tag:theconversation.com,2011:/nz/topics/game-online-56282/articlesGame online – The Conversation2023-01-20T03:09:38Ztag:theconversation.com,2011:article/1981642023-01-20T03:09:38Z2023-01-20T03:09:38ZBagaimana caranya membasmi budaya toksik dalam e-sports?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505498/original/file-20230120-22-k6zlm0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Suatu tim _gaming_ tingkat perguruan tinggi di AS berlatih bermain League of Legends.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/login?returnUrl=%2Fdetail%2FLeagueofLegendsEsports101%2F82e5316f00e046da906c96a16d9f07d7%2Fphoto%3FQuery%3DLeague%2520of%2520legends%26mediaType%3Dphoto%26sortBy%3D%26dateRange%3DAnytime%26totalCount%3D225%26currentItemNo%3D13">(AP Photo/M. Spencer Green)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam kehidupan sehari-hari, kita kemungkinan jarang mendengar orang berteriak kepada kita, “Sana balik ke dapur dan masak aja!” Tapi jika kamu adalah seorang perempuan yang bermain <em>online game</em>, ungkapan semacam ini – atau bahkan yang lebih parah – sangat sering muncul.</p>
<p>Apalagi saat pandemi COVID-19 mendorong gencarnya kehidupan daring dan juga memicu <a href="https://www.washingtonpost.com/video-games/2020/05/12/video-game-industry-coronavirus/">pertumbuhan <em>online gaming</em></a>, pelecehan di ruang tersebut maupun sudut internet lainnya <a href="https://webfoundation.org/2020/07/theres-a-pandemic-of-online-violence-against-women-and-girls/">makin meningkat</a>. Pada 2020, sebanyak <a href="https://www.statista.com/statistics/232383/gender-split-of-us-computer-and-video-gamers/">41% pemain <em>video game</em></a> di Amerika Serikat (AS), negara saya mengajar, merupakan perempuan.</p>
<p>Meski terjadi di ruang digital, pelecehan <em>online</em> bisa punya <a href="https://repository.law.umich.edu/mlr/vol108/iss3/3/">dampak di dunia nyata bagi para korban</a>, termasuk tekanan dan stres emosional maupun fisik. Ini membuat perusahaan <em>video game</em> maupun para pemainnya berupaya mendorong teknik-teknik manajemen komunitas yang lebih baik untuk mencegah pelecehan.</p>
<p>Sebagai seorang <a href="https://scholar.google.com/citations?user=7IEXEiwAAAAJ&hl=en">peneliti yang mempelajari <em>gaming</em></a>, saya menemukan bahwa norma budaya yang tepat bisa menghasilkan komunitas daring yang lebih sehat, bahkan dalam dunia yang sangat kompetitif seperti <em>e-sports</em> (olahraga daring kompetitif termasuk <em>game online</em>).</p>
<p>Taruhannya cukup besar. Dunia <em>e-sports</em> kini menuai pendapatan tahunan lebih dari <a href="https://www.forbes.com/sites/jamesayles/2019/12/03/global-esports-revenue-reaches-more-than-1-billion-as-audience-figures-exceed-433-million/#7c218d871329">US$ 1 milyar</a> (lebih dari Rp 15 triliun). Liga-liga profesional, serta liga tingkat perguruan tinggi maupun SMA kini semakin berkembang, terutama pada saat pandemi ketika <a href="https://www.theguardian.com/sport/2020/apr/11/esports-ride-crest-of-a-wave-as-figures-rocket-during-covid-19-crisis">perkembangan olahraga tradisional melambat</a>.</p>
<h2>Sejarah pelecehan</h2>
<p>Dalam beberapa tahun ke belakang, beragam reportase dari <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/23/style/women-gaming-streaming-harassment-sexism-twitch.html">The New York Times</a>, <a href="https://www.wired.com/story/twitch-streaming-metoo-reckoning-sexual-misconduct-allegations/">Wired</a>, hingga <a href="https://www.insider.com/twitch-sexual-assault-misconduct-allegations-video-gaming-community-streamers-harassment-2020-7">Insider</a> dan media lainnya melaporkan kentalnya seksisme, rasisme, homofobia, dan bentuk-bentuk diskriminasi lain di ruang daring. </p>
<p>Namun, isu-isu ini bukanlah hal baru. Masalah serupa sempat mencuat pada 2014 saat skandal <a href="https://www.washingtonpost.com/news/the-intersect/wp/2014/10/14/the-only-guide-to-gamergate-you-will-ever-need-to-read/">Gamergate</a>, gerakan berbasis Twitter yang melecehkan pemain, perancang, dan jurnalis <em>video game</em> perempuan.</p>
<p>Seksisme pun sudah menjadi hal umum bahkan sebelum Gamergate. Misalnya, pemain <em>game</em> profesional Miranda Pakozdi mengundurkan diri dari timnya menyusul <a href="https://www.nytimes.com/2012/08/02/us/sexual-harassment-in-online-gaming-stirs-anger.html?_r=1">pelecehan seksual</a> dari pelatihnya pada 2012. Sang pelatih, Aris Bakhtanians, menyatakan bahwa “<a href="https://kotaku.com/competitive-gamers-inflammatory-comments-spark-sexual-h-5889066">pelecehan seksual adalah bagian dari budaya [<em>game</em> perkelahian]</a>” dan sangat susah dihilangkan.</p>
<p>Beberapa pihak lain mengatakan bahwa <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2006.09.001">anonimitas</a> dalam ruang-ruang <em>online gaming</em>, ditambah dengan <a href="https://syslab.cs.washington.edu/papers/lol-chi15.pdf">sifat kompetitif</a> para pemain, meningkatkan kemungkinan perilaku toksik. Data survei dari <a href="https://www.adl.org/media/14643/download">Liga Defamasi Amerika (ADL)</a> menemukan setidaknya 37% pemain perempuan pernah menghadapi pelecehan berbasis gender.</p>
<p>Namun demikian, ada juga komunitas <em>online</em> yang positif. Studi dari pengacara dan mantan perancang pengalaman pengguna (UX) di Microsoft, <a href="https://www.osborneclarke.com/lawyers/rebecca-chui/">Rebecca Chui</a> menemukan bahwa <a href="https://doi.org/10.4101/jvwr.v7i2.7073">komunitas <em>online</em> yang anonim</a> pada dasarnya tidak toksik. Lebih tepatnya, budaya pelecehan bisa muncul jika norma komunitas mengizinkannya terjadi. Ini berarti perilaku buruk di ruang daring bisa diatasi secara efektif.</p>
<p>Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="An arena full of people watching an international videogame tournament" src="https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Liga <em>e-sports</em> profesional, serta liga tingkat perguruan tinggi maupun sekolah kini semakin berkembang, termasuk turnamen internasional seperti yang diadakan di Paris pada gambar ini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/FranceLeagueofLegendsFinals/6bf32ff641ad4aa1985d33b0b5eddec9/photo?Query=League%20of%20legends&mediaType=photo&sortBy=&dateRange=Anytime&totalCount=225&currentItemNo=7">AP Photo/Thibault Camus</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Strategi koping para pemain</h2>
<p>Dalam riset berbasis wawancara yang saya lakukan terhadap pemain perempuan, saya menemukan bahwa para pemain punya <a href="https://doi.org/10.1177%2F1555412015587603">banyak strategi untuk mengindari atau merespons pelecehan <em>online</em></a>.</p>
<p>Misalnya, beberapa hanya bermain dengan teman dekat atau menghindari menggunakan <em>chat</em> suara demi menyembunyikan gender mereka. Pemain lain memilih mengasah permainan hingga jago dalam <em>game</em> favorit mereka, demi menutup ruang pelecehan. Penelitian dari ilmuwan media lain, seperti <a href="https://adanewmedia.org/2013/06/issue2-gray/">Kishonna Gray</a> dan <a href="https://doi.org/10.1177%2F0731121419837588">Stephanie Ortiz</a>, menemukan pola serupa lintas ras dan seksualitas.</p>
<p>Strategi-strategi ini, sayangnya, punya beberapa keterbatasan. Misalnya, sekadar mengabaikan atau tak mengacuhkan perilaku toksik berarti membiarkannya terus terjadi. Di sisi lain, melawan balik para pelaku pelecehan sering menimbulkan pelecehan yang lebih parah lagi.</p>
<p>Strategi semacam ini juga bisa menempatkan beban untuk mengatasi pelecehan di pundak korban, ketimbang pada pelaku atau komunitas. Ini bisa mendorong para korban untuk semakin keluar dari ruang daring.</p>
<p>Seiring para responden saya meraih tanggung jawab lebih dalam pekerjaan atau keluarga mereka, misalnya, mereka tak lagi punya tenaga untuk menghadapi pelecehan dan memutuskan berhenti bermain. Studi saya menemukan perusahaan <em>game</em> perlu mengintervensi komunitas mereka supaya para pemain yang menjadi korban tak memikul beban itu sendirian.</p>
<h2>Bagaimana para perusahaan bisa bertindak</h2>
<p>Perusahaan <em>game</em> kini semakin meningkatkan kepedulian terhadap strategi manajemen komunitas. Salah satu penerbit besar, Electronic Arts (EA) mengadakan <a href="https://www.cnet.com/news/gaming-can-be-toxic-toward-women-and-minorities-electronic-arts-wants-to-help-fix-that/">konferensi manajemen komunitas</a> pada 2019, dan perusahaan seperti <a href="https://www.cnet.com/news/microsofts-xbox-team-has-a-plan-to-fight-toxic-gamers/">Microsoft</a> dan <a href="https://www.pcmag.com/news/intel-levels-up-ai-to-battle-toxicity-in-online-games">Intel</a> mengembangkan alat-alat untuk mengelola ruang daring. Sekelompok perusahaan pengembang <em>game</em> juga membentuk <a href="https://fairplayalliance.org/about/">Fair Play Alliance</a>, suatu koalisi yang bekerja untuk mengatasi pelecehan dan diskriminasi dalam dunia <em>gaming</em>.</p>
<p>Tapi, intervensi-intervensi ini wajib mengakar pada pengalaman para pemain. Banyak perusaahaan menerapkan intervensi melalui praktik seperti pelarangan (<em>banning</em>) atau pemblokiran terhadap pelaku pelecehan. Misalnya, platform siaran langsung Twitch pernah menerapkan <em>ban</em> terhadap beberapa kreator menyusul dugaan pelecehan seksual.</p>
<p>Langkah seperti ini bisa jadi langkah awal, tapi para peleceh yang dikenai pemblokiran atau <em>ban</em> sering membuat akun baru dan semudah itu kembali pada perilaku mereka. Pemblokiran juga berarti mengelola pelecehan setelah terjadi ketimbang menghentikannya di sumbernya, sehingga ini perlu dikombinasikan dengan beberapa pendekatan potensial lain.</p>
<p>Pertama, perusahaan perlu mengembangkan alat yang mereka sediakan bagi pemain untuk mengelola identitas <em>online</em> mereka.</p>
<p>Banyak partisipan menghindari <em>chat</em> suara untuk membatasi pelecehan berbasis gender. Tapi ini seringkali mempersulit mereka dalam berkompetisi. Beberapa <em>game</em> seperti Fortnite, League of Legends, and Apex Legends menerapkan <a href="https://www.pcgamer.com/apex-legends-ping-system-is-a-tiny-miracle-for-fps-teamwork-and-communication/">sistem “ping”</a> yang mengizinkan pemain mengkomunikasikan informasi permainan secara cepat, tanpa memerlukan suara. Alat serupa bisa dibangun ke dalam sistem permainan <em>online game</em> lainnya.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1110949804526452741"}"></div></p>
<p>Opsi lain yang disarankan para responden saya adalah mempermudah pemain untuk berkelompok dengan teman-teman dekat mereka, sehingga mereka selalu punya seseorang yang bisa membantu melindungi mereka dari pelecehan. Mekanisme pengelompokan terutama bisa efektif saat disesuaikan dengan setiap <em>game</em> secara spesifik.</p>
<p>Misalnya, dalam <em>game</em> seperti Overwatch dan League of Legends, pemain perlu memainkan peran-peran yang berbeda supaya tim mereka berimbang. Pelecehan bisa terjadi jika para anggota tim yang dipasangkan secara acak kemudian ingin memainkan karakter yang sama.</p>
<p>Overwatch memperkenalkan <a href="https://us.forums.blizzard.com/en/overwatch/t/guide-how-to-use-the-looking-for-group-system/127114">sistem pengelompokan</a> yang mengizinkan pemain untuk memilih karakter mereka, kemudian dipasangkan dengan pemain yang telah memilih peran lain. Ini tampaknya bisa <a href="https://www.theguardian.com/games/2018/aug/17/tackling-toxicity-abuse-in-online-video-games-overwatch-rainbow-seige">mengurangi <em>chat</em> yang bersifat melecehkan</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Screenshot of videogame League of Legends showing clasped hands" src="https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=474&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=474&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=474&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Contoh insentif untuk perilaku baik dalam <em>game</em> League of Legends.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/15838163@N00/9375189766">Daniel Garrido/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Terakhir, perusahaan juga perlu mengubah norma-norma kultural yang mendasar. Misalnya, penerbit League of Legends yakni Riot Games pernah menerapkan suatu sistem “<a href="https://www.vox.com/2015/7/7/11564110/doing-something-about-the-impossible-problem-of-abuse-in-online-games">tribunal</a>” yang mengizinkan pemain melihat laporan insiden dan menggunakan hak suara untuk menentukan apakah perilaku tersebut bisa diterima dalam komunitas.</p>
<p>Meski sayangnya Riot Games sayangnya menutup sistem tersebut, melibatkan anggota komunitas dalam solusi apapun adalah ide bagus. Perusahaan juga perlu mengembangkan panduan komunitas yang jelas, mendorong perilaku positif melalui hal-hal seperti penghargaan (<em>in-game achievements</em>), dan merespons isu yang tengah berkembang secara cepat dan tegas.</p>
<p>Jika <em>e-sports</em> terus berkembang tanpa para perusahaan mengatasi lingkungan toksik dalam <em>game</em> mereka, perilaku melecehkan dan diskriminatif kemungkinan akan terus tertanam. Untuk menghindari ini, para pemain, pelatih, tim, liga, perusahaan, hingga platform siaran langsung harus berinvestasi pada upaya-upaya manajemen komunitas yang lebih baik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/198164/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Amanda Cote tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Melawan seksisme dan bentuk pelecehan lain dalam online game kuncinya adalah standar komunitas.Amanda Cote, Assistant Professor of Media Studies/Game Studies, University of OregonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1641682021-07-08T11:03:50Z2021-07-08T11:03:50ZWacana blokir PUBG karena alasan “kekerasan”: apa kata sains tentang dampak video game?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/410330/original/file-20210708-13-y4mxxu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">antarafoto pajak untuk game online dr</span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/2KF4ZNQxxFO0HLtWZngrmg?theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Akhir bulan lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mempertimbangkan <a href="https://www.antaranews.com/berita/2231634/kominfo-pertimbangkan-permintaan-blokir-pubg">memblokir beberapa <em>game online</em></a> termasuk permainan baku tembak seperti <em>Player Unknown’s Battlegrounds</em> (PUBG), dan permainan arena tempur seperti <em>Mobile Legends</em>.</p>
<p>Niatan tersebut muncul setelah Kominfo menerima pengaduan bupati di Provinsi Bengkulu yang mengatakan <em>game</em> tersebut <a href="https://www.antaranews.com/berita/2231634/kominfo-pertimbangkan-permintaan-blokir-pubg">berdampak negatif</a> terhadap tumbuh kembang anak.</p>
<p>Hal ini menambah daftar panjang wacana pemerintah untuk mencoba membatasi akses masyarakat terhadap <em>game online</em>.</p>
<p>Pada tahun 2019, misalnya, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh <a href="https://theconversation.com/wacana-fatwa-haram-pubg-adalah-reaksi-berlebihan-yang-minim-landasan-ilmiah-peneliti-121510">memberikan fatwa haram</a> terhadap PUBG karena dianggap <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/06/20/15462891/5-fakta-pubg-haram-di-aceh-sarankan-untuk-diblokir-hingga-ancam-simbol-agama?page=1">memicu kebrutalan pada anak-anak dan dapat melecehkan simbol-simbol Islam</a> – disusul keinginan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerapkan fatwa itu secara nasional. </p>
<p>Tapi, benarkah <em>video game</em> menimbulkan perilaku kekerasan? Dan apakah pengaturan game di Indonesia oleh pemerintah via pemblokiran adalah kebijakan yang efektif?</p>
<p>Untuk menjawabnya, di episode terbaru SuarAkademia, kami berbicara dengan <a href="https://hws.academia.edu/iskandarzulkarnain">Iskandar Zulkarnain</a>, peneliti budaya <em>game</em> global dari Hobart and William Smith Colleges di New York, Amerika Serikat (AS).</p>
<p>Iskandar, atau yang lebih akrab dipanggil “Izul” ini, menjelaskan tentang sejarah kepanikan moral pemerintah terhadap media baru dari masa ke masa, riset-riset tentang hubungan <em>game</em> dan kekerasan, serta membandingkan regulasi <em>game</em> di berbagai negara.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=PIac0HSuTMilM3B_L_pIPA&dl_branch=1">podcast SuarAkademia</a> - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/164168/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Apakah video game berdampak negatif pada perkembangan anak? Di episode ini, kami ngobrol dengan Iskandar Zulkarnain, peneliti budaya game dari Hobart & William Smith Colleges di Amerika Serikat (AS).Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1007842018-09-06T09:04:26Z2018-09-06T09:04:26ZApakah rekreasi dan apakah kecanduan permainan digital di abad ke-21<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/230734/original/file-20180806-191022-1fb11w9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Apakah orang-orang ini menderita gangguan - atau hanya bersenang-senang?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/France-Paris-Games-Week/6d22585c2222458c81e98588e31692ac/74/0">AP Photo/Kamil Zihnioglu</a></span></figcaption></figure><p>Penjelasan organisasi kesehatan dunia atau WHO tentang <a href="http://www.who.int/health-topics/international-classification-of-diseases">“gangguan bermain” sebagai “gangguan perilaku adiktif”</a> adalah deskripsi yang <a href="http://www.who.int/features/qa/gaming-disorder/en/">tidak jelas</a> karena kita tidak tahu seberapa sering permainan digital yang dimainkan seseorang hingga <a href="https://icd.who.int/browse11/l-m/en#/http%3a%2f%2fid.who.int%2ficd%2fentity%2f1448597234">dapat dikatakan terlalu sering</a>. WHO memperingatkan kita “orang-orang yang kerap kali bermain permainan digital harus waspada terhadap jumlah waktu yang mereka habiskan untuk kegiatan ini.” Namun, pada titik apa aktivitas rekreasi ini berubah menjadi kecanduan?</p>
<p>Para peneliti tentang permainan digital terbiasa mendengar keluhan tentang bahaya terlalu banyak bermain game. Video game dituduh menyebabkan <a href="https://doi.org/10.1016/S1359-1789(97)00055-4">perilaku kekerasan</a>, <a href="https://www.economist.com/the-economist-explains/2017/03/30/the-link-between-video-games-and-unemployment">pengangguran</a>, bahkan kekurangan vitamin D atau dapat disebut <a href="https://www.cnet.com/news/video-games-blamed-for-return-of-rickets/">rakhitis</a>. Meskipun permainan digital juga dapat meningkatkan keterampilan <a href="https://doi.org/10.1001/archsurg.142.2.181">membedah tubuh</a>, mendorong perilaku <a href="https://doi.org/10.1177/0146167209333045">pro-sosial</a>, membantu dalam <a href="https://www.cnn.com/2013/05/24/tech/gaming-gadgets/cancer-video-game/index.html">pengobatan kanker</a> dan mengembangkan <a href="https://www.scientificamerican.com/article/foldit-gamers-solve-riddle/">pengobatan AIDS terbaru</a>. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/banning-smartphones-for-kids-is-just-another-technology-fearing-moral-panic-74485">Bentuk-bentuk baru dari media populer</a> kerap kali menjadi sasaran keprihatinan publik, seperti novel, buku komik dan jazz, dan segala hal yang berhubungan dengan rock ‘n’ roll dan rapp pada masa awal kemunculannya. Tetapi ketakutan itu akhirnya memudar, dan masyarakat justru merangkul karya seperti “Maus,” <a href="https://www.washingtonpost.com/news/comic-riffs/wp/2016/08/11/why-maus-remains-the-greatest-graphic-novel-ever-written-30-years-later/">novel grafis pertama untuk menjadi finalis dalam penghargaan buku nasional</a> di AS dan rapper Kendrick Lamar, yang memenangkan <a href="https://www.nytimes.com/2018/04/16/arts/music/kendrick-lamar-pulitzer-prize-damn.html">penghargaan Pulitzer awal tahun ini</a>.</p>
<p>Permainan video digital dapat menjadi pengecualian yang menarik dan unik. Sehubungan dengan <a href="https://doi.org/10.1542/peds.2010-1353">risiko kecanduan</a>, menarik untuk menganalisis peringatan WHO mengenai kegiatan bermain game yang berlebihan dalam konteks rekreasi yang lebih luas. Sebagai bagian dari konferensi <a href="http://festival.gamesforchange.org/">“Game for Change”</a>, saya dan peserta lainnya mempelajari tentang psikologi, game yang serius, dan advokasi para dari pemuda yang menyuarakan <a href="https://scholar.google.com/citations?user=_8XOQRoAAAAJ&hl=en">mitos tentang permainan</a>, media dan <a href="https://theconversation.com/debunking-the-6-biggest-myths-about-technology-addiction-95850">kecanduan teknologi</a>. </p>
<h2>Rekreasi menurut sejarahnya</h2>
<p>Ahli psikologi perkembangan dan para pendidik mengkritik <a href="https://muse.jhu.edu/article/211688/summary">jadwal</a> anak-anak Amerika yang terlampau penuh, dan <a href="https://www.theatlantic.com/business/archive/2017/03/busyness-status-symbol/518178/">“terlalu sibuk” dapat menjadi simbol status</a>, yang secara menarik, bersanding dengan gagasan rekreasi mewah dan dan liburan keliling dunia. Dulu rata-rata petani pada abad pertengahan hanya bekerja 150 hari setahun, memberi mereka <a href="https://www.travelandleisure.com/culture-design/americans-work-more-than-medieval-peasants">lebih banyak waktu luang daripada rata-rata pekerja sekarang</a>.</p>
<p>Secara historis, rekreasi sosial telah berkembang bersamaan dengan perkembangan masyarakat. Sebelum kegiatan olahraga menjadi populer, kaum yang fanatik pada agama dan para pemimpin politik lainnya <a href="https://www.si.com/vault/1962/01/08/590449/the-bizarre-history-of-american-sport">melarang semakin populernya kegiatan olahraga atas dasar moral dan sebagai ancaman terhadap tatanan sosial</a>.</p>
<p>Belakangan, Revolusi Industri menghasilkan bentuk hiburan rekreasi baru yang tampak sangat dekaden bagi generasi sebelumnya – paling mencolok dari bentuk rekreasi baru adalah pelesir. Kelas pekerja baru di kota memiliki kesempatan untuk melarikan diri dari lingkungan dan kesibukan mereka sehari-hari. Namun pada awal berkembangnya industri pariwisata, <a href="https://www.routledge.com/Leisure-in-the-Industrial-Revolution-c-1780-c-1880/Cunningham/p/book/9781138638648">rekreasi berupa perjalanan wisata dianggap sebagai ancaman bagi politik dan masyarakat modern</a> khususnya karena membantu memperluas pengalaman para pelancong.</p>
<h2>Waktu rehat kontemporer</h2>
<p>Dalam perkembangan dunia modern, aktivitas <a href="https://www.oecd.org/berlin/42675407.pdf">rekreasi di dominasi dengan menonton televisi</a>, di ikuti dengan berbagai aktivitas rekreasi lainnya seperti olahraga dan menjamu teman. Tidak ada bukti bahwa bermain game lebih berbahaya dibandingkan kegiatan rekreasi lainnya. Bahkan, penelitian akademis lebih banyak membuktikan <a href="https://doi.org/10.1111/j.1468-2958.2001.tb00787.x">bahaya menonton televisi</a>. </p>
<p><a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.526.5954&rep=rep1&type=pdf">Semenjak tahun 1960-an</a>, para peneliti telah menekankan bahwa menonton televisi <a href="https://www.jstor.org/stable/26059563?seq=1#page_scan_tab_contents">berpotensi untuk menimbulkan kecanduan</a> dan merusak kualitas hidup. Selain menyelidiki bagaimana menonton TV telah menggantikan kegiatan rekreasi lainnya, para peneliti tersebut telah membuktikan bahwa menonton TV dapat <a href="https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.1981.tb01211.x">menghilangkan produktivitas</a>, <a href="http://pediatrics.aappublications.org/content/75/5/807.short">mendorong obesitas</a>, meningkatkan perilaku <a href="http://doi.org/10.1037/h0033721">kekerasan atau perilaku agresif</a> dan dapat menyebabkan rendahnya rasa <a href="https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.02.001">kepuasan hidup dan kecemasan yang berlebihan</a>, dan dapat <a href="https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.02.001">meningkatkan rasa cemas dan tingkat kepuasan hidup yang rendah</a>.</p>
<p>Orang-orang menonton televisi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan mereka bermain game. Di AS, <a href="https://www.statista.com/statistics/276748/average-daily-tv-viewing-time-per-person-in-selected-countries/">rata-rata seseorang menonton adalah televisi sekitar 4.5 jam</a>. Ini lebih lama dari waktu mereka membaca buku, bersantai, bersosialisasi, berpartisipasi dalam olahraga, bermain game digital dan menggunakan komputer–<a href="https://www.bls.gov/TUS/CHARTS/LEISURE.HTM">ketika digabungkan</a>.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/XE5wk/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="344"></iframe>
<h2>Televisi dan permainan digital</h2>
<p>WHO tampaknya tidak begitu peduli dengan dampak dari TV. Ini sangat jelas ketika dikaitkan dengan acara olah raga di TV. Pertimbangkan seseorang mengabaikan tanggung jawab rumah tangga dan keahlian mereka pada hari Minggu hanya dengan duduk di sofa selama berjam-jam menonton pertunjukan pra-pertandingan; meneriaki wasit, pelatih dan pemain; dan mengikuti analisis permainan selepasnya. Atau yang izin sakit hanya untuk menonton pertandingan atau merusak persahabatan karena persaingan tim. Dengan kriteria WHO, ini mungkin dapat di masukan sebagai “<a href="http://www.who.int/features/qa/gaming-disorder/en/">gangguan bermain</a>"–kecuali olahraga tersebut di TV, bukan permainan video. (Itu bahkan tidak mempertimbangkan puluhan ribu kerusuhan dalam <a href="https://www.foxsports.com/mlb/gallery/notable-sports-riots-gallery-040212">pertandingan olahraga</a>. </p>
<p>Tetapi para penggemar olah raga bukanlah pemain. Bagi para atlet, komitmen waktu bahkan lebih banyak dibandingkan waktu yang dihabiskan penggemar mereka yang paling setia. Atlet perguruan tinggi rata-rata di AS, misalnya, menghabiskan lebih dari <a href="http://www.businessinsider.com/college-student-athletes-spend-40-hours-a-week-practicing-2015-1">40 jam seminggu untuk berlatih olahraga mereka</a>. Banyak pelajar yang sekaligus atlet mengatakan mereka <a href="https://www.insidehighered.com/news/2015/05/08/college-athletes-say-they-devote-too-much-time-sports-year-round">kekurangan waktu untuk menjadi pelajar</a>, tetapi kami tidak akan mengidentifikasi mereka sebagai kecanduan olahraga. </p>
<p>Terdapat cara lain untuk melihat dedikasi para pemain permianan video digital: Dengan <a href="https://theconversation.com/are-esports-the-next-major-league-sport-74008">bangkitnya e-sport</a>, gamers profesional <a href="https://www.forbes.com/sites/moorinsights/2018/01/30/esports-is-the-new-college-football/#7d5809911855">dengan bayaran hingga jutaan dollar</a>, <a href="http://www.espn.com/espn/photos/gallery/_/id/11903755/image/3/dota-2-future-bright-esports-pro-gamers">menarik penonton seukuran arena</a>, dan bahkan memperoleh <a href="https://www.scholarships.com/financial-aid/college-scholarships/sports-scholarships/esports-scholarships-scholarships-for-gamers/">beasiswa untuk kuliah</a>. Lalu, pada titik manakah seseorang dengan "gangguan bermain” berubah status dari pasien gangguan mental atau “sampah sosial” menjadi bintang universitas dengan prospek profesional yang serius? </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/224756/original/file-20180625-19390-uf8i9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kerumunan ini berkumpul untuk menyaksikan <em>gamers</em> terkemukan bermain.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/samchurchill/14857571158">Sam Churchill</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Tantangan untuk mengukur kecanduan game</h2>
<p>Mungkin sulit untuk mengidentifikasi kecanduan terhadap suatu aktivitas. Meskipun WHO memperingatkan untuk tidak menghabiskan terlalu banyak waktu bermain game, itu bukan cara untuk mengukur kecanduan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang yang menghabiskan banyak waktu untuk bermain permainan digital sesungguhnya menunjukkan <a href="http://doi.org/10.1111/j.1360-0443.2010.03104.x">lebih sedikit perilaku kecanduan</a> dibandingkan orang-orang uang hanya lebih sedikit bermain game. </p>
<p>Pada sebuah laporan tahun 2009, para penyusun skala kecanduan permainan digital untuk remaja secara eksplisit menulis, “<a href="http://dx.doi.org/10.1080/15213260802669458">Waktu yang dihabiskan untuk bermain permainan digital tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur perilaku patologis</a>.” Dan seorang peneliti <a href="https://theconversation.com/profiles/christopher-j-ferguson-279771">permainan digital dan perilaku</a> menyatakan bahwa “Beberapa orang yang depresi justru hanya selalu berada di tempat tidur sepanjang hari, tetapi <a href="https://dx.doi.org/10.1073%2Fpnas.1705077114">kami tidak mengatakan bahwa mereka kecanduan tempat tidur</a>.”</p>
<p>Pada akhirnya, orang-orang yang dengan waktu luas mencari pelepasan dengan perjalanan di akhir pekan, melakukan kunjungan dengan the <a href="https://www.imdb.com/title/tt0050032/"><em>Cleavers’ 1950s America</em></a>, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Journey_(2012_video_game)">menjelajahi</a> gurun yang luas. </p>
<p>Apa yang dicari orang di waktu senggang mereka adalah istirahat, dan hanya karena mereka menikmati istirahat itu-dan menghabiskan cukup banyak waktu untuk melakukannya-tidak berarti itu adalah kecanduan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100784/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lindsay Grace tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Hanya karena seseorang menikmati aktivitas rekreasional bukan berarti mereka kecanduan terhadap hal tersebut, meskipun mereka menghabiskan waktu yang banyak untuk melakukannya.Lindsay Grace, Associate Professor of Communication; Director, American University Game Lab and Studio, American University School of CommunicationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/990292018-07-04T09:47:44Z2018-07-04T09:47:44ZWHO tetapkan kecanduan game sebagai gangguan mental, bagaimana “gamer” Indonesia bisa sembuh?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/225333/original/file-20180628-117377-1tkdzw5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siswa sekolah menengah atas kecanduan game online.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/1108488245?src=ZKKCPO-haXI_md9o6nNE2A-1-52&size=medium_jpg">POP-THAILAND/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Di berbagai negara sudah muncul berbagai masalah serius terkait bermain <em>game</em>. Banyak kasus orang muda tewas karena kelelahan bermain <em>game</em>. Di <a href="https://tekno.kompas.com/read/2017/02/22/12030027/ayah.tiga.anak.meninggal.setelah.main.game.22.jam.untuk.amal">Amerika Serikat,</a> ayah tiga anak berusia 35 tahun tewas setelah main <em>game</em> 22 jam non-stop. Pria 20 tahun di <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171121101805-282-257035/kecanduan-game-pria-china-meninggal-karena-kelelahan">Republik Rakyat Cina</a> tewas setelah main <em>game</em> <em><a href="https://advox.globalvoices.org/2017/07/06/in-chinas-ideological-battle-king-of-glory-game-is-a-top-target/">King of Glory</a></em> sembilan jam setiap hari selama lima bulan. Kasus serupa juga terjadi pada remaja <a href="https://news.detik.com/berita/3271570/pemuda-di-mojokerto-tewas-saat-main-game-online-polisi-mungkin-kelelahan">di Indonesia</a>. Mereka tewas karena kecanduan, sebuah perilaku buruk yang sebenarnya bisa dihentikan.</p>
<p>Kecanduan <em>game</em> juga memicu tindakan kriminal. Pernah dilaporkan ada kasus <a href="https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/08/04/mr0jxi-kecanduan-main-game-online-tujuh-remaja-nekat-mencuri">tujuh remaja yang mencuri uang, rokok, dan tabung gas di toko</a> untuk membayar sewa alat <em>game online</em> dan <a href="https://www.merdeka.com/jakarta/2-abg-rampok-bacok-tukang-nasgor-cuma-buat-main-game-online.html">dua remaja merampok penjual nasi goreng</a> untuk mendapatkan uang yang dipakai main <em>game online</em>. </p>
<p>Tindakan kriminal ini tidak hanya dilakukan oleh remaja, <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/pns-hingga-bocah-sd-nekat-mencuri-demi-game-online.html">tapi juga oleh orang dewasa di Indonesia.</a> Perilaku seperti ini mirip dengan perilaku <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/almost-addicted/201312/five-must-do-things-if-family-member-is-abusing-drugs">pecandu narkoba</a> yang seringkali mencuri uang keluarganya untuk membiayai kebiasaannya menggunakan narkoba. </p>
<p>Karena itu, dapat dipahami bahwa <a href="https://sains.kompas.com/read/2018/06/19/192900123/who-resmi-tetapkan-kecanduan-game-sebagai-gangguan-mental">Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation (WHO)</a> memasukkan kecanduan <em>game</em> ke dalam daftar penyakit dalam laporan <em>International Classification of Diseases</em> edisi 11 (ICD-11). Dengan demikian, kecanduan game resmi masuk sebagai <a href="https://theconversation.com/id/topics/gangguan-jiwa-47367">gangguan kesehatan jiwa</a>.</p>
<p>Pada 18 Juni 2018, WHO menerbitkan dokumen ICD-11, yang merupakan revisi dari dokumen sebelumnya, <a href="http://www.who.int/classifications/icd/en/">ICD-10</a> terbitan pada 1990. Dokumen ini digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk mengkategorisasi berbagai penyakit dan kondisi kesehatan, dari melahirkan seorang bayi (<em>JB20 Single spontaneous delivery</em>), sakit flu (<em>1E32 Influenza, virus not identified</em>), hingga kecanduan game online (<em>6C51 Gaming disorder</em>).</p>
<h2>Berapa prevalensi kecanduan <em>game</em> di Indonesia?</h2>
<p>Kami telah meneliti <a href="http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0061098">prevalensi kecanduan <em>game</em></a> dengan mengambil sampel di sekolah-sekolah di Manado, Medan, Pontianak, dan Yogyakarta pada 2012. Kami menemukan bahwa ada 45,3% dari 3.264 siswa sekolah yang bermain <em>game online</em> selama sebulan terakhir dan tidak berniat untuk berhenti.</p>
<p>Saat itu belum ada kesepakatan mengenai kriteria kecanduan <em>game</em>, sehingga kami membuat kriteria sendiri untuk Indonesia berdasarkan teori kecanduan game dan kriteria diagnosis dari kecanduan judi. Kami juga menggelar <em>focus group discussion</em> dengan tiga psikolog klinis terlisensi dan kami menyimpulkan bahwa orang yang bermain <em>game</em> selama 4-5 hari per minggu dan setiap harinya bermain lebih dari 4 jam maka mungkin terindikasi adiksi. </p>
<p>Dengan kriteria tersebut, kami menemukan 150 siswa (10,2%) dari 1477 siswa yang mungkin mengalami adiksi. Lalu, dengan analisis statistik, kami dapatkan 89 (59,3%) dari 150 siswa yang mungkin mengalami adiksi tersebut dapat dikategorikan mengalami adiksi parah, dan sisanya mungkin dapat masuk kategori adiksi ringan. Maka, dapat diperkirakan prevalensi orang yang mengalami kecanduan <em>game</em> di antara pemain <em>game</em> adalah sekitar 6,1% di Indonesia. </p>
<p>Data jumlah <em>gamer</em> di Indonesia yang tersedia hanya dikeluarkan oleh lembaga bisnis. Data terbaru, pada 2017, menurut lembaga riset pemasaran asal Amsterdam, Newzoo, <a href="https://newzoo.com/insights/infographics/the-indonesian-gamer-2017/">ada 43,7 juta gamer (56% di antaranya laki-laki) </a>di negeri ini, yang membelanjakan total US$ 880 juta. Jumlah pemain <em>game</em> Indonesia <a href="http://teknologi.metrotvnews.com/game/0Kvmxpok-pasar-game-indonesia-salah-satu-tertinggi-sedunia">terbanyak di Asia Tenggara,</a> yang bermain <em>game</em> di telepon pintar, <em>personal computer</em> dan <em>laptop</em>, serta konsul. </p>
<p>Dengan prakiraan prevalensi 6,1% pemain <em>game</em> mengalami kecanduan, maka dapat diperkirakan bahwa saat ini terdapat 2,7 juta pemain <em>game</em> yang mungkin kecanduan. </p>
<h2>Bahaya kecanduan <em>game</em></h2>
<p>Menurut ICD-11, kecanduan <em>game</em> adalah pola perilaku bermain <em>game</em> (<em>online</em> maupun <em>offline</em>, <em>game</em> digital maupun <em>video game</em>) dengan beberapa pertanda berikut: </p>
<ol>
<li>Tidak dapat mengendalikan keinginan bermain <em>game</em>. </li>
<li>Lebih memprioritaskan bermain <em>game</em> dibandingkan minat terhadap kegiatan lainnya. </li>
<li>Seseorang terus bermain <em>game</em> meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat.</li>
</ol>
<p>Seseorang bisa didiagnosis kecanduan <em>game</em> oleh psikolog atau psikiater bila ia memiliki pola bermain <em>game</em> yang cukup parah hingga berdampak buruk terhadap dirinya pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan, dan hal-hal penting lainnya. Psikolog atau psikiater biasanya baru dapat memberikan diagnosis setelah pola kecanduan <em>game</em> seseorang berlangsung selama setidaknya 12 bulan, walau syarat waktu ini bisa dipersingkat bila dampak buruk bermain <em>game</em> ke kehidupannya sehari-hari sangat terlihat nyata.</p>
<p>Dalam artikel lain saya menjelaskan bahwa banyak hal yang dianggap biasa, tapi masuk dalam kategori <a href="https://theconversation.com/psikolog-menyarankan-anda-berhenti-menggunakan-label-orang-gila-mengapa-92414">gangguan mental</a>. Kalau menggunakan klasifikasi ICD-11, ada hal-hal yang dianggap biasa yang masuk sebagai kategori gangguan mental 6C48 seperti gangguan karena penggunaan kafein.</p>
<h2>Fungsi diagnosis</h2>
<p>Melihat alasan WHO, mereka memutuskan untuk memasukkan kecanduan <em>game</em> sebagai sebuah kategori di ICD-11 supaya mereka dapat mengukur berapa banyak yang terkena masalah ini. Dengan demikian, WHO nantinya dapat memperkirakan berapa dampak masalah kecanduan <em>game</em> ke kesehatan masyarakat.</p>
<p>Diagnosis memang pedang bermata dua. Di satu sisi, diagnosis dapat meningkatkan risiko stigma dan munculnya patologisasi sebuah perilaku normal. Di sisi lain, diagnosis seperti ini dapat digunakan oleh tenaga kesehatan untuk membuat rancangan terapi, memperkirakan lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan pasien, dan melakukan penelitian demi peningkatan pemahaman kita mengenai diagnosis tersebut.</p>
<h2>Apa yang bisa kita lakukan?</h2>
<p>Diagnosis kecanduan <em>game</em> dan penanganannya harus dilakukan oleh psikolog atau psikiater. Tapi orang tua dan guru dapat menggunakan ciri pertama dari diagnosis kecanduan <em>game</em> untuk mengetahui apakah seseorang di dekatnya mungkin memiliki kecanduan <em>game</em> atau tidak. </p>
<p>Ciri yang mudah dikenali adalah orang kehilangan kontrol terhadap perilaku bermain <em>game</em>. Misalnya, kita bisa bertanya kepada orang tersebut apakah dia mampu tidak main <em>game</em> sama sekali selama sehari? Apakah sulit untuk bertahan tidak main <em>game</em> sama sekali selama seharian penuh? Kalau jawabannya “tidak mampu” dan “sulit”, mungkin orang tersebut boleh diantar ke psikolog atau psikiater untuk diperiksa lebih lanjut.</p>
<p>Selain itu, <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0061098">kuesioner</a> yang kami buat juga dapat dijadikan alat bantu skrining, dengan patokan skor di atas 22 masuk kategori kecanduan <em>game</em>. Bila orangnya tidak ingin pergi ke psikolog atau psikiater, tidak perlu dipaksakan. Bila orang tersebut tidak ingin berhenti bermain game, perlu berhati-hati karena orang yang kecanduan <em>game</em> akan marah dan dapat berperilaku agresif bila tiba-tiba tidak dapat bermain <em>game</em> lagi. </p>
<p>Bagaimana bila Anda sendiri merasa kecanduan <em>game</em>? Pertama, Anda perlu pelan-pelan menahan diri agar tidak selalu main <em>game</em> saat ingin main <em>game</em>, dan melakukan kegiatan yang membuat Anda tidak dapat main <em>game</em>. </p>
<p>Misalnya, saat di rumah Anda tiba-tiba ingin main <em>game</em>, maka Anda dapat segera keluar rumah dan pergi ke mal (sehingga Anda tidak bisa main <em>game</em>). Kalau Anda bermain <em>game</em> di telepon pintar, cobalah HP yang ada <em>game</em> itu tidak selalu berada di kantong Anda atau di dekat Anda. </p>
<p>Kedua, Anda perlu meminta bantuan dari orang terdekat agar menjadi sumber dukungan emosional saat keinginan bermain <em>game</em> muncul dan Anda perlu menahan diri agar tidak bermain <em>game</em>. Saat ini terjadi, Anda dapat menelepon atau berbicara dengan mereka agar atensi Anda teralihkan dari dorongan ingin main <em>game</em>.</p>
<p>Anda perlu yakin bahwa suatu tindakan yang dimulai pasti bisa diakhiri, begitu juga menghentikan kecanduan <em>game</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99029/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Edo S. Jaya pernah menerima dana dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Universitas Tarumanegara pada 2012 untuk riset tentang kecanduan game online di kalangan pelajar.</span></em></p>WHO memutuskan kecanduan game sebagai sebuah kategori di ICD-11 supaya mereka dapat mengukur berapa banyak yang terkena masalah ini.Edo S. Jaya, Lecture at Faculty of Psychology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.