tag:theconversation.com,2011:/nz/topics/lembaga-pemasyarakatan-57687/articlesLembaga Pemasyarakatan – The Conversation2023-08-08T05:52:41Ztag:theconversation.com,2011:article/2107902023-08-08T05:52:41Z2023-08-08T05:52:41Z‘Mantan’ sebagai mitra: bagaimana mantan ekstremis berperan dalam deradikalisasi dan kontraterorisme<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/540959/original/file-20230803-29-szsz85.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=9%2C0%2C5997%2C4268&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi tindak pidana terorisme.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/concept-terrorism-silhouette-terrorist-on-city-361591325">Prazis Images/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Mengingat tingkat kompleksitasnya, upaya untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan (<em>preventing and countering violent extremism</em>) perlu melibatkan berbagai pihak. Anjuran ini telah diatur dalam <a href="https://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/Handbook_on_VEPs.pdf">berbagai panduan</a> program P/CVE yang diterbitkan oleh sejumlah lembaga internasional. </p>
<p>Salah satu pihak yang keterlibatannya mulai diperhitungkan oleh pembuat kebijakan dan praktisi adalah para “mantan”.</p>
<p>Mantan di sini merujuk pada dua kategori. Pertama, para mantan narapidana terorisme yang sudah meninggalkan paham ekstremisme mereka dan kini berperan aktif membantu pemerintah dalam upaya deradikalisasi.</p>
<p>Kedua, mereka yang masih berstatus sebagai narapidana, tapi sudah meninggalkan paham dan kelompok lamanya, dan bersedia membantu “memulihkan” narapidana terorisme lain.</p>
<p>Dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme, para mantan ini mulai dipandang sebagai <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1057610X.2016.1154365?journalCode=uter20">“agen perubahan sosial”</a> atau <a href="https://www.bnpt.go.id/bnpt-ri-dorong-mitra-deradikalisasi-bagikan-pemahaman-yang-benar-kepada-masyarakat">“mitra deradikalisasi”</a>.</p>
<h2>Keterlibatan mantan ekstremis dalam pencegahan</h2>
<p>Mantan ekstremis dapat <a href="https://www.ojp.gov/pdffiles1/nij/grants/249936.pdf">terlibat</a> dalam tiga jenis pencegahan. </p>
<p>Pertama adalah pencegahan primer, yakni melalui kontranarasi atau penyampaian narasi alternatif kepada komunitas-komunitas yang rentan terpapar ekstremisme.</p>
<p>Di <a href="https://journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/view/463">Jerman</a>, praktik ini dapat ditemukan dalam program <a href="https://home-affairs.ec.europa.eu/networks/radicalisation-awareness-network-ran/collection-inspiring-practices/ran-practices/exit-deutschland_en">EXIT-Germany</a>, sebuah inisiatif untuk membantu siapa saja yang ingin lepas dari paham ekstremisme sayap kanan dan memulai hidup baru, dan <em><a href="https://journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/view/463/279">Project 21 II</a></em>, program pembekalan ke sekolah-sekolah mengenai bahaya keterlibatan dalam ekstremisme, yang memberdayakan para mantan penganut paham ekstremisme. Untuk konteks Jerman, mayoritas ekstremis biasanya terkait dengan nazisme, meskipun ada pula ideologi jihadisme.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541675/original/file-20230808-21-4urabr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Narapidana tindak pidana terorisme Darwis (tengah) mencium bendera Merah Putih usai mengucap ikrar setia kepada NKRI di Lapas Kelas II B Tegal, Jawa Tengah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1689067807&getcod=dom">Oky Lukmansyah/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua adalah pencegahan sekunder, yakni dilakukan lewat kontra-narasi dan diskusi dengan orang-orang yang terindikasi sudah terpapar tapi belum melakukan tindak terorisme.</p>
<p>Di <a href="https://www.rand.org/pubs/research_reports/RR2813.html">Amerika Serikat (AS)</a>, para mantan ekstremis bergabung dalam program <a href="https://www.lifeafterhate.org/exitusa-client/">ExitUSA</a>, program yang dijalankan oleh mantan ekstremis kekerasan untuk membantu mereka yang ingin keluar dari gerakan ekstremisme. Program ini untuk meruntuhkan narasi yang dibangun kelompok ekstrem dan berdiskusi secara daring dengan simpatisan atau anggota kelompok ekstrem guna melunakkan ideologi keras mereka atau mencegah mereka “naik tingkat” menjadi pelaku aksi teror. </p>
<p>Ketiga adalah pencegahan tersier. Ini dilakukan terhadap para narapidana teroris, dengan mengundang para mantan ke suatu penjara untuk mengisi program rehabilitasi melalui <a href="https://drive.google.com/file/d/1iVZz6xV2FwOx1sdQeJamQnV8YLDU3p3Z/view">dialog moderasi</a>.</p>
<h2>Peran para mantan di lapas</h2>
<p>Dalam sistem pemasyarakatan, mantan dapat terlibat dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi.</p>
<p><a href="https://ce-classes.com/exam_format/b1e704c8b2bcb7528aaec20e6fd0f2c9.pdf">Rehabilitasi</a> adalah rangkaian luas program layanan psikososial yang dirancang untuk membantu narapidana mengatasi perilaku kriminal dan membuat hidup mereka lebih bermakna dan produktif.</p>
<p>Sementara <a href="https://www.publicsafety.gc.ca/cnt/rsrcs/pblctns/scl-rntgrtn/scl-rntgrtn-eng.pdf">reintegrasi</a> adalah dukungan yang diberikan kepada narapidana selama proses mereka berbaur kembali ke masyarakat. Proses reintegrasi hanya dapat diikuti oleh narapidana yang dianggap sudah dapat dikembalikan ke masyarakat.</p>
<p>Pada proses rehabilitasi, mantan ekstremis dilibatkan sebagai narasumber dalam program dialog antara mantan dengan narapidana teroris.</p>
<p>Di lapas-lapas super ketat, misalnya, terdapat program Safari Dakwah (<a href="https://www.jstor.org/stable/27140394">di Nusakambangan</a>) dan Tim Proklamasi (di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=GhFScATdA_Q">Gunung Sindur, Bogor</a>), yang memberdayakan narapidana terorisme untuk kooperatif sebagai narasumber. Kedua program tersebut bertujuan untuk mendukung proses perubahan sikap dan perilaku napi teroris berisiko tinggi melalui dialog intensif mengenai berbagai macam hal, mulai dari ideologi, agama, hingga persoalan pribadi.</p>
<p>Di lapas-lapas berpengamanan lebih rendah, biasanya yang dilibatkan adalah para mantan narapidana terorisme. Mereka diberi kesempatan untuk mengunjungi atau menghubungi narapidana terorisme yang sudah mengalami penurunan risiko.</p>
<p>Komunikasi dengan para mantan ekstremis ini diyakini dapat menjaga dan bahkan menguatkan perubahan sikap dan perilaku yang sudah terjadi. Beberapa mantan ekstremis datang dengan status sebagai ahli agama, beberapa yang lain sebagai teman atau tokoh.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541676/original/file-20230808-21-rzkgxq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Gelar perkara pengungkapan kasus terorisme oleh Polri.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691148010&getcod=dom">Mohammad Ayudha/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sementara itu, pada proses reintegrasi, mantan ekstremis turut mendukung program bimbingan dan pengawasan. Beberapa dari mereka secara suka rela mengajak klien teroris lainnya untuk mengikuti program yang diselenggarakan negara.</p>
<p>Di <a href="https://drive.google.com/file/d/1iVZz6xV2FwOx1sdQeJamQnV8YLDU3p3Z/view">Malang</a>, contohnya, seorang mantan ekstremis yang menjalani hidup sukses setelah keluar penjara berhasil meyakinkan seorang rekannya yang bebas murni (yang kerap diasumsikan masih berisiko tinggi) untuk mengikuti program pebimbingan. </p>
<p>Selain itu, ada organisasi bentukan para mantan napi terorisme bernama Yayasan Dekat Bintang dan Langit (<a href="https://ruangobrol.id/2021/11/29/ulasan/yayasan-debintal-sebuah-upaya-pemberdayaan-eks-napiter-di-bekasi-utara/">DeBintal</a>) yang menyediakan rumah singgah bagi mantan napi terorisme yang menjalani proses reintegrasi.</p>
<p>Tujuan utama dari adanya <a href="https://www.voaindonesia.com/a/memberdayakan-mantan-teroris-dari-bisnis-telur-puyuh-hingga-deradikalisasi-napiter/6665520.html">rumah singgah</a> ini adalah agar para mantan ekstremis yang menemui masalah selama proses kembali ke masyarakat memiliki komunitas sementara yang dapat menerima mereka. Keberadaan rumah singgah sangatlah penting untuk mencegah mereka mengalami penolakan di masyarakat luas yang ditakutkan akan membuat mereka kembali ke kelompok ekstremisnya.</p>
<h2>Apakah para mantan ini kredibel?</h2>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/258134806_Media_Credibility_-_Experience_or_Image_A_Survey_on_the_Credibility_of_the_World_Wide_Web_in_Germany_in_Comparison_to_Other_Media">Kredibilitas</a> adalah atribut yang harus melekat pada komunikator sehingga pesan yang disampaikannya dapat dipercaya. Kredibilitas ini menjadi faktor pertimbangan kunci bagi <em>stakeholder</em> untuk melibatkan mantan ekstremis dalam program deradikalisasi.</p>
<p>Berangkat dari hal tersebut, mereka dapat dilibatkan sebagai <em>“<a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/07/27/narasi-mematikan-yang-menyatu-bentuk-pola-baru-aliran-dana-terorisme">credible voice</a></em>” atau suara yang kredibel.</p>
<p>Meskipun ukuran kredibilitas dapat <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11301-022-00285-6">didefinisikan secara bervariasi</a> dalam berbagai literatur, elemen-elemen yang hampir selalu terasosiasi dengan kredibilitas adalah persepsi, kompetensi, kepercayaan, keyakinan, karakter, kemampuan, kepakaran, ketergantungan, dan kejujuran.</p>
<p>Pada <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/27140394.pdf?refreqid=excelsior%3A758b2429207c29e9ab58dd6812a625a1&ab_segments=&origin=&initiator=&acceptTC=1">konteks</a> pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan, dan hasil wawancara dengan sejumlah narapidana teroris, petugas, dan praktisi, kredibilitas mantan ekstremis biasanya dilihat dari beberapa hal, seperti kesamaan mazhab, kedalaman pemahaman agama, pengalaman, dan posisi dalam gerakan atau kelompok.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541677/original/file-20230808-29-nw5ih1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Olah TKP rumah terduga teroris di Boyolali, Jawa Tengah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691126412&getcod=dom">Aloysius Jarot Nugroho/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada program dialog moderasi di lapas-lapas berpengamanan super ketat, di samping syarat utama sudah kooperatif, mantan ekstremis yang dilibatkan adalah mereka yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni, mempunyai posisi penting dalam kelompok, berpengalaman dalam gerakan, berkemampuan persuasi yang baik, serta memiliki garis ilmu yang sama dengan narapidana terorisme peserta program.</p>
<p>Dengan demikian, dapat dilihat bahwa para mantan ekstremis bisa memainkan berbagai peran penting dalam upaya deradikalisasi; mulai dari sebagai ahli agama, tokoh masyarakat (dalam konteks gerakan teror), teman, hingga pemberi dukungan moril dan psikologis.</p>
<p>Mereka juga dapat membantu perubahan bagi mereka yang masih bimbang apakah mau meninggalkan paham kekerasan dan kelompok lamanya. Bagi mereka yang sudah mengubah sikapnya, para mantan ekstremis juga dapat membantu mempertahankan dan memperkuat perubahan tersebut.</p>
<h2>Pertimbangan dalam pelibatan mantan ekstremis</h2>
<p>Terlepas dari hal-hal di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelibatan mantan program deradikalisasi. </p>
<p>Pertama, terkait keselamatan. Tidak jarang, mantan ekstremis dianggap sebagai sosok kafir dan dimusuhi oleh mereka yang masih menganut paham ekstremisme karena dianggap telah mengkhianati kelompoknya.</p>
<p>Ketika mereka keluar dari kelompoknya itu, mereka dipandang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1057610X.2023.2166000">kehilangan</a> kredibilitasnya. Yang paling berbahaya, mereka juga menerima <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161215105438-20-179784/mantan-pimpinan-ji-nasir-abbas-dipukuli-napi-kasus-teroris">serangan</a> atau <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50408542">ancaman serangan</a> fisik dari narapidana teroris. </p>
<p>Kedua, adanya kekhawatiran mengenai <a href="https://journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/view/749">monetisasi</a> status sebagai mantan ekstremis. Mau tidak mau, harus diakui bahwa para mantan ini mendapatkan insentif dari negara dalam partisipasi mereka. Kebiasaan tersebut dapat berujung pada keengganan untuk terlibat dalam program seandainya tidak ada insentif yang akan mereka peroleh.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/210790/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Iwa Maulana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dan terorisme, para mantan ekstremis mulai dipandang sebagai “agen perubahan sosial” atau “mitra deradikalisasi” yang dapat dilibatkan.Iwa Maulana, Researcher, Center for Detention Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1679042021-09-22T04:06:13Z2021-09-22T04:06:13Z‘Overcrowding’ adalah akar masalah berbagai persoalan di lapas dan rutan, termasuk risiko kebakaran fatal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/422284/original/file-20210921-13-1rji0vc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1940%2C1363&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas memadamkan Kebakaran di Lapas Kelas IIA Banceuy di Bandung, Jawa Barat menyusul sebuah kerusuhan di dalam lapas pada April 2016.</span> <span class="attribution"><span class="source">Agus Bebeng/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Awal bulan ini, sebuah kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, <a href="https://metro.tempo.co/read/1508234/polisi-tetapkan-3-sipir-jadi-tersangka-kasus-kebakaran-lapas-tangerang/full&view=ok">menewaskan setidaknya 49 orang narapidana</a> dan menyebabkan lebih dari 70 orang lainnya terluka. </p>
<p>Namun, wacana kebakaran di Lapas Tangerang tidak boleh berhenti hanya korban dan kerugian. Harus ada dorongan untuk memahami mengapa tragedi tersebut terjadi dan bagaimana tidak terus berulang.</p>
<p>Nyata bahwa kebakaran di lapas atau rumah tahanan (rutan) kerap terjadi. Pemantauan oleh koalisi masyarakat sipil mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir saja terjadi <a href="https://nasional.tempo.co/read/1504543/13-kebakaran-lapas-dalam-3-tahun-terakhir-10-di-antaranya-over-kapasitas">13 kasus kebakaran di lapas</a>. </p>
<p>Sebelum itu, ada juga beberapa kasus kerusuhan yang berujung pada kebakaran seperti di <a href="https://nasional.tempo.co/read/495696/ini-penyebab-rusuh-dan-kebakaran-tanjung-gusta">Lapas Tanjung Gusta di Sumatera Utara pada 2013</a> dan <a href="https://news.detik.com/berita/d-3175472/5-napi-tewas-saat-rutan-bengkulu-terbakar-ini-penjelasan-lengkap-kapolda-bengkulu">Rutan di Bengkulu pada 2016</a>.</p>
<p>Pemicu kebakaran di lapas atau rutan tidaklah seragam. Kebakaran dapat dipicu oleh <a href="https://katadata.co.id/rezzaaji/berita/61386cc5c9b6c/penyebab-kebakaran-lapas-dari-kerusuhan-hingga-korsleting-listrik">kerusuhan di dalam, bagian upaya melarikan diri, masalah kompor gas, hingga arus pendek listrik</a>. </p>
<p>Pemicu kebakaran penting untuk diketahui. Tapi, penyebab paling mendasar (<a href="https://digitalcommons.nyls.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1190&context=journal_of_human_rights"><em>cause of the causes</em></a>) dari kasus-kasus kebakaran di lapas atau rutan adalah jumlah penghuni melebihi daya tampung (<em>overcrowding</em>).</p>
<p>Masalah mendasar ini sudah sejak lama menyebabkan berbagai masalah lain, seperti ketidaklayakan kondisi hunian, kesulitan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban, serta terhambatnya pelaksanaan keselamatan (<em>safety</em>) dan keamanan (<em>security</em>).</p>
<p>Tulisan ini akan menjelaskan tentang permasalahan <em>overcrowding</em> sebagai penyebab dasar yang tidak boleh diabaikan, dampaknya terhadap aspek keselamatan dan keamanan di lapas, serta pertanggungjawaban atas kebakaran yang terjadi.</p>
<h2><em>Overcrowding</em> dan kebakaran</h2>
<p>Menteri Hukum dan HAM <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210908205134-12-691689/yasonna-tuding-uu-narkotika-biang-kerok-lapas-over-kapasitas">Yasonna Laoly</a> mengakui bahwa membludaknya narapidana narkotika berkontribusi besar terhadap <em>overcrowding</em>, yang kemudian menjadi faktor penting dalam terjadinya kebakaran. </p>
<p>Kelompok masyarakat sipil <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/09/08/20063661/koalisi-masyarakat-sipil-tiga-tahun-terakhir-13-lapas-terbakar?page=all">menggarisbawahi</a> bahwa kasus kebakaran lapas yang terjadi tidak boleh dilepaskan dari masalah kronis ini pada lapas dan rutan di Indonesia.</p>
<p>Kelebihan penghuni memang bukanlah penyebab langsung dari kebakaran yang terjadi, tapi ia menimbulkan beberapa faktor pemicu kebakaran seperti kerusuhan, upaya melarikan diri oleh tahanan, dan arus pendek listrik.</p>
<p><em>Overcrowding</em> membuat narapidana — yang berbagai hak dasarnya telah tercabut ketika masuk ke dalam sistem pemasyarakatan — tidak menerima hak dan kebutuhan mereka dengan semestinya.</p>
<p>Kualitas hidup narapidana yang buruk dapat memicu ketidakpercayaan kepada petugas dan institusi lapas, yang berujung pada <a href="https://www.ojp.gov/pdffiles1/Photocopy/148286NCJRS.pdf">perlawanan terhadap otoritas</a>.</p>
<p>Di antara para narapidana, kondisi hidup yang buruk disertai kepadatan hunian yang sangat tinggi membuat gesekan lebih mudah terjadi. </p>
<p>Sebagaimana sering dikemukakan para petugas di lapangan, “saling bertukar pandang biasa pun dapat berujung pada perkelahian.” </p>
<p>Ketika terjadi kerusuhan atau perkelahian berskala besar dan terdapat sumber api, maka peluang terjadinya kebakaran menjadi lebih tinggi.</p>
<p>Selain itu, <em>overcrowding</em> juga membuat petugas menjadi lebih kesulitan untuk mengawasi dan memeriksa setiap ruangan, tempat, dan narapidana di lapas. </p>
<p>Akibatnya, narapidana dapat mencuri-curi sambungan listrik tanpa sepengetahuan petugas lapas. Ketika terdapat penggunaan listrik yang terlalu besar, lalu terjadi korsleting, maka terjadi apa yang <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/kebakaran-lapas-tangerang-diduga-dari-handphone-kemenkum-ham-serahkan-ke-polisi.html">diduga</a> sebagai arus pendek listrik yang menyebabkan kebakaran.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mau-dibawa-ke-mana-penjara-kita-100821">Mau dibawa ke mana penjara kita?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Aspek keselamatan dan keamanan</h2>
<p>Peristiwa kebakaran yang terjadi menunjukkan kegagalan dalam melaksanakan penyelamatan dan pengamanan di lapas.</p>
<p>Dari sisi keselamatan, sarana dan prasarana menjadi faktor yang sangat berpengaruh. </p>
<p>Pada kasus Lapas Tangerang, usia bangunan yang sudah tua membuat bangunan menjadi lebih rentan terhadap api dan kebakaran besar. Kemudian ada juga permasalahan alat pemadam kebakaran di lapas yang tidak tersedia atau berfungsi dengan baik. </p>
<p>Selanjutnya, ada kekurangan kemampuan personil untuk menghadapi bencana kebakaran. Di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, sebetulnya sudah ada “<a href="https://e-sop.kemenkumham.go.id/direktorat-jenderal-pemasyarakatan/direktorat-keamanan-dan-ketertiban/kelompok-jabatan-fungsional/send/202-kelompok-jabatan-fungsional/1663-sop-penanggulangan-bencana">Panduan Penanggulangan Bencana</a>”, yang di dalamnya mencakup prosedur penanganan kebakaran. Apakah prosedur tersebut sudah dipahami dengan baik oleh petugas?</p>
<p>Keberadaan prosedur tidak akan efektif tanpa penguatan kapasitas petugas untuk menjalankannya. </p>
<p>Petugas jadi diminta melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak sepenuhnya mereka mengerti, sehingga sumber kesalahan tidak semata-mata dapat diarahkan kepada petugas, tapi juga kepada ketiadaan pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan.</p>
<p>Dari sisi keamanan, harus dipahami bahwa dalam sistem pemasyarakatan, keamanan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari ketertiban. Kondisi aman yang tidak tertib, menciptakan keamanan semu. Sementara kondisi tertib, tidak akan tercapai bila tidak ada rasa aman. </p>
<p>Di tengah kondisi lapas melebihi kapasitas, petugas dipaksa untuk memberi penekanan yang besar pada keamanan. </p>
<p>Untuk menghindari kerusuhan karena komposisi petugas dan narapidana yang sangat timpang, tidak jarang petugas dipaksa berkompromi.</p>
<p>Akibat kompromi ini, kondisi lapas mungkin saja aman, tapi belum tentu tertib.</p>
<p>Ini yang tampaknya terjadi di Lapas Tangerang. Kondisi <em>overcrowding</em> yang mencapai <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/432131/komnas-ham-lp-kelas-i-tangerang-over-kapasitas-240">240%</a> membuat pemeriksaan atas penyalahgunaan alat elektronik dan saluran listrik terabaikan. Selama narapidana tidak berulah, maka petugas mungkin membiarkan pelanggaran tersebut sebagai bentuk kompromi.</p>
<p>Lebih lanjut, pengamanan dan penguncian bukan hal yang sama. Jika narapidana terkunci di dalam kamarnya, maka bukan berarti kondisi lapas sudah aman. </p>
<p>Karena sumber gangguan keamanan tidak selalu berasal dari narapidana, tapi bisa saja dari benda-benda lain yang ada di dalam kamar, seperti saluran listrik tadi. </p>
<p>Oleh sebab itu, sistem penguncian, konsolidasi kunci, dan langkah cepat pembukaan pintu kamar dalam keadaan darurat seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari keamanan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820">Mencegah penyebaran COVID-19 di penjara tidak cukup hanya dengan membebaskan narapidana</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pertanggungjawaban</h2>
<p>Kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang adalah tanggung jawab negara. Dalam kerangka <a href="https://www.jstor.org/stable/29768358"><em>state crime</em>,</a>, negara telah melakukan kejahatan terhadap para narapidana dengan membiarkan kondisi <em>overcrowding</em> terus berlanjut. </p>
<p><em>Overcrowding</em> penjara menyebabkan <a href="https://scielo.isciii.es/pdf/sanipe/v14n3/en_06_revision2.pdf">kesehatan fisik dan mental dari narapidana memburuk</a>; pada kasus paling ekstrem bahkan “membunuh” narapidana melalui penyakit menular, kerusuhan, atau kebakaran.</p>
<p>Kita harus menagih pada negara agar penegak hukum mengurangi kegemaran mereka untuk mengirim orang ke lapas. </p>
<p>Pengurangan arus masuk manusia ke lapas harus diperkecil, dimulai dengan tidak memenjarakan pengguna dan pecandu narkotika, serta mengoptimalkan implementasi hukuman non-penjara untuk pidana-pidana ringan. </p>
<p>Kita perlu menuntut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk menyamakan persepsi penegak hukum agar tidak terus-menerus berorientasi pada pemenjaraan.</p>
<p>Masyarakat perlu mempertanyakan pada Menteri Hukum dan HAM mengapa penyelenggaraan hukum masih membuat lapas menanggung beban yang begitu berat, sehingga terdapat potensi bencana kemanusiaan yang besar. </p>
<p>Kita perlu mendorong Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan jajarannya untuk memperbaiki kondisi hunian di lapas, memeriksa kondisi lapas secara berkala, dan juga memberi hak integrasi bagi para narapidana yang sudah memenuhi persyaratan, sehingga arus keluar penjara dapat lebih besar.</p>
<p>Pengurangan arus masuk dan optimalisasi pengeluaran narapidana <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/15/hingga-2025-lapas-tetap-overcrowding-perlu-suntikan-dana-rp-382-triliun-untuk-tambah-kapasitas/">belum mampu menyelesaikan masalah <em>overcrowding</em> dalam lima tahun ke depan</a>. Namun, ini setidaknya dapat menghambat laju penambahan jumlah penghuni yang sejak lima tahun terakhir sudah tidak terkendali.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167904/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Center for Detention Studies merupakan salah satu mitra kunci Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam reformasi pemasyarakatan Indonesia.</span></em></p>Harus ada pertanggung jawaban dari pemerintah atas kebakaran di lapas dengan menyelesaikan penyebab mendasarnya: overcrowding.Iwa Maulana, Researcher, Center for Detention Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1565762021-03-18T06:51:47Z2021-03-18T06:51:47ZNapi terorisme perempuan: dianggap berperan kecil di jaringan teroris, terpinggirkan di penjara<p>Perkembangan sistem penanganan napi teroris perempuan tidak secepat peningkatan jumlah. Stereotip keliru tentang napi terorisme perempuan - antara kolaborator pasif atau monster dengan gangguan jiwa - serta jumlah mereka yang relatif sedikit membuat mereka bukan prioritas. </p>
<p>Akibatnya, pembinaan napi teroris perempuan dibebankan secara tidak seimbang kepada lembaga pemasyarakatan (lapas), khususnya wali pemasyarakatan. Mereka harus berinovasi dari prosedur yang ada dan mencoba berbagai cara untuk membina napi teroris. </p>
<p>Padahal, itu tidak cukup untuk mengakomodasi kebutuhan dan memonitor dinamika napi teroris perempuan dalam penjara, misalnya mengasuh anak, pentingnya menjaga aurat, dan berinteraksi dengan lawan jenis. </p>
<p>Namun, sebuah peraturan presiden baru tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/157948/perpres-no-7-tahun-2021">RAN-PE</a>), yang disahkan Januari ini, diharapkan bisa mengatasi hal ini. </p>
<h2>Perempuan dalam jaringan kekerasan</h2>
<p><a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44097913">Aksi Bom Surabaya</a> di Jawa Timur pada 2018 yang dilakukan satu keluarga, termasuk ibu dan anak-anaknya, cukup membuka mata publik akan peran perempuan dalam aksi teror. </p>
<p>Sayangnya, stereotip bahwa perempuan hanya berperan sebagai pemeran pendukung dan tidak memiliki keberdayaan masih kental. Selama ini, citra perempuan dalam jaringan terorisme terkesan liyan. </p>
<p>Perempuan seringkali dianggap secara naluriah cinta damai dan diposisikan sebagai <a href="https://genderandsecurity.org/projects-resources/research/duped-examining-gender-stereotypes-disengagement-and-deradicalization">korban yang mudah terperdaya</a>. </p>
<p>Mereka dianggap tidak berdaya dan hanya dimanfaatkan oleh jaringannya karena <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4283057/bnpt-perempuan-banyak-dilibatkan-dalam-terorisme-karena-setia">loyal, setia, dan patuh</a> terhadap suami dan ajaran agama.</p>
<p><a href="https://asumsi.co/post/riset-bnpt-2020-perempuan-paling-potensial-terpapar-radikalisme">Riset Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun lalu</a> menyatakan perempuan paling potensial terpapar radikalisme karena mudah mendapat pengaruh dari sekitar. Padahal perbedaan jumlah perempuan dan laki-laki yang terpapar radikalisme dalam riset itu hanya 0.2%. </p>
<p>Kalaupun ada kasus perempuan yang terlibat aktif dalam aksi kekerasan, sosoknya digambarkan <a href="https://tirto.id/polisi-terduga-teroris-perempuan-lebih-militan-dibanding-laki-laki-djwU">lebih militan</a>, seperti monster, bahkan memiliki gangguan kejiwaan. </p>
<p>Asumsi pasifnya peran perempuan dalam kelompok ekstremis kekerasan sebenarnya sudah <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/58/Mothers-to-Bombers-The-Evolution-of-Indonesian-Women-Extremists">sangat usang</a>.</p>
<p>Stereotip lama yang terus menjadi dasar pengambilan kebijakan berpotensi menghambat upaya pencegahan dan deradikalisasi. </p>
<p>Peran perempuan dalam kelompok teror disepelekan; ini mempermudah kelompok teror untuk memanfaatkan mereka dalam aksi-aksinya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-melibatkan-organisasi-masyarakat-sipil-dalam-program-deradikalisasi-pemerintah-132363">Pentingnya melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam program deradikalisasi pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penanganan dan pembinaan dalam Lapas</h2>
<p>Dalam lima tahun ke belakang, jumlah tahanan dan napi teroris perempuan meningkat signifikan. Institute for Policy Analysis for Conflict (IPAC) <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/97/Extremist-Women-Behind-Bars-in-Indonesia">mencatat</a> jumlah tahanan dan napi teroris perempuan mencapai 39 orang antara tahun 2000-2020. Di tahun 2018-2019 saja, kepolisian menangkap lebih dari 30 terduga teroris perempuan. </p>
<p>Sebagian besar tahanan perempuan ditempatkan di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, sementara 11 narapidana per akhir 2020 ditempatkan di sembilan lembaga permasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia. </p>
<p>Ini berarti hanya satu atau dua orang napi terorisme perempuan di setiap lapas, dan memudahkan pengawasan dan pembinaan secara intensif. </p>
<p>Namun, kemampuan lapas dalam menangani napi terorisme perempuan tidak seragam. </p>
<p>Absennya standar prosedur operasi untuk napi terorisme perempuan menjadikan penanganan semakin pelik.</p>
<p>Petugas lapas, yaitu wali pemasyarakatan, pada akhirnya harus berinovasi dalam mengembangkan program pembinaan bagi napi terorisme perempuan.</p>
<p>Beberapa wali lebih berpengalaman karena beberapa kali mendampingi napi teroris dan telah mengikuti pelatihan khusus, tapi sebagian besar lainnya tidak. </p>
<p>Peran wali sangat krusial dalam program pembinaan karena mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan napi. </p>
<p>Rasa percaya dan komunikasi yang terus mereka bangun dengan napi, dalam banyak kasus, mampu mengubah kerasnya hati napi menjadi lebih terbuka. </p>
<p>Hal ini dibantu dengan lingkungan dan teman-teman satu sel yang mendukung perkembangan napi, serta kontrol lapas untuk menjauhkan mereka dari pengaruh kelompok ekstremis, dan menghubungkan kembali dengan keluarga dan relasi lama dari luar kelompok ekstremis. </p>
<p>Upaya-upaya seperti ini seringkali <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/97/Extremist-Women-Behind-Bars-in-Indonesia">lebih efektif</a> dibandingkan program formal seperti konseling keagamaan dan wawasan kebangsaan yang menekankan pada ‘NKRI harga mati’. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-propaganda-teroris-meradikalisasi-perempuan-98773">Bagaimana propaganda teroris meradikalisasi perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Aspek penting lainnya adalah pengukuran risiko yang mencakup penilaian psikologis dan tingkat radikalisme. </p>
<p>Hasil pengukuran ini digunakan untuk penempatan napi dalam sel, derajat keamanan yang perlu dipersiapkan lapas, serta penyusunan program pembinaan dalam lapas. </p>
<p>Hingga saat ini, <a href="https://journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/view/317">belum ada kesepakatan</a> instrumen pengukuran risiko yang paling efektif dan efisien untuk digunakan pada napi terorisme di lapas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak. </p>
<p>Isu-isu ini tidak terlepas dari permasalahan umum di lapas perempuan: <a href="https://www.insideindonesia.org/overcrowding-crisis">kelebihan kapasitas</a>, <a href="https://www.ombudsman.go.id/produk/lihat/321/SUB_BL_5a25a712a8fc9_file_20200127_162304.pdf">maraknya korupsi</a>, minimnya <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/IJPH-06-2017-0031/full/html">fasilitas kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui</a>, serta kurangnya perhatian pada kesehatan mental napi. </p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.who.int/bulletin/volumes/87/6/09-066928/en/">studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> pada 2009, napi perempuan lebih rentan mengalami permasalahan psikologis karena berbagai faktor, termasuk di antaranya pengalaman kekerasan serta rasa cemas dan trauma setelah berpisah dengan anak. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-pemerintah-perlu-memulangkan-keluarga-eks-isis-132001">Analisis: pemerintah perlu memulangkan keluarga eks ISIS</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Acuan penanggulangan dan pencegahan ektremisme</h2>
<p>Setelah tertunda lebih satu tahun karena pandemi COVID-19, Januari kemarin, pemerintah akhirnya mengesahkan <a href="https://setkab.go.id/inilah-perpres-rencana-aksi-nasional-pencegahan-dan-penanggulangan-ekstremisme-berbasis-kekerasan/">acuan</a> untuk pencegahan dan penanggulangan ekstremisme yang melibatkan kekerasan dan mengarah pada terorisme. </p>
<p>Salah satu fokus dalam RAN-PE adalah pentingnya pengembangan mekanisme pengukuran risiko dan pengelolaan napi teroris perempuan dan anak yang dipimpin oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas). </p>
<p>Hal tersebut sedikit banyak menjawab permasalahan sistem penanganan tahanan dan napi teroris perempuan yang sejauh ini belum komprehensif. </p>
<p>Perubahan penanganan napi teroris perempuan tidak hanya melibatkan aspek teknis-administratif, tetapi juga persoalan cara pikir.</p>
<p>Pemerintah di segala lini perlu memahami bahwa perempuan memiliki peran yang sama aktifnya dengan laki-laki. Oleh karena itu, pendalaman pada peran dan jaringan perempuan juga sama diperlukannya seperti jaringan laki-laki. </p>
<p>Perlunya pemahaman ini juga memperkuat alasan untuk meningkatkan kemampuan personel, baik di kepolisian maupun petugas lapas terkait perspektif gender. </p>
<p>Ini bukan berarti menambah personel perempuan semata, seperti yang telah dilakukan beberapa tahun ke belakang, melainkan memastikan bahwa petugas mampu membuat inovasi program dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan napi teroris perempuan. </p>
<p>Terkait penanganan dalam lapas, Ditjenpas perlu mengembangkan standar prosedur penanganan napi terorisme perempuan yang mengakomodasi aspek hak asasi manusia perempuan, sambil mempertimbangkan aspek keamanan dan efektivitas program pembinaan. </p>
<p>Sistem pemberian insentif kepada wali/pamong yang kreatif dan inovatif juga diperlukan untuk memberikan dorongan kepada mereka.</p>
<p>Ditjenpas dan BNPT juga perlu sepakat bahwa pakta setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan menjadi tujuan utama dalam program pembinaan, melainkan rasa percaya dan terbangunnya hubungan yang baik dengan napi sehingga ada perubahan sikap dari menerima ke menolak kekerasan. </p>
<p>Terakhir, kita perlu memastikan proses reintegrasi ke masyarakat dapat berjalan dengan baik. </p>
<p>Stigma dan pelabelan pada napi teroris perempuan dan istri napi teroris mempersulit ruang gerak mereka untuk berfungsi dalam masyarakat seperti biasa. </p>
<p>Akibatnya, mereka akan kembali ke jaringan lama yang pasti akan menerima mereka. Di sinilah, peran aktif kita diperlukan untuk merangkul mereka kembali.</p>
<hr>
<p><em>Catatan penulis: tulisan ini disusun berdasarkan laporan IPAC <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/97/Extremist-Women-Behind-Bars-in-Indonesia">“Extremist Women Behind Bars in Indonesia</a>” yang terbit pada 21 September 2020.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156576/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dyah Ayu Kartika tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penanganan secara komprehensif mencakup penentuan instrumen penilaian tingkat radikalisasi dan risiko keamanan, penanganan dalam lapas, pembinaan napi, dan program reintegrasi pasca bebas.Dyah Ayu Kartika, Analis, Institute for Policy Analysis of Conflict Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1563042021-03-16T02:24:45Z2021-03-16T02:24:45ZLayakkah prioritas vaksin COVID-19 untuk tahanan korupsi?<p>Bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Kesehatan melakukan vaksinasi terhadap <a href="https://nasional.tempo.co/read/1436676/publik-kritik-vaksin-covid-19-untuk-tahanan-korupsi-begini-kpk-menjawab">39 dari 61 tahanan</a>. Kebijakan itu cepat menimbulkan polemik.</p>
<p>Masyarakat mempertanyakan apa urgensinya tahanan KPK mendapat vaksin lebih dulu ketimbang dibandingkan tahanan dan narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas) lain. </p>
<p>Selain itu <a href="https://theconversation.com/menyanggah-keputusan-pemerintah-prioritaskan-vaksinasi-covid-19-untuk-umur-18-59-tahun-153543">masalah</a> <a href="https://theconversation.com/mempersoalkan-keputusan-pemerintah-tak-prioritaskan-vaksinasi-covid-19-untuk-masyarakat-adat-154942">prioritas</a> vaksin di luar penjara pun belum usai. </p>
<p>Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.</p>
<h2>Prioritas vaksin</h2>
<p>Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan – lembaga di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengurusi pemasyarakatan – baru sampai tahap melakukan identifikasi kebutuhan penerima vaksin baik untuk petugas, pejabat dan tahanan serta narapidana di lingkungan lapas.</p>
<p>Per Februari lalu, <a href="http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly">data Ditjen Pemasyarakatan</a> mencatat jumlah tahanan dan narapidana mencapai 252.999 orang dengan komposisi jumlah tahanan 48.509 dan jumlah narapidana 204.805. </p>
<p>Sementara kapasitas rumah tahanan (rutan) dan lapas sebesar 135.704 orang. Maka saat ini narapidana yang ditahan jumlahnya 86% melebihi dari kapasitas (<em>overcrowding</em>) yang ada, sebuah kondisi yang jauh dari kata layak.</p>
<p>Dari 525 rutan dan lapas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 395 di antaranya mengalami <em>overcrowding</em>. </p>
<p>Prioritas pemberian vaksin seharusnya diberikan pada tempat yang memang mengalami <em>overcrowding</em> karena mengalami <a href="https://www.hrw.org/news/2020/03/30/covid-19-threatens-indonesias-overcrowded-prisons">risiko penularan wabah</a> lebih besar. </p>
<p>Skala prioritas untuk tahanan selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan kerentanan dalam konteks kelompok usia misalnya kelompok lanjut usia dan – dalam beberapa jenis vaksin – anak, serta ibu menyusui. </p>
<p>Kondisi kesehatan para narapidana kemudian menjadi kriteria berikut untuk menentukan prioritas. </p>
<p>Vaksin produksi Sinovac yang <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/10-juta-vaksin-sinovac-sudah-diterima-pemerintah-indonesia">digunakan pemerintah</a>, misalnya, <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/17-kelompok-masyarakat-yang-tidak-bisa-divaksin-covid-19-sinovac">tidak dapat diberikan</a> kepada orang-orang yang memiliki kondisi atau riwayat medis, seperti diabetes melitus, asma dan TBC, kecuali dalam kondisi tertentu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/setelah-vaksinasi-apakah-covid-19-akan-segera-terkendali-156943">Setelah vaksinasi, apakah COVID-19 akan segera terkendali?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Piramida kejahatan</h2>
<p>Selain situasi penahanan, ada juga pertimbangan derajat perbuatan jahat yang telah dilakukan.</p>
<p><a href="https://sociology.northwestern.edu/people/faculty/core/john-hagan.html">John Hagan</a> – profesor sosiologi dan hukum di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat (AS) – pada tahun 1985 membuat alat ukur kejahatan yang kemudian disebut <a href="https://www.ukessays.com/essays/criminology/examining-the-concept-of-crime-and-its-dimensions-criminology-essay.php">piramida kejahatan</a>. </p>
<p>Menurut Hagan, perbedaan keseriusan kejahatan bergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat. </p>
<p>Dimensi pertama adalah <em>agreement about the norm</em> atau persetujuan, yaitu derajat benar atau salah suatu tindakan berdasarkan kesepakatan atau konsensus oleh masyarakat.</p>
<p>Dimensi kedua adalah <em>severity of societal response</em> yaitu keseriusan respons masyarakat yang tercantum dalam hukum. </p>
<p>Respons sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, denda, penghukuman penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman yang dirumuskan, semakin luas dukungan masyarakat terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut.</p>
<p>Dimensi ketiga adalah <em>evaluation of social harm</em> yang dirumuskan Hagan sebagai dampak relatif suatu kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya. </p>
<p>Ada pelanggaran hukum yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narkotika, berjudi, pelacuran dan perilaku lain-lain yang menyimpang. </p>
<p>Ada pula pelanggaran hukum yang merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit hingga pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang, misalnya kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan yang menjual produk membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan.</p>
<p>Piramida kejahatan Hagan dapat menjadi masukan tambahan untuk penentuan pemberian prioritas vaksin bagi tahanan dan narapidana.</p>
<p>Prioritas dapat diberikan dengan memberi vaksin pada pelaku kejahatan ringan terlebih dulu sebelum diberikan kepada pelaku kejahatan berat seperti terorisme dan kejahatan luar biasa seperti <a href="http://e-pushamuii.org/content/3-korupsi-sebagai-extra-ordinary-crime">korupsi</a>. </p>
<p><a href="https://www.britannica.com/biography/John-Rawls">John Rawls</a> – seorang filsuf politik asal AS – dalam buku <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/267855963.pdf">A Theory of Justice</a> mengusung “justice as fairness”, yakni sebuah kondisi yang membutuhkan hadirnya keadilan dalam suatu masyarakat plural yang setara. </p>
<p>Menurut Rawls, keadilan merupakan kebajikan utama dalam sebuah institusi sosial. Hal ini juga berlaku pada konteks pemberian vaksin; dalam hal ini negara memiliki peran. </p>
<p>Jika prioritas vaksin untuk tahanan dan narapidana dilakukan dengan layak dan tepat, tentu tidak akan timbul kegaduhan.</p>
<p>Kementerian Kesehatan yang membidangi isu kesehatan dan penanganan COVID-19 haruslah proaktif dan mengedepankan asas keadilan ini dalam distribusi dan pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/5-hal-penting-terkait-pengaruh-virus-corona-varian-baru-dari-inggris-masuk-indonesia-156574">5 hal penting terkait pengaruh virus corona varian baru dari Inggris masuk Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kebijakan yang didukung</h2>
<p>Pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana perlu didukung karena walau bagaimanapun mereka yang sedang menjalani masa hukuman adalah warga negara Indonesia juga. Termasuk di dalamnya adalah tahanan kasus korupsi. </p>
<p>Hanya saja pada kasus ini, tahanan KPK bukan merupakan prioritas penerima vaksin baik berdasarkan situasi penahanan atau dalam konteks berat-ringan kejahatan.</p>
<p>Pemerintah sendiri telah menetapkan korupsi <a href="https://bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf">sebagai kejahatan luar biasa</a> (<em>extra ordinary crime</em>). </p>
<p>Selanjutnya perlu ada pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan tahanan KPK masuk dalam kategori kelompok rentan yang perlu segera menerima vaksin.</p>
<p>Kesadaran bersama diperlukan untuk pentingnya memelihara keadilan, dalam hal ini dalam pertimbangan pemilihan prioritas penerima vaksin. </p>
<p>Segala kebijakan pemerintah yang baik, layak, dan terukur tentu akan mendapat dukungan dari masyarakat tanpa keraguan sedikit pun.</p>
<p><em>Rinaldi Ikhsan Nasrulloh, seorang manajer program di Yayasan Ruang Damai, berkontribusi pada penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156304/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Leebarty Taskarina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.Leebarty Taskarina, Doctoral student, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1470402020-10-16T09:01:55Z2020-10-16T09:01:55ZKelompok rentan kian kesulitan mengakses bantuan hukum selama pandemi. Terobosan perlu dilakukan<p>Tidak hanya masalah kesehatan dan ekonomi, pandemi juga menimbulkan banyak isu hukum di tengah masyarakat seperti ancaman terhadap kebebasan sipil dan kekerasan terhadap perempuan. Bantuan hukum menjadi layanan yang semakin dibutuhkan.</p>
<p>Beberapa kelompok seperti buruh dan ibu rumah tangga menjadi semakin rentan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak dan kekerasan dalam rumah tangga selama wabah. </p>
<p>Walau para pemberi bantuan hukum telah berupaya untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk menjaga jarak fisik dan sosial, hambatan tetap ada.</p>
<p>Situasi serupa terjadi di seluruh dunia. Kita bisa mempelajari cara-cara yang berhasil di negara lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/masalah-akses-kesehatan-membuat-kelompok-menengah-bawah-rentan-dalam-pandemi-covid-19-138115">Masalah akses kesehatan membuat kelompok menengah-bawah rentan dalam pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Masalah meningkat</h2>
<p>Selama pandemi, ancaman terhadap hak-hak asasi, politik, dan ekonomi meningkat.</p>
<p>Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) <a href="https://kontras.org/2020/05/11/15985/">mencatat</a> dalam kurun waktu 5 Maret- 21 April 2020, tercatat 93 peristiwa penindakan oleh aparat yang mengancam kebebasan sipil selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). </p>
<p>Beragam pihak, termasuk <a href="https://www.amnesty.id/peretasan-tempo-dan-pandu-riono-serangan-terhadap-kebebasan-berekspresi/">aktivis dan pakar kesehatan</a>, keras mengkritik langkah dan kinerja pemerintah dalam menangani wabah.</p>
<p>Peristiwa yang dicatat KontraS termasuk penangkapan sewenang-wenang (17 kasus), penangkapan dengan tuduhan penghinaan pejabat negara (8) dan penanganan hoax (41), dan problem akses terhadap bantuan hukum pada <a href="https://news.detik.com/berita/d-5005152/ylbhi-kritik-mekanisme-penangkapan-aktivis-ravio-patra-oleh-polisi">pendampingan kasus</a>.</p>
<p>Sebelum pandemi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta <a href="https://www.mampu.or.id/kegiatan/lbh-apik-perempuan-rentan-tertular-virus-rentan-juga-menjadi-korban-kekerasan-di-masa-pandemi-covid-19/">rata-rata</a> menerima 60 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap bulannya. </p>
<p>Dalam periode 16 Maret hingga 19 April, LBH Apik Jakarta menerima 97 laporan kasus - atau melonjak lebih dari 60%.</p>
<p>Catatan tersebut menunjukkan peningkatan kasus terjadi karena beban perempuan bertambah besar selama masa pembatasan fisik dan sosial, khususnya perempuan dalam keluarga dengan budaya patriarkis. </p>
<p>Buruh juga menghadapi sejumlah masalah saat pandemi COVID-19. Misalnya, upah yang <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/lbh-papua-minta-pemerintah-jamin-perlindungan-buruh-saat-pandemi-covid-19.html?page=2">tidak sesuai</a> hingga ancaman “diistirahatkan” padahal dipecat tanpa uang pesangon. </p>
<p>Ini diperparah dengan tertutupnya informasi dari perusahaan mengenai jumlah karyawan yang terinfeksi COVID-19.</p>
<h2>Masalah pendampingan bantuan hukum selama pandemi</h2>
<p>Tantangan-tantangan pendampingan bantuan hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga isu, yakni kesenjangan digital, kesejahteraan pemberi bantuan hukum, dan minimnya pemahamanan kasus baru.</p>
<p>Pertama, kesenjangan digital. Pandemi memaksa para pemberi bantuan hukum untuk menggunakan teknologi digital. </p>
<p>Namun, banyak dari mereka yang kurang cakap untuk memanfaatkan teknologi-teknologi yang baru berkembang dewasa ini seperti <em>video conference</em>.</p>
<p>Kedua, kesejahteraan. Pemberi bantuan hukum mengalami penurunan pendapatan di tengah pandemi. </p>
<p>Tidak semua pemberi bantuan hukum menjadikan pekerjaan ini sebagai sumber pendapatan utama karena realitanya anggaran dari negara (dalam hal lewat Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN) ataupun organisasi tempat ia bernaung tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. </p>
<p>Sehingga, banyak dari mereka yang meninggalkan pelayanannya memberikan bantuan hukum dan berfokus mencari sumber pendapatan baru.</p>
<p>Ketiga, munculnya beberapa jenis kasus baru yang belum pernah dihadapi oleh pemberi bantuan hukum sebelumnya. </p>
<p>Dua jenis kasus baru yang sering dihadapi kini adalah perlindungan hak atas akses kesehatan ke rumah sakit rujukan COVID-19 dan maladministrasi bantuan sosial. </p>
<p>Banyak dari pemberi bantuan hukum tidak memiliki informasi dan kemampuan yang cukup untuk menangani kasus-kasus tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-indonesia-analisis-ungkap-perempuan-miskin-yang-paling-menderita-selama-pandemi-covid-19-146676">Di Indonesia, analisis ungkap perempuan miskin yang paling menderita selama pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Adaptasi pemberi bantuan</h2>
<p>Untuk menjawab kebutuhan bantuan hukum dan tantangan pencegahan penularan virus pada masa pandemi, berbagai pengurus organisasi bantuan hukum <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e97116aef2c9/covid-19-menghambat--layanan-bantuan-hukum-gratis-diberikan-secara-daring?page=all">mengoptimalkan saluran-saluran</a> yang ada untuk menghindari kerumunan dalam pelayanan bantuan hukum.</p>
<p>LBH Ansor, misalnya, membuka posko layanan online khusus untuk masalah hukum akibat wabah. Para pencari keadilan juga difasilitasi konsultasi video jarak jauh lewat layanan Zoom. </p>
<p>Sementara itu, jaringan lembaga bantuan hukum di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memaksimalkan alamat surel dan nomor telepon yang diaktifkan pada jam layanan. Nomor kontak tersebut diumumkan lewat situs internet dan akun media sosial masing-masing kantor LBH. </p>
<p>Mereka juga menambah layanan pesan teks seperti WhatsApp karena para pengacara publik tak lagi berkumpul di kantor.</p>
<p>Pemanfaatan layanan daring juga dilakukan LBH Bogor. LBH mengirimkan draf surat kuasa ke calon klien secara daring, lalu setelah diteken dikirimkan kembali ke kantor LBH Bogor.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-covid-19-memperparah-kesejahteraan-penyandang-disabilitas-di-indonesia-144109">Bagaimana COVID-19 memperparah kesejahteraan penyandang disabilitas di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pelajaran dari negara lain</h2>
<p>Terobosan-terobosan dalam pemberian bantuan hukum juga dilakukan di negara-negara lain selama wabah mencengkeram dunia.</p>
<p>Dalam <a href="https://ilac2020.rj.def.br/">konferensi internasional tentang akses bantuan hukum</a> yang kami hadiri secara daring bulan lalu, 800 peserta dari 800 peserta dari 89 negara berbagi tentang cara-cara baru yang mereka lakukan untuk menyediakan bantuan hukum di tengah pandemi.</p>
<p>Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh International Legal Foundation (ILF), the Open Society Justice Initiative (OSJI), United Nations Development Programme (UNDP), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) itu, berbagai perwakilan pemangku kebijakan menjabarkan upaya untuk menerapkan <a href="https://www.unodc.org/documents/justice-and-prison-reform/UN_principles_and_guidlines_on_access_to_legal_aid.pdf">Panduan tentang Akses menuju Bantuan Hukum di dalam Sistem-sistem Peradilan Tindak Kejahatan</a> dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). </p>
<p>Di Brazil, pengadilan memperbaharui layanan hukum mereka dengan mendorong penggunaan teknologi seperti pemanfaatan <em>video conference</em> dan sidang jarak jauh guna memastikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang berperkara tetap terpenuhi meskipun sedang dalam kondisi pandemik.</p>
<p>Aktivis bantuan hukum di Amerika Serikat (AS) menyelenggarakan serangkaian upaya pelatihan pada komunitas-komunitas dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait maraknya demonstrasi atau upaya melawan pemerintahan dan isu rasisme.</p>
<p>Khusus untuk tahanan anak, sebuah kantor hukum Makenzie Lawfirm juga melakukan advokasi khusus, yakni mempermudah akses atas sanitasi, air bersih dan layanan Kesehatan mental. Mereka juga mendorong penyediaan layanan bagi tahanan anak berupan telepon, video conference, dan sejenisnya kepada keluarganya</p>
<p>Di Nepal, para aktivis di bidang hukum melakukan beberapa upaya advokasi untuk pelepasan tahanan dan orang-orang yang dirampas hak kemerdekaannya secara sewenang-wenang dengan mengikutsertakan aktor strategis yang sudah dipetakan sebelumnya. </p>
<p>Para aktivis memberikan pelatihan kepada pengacara dan jaksa terkait isu pelepasan tahanan dan melakukan mobilisasi media agar terlibat dan menerbitkan konten pemberitaan terkait isu yang dikerjakan. </p>
<p>Di Afganistan, aktivis bantuan hukum mendorong pelepasan para tahanan sebelum masa penghukuman selesai mengingat kondisi <em>overcrowding</em> rumah tahanan di negara tersebut sangat berpotensi menjadi tempat penyebaran kuat Covid 19. </p>
<p>Mereka meminta pelepasan awal terutama untuk tahanan perempuan, berusia 55 tahun ke atas, dan memiliki riwayat penyakit berat.</p>
<p>Bagi korban kekerasan rumah tangga di Mongolia, pemberi bantuan hukum membangun <em>domestic criminal center</em> atau pusat konsultasi. </p>
<p>Mereka juga menyelenggarakan berbagai diskusi publik tentang isu kriminal, menerbitkan buku saku panduan bantuan hukum untuk kasus perempuan, serta bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan <em>hotline</em> bantuan hukum.</p>
<h2>Menanti kebijakan pemerintah Indonesia</h2>
<p>Pada akhirnya, pemerintah tidak bisa hanya fokus terhadap penyelamatan ekonomi dan kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga bertanggung jawab atas tersedianya akses terhadap keadilan melalui bantuan hukum. </p>
<p>Dibutuhkan langkah-langkah yang strategis dan komprehensif untuk menjawab kebutuhan layanan bantuan hukum di level akar rumput, khususnya bagi kelompok yang semakin rentan di situasi pandemi. </p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147040/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kelompok-kelompok rentan semakin kesulitan mengakses bantuan hukum selama wabah. Kita bisa belajar dari negara-negara lain.Josua Satria Collins, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Siska Trisia, Researcher, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1071572018-12-03T07:43:31Z2018-12-03T07:43:31Z“Saya sengaja tinggal di penjara di Islandia selama seminggu. Ternyata mereka tidak mengunci selnya”<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/247487/original/file-20181127-76767-uqpakx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C2%2C668%2C422&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">jonathan kho/unsplash</span></span></figcaption></figure><p><a href="https://theconversation.com/uk/topics/iceland-2000">Islandia</a> adalah negara kecil yang terletak di tepi benua Eropa. Negara kecil tersebut hanya memiliki populasi 340.000 orang. Penjara Islandia juga kecil. Di negara tersebut hanya ada lima penjara, yang semuanya menampung kurang dari 200 narapidana. Dari kelima penjara tersebut, dua di antaranya adalah penjara terbuka. Saya pernah mengunjungi kedua tempat itu sebelumnya, dan saya jadi ingin mengenal mereka lebih baik. </p>
<p>Ketika saya bertanya kepada otoritas penjara di Islandia apakah saya dapat menghabiskan seminggu di kedua penjara tersebut, mereka ternyata memberi izin. Bahkan saya mendapat kesan bahwa mereka sangat menyukai ide tersebut: seorang akademisi asing yang ingin mendalami penjara-penjara ini dengan mengambil peran sebagai seorang tahanan. Mereka berjanji akan menyediakan kamar gratis. Saya merasa bersyukur dan juga bersemangat untuk bisa melihat kedua penjara tersebut dari dalam. Meskipun saya tahu tempat-tempat tersebut cukup tenang dan aman, mereka juga menahan orang-orang yang telah divonis untuk tindak pidana kekerasan dan seksual yang cukup serius. Bagaimana sebenarnya penjara tanpa tembok atau pagar berfungsi?</p>
<p>Penjara terbuka Islandia benar-benar sangat terbuka. Ketiadaan fitur keamanan adalah satu hal yang mencolok dari tempat tersebut. Di penjara pertama yang saya tempati, penjara Kvíabryggja di bagian barat negara tersebut, hanya memiliki sedikit pengamanan, walaupun memang ada tanda yang melarang orang-orang untuk masuk, terutama wisatawan.</p>
<p>Saya bisa dengan mudah berkendara dan parkir ke gedung kecil satu lantai tersebut. Saya masuk (ya, pintunya memang terbuka) dan menyapa para pegawainya. Saya langsung disajikan makan malam oleh salah satu narapidana di sana yang mengenali saya dari kunjungan sebelumnya. Saya menghabiskan minggu itu menjalani kehidupan sehari-hari sebagai seorang tahanan. </p>
<h2>Kamar dengan pemandangan</h2>
<p>Sudah jelas dari awal bahwa para tahanan dan staf melakukan berbagai hal bersama. Makanan adalah hal yang sangat penting di penjara. Di Kvíabryggja ruang makan komunal adalah ruang utama. Para tahanan sarapan, makan siang dan makan malam di sana bersama dengan para petugas. Mereka memasak dan membeli bahan-bahan setiap minggu bersama seorang petugas ke desa terdekat. Makanan lezat berlimpah. Jika seseorang tidak mengucapkan terima kasih kepada para koki tahanan makan akan dianggap tidak sopan. Dan Anda harus membersihkan peralatan makan Anda sendiri.</p>
<p>Meskipun hidup secara komunal ditekankan, kamar tahanan adalah ruang pribadi. Dengan jaringan internet (tentunya dengan beberapa pembatasan) dan telepon genggam, beberapa narapidana, layaknya remaja, menghabiskan banyak waktu mereka di dalam kamar. Meskipun setiap tahanan memiliki kunci kamar mereka sendiri, mereka lebih sering tidak mengunci pintu. Kebiasaan ini merupakan simbol yang kuat bahwa hidup di Kvíabryggja didasarkan atas kepercayaan. Awalnya saya sulit menerima hal tersebut karena saya menyimpan paspor, kunci mobil sewaan dan catatan penelitian di dalam kamar. Pada akhirnya saya melakukan apa yang dilakukan oleh semua narapidana di sana dan bahkan tidur dengan pintu tidak terkunci. Saya tidur seperti bayi dan bangun setiap pagi dengan pemandangan domba, rumput dan puncak-puncak gunung bersalju.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/244072/original/file-20181106-74757-z0lkyq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pemandangan dari penjara.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Francis Pakes</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ruang di luar penjara Islandia juga sangat penting. Gunung Kirkjufell yang ikonik menjulang tinggi di timur dan saya berada di dekat laut dengan pantai yang indah serta banyak padang rumput. Hal ini memungkinkan para narapidana untuk merasa seakan-akan mereka berada di tempat lain meskipun mereka tidak pernah meninggalkan wilayah penjara. Saya mendengar bagaimana para tahanan suka berjalan ke gerbang di mana satu-satunya penghalang di antara mereka dan dunia luar adalah pagar ternak. Kesan yang dihasilkan adalah suatu perasaan aneh karena kebebasan hanya sejauh satu langkah. </p>
<h2>Hidup bersama</h2>
<p>Yang paling mengejutkan bagi saya adalah interaksi informal yang tercipta di dalamnya. Kita semua menonton sepak bola bersama. Saya lihat pelaku kejahatan seksual tidak malu-malu atau menghindar dari yang lain, dan dengan bersemangat berteriak mendukung Islandia ketika menonton kesebelasan nasional bertanding. Tahanan yang lemah justru bersenda gurau dengan para pengedar narkoba. Saya melihat pengguna narkoba mengobrol dan tertawa bersama staf penjara. Saya juga merasa diterima, baik sebagai seorang peneliti maupun sebagai pribadi. Meskipun terkadang saya memang suka diledek sebagai peneliti penjara, tapi para tahanan juga suka berbagi gosip. Baik para narapidana maupun staf bahkan menceritakan kisah-kisah pribadi serta kisah intim dan personal mereka. Saat Pétur dibebaskan dan ayahnya datang untuk menjemputnya, ia memeluk banyak tahanan dan staf yang lain, termasuk saya dan kami semua merasa emosional.</p>
<p>Tentu saja Kvíabryggja masih sebuah penjara. Banyak narapidana merasa frustrasi, marah dan gelisah. Mereka bergumul dengan kesehatan dan mencemaskan masa depan. Tapi lingkungannya aman dan makanannya nikmat. Para narapidana tetap mendapatkan kontak dengan dunia luar, pengaturan kunjungan yang fleksibel dan ada orang yang mendengarkan keluh kesah mereka. Dalam suatu penjara, hal-hal tersebut sangat berarti.</p>
<p>Penjara terpencil ini, dengan populasi tidak lebih dari 20 tahanan dan paling banyak tiga staf dalam satu waktu, adalah suatu komunitas kecil. Para narapidana dan staf merokok bersama di ruang merokok yang sempit tapi selalu ramai. Mereka harus bisa bergaul bersama. </p>
<p>Hidup didefinisikan oleh interaksi-interaksi informal seperti itu. Memang tidak selalu mudah. Populasi penjara tersebut sangat beragam. Ada tahanan perempuan, warga negara asing dan tahanan yang sudah memasuki usia pensiun atau memiliki disabilitas. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/244073/original/file-20181106-74763-1sp60bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">penjara Kvíabryggja.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Francis Pakes</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sejauh yang bisa saya lihat, keramahan yang tercipta di sana bahkan menyentuh para pelaku kejahatan seksual–populasi yang hampir secara universal dibenci dalam penjara sehingga mereka menjadi populasi rentan. Terkadang keramahan yang tercipta sepertinya dipaksakan. Tapi sepertinya tetap keramahan seperti itu masih bisa bekerja dengan baik. Meskipun tetap ada ketegangan yang melekat pada tiap penjara, semua orang tetap bisa akur.</p>
<p>Pentingnya membangun lingkungan sosial yang akur dalam lingkungan penjara adalah pelajaran yang bisa diambil. Membangun lingkungan yang demikian lebih sulit dalam lembaga penjara yang besar dan ramai karena tahanan baru datang dan pergi setiap hari. Keamanan lingkungan bisa efektif hanya jika terdapat interaksi publik yang ramah. Begitu juga dengan penjara. Suatu penjara bisa menjadi tempat yang positif apabila sebagian besar interaksi yang terjadi ramah dan hangat. Ketika para narapidana dan staf bisa berbagi ruang, cerita dan membangun kebersamaan, peluang para tahanan untuk berubah menjadi lebih baik akan meningkat. </p>
<p>Penjara terbuka Islandia, pada suatu level tertentu, bisa dikatakan unik. Mungkin hal tersebut disebabkan ukuran, populasi penghuni, atau rezim yang santai. Mungkin penjara-penjara tersebut melambangkan Islandia, suatu negara di mana secara historis mereka harus bergantung satu sama lain untuk bertahan hidup di kondisi iklim Atlantik Utara yang keras. Apa pun itu, hidup bersama, di penjara yang tenang, terpencil dan kecil ini, dengan cara yang aneh, justru masuk akal.</p>
<p><em>Nama-nama yang disebutkan dalam artikel ini sudah diganti</em> </p>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Rizkina Aliya</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107157/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Francis Pakes tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gerbang yang terbuka, makanan yang lezat dan kehidupan komunal membangun pendekatan terhadap penjara yang berbeda.Francis Pakes, Professor of Criminology, University of PortsmouthLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1008212018-08-02T10:06:21Z2018-08-02T10:06:21ZMau dibawa ke mana penjara kita?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/229971/original/file-20180731-136664-fq2zyi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=18%2C36%2C5988%2C3971&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Institusi penjara tidak dapat sepenuhnya otoritatif dan represif kepada setiap tahanan, mereka juga memiliki hak untuk kehidupan yang layak.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Ada beberapa “narasi” yang berulang-ulang disampaikan sebagai penyebab banyaknya persoalan yang dihadapi oleh sistem penjara di Indonesia. </p>
<p>Termasuk yang terakhir terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Sukamiskin minggu lalu, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan kepala lapas dengan <a href="https://theconversation.com/ironi-tahanan-koruptor-di-indonesia-layaknya-memenjarakan-beruang-dalam-penjara-bambu-100614">dugaan menerima suap dari narapidana korupsi</a> atas sejumlah “kemewahan” yang mereka dapatkan di dalam lapas itu. </p>
<p>Pada 2009, saya terlibat dalam penelitian yang menyusun dokumen cetak biru <a href="http://icjr.or.id/cetak-biru-pembaharuan-pelaksanaan-sistem-pemasyarakatan/">“Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tahun 2009”</a>. Cetak biru yang telah dijadikan <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2009/bn5-2009.pdf">Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-OT.02.02 Tahun 2009</a> sebenarnya sudah memberikan alternatif-alternatif solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi institusi penjara atau pemasyarakatan. </p>
<p>Solusi ini mencakup perbaikan sistem pemasyarakatan mulai dari aspek manajemen organisasi, sumber daya manusia, pelaksanaan tugas hingga pengawasan. </p>
<p>Tapi ternyata masalah dan narasi-narasi usang tetap terus bermunculan. Apa yang bisa kita lakukan? Dalam tulisan ini saya akan membahas satu persatu narasi ini dan apa yang mesti dilakukan oleh otoritas penjara untuk jangka pendek sebagai solusinya. </p>
<h2>Penjara yang terlalu padat</h2>
<p>Situasi di mana jumlah tahanan melebihi kapasitas penjara atau dikenal dengan istilah <em>over-crowding</em> (terlalu padat), memang masalah besar. </p>
<p>Hasil penelitian yang saya lakukan untuk menyusun dokumen cetak biru menemukan bahwa di penjara yang jumlah tahanan melebihi daya tampung ada anggapan bahwa prestasi minimal seorang kepala penjara adalah mencegah kerusuhan dan pelarian. </p>
<p>Hal ini berdampak pada pola pengendalian perilaku narapidana dalam penjara yang kurang tegas. Karena ketika kepala penjara bersikap tegas dan represif, ada ketakutan potensi konflik akan membesar.</p>
<p>Jumlah petugas yang sangat terbatas kemudian menyebabkan pola pengendalian informal justru lebih banyak digunakan. Narapidana tertentu diberikan “keistimewaan” sebagai kepala kamar atau pemuka untuk mengendalikan narapidana lain. </p>
<p>Namun permasalahannya, relasi-relasi informal inilah yang menjadi cikal bakal sejumlah penyimpangan yang terjadi di dalam penjara.</p>
<p>Ke depannya, pemerintah perlu merumuskan alternatif hukuman selain penjara di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengurangi <em>overcrowding</em> dalam penjara. </p>
<p>Sebagaimana <a href="https://www.jstor.org/stable/42909676">dijelaskan oleh ahli kriminologi Richard Quinney</a>, tindak kejahatan tidak dapat dilihat murni semata-mata pelanggaran pidana, ada juga tindak kejahatan untuk bertahan hidup. Sebelumnya, kriminolog asal Belanda, Willem Bonger melalui <a href="https://www.jstor.org/stable/23635247">disertasinya</a> juga menjelaskan adanya kejahatan yang terpaksa dilakukan oleh mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. </p>
<p>Terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, hukuman penjara bukanlah putusan yang tepat. Contoh alternatif hukuman misalnya kerja sosial, sehingga tidak semua terdakwa dimasukkan ke dalam penjara. Alternatif penghukuman semacam ini dapat kita temui di negara-negara Barat <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/228560/8469.pdf">seperti Inggris</a> yang telah diberlakukan sejak <a href="https://www.theguardian.com/society/2013/jan/08/forty-years-community-service">empat puluh tahun yang lalu</a>.</p>
<p>Demikian pula dengan narapidana yang berstatus penyalah guna narkotika. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, semestinya mereka tidak dipenjara, namun mendapatkan rehabilitasi.</p>
<p>Namun, hingga kini Indonesia belum memiliki alternatif dari hukuman penjara, sehingga mau tidak mau lapas harus siap dan mampu mengembangkan kebijakan yang lebih keras terhadap narapidana di penjara yang melampaui kapasitas.</p>
<h2>Anggaran yang kurang</h2>
<p>Narasi kedua mengenai permasalahan lapas adalah kurangnya anggaran dan sumber daya manusia (SDM). </p>
<p>Konsensus internasional memang tidak memberikan standar yang jelas mengenai besaran anggaran ideal untuk pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan. Hal yang diatur adalah standar minimal, seperti yang diadopsi oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1955 melalui <a href="https://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/UN_Standard_Minimum_Rules_for_the_Treatment_of_Prisoners.pdf">Resolusi tahun 1957</a>. </p>
<p>Di dalam standar ini disebutkan tahanan setidaknya menempati sel sendirian dengan jendela yang cukup besar, penerangan yang memadai, air minum yang cukup dan makanan yang bergizi. </p>
<p>Di Indonesia, <a href="http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/64%7EPMK.02%7E2008Per.htm">Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2008</a> telah menetapkan bahwa standar biaya makan narapidana Rp15.000 per hari atau Rp5.000 sekali makan.</p>
<p>Faktanya, kemampuan lapas untuk menyediakan seluruh layanan minimum yang menjadi hak narapidana masih sangat minim. Hal ini dapat diperlihatkan oleh beberapa contoh, seperti terbatasnya ruang, penerangan, air bersih, makanan, layanan kesehatan, informasi hingga yang berkaitan dengan sarana pembinaan. </p>
<p>Sementara itu, perbandingan ideal antara narapidana dengan petugas adalah 1 petugas banding 25 narapidana. Tapi faktanya di Indonesia 1 banding 55, menurut hasil wawancara saya dengan Akbar Hadi (mantan kepala sub-bagian humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).</p>
<p>Namun, jika seluruh anggaran dan kualitas SDM dipenuhi, apakah kemudian masalah-masalah yang dihadapi di penjara akan hilang seketika? Saya kira tidak juga.</p>
<p>Memang benar bahwa Kementerian Hukum dan HAM memiliki masalah soal perencanaan dan penganggaran. Lapas secara teknis memang di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, namun anggarannya ditentukan oleh Sekretariat Jenderal Pemasyarakatan di masing-masing provinsi. </p>
<p>Dualisme ini menyebabkan apa yang dibutuhkan di tingkat teknis sering tidak sesuai dengan “logika anggaran” di Sekretariat Jenderal. Belum lagi ada saja alasan “tidak ada anggaran”. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa sistem perencanaan dan penganggaran di Kementerian Hukum dan HAM belum bersahabat dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada.</p>
<p>Masalah terkait struktur organisasi, anggaran, dan SDM adalah “narasi” usang. Namun hingga kini, ketika muncul masalah yang mengejutkan di dalam lapas atau rutan (Rumah tahanan), seketika itu pula “narasi-narasi” ini muncul sebagai kambing hitam. </p>
<p>Saya sendiri, sebagai salah seorang peneliti yang terlibat di dalam penyusunan cetak biru tersebut, menyadari betul bagaimana sulitnya posisi penjara. </p>
<p>Saya juga menaruh tanda tanya besar, apa yang membuat Kementerian Hukum dan HAM begitu merasa sangat sensitif bila sudah membicarakan persoalan di dalam manajemen organisasi dan penganggaran tersebut. Padahal, hal ini adalah masalah klasik yang solusinya sudah diidentifikasi dalam cetak biru.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan</h2>
<p>Saya berpandangan, untuk jangka pendek, yang diperlukan untuk perbaikan sistem penjara kita saat ini adalah sebagai berikut. </p>
<p>Pertama, perbaikan di dalam sistem pengawasan. </p>
<p>Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM mestinya tidak hanya sekadar basa-basi. Hal ini dilakukan dengan mengevaluasi metode pengawasan melekat (waskat) yang merupakan tanggung jawab atasan langsung, seperti kepala lapas di tingkat teknis. </p>
<p>Salah satu hal yang menyebabkan model “waskat” ini dirasa tidak akan pernah efektif adalah karena yang diawasi adalah “rekan kerja” bahkan “teman” dari yang mengawasi. </p>
<p>Belum lagi bila, sebagaimana diduga terjadi di lapas Sukamiskin, kepala penjara adalah bagian dari masalah. Membersihkan rumah dengan sapu kotor adalah pekerjaan yang sangat sia-sia. </p>
<p>Mungkin inilah yang menjadi latar belakang mengapa dulu Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM sering <a href="https://nasional.sindonews.com/read/1324753/18/dagang-fasilitas-di-sukamiskin-1532471173">melakukan inspeksi mendadak</a>.</p>
<p>Untuk memperkuat pengawasan ini, Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) yang secara langsung memberikan rekomendasi kepada menteri semestinya diberikan peran yang lebih luas dan kuat. BPP cukup potensial karena di dalamnya terdapat unsur akademisi dan masyarakat. </p>
<p>Satu hal lain, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu memberi ruang yang lebih luas untuk pengawasan dari lembaga-lembaga nonpemerintah, khususnya organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang bantuan hukum, hak asasi manusia, atau pemantau sistem peradilan pidana.</p>
<p>Kedua, memastikan disiplin seluruh petugas dan narapidana, dengan melaksanakan seluruh standar atau prosedur yang sudah ada. Sejauh yang saya ketahui, paska cetak biru, ada begitu banyak program di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan dengan penyusunan standar dan pedoman teknis, serta penguatan kapasitas petugas melalui pelatihan. </p>
<p>Seperti kerja sama antara Direktorat dengan lembaga internasional <em>Search for Common Ground</em> untuk penyusunan pedoman perlakuan narapidana risiko tinggi, seperti teroris. Pedoman ini kemudian <a href="http://www.bapanasnews.com/2016/05/ditjen-pas-dan-sfcg-gelar-lokalatih.html">diadopsi di berbagai lapas di Indonesia</a>. </p>
<p>Ketiga, untuk menghapus “narasi-narasi” yang berulang-ulang itu. Kementerian Hukum dan HAM harus mengkritik kembali bentuk organisasinya. Pemasyarakatan adalah direktorat teknis terbesar, yang bahkan sebenarnya sudah layak untuk berdiri sendiri menjadi badan setingkat kementerian. </p>
<p>Saya tidak akan membahas kembali “narasi-narasi” itu, karena sudah sejak lama diperbincangkan, dan membosankan. Tanyakan saja kepada menteri dan pejabat-pejabat terkait, lebih baik kita fokus pada penyelesaian masalah sehingga narasi-narasi ini bisa berhenti beredar.</p>
<p><em>Bimo Alim ikut berkontribusi dalam artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100821/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Iqrak Sulhin menerima dana dari The Asia Foundation. </span></em></p>Beberapa ‘narasi’ usang yang berulang diakui sebagai penyebab banyaknya persoalan yang dihadapi oleh sistem penjara di Indonesia. Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?Iqrak Sulhin, Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.