensi merasakan apa yang disebut Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai “masa depan layaknya neraka” – kekurangan pangan, berbagai kota tenggelam, hingga kebakaran hutan yang terjadi terus menerus.

Untuk membedah hal ini dengan lebih dalam, pada episode podcast SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Rini Astuti, peneliti iklim di Australian National University (ANU).

Rini menceritakan kondisi terkini parahnya krisis iklim di dunia, konsekuensinya pada generasi muda di beberapa dekade ke depan, aktivisme anak muda yang bermunculan di seluruh dunia, hingga langkah yang bisa diambil untuk menjamin terlibatnya suara anak muda dalam pembautan kebijakan terkait iklim.

Simak lengkapnya di SuarAkademia – ngobrol isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now