tag:theconversation.com,2011:/nz/topics/perubahan-iklim-48553/articlesPerubahan iklim – The Conversation2024-02-13T15:15:18Ztag:theconversation.com,2011:article/2233852024-02-13T15:15:18Z2024-02-13T15:15:18ZRiset tunjukkan sikap partai politik terhadap isu iklim, transformasi digital, dan pembangunan IKN<p>Besok, 14 Februari 2024, tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia akan berkesempatan memberikan suaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden serta jajaran wakil rakyat yang akan menjabat selama lima tahun ke depan.</p>
<p>Dengan masa kampanye yang cukup singkat, kurang lebih dua bulan, para kandidat telah <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/08/persona-daring-para-capresdi-media-sosial">memanfaatkan ruang digital, terutama media sosial, sedemikian rupa</a>, sebagai saluran untuk menggaet suara pemilih.</p>
<p>Mengingat hampir <a href="https://nasional.tempo.co/read/1692894/kpu-sebut-60-persen-pemilih-indonesia-di-pemilu-2024-didominasi-kelompok-muda">60%</a> dari total <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11702/dpt-pemilu-2024-nasional-2048-juta-pemilih">204 juta</a> daftar pemilih tetap (DPT) adalah pemilih muda, partai-partai politik kemudian membangun strategi agar diminati pemilih. </p>
<p>Center for Digital Society (CfDS) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada, melakukan kajian analisis Big Data selama satu tahun terakhir untuk melihat narasi yang hendak dibawa oleh partai politik peserta Pemilu 2024. Secara khusus, kajian ini melihat narasi mereka di media sosial terkait tiga isu yang cukup hangat diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu perubahan iklim, transformasi digital, dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).</p>
<p>Kajian analisis Big Data ini fokus pada media sosial X (dulunya Twitter) dan fokus pada lima partai politik pemenang Pemilu 2019, yaitu PDI-Perjuangan (PDIP), Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem. Ini karena <a href="https://populicenter.org/wp-content/uploads/2023/11/Rilis-Surnas-Populi-Center-Nov-2023.pdf">sejumlah lembaga survei memprediksi</a> bahwa lima partai politik yang kemungkinan besar akan mendapatkan suara terbanyak pada Pemilu 2024 tidak akan jauh berbeda dari partai politik pemenang Pemilu 2019 lalu.</p>
<h2>Isu perubahan iklim</h2>
<p>Komitmen global, utamanya <a href="https://www.un.org/en/climatechange/paris-agreement">Paris Agreement</a> pada tahun 2015, telah membentuk nilai bersama bahwa pengurangan emisi gas karbon merupakan agenda utama. Dasar ini yang seharusnya mendorong pemimpin di Indonesia untuk turut menjadikan perubahan iklim sebagai agenda penting, dan secara sadar telah masuk dalam kesadaran publik.</p>
<p>Namun, kajian analisis kami menunjukkan bahwa tidak semua partai politik fokus membahas isu perubahan iklim dalam ruang digital. </p>
<p>Dari lima partai pemenang Pemilu 2019, hanya PDIP dan Golkar yang fokus terhadap isu perubahan iklim, itu pun perbincangannya masih sangat minim. PDIP hanya memperbincangkan 11 kali di X sepanjang 2023, sedangkan Golkar hanya 18 kali.</p>
<h2>Isu transformasi digital</h2>
<p>Dorongan transformasi digital bukanlah hal yang baru. Terbukti sejak tahun 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo beserta jajarannya berupaya memberikan keadilan teknologi bagi seluruh wilayah di Indonesia. </p>
<p>PDIP menjadi partai yang mendominasi perbincangan tentang isu ini. Isu ini bahkan telah menjadi isu prioritas bagi calon presiden (capres) yang diusung PDIP, yaitu Ganjar Pranowo.</p>
<p>Di sisi lain, Golkar dan Nasdem sangat minim memperbincangkan tentang transformasi digital. Unggahan mereka terkait isu tersebut hanya kurang dari 8 cuitan di X. Sedangkan Gerindra dan PKB terpantau tidak pernah memperbincangkan isu transformasi digital di sosial media mereka masing-masing, setidaknya sampai memasuki tahapan kampanye Pemilu pada bulan November 2023.</p>
<h2>Isu IKN</h2>
<p>Gagasan pemindahan ibu kota melalui proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur telah menjadi agenda prioritas selama periode kedua kepemimpinan Jokowi. Serangkaian persiapan telah dilakukan baik dari aspek regulasi maupun kesiapan pendanaan.</p>
<p>Dari aspek regulasi, ada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/269494/uu-no-21-tahun-2023">Undang-undang (UU) No. 21 Tahun 2023</a> tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/207619/perpres-no-63-tahun-2022">Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2022</a> tentang Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Sedangkan dari segi kesiapan pendanaan, telah banyak investasi yang masuk dari perusahaan dalam maupun luar negeri.</p>
<p>Terkait isu IKN, seluruh partai politik pemenang Pemilu 2019 memiliki kesamaan visi, yakni bahwa IKN merupakan proyek isu strategis.</p>
<p>Secara berurutan, PDIP menjadi partai yang paling sering memperbincangkan tentang IKN, sebanyak 62 cuitan. Ini dapat dipahami karena PDIP merupakan partai tempat bernaungnya Jokowi, presiden yang menginisiasi dimulainya pembangunan IKN.</p>
<p>Sementara Nasdem menjadi partai yang paling sedikit memperbincangkan tentang IKN, hanya 11 cuitan. Nasdem saat ini bisa disebut berada di kubu yang berseberangan dengan pemerintah. Partai ini mengusung kandidat capres Anies Baswedan beserta pasangannya, Muhaimin Iskandar.</p>
<p>Paslon ini <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231212213220-617-1036428/anies-kritik-ikn-kalau-masalahnya-ada-di-jakarta-jangan-ditinggalkan">kerap mengkritik</a> ambisi pembangunan IKN dengan alasan bahwa masalah di Jakarta tidak akan selesai hanya dengan memindahkan ibu kota.</p>
<p>Sementara itu, Golkar membicarakan isu ini sebanyak 23 cuitan, sedangkan Gerindra PKB masing-masing 22 dan 15 cuitan. Ini menujukkan bahwa partai politik menganggap IKN sebagai isu prioritas dalam Pemilu 2024, bahkan tampaknya skala prioritasnya di atas isu perubahan iklim apalagi transformasi digital.</p>
<p>Telaah lebih detail atas cuitan yang disampaikan oleh masing-masing partai politik menemukan adanya kecenderungan unggahan di media sosial.</p>
<p>Kecenderungan tersebut adalah baik PDIP, PKB, Gerindra, Golkar dan Nasdem kerap mengunggah cuitan berupa foto sosok tokoh yang disertai kutipan. Artinya, dimensi ‘ketokohan’ tersirat. Tujuannya untuk membangun nuansa bahwa tokoh tersebut mendukung, atau tidak mendukung, semisal berkaitan dengan program <em>food estate</em> ataupun pembangunan IKN.</p>
<p>Sebenarnya secara tidak langsung, partai-partai tersebut memiliki motif melakukan <em>endorsement</em> pada kader-kadernya ataupun calon yang diusungnya, hanya saja dengan menitikberatkan pada isu-isu yang relevan guna menegaskan sikap mereka masing-masing terhadap isu tersebut.</p>
<p>Temuan-temuan riset ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi peningkatan pengetahuan pemilih muda terkait posisi partai politik dalam tiga isu hangat yang tengah diperbincangkan publik.</p>
<p>Harapannya, pemilih muda dapat terhindar dari bibit-bibit kampanye negatif yang muncul pada masa kampanye di ruang digital dan lebih mengedepankan dimensi substantif tentang partai politik manakah yang mengusung isu pemilih muda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223385/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Seluruh partai politik pemenang Pemilu 2019 memiliki kesamaan visi, yakni bahwa IKN merupakan proyek isu strategis.Arga Pribadi Imawan, Lecturer, Universitas Gadjah Mada Ayom Mratita Purbandani, Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada Falah Muhammad, Research Assistant, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2214612024-01-26T03:31:34Z2024-01-26T03:31:34ZApa itu energi listrik tenaga air dan bagaimana cara kerjanya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/570162/original/file-20221103-21-bvfyk2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C2%2C1997%2C1326&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bendungan Seli'š Ksanka Qlispe' menyediakan listrik yang cukup untuk sekitar 147.000 rumah di Flathead Indian Reservation di Montana.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:SQK_Dam_DSC_3657.jpg">Martina Nolte via Wikimedia Commons</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p><strong>Apa itu energi listrik tenaga air dan bagaimana cara kerjanya? - Luca, usia 13 tahun, Boston, Massachusetts</strong></p>
</blockquote>
<p>Jika kamu pernah mengamati sungai yang mengalir deras menuruni gunung atau bermain ombak di pantai, kamu akan merasakan bahwa air yang bergerak mengandung banyak energi. Sungai dapat mendorong kamu dan kayakmu ke hilir, terkadang dengan sangat cepat. Ombak yang menghantam tubuhmu di pantai dapat menghempaskanmu ke belakang, atau bahkan menjatuhkanmu.</p>
<p>Ada <a href="https://www.energy.gov/eere/water/history-hydropower">sejarah panjang dalam memanfaatkan energi dalam air sungai yang mengalir</a> untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Selama berabad-abad, orang menggunakan tenaga air <a href="https://thekidshouldseethis.com/post/watermill-demonstration-video-flour-water-power">untuk menggiling biji-bijian menjadi tepung dan makanan</a>. Di zaman modern, orang menggunakan tenaga air untuk menghasilkan listrik bersih untuk membantu menyalakan bangunan, pabrik, dan bahkan mobil.</p>
<h2>Energi di air yang mengalir</h2>
<p>Energi dalam air yang bergerak berasal dari gravitasi. Sebagai bagian dari siklus air di bumi, air menguap dari permukaan bumi atau dilepaskan dari tanaman. </p>
<p>Ketika uap air yang dilepaskan terbawa ke tempat yang lebih dingin dan lebih tinggi seperti daerah pegunungan, uap air akan mengembun menjadi tetesan awan. Ketika tetesan awan ini menjadi cukup besar, mereka jatuh dari langit sebagai curah hujan, baik dalam bentuk cairan (hujan) atau, jika cukup dingin, dalam bentuk padatan (salju). </p>
<p>Di atas daratan, curah hujan cenderung jatuh di daerah dataran tinggi pada awalnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="siklus air" src="https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=496&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=496&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=496&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=623&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=623&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/490173/original/file-20221017-13-qvvkh1.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=623&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Siklus air.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.weather.gov/jetstream/hydro">National Weather Service</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jika air turun sebagai salju, perlahan-lahan salju akan mencair menjadi air seiring dengan menghangatnya suhu dan mengikuti jalur yang sama. Sungai-sungai terdiri dari air hujan yang dimulai dari dataran tinggi dan mengalir menuruni lereng gunung yang curam.</p>
<h2>Mengubah air yang mengalir menjadi listrik</h2>
<p>Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menangkap energi dalam air yang mengalir dengan menggunakan alat yang disebut turbin. Ketika air mengalir di atas baling-baling turbin—seperti kincir raksasa—baling-baling tersebut berputar. </p>
<p>Turbin yang berputar terhubung ke poros yang berputar di dalam alat yang disebut <a href="https://www.explainthatstuff.com/generators.html">generator</a>, yang menggunakan efek yang disebut <a href="https://www.youtube.com/watch?v=S3Qwf4P6x9w">induksi</a> untuk mengubah energi dalam poros yang berputar menjadi listrik.</p>
<p>Ada dua jenis utama PLTA. Jenis pertama disebut fasilitas pembangkit listrik tenaga air “<em>run-of-the-river</em>”. </p>
<p>Fasilitas ini terdiri dari saluran untuk mengalihkan aliran air dari sungai ke turbin. Produksi listrik dari turbin mengikuti waktu aliran sungai. Ketika sungai mengalir penuh dengan banyak mata air yang meleleh, itu berarti turbin dapat menghasilkan lebih banyak listrik. </p>
<p>Kemudian di musim panas, ketika aliran sungai menurun, begitu juga dengan produksi listrik turbin. Fasilitas ini biasanya kecil dan konstruksinya sederhana, tetapi kemampuan untuk mengontrol listrik yang dihasilkan terbatas.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="pembangkit listri tenaga air" src="https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=455&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=455&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=455&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=572&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=572&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/490177/original/file-20221017-26-3w8wui.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=572&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fasilitas pembangkit listrik tenaga air di sungai.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.energy.gov/eere/water/types-hydropower-plants">U.S. Department of Energy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jenis kedua disebut fasilitas pembangkit listrik tenaga air “waduk” atau “bendungan”. Fasilitas ini menggunakan bendungan untuk menahan aliran sungai dan menciptakan danau buatan di belakang bendungan. </p>
<p>Bendungan PLTA memiliki saluran yang mengontrol berapa banyak air yang mengalir melalui lorong-lorong di dalam bendungan. Turbin di bagian bawah lorong-lorong ini mengubah air yang mengalir menjadi listrik. </p>
<p>Untuk menghasilkan listrik, operator bendungan melepaskan air dari danau buatan. Air ini semakin cepat ketika jatuh dari intake di dekat bagian atas bendungan ke turbin di bagian bawah. Air yang keluar dari turbin dilepaskan kembali ke sungai di bagian hilir. </p>
<p>Fasilitas pembangkit listrik tenaga air waduk ini biasanya berukuran besar dan dapat mempengaruhi habitat sungai, tetapi juga dapat menghasilkan banyak listrik dengan cara yang dapat dikontrol.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="pembangkit listrik tenaga air" src="https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=363&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=363&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=363&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=456&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=456&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/490178/original/file-20221017-18-c0dtqn.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=456&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fasilitas pembangkit listrik tenaga air berbasis bendungan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.energy.gov/eere/water/types-hydropower-plants">U.S. Department of Energy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Masa depan PLTA</h2>
<p>PLTA bergantung pada ketersediaan air di sungai yang mengalir. Karena perubahan iklim mempengaruhi siklus air, beberapa daerah mungkin memiliki curah hujan yang lebih sedikit dan akibatnya <a href="https://thebulletin.org/2021/08/hydroelectric-drought-how-climate-change-complicates-californias-plans-for-a-carbon-free-future/">listrik yang dihasilkan lebih sedikit</a>. </p>
<p>Selain itu, produksi listrik bukanlah satu-satunya hal yang harus dipikirkan oleh operator bendungan ketika mereka memutuskan berapa banyak air yang akan dialirkan. Mereka harus memastikan untuk menyimpan air di belakang bendungan untuk digunakan oleh masyarakat dan membiarkan air yang cukup untuk melestarikan habitat sungai di bawah bendungan.</p>
<p>PLTA juga dapat berperan dalam membatasi perubahan iklim karena PLTA merupakan bentuk listrik energi terbarukan. Fasilitas PLTA dapat menambah dan mengurangi produksi listrik mereka untuk mengisi kekosongan dalam pembangkit listrik tenaga angin dan matahari.</p>
<hr>
<p>_Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/221461/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Brian Tarroja tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana air yang mengalir menghasilkan listrik? Seorang insinyur menjelaskan pembangkit listrik tenaga air.Brian Tarroja, Associate Professional Researcher and Lecturer of Civil and Environmental Engineering, University of California, IrvineLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2145032024-01-26T02:07:31Z2024-01-26T02:07:31ZMengapa repatriasi prasasti Sangguran dan Pucangan penting untuk membantu Indonesia menghadapi krisis iklim?<p>Ilmuwan diaspora Indonesia sedang mendorong upaya pengembalian prasasti Pucangan dan Sangguran ke Indonesia (<a href="https://itjen.kemdikbud.go.id/web/repatriasi-benda-bersejarah-mengembalikan-warisan-budaya-ke-tanah-asalnya/">repatriasi</a>) yang sudah dilakukan sejak <a href="https://www.rri.go.id/surabaya/daerah/339745/gubernur-khofifah-upayakan-repatriasi-prasasti-sangguran-dari-inggris-ke-indonesia">tahun 2004 </a> tapi belum berhasil. </p>
<p>Kedua prasasti besar abad ke-10 dan ke-11 yang memuat tulisan Jawa kuno ini saat ini berada di <a href="https://www.iias.asia/the-newsletter/article/kolkata-calcutta-stone-bicentennial-british-interregnum-java-1811-1816">Kalkuta, India</a> dan Skotlandia. <a href="https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/sir-thomas-stamford-bingley-raffles/">Stamford Raffles</a>, Letnan Gubernur Inggris Raya yang berkuasa di Jawa tahun 1811-1816, memberikan kedua prasasti ini sebagai <a href="https://rejogja.republika.co.id/berita/s0dwwi399/mengenal-prasasti-sangguran-peninggalan-kerajaan-mataram-yang-kini-di-skotlandia">cinderamata untuk <em>Lord Minto of Roxburghshire</em></a>. Namun, belum ada informasi pasti mengapa prasasti Pucangan ditinggal di India dan tidak ikut dibawa ke Skotlandia.</p>
<p>Baik prasasti Pucangan maupun Sangguran bukan sekadar artefak budaya. Isi dari kedua prasasti tersebut adalah kunci untuk memahami arti hadirnya Indonesia di dalam era Antroposen (<em>Anthropocene</em>), era yang melihat adanya hubungan erat antara manusia dengan proses-proses geologis.</p>
<p>Kedua prasasti tersebut memuat tulisan Jawa kuno tentang peristiwa bencana pada sebuah periode kritis dalam sejarah Indonesia yang sampai saat ini belum sepenuhnya dimengerti karena teksnya tidak tersusun dengan baik. Sejauh ini, belum ada edisi atau terjemahan yang diterbitkan berdasarkan pemeriksaan langsung terhadap prasasti tersebut. Tanpa akses ke prasasti dan reproduksi yang dapat diandalkan, studi tentang isinya tidak dapat berkembang.</p>
<p>Padahal, bencana iklim dan Antroposen mendesak kita semua untuk memikirkan tentang dunia yang rapuh dan hubungan antara alam dengan masyarakat. Ilmuwan dunia percaya, mengunjungi kembali dua prasasti ini penting untuk memahami hubungan erat antara manusia dengan proses-proses geologis di masa lalu dan membantu masyarakat menghadapi ancaman iklim di masa kini dan masa depan. </p>
<h2>Hubungan manusia dengan alam</h2>
<p>Masyarakat lokal menilai Batu “Minto” atau Prasasti Sangguran dengan berat hampir 3 ton sebagai sebuah peninggalan sejarah berharga; sampai-sampai <a href="https://www.britishcouncil.id/en/blog/pulang-research-sangguran-inscription%E2%80%9D-area-olah-karya-id-x-edinburgh-sculpture-workshop-uk">replika dari prasasti tersebut</a> kini berdiri dan disembah di Jawa Timur, tempat asalnya. </p>
<p>Memang, prasasti Pucangan dan Sangguran adalah salah satu kunci untuk memahami hubungan sakral antarkehidupan sosial, struktur kepemerintahan dan manifestasi geologis di tanah Jawa. Sebagai contoh, ahli sejarah masih berdebat tentang hubungan antara pralaya (kehancuran besar) yang tertuang dalam prasasti Pucangan dan letusan gunung Merapi sekitar tahun 1006 yang kemudian mengakibatkan <a href="https://eprints.upnyk.ac.id/18101/1/2019_Kusumayudha%20et%20al_Chapter_VolcanicDisasterAndTheDeclineO%20%281%29.pdf">perpindahan kekuasaan kerajaan Mataram ke Jawa Timur</a>.</p>
<p>Setidaknya sejak awal abad ke-20, masyarakat Jawa sudah terlebih dahulu mencatat bukti adanya hubungan yang erat antara proses geologis dengan struktur kepemerintahan masa itu. </p>
<p>Bagi Keraton Yogyakarta, contohnya, kekuasaan sultan adalah <a href="https://www.dukeupress.edu/the-pulse-of-the-earth">pemberian dari penguasa Gunung Merapi dan Laut Kidul</a>. </p>
<p>Masyarakat lokal meyakini bahwa merekalah yang memberikan dan mempercayakan kekuasaan administratif kepada Sultan. Sedangkan Gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan, dan tsunami adalah pengejawantahan dari suara, dan nafas—para penunggu tersebut. Kepercayaan tersebut yang mendorong para abdi yang bekerja untuk sultan mempersiapkan sesaji bagi arwah nenek moyang, penunggu gunung berapi, sungai, hutan, dan laut.</p>
<p>Ahli ilmu bumi Belanda, Pieter Veth, dalam catatannya di tahun 1882 yang bertajuk “<a href="https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=20393939">Java: Geography, Ethnology, History</a>” mengakui signifikansi Nyai Ratu Kidul, dan Samudera Hindia sebagai teritorinya.</p>
<p>Masyarakat Jawa sudah memahami bahwa segala aspek sosial, politik, dan proses geologis tidak dapat dipisahkan; dan <a href="https://eprints.gla.ac.uk/269616/">mereka sudah bergumul dengan konsep Antroposen setidaknya sejak abad ke-18</a>. </p>
<p>Ketika para ilmuwan barat di awal abad ke-20 melakukan eksperimen, mereka mengambil data di situs-situs gunung berapi dan menemukan sesajen. </p>
<p><a href="https://repository.naturalis.nl/pub/317412/SG1983071001.pdf">Georges Kemmerling</a>, ilmuwan dari Belanda, mencatat bahwa dalam melakukan kegiatan ilmiahnya di sekitar gunung Merapi di Jawa dan gunung Agung di Bali, dia mengikuti <a href="https://www.anthropocene-curriculum.org/anthropogenic-markers/strata-signals-symptoms/contribution/a-javanese-anthropocene">rute ritual menuju situs-situs sakral</a>.</p>
<p>Dalam rute-rute itulah, ilmuwan kolonial pada tahun 1920-1930 pertama kali mempelajari gunung-gunung berapi di Jawa. </p>
<p>Apa yang hari ini dianggap sebagai mitos atau <em>local wisdom</em> sejatinya adalah fondasi dari berbagai cabang ilmu bumi modern. Konsep Antroposen yang dipahami oleh masyarakat Jawa <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/718757">memberi pengertian baru di bidang <em>Kronostratigrafi</em> (cabang ilmu yang mempelajari umur strata batuan dalam hubungannya dengan waktu) dan peran manusia dalam perubahan iklim</a>.</p>
<p>Itulah sebabnya, prasasti seperti Sangguran, dan Pucangan penting untuk memberikan pengertian mendalam terkait hal ini.</p>
<h2>Apa yang sudah dilakukan?</h2>
<p>Untuk lebih memahami sejarah Indonesia pada abad ke-10, penulis dan <a href="https://www.gla.ac.uk/schools/ges/staff/adambobbette/">Adam Bobbette</a>, peneliti dan dosen di Universitas Glasgow, Skotlandia, mengumpulkan peneliti-peneliti dari Indonesia, Amerika, Inggris dan Australia untuk menggali konsep kerajaan-kerajaan kuno nusantara dan bagaimana batas-batasnya berevolusi dari masa ke masa dalam sebuah forum bertajuk <a href="https://www.gla.ac.uk/news/headline_1000069_en.html"><em>Inscriptions on the Move</em>, September 2023 lalu</a>. </p>
<p>Saat ini status kepemilikan prasasti Sangguran masih dipegang oleh keluarga Minto, bukan oleh pemerintah Skotlandia.</p>
<p>Kolaborasi keilmuan yang dimotori oleh diaspora akademik Indonesia ini adalah cerminan diplomasi sains akar rumput untuk meningkatkan kesadaran publik tentang keberadaan prasasti Sangguran di Skotlandia, lewat diskursus ilmiah. </p>
<p>Ini sekaligus mengajak pemangku kebijakan Skotlandia untuk memfasilitasi upaya repatriasi yang sampai saat ini masih gagal terlaksana setelah Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, Inggris <a href="https://nasional.tempo.co/read/671753/prasasti-kutukan-nilainya-selangit-sulit-ditebus-6">menghentikan negosiasi pada 2006</a>. </p>
<p>Dalam acara di atas, penulis bersama penyelenggara juga mengikutsertakan Bupati kota Batu, Jawa Timur, Aries Agung Paewai, serta Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Lestari Moerdijat untuk menyuarakan <a href="https://www.heraldscotland.com/business_hq/23785804.scotland-colonial-history-indonesia-needs-addressing/">pentingnya pengembalian prasasti Sangguran lewat media lokal</a>. </p>
<p>Prasasti Pucangan dan Sangguran bukan hanya penting sebagai peninggalan budaya untuk dipamerkan di museum, melainkan untuk dipahami dan diteliti secara keilmuan oleh etnografer, ahli geologi, maupun ahli sejarah. Harapannya, kita bisa menggunakan hasil analisisnya untuk mempelajari bagaimana Jawa di permulaan abad modern menyikapi bencana alam dan lingkungan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214503/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bagus Putra Muljadi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Prasasti Pucangan maupun Sangguran adalah kunci untuk memahami arti hadirnya Indonesia di dalam era Antroposen. Mengapa demikian?Bagus Putra Muljadi, Assistant Professor of Chemical and Environmental Engineering, University of NottinghamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2205422024-01-05T02:44:36Z2024-01-05T02:44:36ZKenali 3 jenis cuaca ekstrem yang merusak akibat perubahan iklim di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/567813/original/file-20240104-26-v1hw3b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Banjir bandang di Konawe yang dipicu cuaca ekstrem pada 2019.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Muh Zailani Sanusi/Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p><a href="https://theconversation.com/id/topics/perubahan-iklim-48553">Perubahan iklim</a> membuat anomali cuaca semakin parah. Di Indonesia, sebagai negara kepulauan di garis khatulistiwa, iklim yang berubah membuat cuaca dan kejadian ekstrem semakin sulit diprediksi. </p>
<p>Contohnya fenomena iklim <a href="https://theconversation.com/topics/el-nino-77545">El Nino</a> 2023-2024 yang menyebabkan pemanasan suhu menunda musim hujan di Indonesia hingga awal Januari ini, atau sekitar lima dasarian (sekitar 50 hari) dari kondisi normal. Rekor tersebut melampaui penundaan musim hujan saat El Nino terparah yang pernah tercatat melanda Indonesia pada 1997-1998 (2-3 dasarian).</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1742332293145088508"}"></div></p>
<p>Perubahan iklim juga membuat cuaca ekstrem semakin intens. Misalnya, iklim yang berubah dapat menambah kecepatan angin dari 5 meter menjadi 10 meter per detik sehingga dampaknya lebih merusak.</p>
<p>Kita perlu mengetahui cuaca ekstrem apa saja yang kerap terjadi di Indonesia agar bisa mengantisipasi risiko ke depannya di tengah perubahan iklim. Setidaknya ada tiga cuaca ekstrem di Indonesia dalam skala menengah atau meso (sekitar 2-2000 km) yang perlu kita waspadai.</p>
<h2>1. <em>Squall line</em></h2>
<p>Seperti namanya, <em>squall line</em> adalah fenomena cuaca ekstrem berbentuk garis memanjang. Garis ini terbentuk dari awan kumulonimbus yang terus memanjang hingga menyerupai landasan pesawat, lalu bertemu dengan awan serupa. </p>
<p>Seiring perjalanannya, pertemuan kedua awan ini menciptakan energi yang dahsyat. <em>Squall line</em> yang terjadi di laut bahkan dapat menciptakan hempasan badai (<em>storm surge</em>) lalu membawa angin kencang dan rob ke daerah pesisir. </p>
<p>Banjir rob yang melanda kawasan pantai utara maupun pantai selatan Jawa hingga Bali pada akhir <a href="https://www.bmkg.go.id/artikel/?p=analisa-gelombang-laut-ekstrem-terkait-banjir-rob-di-pesisir-selatan-bali-tanggal-27-mei-2020&lang=ID">Mei hingga Juni 2020</a>, misalnya, terbentuk karena <em>squall line</em>. Saat itu Brebes, daerah di Jawa Tengah, diklaim mengalami <a href="https://kumparan.com/panturapost/warga-brebes-alami-rob-terbesar-sepanjang-sejarah-1tWtZtPJDt4">banjir rob terbesar sepanjang sejarah.</a> Fenomena ini bahkan menciptakan gelombang tinggi yang berisiko menimbulkan abrasi di kawasan pesisir dan merusak infrastruktur seperti tanggul ataupun jembatan.</p>
<p>Dari mana <em>squall line</em> ini muncul? Kami dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional merekam perjalanan <em>squall line</em> saat itu terbentuk di Sumatra bagian tengah. </p>
<p>Awalnya, kami mengira <em>squall line</em> akan meluruh atau menyeberang ke arah Selat Malaka yang berada antara Malaysia dan Pulau Sumatra. Ternyata <em>squall line</em> saat itu malah bertahan lalu mengarah ke Selat Sunda dan berlangsung lebih dari 24 jam. Ini menandakan betapa dahsyatnya energi badai dari <em>squall line</em> saat itu karena bisa mengambil energi dari sekitar beberapa kali untuk memperkuat dirinya dan melanjutkan perjalanan sampai Bali. </p>
<p>Lantas, berapa kecepatan <em>squall line</em> tersebut untuk menyeberang dari Sumatra ke Jawa? <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844023070123">Perhitungan kami</a> sekitar enam jam. Jadi, jika <em>squall line</em> terbentuk pada dini hari, warga di Banten dan Jawa Barat perlu bersiap-siap sejak pagi untuk menghadapi badai dan gelombang tinggi.</p>
<h2>2. Bow echo</h2>
<p><em>Bow echo</em> adalah fenomena cuaca ekstrem <em>squall line</em> tapi melengkung seperti busur atau bumerang.</p>
<p>Lengkungan inilah yang perlu kita waspadai. Sebab, lengkungan terjadi karena ada pusaran angin di kedua ujung garis, yakni pusaran siklon (berlawanan dengan arah jarum jam) dan antisiklon (searah jarum jam). Bayangkan betapa parahnya daya rusak dari <em>bow echo</em> akibat dua pusaran yang berpasangan ini.</p>
<p>Bukan hanya siklon, di kedua ujungnya, <em>bow echo</em> juga biasanya mengandung awan <em>downburst</em> di bagian tengah atau lengkungannya. Awan ini menumpahkan hujan yang sangat deras dengan tempo amat cepat di suatu tempat.</p>
<p>Besarnya energi <em>bow echo</em> menghasilkan angin puting beliung yang begitu destruktif. Ini kami amati dari rekonstruksi kejadian <em>bow echo</em> di Cimenyan, Bandung, pada Mei 2021 (riset sedang dalam proses telaah). Saat itu, sang bumerang yang berkecepatan 56 km/jam merusak sekitar <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5514516/puting-beliung-di-cimenyan-bandung-bpbd-361-rumah-rusak">361 rumah</a>. </p>
<h2>3. <em>Mesoscale convective complex</em> (MCC)</h2>
<p><em>Mesoscale convective complex</em> (MCC) adalah fenomena cuaca ekstrem yang sering terjadi pada akhir tahun lalu di Pulau Jawa. </p>
<p>MCC terbentuk dari kluster-kluster awan yang saling bergabung lalu membentuk satu bulatan. Kluster ini pada awalnya hanya berskala kecil kemudian perlahan-lahan membesar. MCC dapat menciptakan hujan ekstrem selama tiga hari berturut-turut.</p>
<p>Contoh <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2352938523001404">fenomena MCC</a> terjadi di Bandung raya, Jawa Barat, pada 23-25 Maret 2021. Banjir ini menyebabkan <a href="https://jabar.inews.id/berita/hujan-deras-5-kecamatan-di-kabupaten-bandung-terendam-banjir">4.161 rumah di Kabupaten Bandung terendam.</a> </p>
<p>Kluster awan juga bisa terbentuk lebih dari satu kumpulan dalam waktu bersamaan, atau biasa disebut MCC kembar. Kondisi ini menyebabkan kejadian badai stasioner yang memicu hujan ekstrem dan lama. Di Luwu, Sulawesi Selatan, MCC kembar menyebabkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/07/20/09210791/bnpb-ungkap-tiga-penyebab-banjir-bandang-di-luwu-utara?page=all">banjir bandang</a> pada Juli 2020. Cuaca ekstrem kemudian 38 orang meninggal dunia, 58 korban luka, dan 14 ribu penduduk mengungsi.</p>
<h2>Pentingnya prediksi cuaca ekstrem</h2>
<p>Dengan kondisi negara yang dikelilingi laut, Indonesia memiliki risiko tinggi mengalami cuaca ekstrem. Sebab, fenomena meteorologi di atmosfer dapat terkombinasi dengan dinamika di laut. </p>
<p>Kita membutuhkan cara memprediksi yang lebih baik untuk mengantisipasi berbagai anomali cuaca akibat perubahan iklim. Kita, misalnya, tidak bisa hanya mengasumsikan puting beliung seperti sebelumnya yakni kondisi angin ekstrem yang berlangsung cepat. </p>
<p>Untuk mengantisipasi ekstrem, kita perlu lebih aktif mempelajari dinamika cuaca dan pola kejadian ekstrem. Indonesia memerlukan tim ‘pemburu badai’ yang memantau kejadian ekstrem lalu mempelajarinya. Tujuannya agar di masa depan kejadian serupa dapat diantisipasi. </p>
<p>Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga harus lebih berkoordinasi langsung ke pimpinan daerah dan kelompok masyarakat seputar risiko cuaca ekstrem. Harapannya, sistem pencegahan dini dapat semakin kuat, dan masyarakat lebih sigap menghadapi kejadian ekstrem yang berisiko lebih sering di masa depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/220542/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Erma Yulihastin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebagai negara kepulauan, cuaca di Indonesia sangat dipengaruhi oleh laut. Perubahan iklim memperparah cuaca ekstrem.Erma Yulihastin, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2194022023-12-11T01:59:03Z2023-12-11T01:59:03ZLagi, emisi CO2 energi fosil cetak rekor tertinggi tahun ini<p>Emisi karbon dioksida (CO2) global dari bahan bakar fosil terus meningkat dengan angka kenaikan pada 2023 sebesar 1,1%. Emisi tersebut mencetak rekor, dengan torehannya sebesar 36,8 miliar ton. </p>
<p>Angka ini adalah temuan dari <a href="https://globalcarbonbudget.org/">laporan tahunan bujet karbon ke-18</a> dari <a href="https://www.globalcarbonproject.org/">Global Carbon Project</a> yang kami rilis 5 Desember lalu.</p>
<p>Emisi fosil CO2 berasal dari pembakaran dan penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak, dan gas bumi) serta produksi semen. Jika ditambahkan dengan angka pelepasan dan penyerapan emisi CO2 dari aspek alih fungsi lahan, seperti deforestasi dan reforestasi, kami menaksir aktivitas manusia akan mengeluarkan 40,9 miliar ton CO2 tahun ini. </p>
<p>Vegetasi dunia beserta laut memang terus menyerap sekitar separuh dari CO2 yang terlepas dari permukaan Bumi. Sisanya akan terperangkap di atmosfer kemudian meningkatkan pemanasan planet kita.</p>
<p>Dengan level emisi saat ini, dan dengan 50% kemungkinan, bujet karbon yang untuk membatasi suhu global 1,5°C akan habis dalam tujuh tahun, dan 15 tahun lagi akan mencapai 1,7°C. Inilah yang menyebabkan kebutuhan pemangkasan emisi saat ini menjadi amat darurat. </p>
<h2>Emisi dari sumber energi fosil terus naik</h2>
<p>Emisi CO2 dari sumber energi fosil saat ini mencapai 90% total emisi CO2 dari aktivitas manusia. Setiap sumber fosil mengalami kenaikan emisi dibanding tahun lalu:</p>
<ul>
<li>batu bara (41% dari emisi CO2 global) naik 1,1%</li>
<li>minyak bumi (32%) naik 1,5%</li>
<li>gas bumi (21%) naik 0,5%</li>
<li>semen (4%) naik 0,8%.</li>
</ul>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Line graph showing emissions from fossil fuels, land-use changes and total emissions from 1960 to 2023" src="https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/561807/original/file-20231127-21-qxh34e.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seluruh bahan bakar fosil mendong kenaikan emisi CO2.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.globalcarbonproject.org/">Global Carbon Budget 2023/Global Carbon Project</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meskipun emisi global naik, gambaran setiap negara berbeda-beda. Ada beberapa yang menunjukkan kemajuannya dalam dekarbonisasi atau proses pengurangan emisi karbon.</p>
<p>Emisi dari Cina (31% dari total emisi global) naik 4% dengan peningkatan di seluruh sumber fosil. Pertumbuhan tertinggi berasal dari emisi minyak bumi. Kenaikan ini sebagian berasal dari pemulihan sektor transportasi yang sempat tiarap akibat pandemi COVID-19.</p>
<p>Di Amerika Serikat (14% dari total emisi global), emisi justru turun 3%. Usaha pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mereka adalah penyebab terbesar pengurangan emisi. Emisi dari batu bara di AS mencapai titik terendah sejak 1903.</p>
<p>Sementara itu, emisi India (8% dari total emisi global) naik 8,2%. Emisi dari seluruh sumber fosil naik setidaknya 5% atau lebih, dengan kenaikan terbesar berasal dari batu bara (9,5%). India saat ini menjadi penyumbang emisi CO2 fosil terbesar ketiga di dunia.</p>
<p>Emisi dari Uni Eropa (7% dari total emisi global) turun 7,4%. Penurunan ini disumbang oleh cepatnya penetrasi energi terbarukan dan dampak pasokan energi akibat perang di Ukraina.</p>
<p>Di Indonesia, total emisi fosil CO2 melesat sebesar 18% pada 2022. Angka ini merupakan yang tertinggi selama 60 tahun terakhir. Cepatnya pertumbuhan sebagian terjadi karena usaha Indonesia memulihkan ekonomi pascapandemi. Sementara, sebagian lainnya adalah karena pertumbuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru sehingga emisi CO2 dari batu bara naik pesat sebesar 33%.</p>
<p>Selama dekade 2013-2022, ada penurunan emisi fosil CO2 di 26 negara dan perekonomian mereka tetap bertumbuh. Beberapa di antaranya adalah Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Portugal, Rumania, Afrika Selatan, Inggris, dan AS. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Emissions by individual countries from 1960 to 2023" src="https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/561808/original/file-20231127-25-kn1l9m.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tren emisi fosil CO2 amat beragam. Ada beberapa yang mengalami kemajuan dalam proses dekarbonisasi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.globalcarbonproject.org/">Global Carbon Budget 2023/Global Carbon Project</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Emisi CO2 nyaris mencapai puncak</h2>
<p>Saat emisi CO2 dari sumber fosil terus naik, emisi bersih dari aspek alih fungsi lahan seperti deforestasi (sumber emisi CO2) dikurangi penyerapan emisi dari reforestasi tampak berkurang. Walau begitu, perkiraan emisi dari alih fungsi lahan secara keseluruhan masih belum pasti dan kurang akurat dibandingkan emisi bahan bakar fosil.</p>
<p>Perkiraan awal kami menunjukkan emisi bersih dari alih fungsi lahan mencapai 4,1 miliar ton CO2 pada 2023. Emisi ini mengalami penurunan kecil tapi relatif tidak pasti selama dua dekade terakhir.</p>
<p>Tren penurunan terjadi karena berkurangnya deforestasi dan kenaikan tipis reforestasi. Penyumbang terbesarnya adalah Brasil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo. Tiga negara ini menyumbang 55% dari emisi bersih CO2 global dari alih fungsi lahan.</p>
<p>Saat kami menggabungkan emisi CO2 dari aktivitas manusia (fosil dan penggunaan lahan), kami menemukan tren total emisi yang sangat kecil selama dekade terakhir. Jika hal ini benar, maka emisi CO₂ global dari aktivitas manusia tidak akan bertambah lagi, tapi tetap berada pada tingkat rekor yang sangat tinggi.</p>
<p>Emisi CO2 yang stabil dengan angka 41 miliar ton per tahun akan mempercepat akumulasi CO2 di atmosfer dan pemanasan iklim. Sementara, untuk menstabilkan iklim, emisi CO2 dari aktivitas manusia harus mencapai ke titik nol atau <em>net zero</em>. Artinya, setiap CO2 yang terlepaskan harus ditebus dengan penyerapan CO2.</p>
<h2>Alam sangat menolong, dengan sedikit kontribusi manusia</h2>
<p>Vegetasi di daratan dan lautan menyerap separuh dari total emisi CO2. Porsi ini, ajaibnya, tetap stabil selama enam dekade belakangan.</p>
<p>Selain penyerapan CO2 secara alami, manusia juga menyerap CO2 dari atmosfer dengan usaha mereka sendiri. Kami memperkirakan reforestasi permanen ataupun aforestasi (penanaman di luar hutan) selama satu dekade terakhir membantu penyerapan 1,9 miliar ton CO2 per tahun.</p>
<p>Angka tersebut setara 5% dari emisi bahan bakar fosil per tahun.</p>
<p>Sementara itu, kontribusi dari upaya penyerapan CO2 non-vegetasi lainnya masih kecil. angka nya sekitar 0,01 juta ton CO2.</p>
<p>Mesin (penangkapan dan penyimpanan karbon langsung dari atmosfer) berhasil menarik 0,007 juta ton CO2. Proyek pelapukan batuan yang ditingkatkan (<em>enhanced weathering project</em>), untuk mempercepat proses pelapukan alami agar meningkatkan serapan CO₂ dengan menyebarkan mineral tertentu, menyumbang 0,004 juta ton lainnya. Jumlah ini sejuta kali lebih kecil dibandingkan emisi bahan bakar fosil saat ini.</p>
<h2>Bujet karbon tersisa</h2>
<p>Sejak Januari 2024, bujet karbon tersisa untuk membatasi pemanasan global 1,5°C (dengan 50% kemungkinan) sudah berkurang ke 275 miliar CO2. Bujet ini kemungkinan akan habis terpakai dalam tujuh tahun jika kita merujuk pada tingkat emisi 2023.</p>
<p>Bujet karbon untuk membatasi pemanasan 1,7°C juga berkurang ke 625 miliar ton CO2, alias setara 15 tahun lagi jika kita mengacu ke tren emisi saat ini. Bujet agar suhu Bumi di bawah 2°C adalah 1.150 miliar ton CO2–atau 28 tahun lagi. </p>
<p>Pencapaian <em>net zero</em> pada 2050 membutuhkan pengurangan emisi CO2 dari aktivitas manusia ke rata-rata 1,5 miliar ton CO2 per tahun. Angka ini hampir setara dengan berkurangnya emisi 2020 akibat berbagai pembatasan saat pandemi (di bawah 2 miliar ton CO2).</p>
<p>Tanpa tambahan emisi negatif dari penyerapan CO2, penurunan emisi secara langsung mulai saat ini hingga 2050 (saat banyak negara berambisi mencapai <em>net zero</em> CO2 ataupun gas rumah kaca lainnya) akan tetap membuat suhu permukaan rata-rata global menghangat sebesar 1,7°C, melampaui batas 1,5°C.</p>
<p>Produksi energi terbarukan kini mencapai rekor tertinggi dan berkembang pesat. Karena itu, untuk membatasi perubahan fosil dan penggunaan lahan akibat perubahan iklim, emisi CO₂ harus dikurangi lebih cepat supaya pada akhirnya kita bisa mencapai kondisi nol emisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219402/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Pep Canadell menerima dana dari Program Ilmu Lingkungan Nasional - Climate Systems Hub.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Corinne Le Quéré menerima dana dari program penelitian dan inovasi Horizon 2020 Uni Eropa berdasarkan perjanjian hibah No. 821003 (4C), dari Dewan Penelitian Lingkungan Alam PBB di bawah hibah NE/V011103/1 (Frontiers), dan dari Royal Society Inggris di bawah hibah hibah RP\R1\191063 (Profesor Penelitian). Corinne Le Quéré Mengetuai Dewan Tinggi Perancis untuk Perubahan Iklim dan merupakan anggota Komite Perubahan Iklim Inggris. Posisinya di sini adalah miliknya sendiri dan tidak mencerminkan posisi kelompok tersebut.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Glen Peters menerima dana dari program penelitian dan inovasi Horizon 2020 Uni Eropa berdasarkan perjanjian hibah No. 821003 (4C) dan 958927 (CoCO2), dan perjanjian hibah Horizon Europe No 101056306 (IAM COMPACT).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Judith Hauck menerima dana penelitian dari Asosiasi Helmholtz, Komisi Eropa, dan Kementerian Sains dan Pendidikan Jerman (BMBF). Dia berafiliasi dengan Alfred Wegener Institute, Pusat Penelitian Kutub dan Kelautan Helmholtz.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Julia Pongratz menerima dana dari Kementerian Pendidikan dan Penelitian Jerman (BMBF) dalam program CDRterra dan dari proyek Horizon Europe ForestNavigator dan RESCUE.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Philippe Ciais menerima dana dari BNP Paribas Foundation (hadiah filantropis untuk Global Carbon Altas), proyek yang didanai 4C EU Horizon2020, dan proyek Inisiatif Perubahan Iklim Badan Antariksa Eropa.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Pierre Friedlingstein menerima dana dari program penelitian dan inovasi Horizon 2020 Uni Eropa berdasarkan perjanjian hibah No. 821003 (4C)</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Robbie Andrew menerima dana untuk program penelitian dan inovasi Horizon 2020 Uni Eropa berdasarkan perjanjian hibah No. 821003 (4C) dan 958927 (CoCO2).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rob Jackson menerima dana dari CA Energy Commission, Gordon and Betty Moore Foundation, UNEP, dan HT LLC.</span></em></p>Kencangnya laju emisi mengurangi jatah CO2 yang bisa kita lepaskan untuk membatasi suhu Bumi 1,5°C. Dengan tingkat emisi saat ini, bujet karbon kita tersisa 7 tahun lagi.Pep Canadell, Chief Research Scientist, CSIRO Environment; Executive Director, Global Carbon Project, CSIROCorinne Le Quéré, Royal Society Research Professor of Climate Change Science, University of East AngliaGlen Peters, Senior Researcher, Center for International Climate and Environment Research - OsloJudith Hauck, Helmholtz Young Investigator group leader and deputy head, Marine Biogeosciences section a Alfred Wegener Institute, Universität BremenJulia Pongratz, Professor of Physical Geography and Land Use Systems, Department of Geography, Ludwig Maximilian University of MunichPhilippe Ciais, Directeur de recherche au Laboratoire des science du climat et de l’environnement, Institut Pierre-Simon Laplace, Commissariat à l’énergie atomique et aux énergies alternatives (CEA)Pierre Friedlingstein, Chair, Mathematical Modelling of Climate, University of ExeterRobbie Andrew, Senior Researcher, Center for International Climate and Environment Research - OsloRob Jackson, Professor, Department of Earth System Science, and Chair of the Global Carbon Project, Stanford UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2182582023-11-24T02:00:05Z2023-11-24T02:00:05ZSentimen miring CEO raksasa migas memimpin COP 28 dapat mengabaikan agenda iklimnya untuk negara berkembang<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/560684/original/file-20231012-21-7d5266.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5472%2C3637&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sultan Ahmed al-Jaber, CEO perusahaan minyak negara Uni Emirat Arab, akan memimpin konferensi iklim PBB COP28.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/sultan-al-jaber-chief-executive-of-the-uaes-abu-dhabi-news-photo/1529645349">Francois Walschaerts/AFP via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Pada Desember 2023, delegasi dari seluruh negara akan bertemu di Uni Emirat Arab (UEA) untuk <a href="https://treaties.un.org/Pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXVII-%207&bab=27&Temp=mtdsg3&dentang=_en">Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Global</a> ke-28 atau COP 28.</p>
<p>Perundingan ini penting agar dunia bisa mencapai kesepakatan untuk menghindari perubahan iklim yang berbahaya. Sayangnya, <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2023-06%20-15/pembicaraan-iklim-sebelum-polisi28-mengangkat-kekhawatiran-akibat-yang-lemah">kepercayaan global terhadap COP28 berada di tingkat yang rendah</a>. Salah satunya disebabkan oleh pimpinan tertingginya.</p>
<p>UEA memicu kontroversi pada Januari 2023 saat mengumumkan bahwa Sultan Ahmed al-Jaber, CEO Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi (ADNOC) – akan menjadi presiden COP 28. Jabatan ini membuat Jaber memiliki kekuasaan besar atas agenda-agenda rapat.</p>
<p><a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2023-05-23/us-eu-lawmakers-want-al-jaber-out-as-cop28-president?leadSource=uverify%20wall">Amerika Serikat (AS) dan politikus Eropa</a> sempat menuntut pengunduran diri al-Jaber. Mantan Wakil Presiden AS Al Gore <a href="https://www.ft.com/content/65423811-7c7e-4ae5-876d-ffbed29cefcf">sampai menuding</a> bahwa kepentingan bahan bakar fosil telah “merasuki proses di Perserikatan Bangsa Bangsa hingga tingkat yang meresahkan, bahkan menempatkan CEO salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia sebagai presiden COP 28.”</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="John Kerry, dalam setelan bisnis barat, menyentuh lengan Al Jaber saat mereka berbicara. Al Jaber mengenakan pakaian tradisional Timur Tengah. Kedua pria itu memiliki tinggi badan yang hampir sama. " src="https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/553512/original/file-20231012-25-d9xkn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Utusan Presiden AS untuk Iklim John Kerry berbicara dengan.
Sultan Ahmed al-Jaber selama Forum Energi Global Dewan Atlantik di Abu Dhabi pada 14 Januari 2023. Kerry mendukung al-Jaber terpilih menjadi Presiden COP28.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/united-arab-emirates-minister-of-state-and-ceo-of-the-abu-news-photo/1246218348?adppopup=true">Karim Sahib/AFP via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Menurut saya, kekhawatiran mengenai peran industri bahan bakar fosil menghambat kebijakan pro-iklim adalah hal yang wajar. Terdapat <a href="https://doi.org/10.1002/wcc.809">banyak bukti</a> bahwa perusahaan bahan bakar fosil terbesar mengetahui produk mereka akan menyebabkan perubahan iklim sejak beberapa dekade silam. Mereka lantas sengaja berupaya untuk menyangkal ilmu pengetahuan iklim dan menentang kebijakan iklim.</p>
<p>Kendati demikian, saya meyakini seruan untuk <a href="https://www.lemonde.fr/en/opinion/article/2023/09/30/boycott-cop28-holding-a-climate-conference-in-dubai-is%20-absurd-and-dangerous_6142129_23.html">memboikot COP28</a> dan memblok pilihan suatu kawasan untuk memimpin justru merusak kredibilitas negosiasi PBB dan mengabaikan potensi agenda dalam COP 28.</p>
<p>Saya pernah menjadi penasihat <a href="https://www.unep.org/">Program Lingkungan PBB (UNEP) </a> dan <a href="https://www.clarku.edu/faculty/profiles/ibrahim-ozdemir/">akademisi bidang etika lingkungan</a>. Kekhawatiran terhadap masalah ini mendorong saya untuk bekerja sama dengan enam rekan dari negara-negara belahan dunia Selatan untuk melakukan <a href="https://www.connaissancedesenergies.org/sites/default/files/pdf-actualites/cop-presidencies-comparative-analysis-tracked7073-230927011708.pdf">analisis komparatif terperinci</a> tentang tujuan dan perilaku lima presidensi COP belakangan.</p>
<p>Kami terkejut saat menemukan bahwa agenda kebijakan yang dipromosikan oleh kepresidenan COP 28 UEA akan bermanfaat besar untuk mempercepat transisi dari bahan bakar fosil. Kami juga menemukan bahwa banyak kritik terhadap kepresidenan UEA tidak berdasar.</p>
<h2>Bagaimana al-Jaber dipilih</h2>
<p>Pertama, penting bagi kita untuk memahami bagaimana proses pemilihan presiden COP.</p>
<p>Pemilihan tuan rumah COP berlangsung dengan <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/conferences/the-big-picture/what-are-united-nations-climate-change%20-konferensi/bagaimana-polisi-diorganisir-pertanyaan-dan-jawaban#Negara-tuan%20rumah-dan-presidensi">proses PBB</a> yang bergilir secara demokratis <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/conferences/the-big-picture/what-are-united-nations-climate-change-conferences/how-cops-are-organized-questions-and-answers#Host-country-and-presidency">di antara enam regional</a>. </p>
<p>Negara-negara di setiap regional berkonsultasi mengenai siapa yang akan mewakili kawasan mereka. Setelah disepakati, perwakilan mereka mengusulkan nama, yang kemudian dinilai dan diselesaikan oleh Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC).</p>
<p>Untuk COP 28, kawasan Asia-Pasifik yang terdiri dari beragam negara berkembang, memilih UEA dan al-Jaber.</p>
<h2>Kekhawatiran energi di negara-negara Selatan</h2>
<p>Bagi beberapa negara di kawasan Selatan, tuntutan penghapusan bahan bakar fosil tidak hanya tampak menakutkan, tapi juga <a href="https://documents1.worldbank.org/%20dikurasi/en/312441468197382126/pdf/104866-v1-REVISI-PUBLIC-Laporan-Utama.pdf">mengancam pembangunan ekonomi</a> mereka. Tuntutan ini diserukan banyak kelompok aktivis dan negara-negara peserta COP 28.</p>
<p>Dari puluhan negara penghasil minyak dunia, sekitar <a href="https://www.wri.org/insights/just-transition-developing-countries-shift-oil-gas">separuhnya merupakan negara berkembang berpendapatan menengah</a> dengan perekonomian yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dan gas. Studi menunjukkan bahwa penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara cepat dan tidak dipersiapkan dapat menyebabkan kerugian investasi infrastruktur senilai <a href="https://doi.org/10.1038/s41558-018-0182-1">triliunan dolar AS</a> di negara-negara penghasil minyak.</p>
<p></p>
<p>Namun, pada saat yang sama, banyak negara di Dunia Selatan menghadapi <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/">dampak perubahan iklim yang tidak proporsional dengan produksi emisi gas rumah kaca mereka.</a> Dampaknya bermacam-macam, mulai dari peristiwa cuaca ekstrem hingga kenaikan permukaan air laut yang dapat <a href="https://www.pbs.org/newshour/world/amid-rising-seas-island-nations-push-for-legal-protection">mengancam keberadaan</a> masyarakat mereka.</p>
<p>Al-Jaber menyebut penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap <a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/jul/13/phase-down-of-fossil-fuel-inevitable-and%20-essential-says-cop28-president">“tidak bisa dihindari” dan “penting”</a>. Namun, dia mengatakan sistem energi dan negara-negara Selatan <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/5/%2010/world-not-ready-to-switch-off-fossil-fuels-uae-says">belum siap untuk penghentiannya secara cepat</a>–setidaknya hingga kontribusi energi terbarukan meningkat. </p>
<p>COP 28, karena itu, harus <a href="https://www.argusmedia.com/en//news/2496902-uaes-aljaber-says-cop-28-must-focus-on-adaptation">berfokus pada adaptasi</a>. Pandangan tersebut, meskipun didukung oleh beberapa negara di Dunia Selatan, telah menuai kritik tajam.</p>
<h2>Al-Jaber, Masdar, dan ADNOC</h2>
<p>Beberapa orang menggambarkan kepemimpinan Al-Jaber dalam COP 28 sebagai <a href="https://www.cnn.com/2023/07/18/middleeast/cop-28-dubai-greenwashing-%20Climate/index.html">upaya UEA untuk melakukan “<em>greenwash</em>”</a> atas rencana ekspansi minyak dan gas ADNOC, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia.</p>
<p>Meskipun saya bersimpati dengan kekhawatiran ini, saya dan rekan-rekan saya menganggapnya terlalu sederhana. </p>
<p><a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/oct/07/meet-the-oil-man-tasked-with-%20saving-the-planet-cop28">Al-Jaber</a> menghabiskan sebagian besar karirnya di sektor energi terbarukan. Pada 2006, ia <a href="https://masdar.ae/en/About-Us/Management/History-and-Legacy">mendirikan dan menjalankan</a> perusahaan energi terbarukan pelat merah UEA, Masdar. Di sana, dia mengembangkan Masdar sehingga menjadi <a href="https://www.energyglobal.com/wind/07062023/uae-and-egypt-advance-development-of-africas-biggest-wind-farm/">operator energi terbarukan terbesar di Afrika</a>.</p>
<p>Al-Jaber baru ditunjuk sebagai CEO ADNOC pada 2016, dalam rangka peluncuran resmi <a href="https://doi.org/10.1111/polp.12457">“strategi pascaminyak nasional”</a> UEA. Tahun sebelumnya, Putra Mahkota Mohammed bin Zayed menyampaikan pidato di pertemuan puncak pemerintah UEA. <a href="https://www.thenationalnews.com/uae/abu-dhabi-s-journey-towards-celebrating-the-last-barrel%20-of-oil-gathers-pace-1.737529">Dia menyatakan</a> bahwa UEA akan merayakan “barel minyak terakhir” pada pertengahan abad ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tiga pria berdiri dan berbicara." src="https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/553513/original/file-20231012-23-fxf8u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sultan Ahmed al-Jaber bertemu dengan pejabat di beberapa negara berkembang, termasuk Menteri Lingkungan Hidup, Hutan dan Perubahan Iklim India, Bhupender Yadav (kanan).</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/bhupender-yadav-indias-minister-for-environment-forest-and-news-photo/1559090143">R.Satish Babu/AFP via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>ADNOC banyak dikritik karena berencana menginvestasikan US$150 miliar (Rp2.315 triliun) untuk perluasan kapasitas minyak dan gasnya pada dekade ini. Saya mafhum dengan keprihatinan ini. Untuk tetap berada dalam batas pemanasan global 1,5°C (berdasarkan Perjanjian Paris) dunia mungkin perlu <a href="https://climatechangenews.com/2023/09/27/new%20-iea-net-zero-report-leaves-big-polluters-less-room-to-hide/">menghentikan investasi bahan bakar fosil baru</a>, seperti yang didesak oleh Badan Energi Internasional. Dunia juga perlu <a href="https://doi.%20org/10.1088/1748-9326/ac6228">menonaktifkan sekitar 40%</a> dari cadangan bahan bakar fosil yang sudah dikembangkan.</p>
<p>Namun, saat membahas presidensi COP28, saya juga meyakini ambisi ADNOC harus dilihat dalam konteks global. <a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/sep/12/us-behind-more-than-a-third-of-global-oil-and-gas-expansion-plans-report-finds">Rencana ekspansi bahan bakar fosil dari AS, Kanada, Rusia, Iran, Cina, dan Brasil jauh lebih besar</a> dibandingkan UEA. Sebagian besar pembiayaan bahan bakar fosil di seluruh dunia juga berasal dari <a href="https://reclaimfinance.org/site/wp-content/uploads/2023/04/2023.04.13_Report_Banking-On-Climate-Chaos-%202023.pdf">bank-bank di AS, Kanada, dan Jepang</a>. Sejak 2015, bank-bank Eropa telah <a href="https://reclaimfinance.org/site/en/2023/04/13/european-banks-are-among-the-biggest-drivers-%20ekspansi%20bahan%20bakar%20fosil/">menggelontorkan dana jumbo sebesar $1,3 triliun (Rp20,06 ribu triliun) untuk bahan bakar fosil</a>, termasuk $130 miliar (Rp2.006 triliun) pada 2022 saja.</p>
<h2>Agenda COP28</h2>
<p>Penilaian kami menemukan bahwa, kepemimpinan UEA telah melampaui kepresidenan COP-COP sebelumnya.</p>
<p><a href="https://www.connaissancedesenergies.org/sites/default/files/pdf-actualites/cop-presidencies-comparative-analysis-tracked7073-230927011708.pdf">Laporan kami</a> menemukan bahwa nilai total proyek energi terbarukan yang direncanakan UEA dengan berbagai mitra pada dekade ini berjumlah lebih dari $300 miliar (Rp4.600 triliun). Analisis kami menemukan bahwa jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan investasi energi ramah lingkungan yang dimobilisasi oleh kepresidenan COP sebelumnya.</p>
<p>Agenda COP28 yang <a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/jul/13/what-is-the-uae-cop28-plan-of-climate-action">UEA promosikan</a> juga menawarkan jalur menjanjikan untuk mempercepat transisi bahan bakar fosil global.</p>
<p>Agenda tersebut mencakup tujuan peningkatan kapasitas energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat dalam tujuh tahun ke depan. Ekspansi besar-besaran ini berpeluang memangkas ongkos investasi energi terbarukan dan mengalahkan nilai keekonomian <a href="https://www.smithschool.ox.ac.uk/sites/default/files/2023-%2005/Impact-on-solar-energy-costs-of-tripling-renewables-capacity-by-2030.pdf?ref=ageoftransformation.org">bahan bakar fosil dengan cepat</a>, setidaknya dalam <a href="https://doi.%20org/10.1016/j.joule.2022.08.009">20 tahun ke depan</a>.</p>
<p>COP28 juga mengagendakan pertemuan agar negara-negara setuju menghilangkan produksi bahan bakar fosil di mana emisi karbon tidak dapat ditangkap pada pertengahan abad ini. Kesepakatan tersebut dapat mempercepat peningkatan penangkapan, penggunaan, dan penyimpanan karbon secara komersial.</p>
<p>Restrukturisasi pendanaan iklim agar berbiaya rendah dan mengurangi beban utang, seperti yang diusulkan oleh kepresidenan UEA, pada akhirnya dapat <a href="https://fortune.com/2023/09/19/cop28-president-unga%20-transformasi-pendanaan-iklim-menjembatani-triliun-kesenjangan-politik-lingkungan-sultan-al-jaber/">membuat dana triliunan dolar mengalir</a>. Dana ini sangat dibutuhkan negara berkembang untuk transisi energi sembari melakukan industrialisasi. Apalagi, kekurangan pendanaan adalah <a href="https://doi.org/10.1016/j.joule.2021.06.024">hambatan utama transisi energi di negara berkembang</a> sehingga agenda ini dalam COP 28 sangatlah penting.</p>
<p>Kabar bahwa CEO perusahaan minyak memimpin pertemuan puncak perubahan iklim merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi siapa pun yang mengupayakan aksi cepat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Kita juga masih harus dilihat seberapa besar dedikasi UEA dalam kebijakan-kebijakan ini.</p>
<p>Namun, saya dan rekan penulis laporan ini menyimpulkan bahwa jika COP28 berhasil mencapai kesepakatan penting mengenai isu-isu di atas, hal ini akan menjadi langkah signifikan dalam mempercepat transisi yang adil dari bahan bakar fosil. COP 28 juga dapat memicu perbaikan besar dalam hal-hal yang berkaitan dengan bahan bakar fosil, sebagaimana diusulkan dalam COP sebelumnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218258/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>İbrahim Özdemir sebelumnya adalah Direktur Jenderal Departemen Luar Negeri di Kementerian Pendidikan Nasional di Turki. Ibhrahim sebelumnya adalah anggota Dewan Komisi Turki UNESCO 2005 - 2010, Turk Felsefe Dernegi (Asosiasi Filsafat Turki) 2001 - 2009, dan Turkish Foundation for Combating Soil Erosion, for Reforestation and the Protection of Natural Habitats 2000 - 2004.</span></em></p>Analisis lima presidensi konferensi iklim masa lalu menunjukkan bahwa COP28 justru berpotensi mempercepat transisi bahan bakar fosil.Ibrahim Ozdemir, Professor of Philosophy, Uskudar University; Visiting Professor, Clark UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2183642023-11-23T02:20:42Z2023-11-23T02:20:42ZPemanasan Bumi sudah menyentuh 2°C pada November. Apa yang sedang terjadi?<p>Pada September, pemanasan suhu Bumi melampaui 1,5°C. Dua bulan kemudian, pemanasan Bumi naik lagi <a href="https://twitter.com/CopernicusECMWF/status/1726578518463816078">hingga sempat menyentuh 2°C</a>. Wajar jika kita bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.</p>
<p>Apa yang kita lihat bukanlah perubahan iklim yang tidak terkendali. Ini adalah lonjakan suhu harian, bukan pola jangka panjang yang jadi acuan untuk mengatakan bahwa suhu dunia saat ini lebih panas 2°C dibandingkan era praindustri.</p>
<p>Namun, kenaikan suhu pertama yang melewati batas aman Bumi ini adalah alarm terkeras sepanjang sejarah. Kenaikan suhu terjadi seiring dengan peringatan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) bahwa dunia masih berada di jalur menuju <a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/nov/20/world-facing%20-hellish-3c-of-climate-heating-un-warns-before-cop28">pemanasan 3°C yang “sangat buruk”</a> pada akhir abad ini.</p>
<p>Kendati demikian, kenaikan suhu ini tidak menandai kegagalan kita. Lonjakan pemanasan tiba-tiba tahun 2023 terjadi karena kombinasi beberapa faktor: perubahan iklim, El Nino kuat, kegagalan pembentukan kembali es laut setelah musim dingin, berkurangnya polusi aerosol, dan peningkatan aktivitas matahari. Ada juga faktor kecil seperti dampak letusan gunung berapi di dekat Tonga.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1726587990208868841"}"></div></p>
<p><iframe id="tc-infographic-990" class="tc-infographic" height="400px" src="https://cdn.theconversation.com/infographics/990/f56fb3adf64fd2aec673a627f2bfb83c3f55c532/site/index.html" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<h2>Seberapa signifikan faktor-faktor ini?</h2>
<p><strong>1. Perubahan iklim</strong></p>
<p>Sejauh ini, perubahan iklim adalah faktor terbesar. Banyak dari kita yang tidak menyadari betapa barunya periode emisi intens yang kita alami. Jika kamu lahir pada 1983, 50% dari seluruh emisi umat manusia telah dibuang ke atmosfer <a href="https://news.sky.com/story/climate-change-how-much-carbon-dioxide-%20telah-diproduksi-sejak-Anda-lahir-masukkan-tahun-lahir-Anda-untuk-mencari%20tahu-12415233">sejak kelahiranmu</a>. Emisi manusia dan aktivitas lainnya <a href="https://www.globalwarmingindex.org/">sejauh ini berkontribusi memanaskan suhu Bumi sebesar 1,2°C</a>.</p>
<p>Gas rumah kaca memerangkap panas, itulah sebabnya bumi tidak terselimuti salju. Namun, <a href="https://theconversation.com/two-trillion-tonnes-of-greenhouse-gases-25-billion-nukes-of-heat-are-we-pushing-earth-out-of-%20the-goldilocks-zone-202619">2 triliun ton</a> energi fosil yang kita ambil dari bawah tanah dan dikembalikan ke atmosfer memerangkap lebih dan lebih banyak panas. Bumi bakal terus memanas hingga kita berhenti menggunakan bahan bakar fosil untuk menghasilkan panas atau listrik.</p>
<p><iframe id="tc-infographic-992" class="tc-infographic" height="400px" src="https://cdn.theconversation.com/infographics/992/c3cf4c90cc688825c60b538072d66a58749a8bf3/site/index.html" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p><strong>2. El Nino</strong></p>
<p>Siklus iklim El Nino di kawasan Pasifik memiliki pengaruh alami terbesar terhadap iklim. Hal ini karena kawasan Pasifik sangat luas, mencakup 30% permukaan bumi. </p>
<p>Saat mengalami fase El Nino, lautan di lepas pantai Amerika Selatan memanas. Hal ini, pada gilirannya, biasanya membuat suhu rata-rata global menjadi lebih panas.</p>
<p>Saat ini, ada gelombang panas yang berbahaya di Brasil. Saat terkombinasi dengan kelembapan, gelombang panas membuat suhu di sana <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2023/nov/19/brazil-temperatures-extreme-heat-danger-climate-change-inequality">terasa seperti 60°C</a>. Kondisi tersebut berkontribusi pada <a href="https://www.bbc.com/news/world-latin-america-67465742">kematian seorang penggemar</a> di konser Taylor Swift di Rio de Janeiro minggu lalu.</p>
<p>El Nino kemungkinan akan memuncak dalam dua bulan ke depan. Namun, dampaknya mungkin terus berlanjut sepanjang 2024, sehingga menyebabkan suhu rata-rata global lebih tinggi sekitar 0,15°C.</p>
<p><strong>3. Es Laut Antartika gagal pulih</strong></p>
<p>Penurunan es Laut Arktik sudah diketahui secara luas. Namun, kini es Laut Antartika juga <a href="https://theconversation.com/as-antarctic-sea-ice-continues-its-dramatic-decline-we-need-more-measurements-and-much-better-models-to-predict-its-future-213747">gagal pulih</a>. Biasanya, lingkaran air laut beku di sekitar benua es mencapai batas maksimumnya pada September. Namun, luas lingkaran maksimum tahun ini jauh di bawah tahun sebelumnya.</p>
<p>Saat memasuki musim panas, akan lebih banyak air yang berwarna gelap. Permukaan yang gelap akan menyerap lebih banyak panas, sedangkan permukaan yang putih memantulkannya. Ini menandakan lebih banyak panas yang akan masuk ke lautan dibandingkan kembali ke angkasa.</p>
<p><strong>4. Peningkatan aktivitas Matahari</strong></p>
<p>Matahari beroperasi dalam siklus sekitar 11 tahun, dengan keluaran yang lebih rendah dan lebih tinggi. Suhu maksimum matahari diperkirakan terjadi pada 2025 dan peningkatan nyata terjadi tahun ini. Fenomena tersebut menciptakan aurora yang spektakuler—-bahkan di Belahan Bumi Selatan, tempat penduduknya telah melihat aurora <a href="https://www.abc.net.au/news/2023-04-24/aurora-australis-southern-lights-south-west-victoria/102259180">sampai ke daratan</a> Ballarat, di Victoria, Australia.</p>
<p>Aktivitas maksimum matahari menambahkan panas ekstra. Namun, efeknya tidak banyak—-hanya <a href="https://theconversation.com/global-temperatures-are-off-the-charts-for-a-reason-4-factors-driving-2023s-extreme%20-heat-and-climate-disasters-209975#:%7E:text=%20temperature%20increase%20during%20a,%20terjadi%20during%20a%20solar%20minimum.">sekitar 0,05°C</a>, atau setara sepertiga dari El Nino.</p>
<p><strong>5. Letusan gunung berapi</strong></p>
<p>Letusan gunung berapi biasanya mendinginkan planet ini karena gumpalan besar aerosol dari muntahan gunung menghalangi sinar matahari. </p>
<p>Namun letusan gunung berapi terbesar abad ini, di dekat Tonga, Polinesia, pada Januari 2022 justru berdampak sebaliknya. Ini karena gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha’apai berada di bawah laut. Kekuatan ledakannya menguapkan sejumlah besar air laut. Sementara, uap air merupakan gas rumah kaca. </p>
<p>Beberapa orang skeptis bahwa letusan di Tonga menjadi penyebab utama lonjakan pemanasan global baru-baru ini, menganggapnya hanya kedipan semata. Namun, letusan ini akan menambah suhu <a href="https://www.nature.com/articles/%20s41558-022-01568-2">diperkirakan 0,035°C</a> selama sekitar lima tahun.</p>
<p><strong>6. Berkurangnya polusi aerosol</strong></p>
<p>Pada 2020, peraturan internasional baru mewajibkan bahan bakar pelayaran yang rendah sulfur. Pelaksanaan regulasi ini mengurangi emisi sulfur dioksida sekitar 10%. </p>
<p>Rendahnya emisi sulfur dioksida memang bagus untuk kesehatan. Namun, aerosol di atmosfer sebenarnya dapat menghalangi panas. </p>
<p>Pengurangan polusi mungkin telah menambah pemanasan Bumi. Namun sekali lagi, dampaknya tampaknya kecil, atau menambahkan <a href="https://www.carbonbrief.org/analisis-how-low-sulfur-shipping-rules-are-affecting-global-warming/">perkiraan pemanasan sebesar 0,05°C</a> pada 2050.</p>
<h2>Apa hikmah dari pemanasan ini?</h2>
<p>Iklim sangat kompleks. Kita patut melihat kenaikan suhu 2°C ini sebagai peringatan keras, bukan sebagai tanda untuk menyerah.</p>
<p>Singkatnya, ini bukanlah perubahan tiba-tiba. Kombinasi beberapa faktorlah yang mendorong lonjakan ini. Beberapa di antaranya, seperti El Nino, merupakan siklus alami sehingga keadaan dapat berubah kembali.</p>
<p><iframe id="tc-infographic-991" class="tc-infographic" height="400px" src="https://cdn.theconversation.com/infographics/991/69bb78190ac8614652630853dd01bce56f7c5a84/site/index.html" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Namun, ketika para delegasi bersiap untuk perundingan iklim COP28 pekan depan, ini merupakan tanda lain bahwa kita tidak bisa menyerah.</p>
<p>Kita-–akhirnya—-melihat tanda-tanda kemajuan nyata dalam penerapan energi terbarukan dan transportasi ramah lingkungan. Tahun ini, kita bahkan mungkin melihat emisi dari pembangkit listrik <a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/oct/05/global-carbon-emissions-electricity-peak-thinktank-report">akhirnya mencapai puncaknya</a> dan kemudian mulai jatuh.</p>
<p>Kita belum gagal. Namun, kita berada di planet yang memanas dengan cepat. Kita kini dapat melihat dampaknya dengan jelas, bahkan dalam catatan suhu harian terbaru ini.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218364/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andrew King menerima dana dari the National Environmental Science Program.</span></em></p>Termperatur harian global terus memecahkan rekor. Ini pertanda kita berada di pemanasan Bumi yang melaju kencang.Andrew King, Senior Lecturer in Climate Science, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2181252023-11-21T03:14:37Z2023-11-21T03:14:37ZVisi dan misi capres-cawapres 2024 soal transisi energi: siapa yang lebih unggul?<p><a href="https://theconversation.com/topics/pemilu-2024-100004">Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024</a> amat krusial bagi masa depan <a href="https://theconversation.com/topics/transisi-energi-125327">transisi energi Indonesia.</a> Pasalnya, pada beberapa tahun mendatang pemerintah harus ngebut untuk memperbanyak listrik energi terbarukan di tanah air guna memenuhi komitmen <a href="https://theconversation.com/topics/perjanjian-paris-75349">Perjanjian Paris</a>-–kesepakatan penanganan perubahan iklim global. </p>
<p>Pada 2030 atau tujuh tahun lagi, Indonesia <a href="https://unfccc.int/sites/default/files/NDC/2022-09/23.09.2022_Enhanced%20NDC%20Indonesia.pdf">berkomitmen</a> mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 31,89% dengan usaha sendiri atau 43,2% dengan bantuan internasional. Indonesia juga menargetkan sumbangan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam sistem kelistrikan nasional pada 2030 sebesar <a href="https://jetp-id.org/storage/jetp-comprehensive-investment-and-policy-plan-2023-draft-for-public-consultation-en.pdf">44%</a>. Sementara, hingga saat ini, bauran energi terbarukan kita baru sekitar <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20231006151603-4-478552/baru-128-bauran-energi-hijau-ri-masih-jauh-dari-target">13%</a>.</p>
<p>Lebarnya jurang antara target dan pencapaian ini menciptakan pekerjaan rumah besar bagi kepemimpinan berikutnya. </p>
<p>Ada tiga calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mohammad Mahfud Md, serta Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.</p>
<p>Saya membaca dokumen visi-misi ketiga pasangan capres-cawapres. Seluruh kandidat memang menyertakan visi transisi energi dengan fokus yang berbeda satu dengan yang lain.</p>
<p>Pasangan <a href="https://www.receh.in/2023/10/download-pdf-visi-misi-anies-imin.html">Anies-Muhaimin,</a> fokus untuk memastikan ketersediaan pasokan energi nasional sembari beralih ke energi terbarukan. Sementara itu, <a href="https://www.receh.in/2023/10/download-pdf-visi-misi-ganjar-mahfud.html">pasangan Ganjar-Mahfud</a> menekankan pentingnya penggunaan energi terbarukan secara massal di masyarakat. Visi dan misi pasangan <a href="https://www.receh.in/2023/10/download-pdf-visi-misi-prabowo-gibran.html">Prabowo-Gibran</a> soal transisi energi nasional menitikberatkan pencapaian swasembada energi.</p>
<p>Namun, meski telah menyinggung rencana transisi energi, visi-misi para kandidat masih memiliki beberapa kekurangan terutama dalam target energi bersih dan pemerataan aksesnya. Kandidat perlu memoles visi-misi serta programnya agar publik dapat mengetahui seberapa serius mereka menjadikan sektor energi lebih ramah lingkungan. </p>
<p>Setidaknya terdapat tiga prioritas area sebagai agenda besar transisi energi nasional yang masih memerlukan komitmen kepemimpinan nasional.</p>
<h2>1. Pensiun dini PLTU</h2>
<p><a href="https://energyandcleanair.org/publication/ambiguities-versus-ambition-a-review-of-indonesias-energy-transition-policy/">Kelebihan produksi listrik</a> terutama dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan salah satu hambatan utama transisi energi nasional. Hingga 2022, total kapasitas PLTU terpasang di Indonesia mencapai <a href="https://mediaindonesia.com/ekonomi/554378/bauran-ebt-indonesia-di-2022-hanya-capai-1411">42,1 gigawatt</a>. Konsumsi batu bara pada tahun yang sama mencapai titik tertinggi dalam sejarah, sebesar <a href="https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-handbook-of-energy-and-economic-statistics-of-indonesia-2022.pdf">745 juta barel setara minyak</a>, dan emisinya mencapai 404 juta ton CO2.</p>
<p>Pembatasan pembangunan <a href="https://theconversation.com/ini-daftar-proyek-pltu-batu-bara-baru-yang-mangrak-dan-layak-dibatalkan-211194">PLTU baru</a> serta pensiun dini PLTU yang sudah ada dan berjalan wajib menjadi agenda utama dalam visi-misi capres-cawapres. Upaya penutupan dini PLTU menjadi masalah yang tak kunjung usai sebab membutuhkan pendanaan yang sangat besar, sekitar <a href="https://iesr.or.id/en/pustaka/financing-indonesias-coal-phase-out">USS$27,5 miliar (Rp425 triliun)</a>.</p>
<p>Pasangan Anies-Muhaimin serta Prabowo-Gibran menyebutkan secara eksplisit bahwa <a href="https://theconversation.com/riset-temukan-rencana-pensiun-dini-pltu-tak-melibatkan-pemerintah-daerah-214728">pengakhiran dini PLTU</a> menjadi salah satu program kerja yang diusung. Namun, langkah yang ditawarkan serta rencana pendanaan masih tidak jelas. Sebaliknya, pasangan Ganjar-Mahfud belum menyentuh isu penutupan dini PLTU dalam dokumen visi-misi mereka.</p>
<p>Demi memastikan target pemangkasan emisi di tahun 2030, ketiga pasangan capres dan cawapres sepatutnya merencanakan pensiun dini <a href="https://theconversation.com/topics/pltu-88714">PLTU</a> secara konkret serta realistis agar tidak sekadar menjadi jargon untuk menarik suara pemilih.</p>
<h2>2. Peningkatan bauran energi terbarukan</h2>
<p>Target bauran <a href="https://theconversation.com/potensi-energi-terbarukan-indonesia-sebesar-apa-dan-bagaimana-cara-memanfaatkannya-206185">energi terbarukan</a> Indonesia saat ini (13%) masih jauh dari target 2030 (44%). Pasangan capres-cawapres seharusnya menampilkan target angka bauran energi terbarukan pada akhir kepemimpinan yaitu 2029 dalam dokumen visi-misinya. Hal ini penting demi transparansi serta memudahkan masyarakat dalam menilai kinerja mereka saat terpilih.</p>
<p>Sayangnya, hanya pasangan Ganjar-Mahfud yang menampilkan target bauran energi terbarukan sebesar 25-30% di tahun 2029. </p>
<p>Kedua pasangan lain tidak mencantumkan target spesifik dalam dokumen visi-misinya. Pasangan Anies-Muhaimin serta Prabowo-Gibran hanya menjanjikan upaya diversifikasi sumber energi bersih seperti ke panas bumi dan biomassa.</p>
<p>Upaya transisi dari energi fosil ke energi terbarukan juga harus memperhatikan aspek ketersediaan energi murah bagi masyarakat. Aspek ini dapat dijabarkan para kandidat dalam bentuk program kerja untuk menjembatani transisi energi. <a href="https://www.iea.org/energy-system/fossil-fuels/natural-gas#:%7E:text=term%20demand%20fluctuations.-,What%20is%20the%20role%20of%20natural%20gas%20in%20clean%20energy,variable%20wind%20and%20solar%20power.">Pemanfaatan gas alam</a> serta pengembangan <a href="http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/teknologi-penangkapan-dan-penyimpanan-karbon-bisa-jadi-solusi-perubahan-iklim">teknologi penangkapan karbon</a> dapat menjadi bagian dari rencana strategis yang ditawarkan oleh ketiga pasangan.</p>
<h2>3. Pemerataan akses energi</h2>
<p>Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam upaya <a href="https://theconversation.com/mengapa-program-listrik-pemerintah-belum-sanggup-mendorong-pemerataan-kesejahteraan-175849">pemerataan akses energi</a> bagi seluruh penduduknya. Pemerataan akses penting agar transisi energi memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi seluruh warga negara, bukan hanya penduduk di kota-kota.</p>
<p>Untuk mengatasi tantangan tersebut, Presiden terpilih perlu berfokus mengembangkan infrastruktur jaringan listrik lintas pulau agar pembangkit listrik energi terbarukan saling terhubung dan menyangga satu sama lain. </p>
<p>Sayangnya, isu ini tak banyak disentuh secara gamblang dalam dokumen visi-misi ketiga pasangan capres-cawapres. Seluruh kandidat hanya menuangkan janji pemerataan ekonomi melalui percepatan pembangunan infrastruktur antarpulau.</p>
<p>Realisasi infrastruktur jaringan listrik antarpulau memerlukan perencanaan rinci yang harus menjadi bagian dalam program kerja mengingat besarnya dana yang dibutuhkan. Indonesia membutuhkan setidaknya <a href="https://jetp-id.org/storage/jetp-comprehensive-investment-and-policy-plan-2023-draft-for-public-consultation-en.pdf">US$3 miliar (Rp47 triliun) per tahun</a> untuk mengembangkan jaringan listrik di Indonesia hingga 2030.</p>
<p>Selain jaringan listrik antarpulau, kepemimpinan berikutnya juga perlu membuat regulasi dan penerapan <a href="https://theconversation.com/energi-surya-adalah-raja-listrik-namun-pelaksanaannya-butuh-lebih-banyak-insentif-166902">pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap bangunan</a> secara luas. Pasalnya, <a href="https://theconversation.com/topics/plts-85792">PLTS</a> atap dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan di masyarakat khususnya di luar pulau-pulau besar dengan akses energi dan daya beli yang terbatas.</p>
<p>Guna mendukung berbagai agenda percepatan transisi energi, Indonesia membutuhkan kepemimpinan nasional dengan komitmen iklim yang kuat. Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang mampu menerjemahkan strategi transisi energi menjadi kebijakan serta program yang konkret dan efektif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218125/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Denny Gunawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski telah menyinggung rencana transisi energi, visi-misi para kandidat masih memiliki beberapa kekurangan terutama dalam target energi bersih dan pemerataan aksesnya.Denny Gunawan, Postdoctoral Research Associate, ARC Training Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2179232023-11-17T01:56:34Z2023-11-17T01:56:34ZBagaimana perubahan iklim memperparah ketimpangan gender di kawasan pesisir?<p>Di seluruh dunia, perempuan dan laki-laki mengalami dampak perubahan iklim yang berbeda. Jurang ini terbentuk dari norma-norma sosial dan tanggung jawab sehingga <a href="https://theconversation.com/climate-crisis-could-reverse-progress-in-achieving-gender-equality-127787">memperparah ketimpangan berbasis gender</a> di antara laki-laki dan perempuan. </p>
<p>Kenaikan muka air laut, badai, dan gelombang tinggi membawa dampak terhadap komunitas di kawasan pesisir tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Namun, konstruksi sosial atas gender membuat dampak tersebut menjadi berbeda. Ini membuat perubahan iklim menjadi persoalan yang sensitif gender.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sudahkah-kebijakan-perubahan-iklim-indonesia-responsif-gender-209791">Sudahkah kebijakan perubahan iklim Indonesia responsif gender?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/">Penelitian</a> menunjukkan bahwa kawasan pesisir paling terdampak perubahan iklim. Secara khusus, pulau-pulau kecil di Asia dan Pasifik, Amerika bagian tengah maupun Selatan, serta Afrika <a href="https://theconversation.com/the-global-south-is-on-the-rise-but-what-exactly-is-the-global-south-207959">(banyak disebut sebagai “negara-negara Selatan”)</a> rentan mengalami erosi dan pelemahan ekonomi, di tengah kehilangan sumber penghidupan dari sektor perikanan.</p>
<p><a href="https://environment.leeds.ac.uk/geography/pgr/11413/andi-misbahul-pratiwi">Studi doktoral saya</a> menganalisis sejauh mana <a href="https://theconversation.com/how-womens-environmental-action-across-the-global-south-can-create-a-better-planet-214083">perubahan iklim memperparah ketimpangan berbasis gender</a> yang dialami perempuan di wilayah pesisir Indonesia. Ketimpangan ini beririsan dengan identitas lainnya seperti, usia, etnis, kelas sosial maupun ekonomi, dan lata belakang pendidikan. </p>
<p>Perempuan dan anak perempuan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/19480881.2010.536669">di kawasan pesisir,</a> secara khusus, mengalami kerentanan yang <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0959378006000422">jauh lebih parah</a>.</p>
<h2>Penghidupan yang terancam</h2>
<p>Pada 2017, saya melakukan <a href="https://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/203/259">riset</a> bersama <a href="https://indonesianfeministjournal.org/">Jurnal Perempuan</a> di pesisir Demak, Jawa Tengah. Saya menemukan perempuan di kawasan pesisir menghadapi berbagai masalah, mulai dari kemiskinan, <a href="https://wrd.unwomen.org/explore/insights/how-fisherwomen-java-rise-above-climate-change-and-increase-gender-based-violence">kekerasan berbasis gender</a>, hingga tantangan pekerjaan. </p>
<p>Seorang perempuan nelayan bernama Zarokah yang <a href="https://www.youtube.com/watch?v=gzSyPW2D73o">saya wawancarai</a> mulai mencari ikan bersama suaminya sejak dua tahun silam karena tak bisa lagi menemukan orang yang mau bekerja di laut. </p>
<p>Sejak pagi buta pukul tiga, Zarokah dan suaminya pergi melaut. Hasilnya? Zarokah menceritakan hanya memperoleh sekeranjang ikan Klapan kecil senilai Rp150 ribu. Jika laut sedang baik, dia bisa memperoleh beberapa keranjang.</p>
<p>Dalam situasi kurang beruntung, Zarokah pulang dengan tangan hampa. Mereka <em>boncos</em> lantaran tetap harus merogoh kocek untuk bahan bakar minyak (BBM) dan peralatan. <a href="https://www.thejakartapost.com/business/2022/10/24/warming-seas-bring-indonesias-fishermen-deadly-storms-empty-nets.html">Pendapatan ini jelas tak cukup</a> dan berisiko semakin parah apabila ikan semakin langka. Belum lagi cuaca ekstrem menghantui yang membuat mereka batal melaut.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/gzSyPW2D73o?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p><a href="https://eprints.whiterose.ac.uk/196016/">Penelitian saya menunjukkan</a> bagaimana perempuan di wilayah pesisir berperan besar dalam sektor perikanan dan perekonomian pesisir. Namun, tetap saja, pendiri organisasi perempuan nelayan (Puspita Bahari), Masnu’ah, mengatakan kontribusi ekonomi perempuan tidak diakui oleh laki-laki maupun masyarakat secara umum.</p>
<p>Dalam kartu tanda penduduk (KTP), Zarokah masih berstatus “ibu rumah tangga”, meskipun faktanya “Jika saya tidak ikut, suami saya pasti tidak melaut juga dan kita tidak bisa memenuhi kebutuhan,” kata dia.</p>
<p>Kerja-kerja nelayan perempuan yang tidak diakui, membuat mereka tak bisa mengakses layanan perlindungan sosial yang disediakan pemerintah seperti <a href="https://www.undp.org/indonesia/news/fisherwomen-fisherman%E2%80%99s-world-improving-access-women-indonesian-fisheries">asuransi jiwa melalui Kartu Nelayan maupun Kartu KUSUKA</a>. Padahal, di tengah risiko perubahan iklim yang mengancam masyarakat pesisir, perlindungan sosial maupun dukungan negara sangat penting bagi nelayan.</p>
<h2>Akses fasilitas dan layanan kesehatan</h2>
<p>Cuaca ekstrem dan gangguan sektor perikanan lainnya tak hanya berdampak pada sumber nafkah perempuan pesisir. Perempuan nelayan harus berlayar lebih jauh dan semakin sulit mencari ikan. <a href="https://www.thejakartapost.com/paper/2023/07/25/slow-disaster-residents-in-central-javas-sinking-village-forced-to-adapt.html">Banjir rob</a> juga menyulitkan perempuan dan anak-anak perempuan mengakses layanan kesehatan serta fasilitas lainnya.</p>
<p>Para perempuan sulit pergi ke klinik karena jalanan terendam air dan terisolasi. Kepada saya, salah satu aktivis perempuan nelayan di Demak menceritakan pengalamannya membantu perempuan melahirkan di tengah banjir rob dan rumah yang kebanjiran.</p>
<p>“Prosesnya sangat sulit,” kata dia, “karena banjirnya terlalu tinggi dan tidak ada perahu. Bayinya meninggal dunia dua atau tiga hari kemudian.” </p>
<p>Tak hanya di Pantura, studi di negara lainnya menunjukkan tren kerentanan serupa. Di pesisir barat daya <a href="https://theconversation.com/bangladesh-is-undertaking-the-worlds-largest-resettlement-programme-and-the-climate-is-making-it-harder-208664">Bangladesh</a>, bencana alam seperti badai dan <a href="https://theconversation.com/climate-change-isnt-just-making-cyclones-worse-its-making-the-floods-they-cause-worse-too-new-research-182789">siklon</a>, telah lama menyengsarakan perempuan. Lebih dari 140 ribu orang meninggal akibat bencana siklon 1991, <a href="https://lib.icimod.org/record/13783/files/1337.pdf">hampir semuanya atau 90% adalah perempuan</a>.</p>
<p><a href="https://www.mdpi.com/2071-1050/15/4/3744">Studi terbaru</a> mengamati kehidupan perempuan, khususnya etnis Munda di distrik Khulna, Satkhira dan Bagerhat. Penelitian ini menemukan pengelolaan sumber air yang buruk (kolam dan saluran air) mengakibatkan intrusi air laut yang parah. Perempuan dan anak-anak perempuan, yang bertanggung jawab atas logistik rumah tangga, harus berjalan sejauh 3 km—bahkan sampai 5 km—untuk mencari air bersih.</p>
<p>Mereka menghabiskan waktu berjam-jam membawa berguci-guci air yang berat, sehingga rentan mengalami penyakit kronis. Saat kekeringan, pencarian air bisa memakan waktu tiga jam dalam sehari. Di tengah tugas berat itu, perempuan dan anak-anak masih juga menerima pelecehan dari laki-laki dewasa ataupun remaja. </p>
<p>Studi tahun 2020 di Ilaje, kawasan pesisir Nigeria, menemukan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959652619338855#abs0010">perempuan dan anak-anak perempuan</a> kerap bertanggung jawab memastikan pasokan makanan, bahan bakar, dan air bersih di rumah. Saat curah hujan berkurang atau kekeringan datang, mereka juga harus menempuh jarak yang sama. Para remaja perempuan terpaksa bolos sekolah untuk membantu ibu mereka melaksanakan tugas ini.</p>
<p>Ibu hamil di Ilaje, khususnya, rentan mengalami malnutrisi, dehidrasi, anemia, dan risiko kesehatan lainnya akibat kelangkaan bahan makanan dan air akibat perubahan iklim.</p>
<p>Lantaran mengakarnya budaya patriarki, perempuan Ilaje tidak bisa bebas membuat keputusan dalam keluarga maupun masyarakat. Mereka tidak punya kuasa atas urusan keuangan dan aset. Mereka juga tidak diberi kesempatan terlibat di ruang publik, khususnya dalam diskusi di tengah komunitas tentang adaptasi perubahan iklim.</p>
<p>Walhasil, mereka tidak bisa menyuarakan keperluan dan kebutuhan mereka di level keluarga ataupun komunitas.</p>
<p>Luas ekosistem laut dan pesisir mencakup dua pertiga dari luas Bumi. Kawasan pesisir <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/">berperan penting</a> dalam pemenuhan pangan dan energi, termasuk juga menciptakan kesempatan kerja. Sekitar <a href="https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/Ocean_Factsheet_People.pdf">600 juta orang</a>—setara 10% populasi dunia—tinggal di kawasan pesisir dengan ketinggian hanya 10 meter di atas permukaan laut.</p>
<p>Semboyan utama dari agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (<em>Sustainable Development Goals</em>) adalah “tak ada seorang pun yang terlupakan (<em>leave no one behind</em>)” . Pendekatan <a href="https://eprints.whiterose.ac.uk/196019/">politik feminis</a> dalam isu perubahan iklim sangat penting untuk memahami bahwa perempuan dan anak-anak mengalami beban berlapis-lapis di daerah pedesaan dan pesisir di seluruh dunia.</p>
<p>Sayangnya, sejauh ini penelitian sosial dan feminis seputar perubahan iklim <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1111/j.1467-954X.2010.01889.x">masih langka</a>. Tanpa studi yang memadai, perempuan dan anak-anak perempuan berisiko tetap terabaikan.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/sudahkah-kebijakan-perubahan-iklim-indonesia-responsif-gender-209791">Analisis saya sebelumnya</a> juga menunjukkan kebijakan adaptasi iklim di Indonesia masih netral gender. Negara ini, termasuk juga pemerintah daerah, perlu membuka mata lebar-lebar bahwa perubahan iklim bukanlah persoalan yang netral gender. Dengan demikian, pencegahan dan penanganan krisis iklim lebih berkeadilan bagi semua.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217923/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andi Misbahul Pratiwi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kenaikan muka air laut, badai, dan gelombang tinggi membawa dampak di kawasan pesisir tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Konstruksi gender yang membuat dampak tersebut menjadi berbeda.Andi Misbahul Pratiwi, PhD Candidate, School of Geography, University of LeedsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2176662023-11-14T06:06:08Z2023-11-14T06:06:08ZDampak perang bagi lingkungan: pencemaran, ranjau darat, dan emisi militer<p>Ketika konflik bersenjata meletus, kita pertama berfokus pada orang-orang yang terdampak. Namun, penderitaan akibat perang tidak usai ketika pertempuran berakhir. </p>
<p>Perang juga <a href="https://www.un.org/en/observances/environment-in-war-protection-day">merusak lingkungan</a>. Serangan artileri, roket, dan ranjau darat mencemari lingkungan, membinasakan hutan, dan membuat lahan pertanian tak bisa digunakan lagi.</p>
<p>Satu dari enam orang di seluruh dunia telah <a href="https://acleddata.com/2023/09/08/acled-conflict-index-2023-mid-year-update">terpapar konflik</a> tahun ini, mulai dari perang sipil di Sudan, perang Rusia di Ukraina, hingga perang Israel-Hamas.</p>
<p>Perang muncul kembali. Konflik tengah berada di <a href="https://press.un.org/en/2022/sgsm21216.doc.htm">pucuk tertingginya</a> sejak Perang Dunia Kedua. Angka kematian mencapai rekor terbanyak dalam <a href="https://reliefweb.int/report/world/conflict-trends-global-overview-1946-2022">28 tahun terakhir</a>.</p>
<p>Saat kita bergulat dengan persoalan korban jiwa, kita juga tak bisa berpaling dari akibat perang lainnya: dampak sunyinya bagi lingkungan.</p>
<h2>Apa saja kerusakan lingkungan akibat perang?</h2>
<p>Konflik bersenjata meninggalkan jejak panjang kerusakan lingkungan. Semuanya dapat memperburuk kesehatan kita dan spesies lainnya.</p>
<p>Senjata kimia dan polusi dari senjata akan berada di lingkungan kita sebagai <a href="https://theconversation.com/war-leaves-a-toxic-legacy-that-lasts-long-after-the-guns-go-quiet-can-we-stop-it-197051">warisan racun</a>. Bahan peledak memuntahkan polutan seperti <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0265931X02000413?via%3Dihub"><em>depleted uranium</em> atau uranium terdeplesi</a> ke tanah, sementara bentang lahan dapat hancur akibat pergerakan prajurit dan bangunan yang roboh.</p>
<p>Kerusakan ini dapat bertahan lebih lama dari yang kita kira. Pertempuran Verdun di Perancis dalam Perang Dunia II mengontaminasi lahan pertanian yang subur. Hingga seabad kemudian, tak ada seorang pun yang dapat menghuni <a href="https://education.nationalgeographic.org/resource/red-zone/">Red Zone di Verdun</a> karena ancaman bom yang tak meledak.</p>
<p>Seiring berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, pencemaran udara parah, deforestasi, dan degradasi lahan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S004896972202962X?via%3Dihub">juga semakin parah</a>. </p>
<p>Konflik turut menyebabkan kehilangan habitat dan penurunan biodiversitas. Selama 1946 - 2010, kehidupan liar <a href="https://www.nature.com/articles/nature25194">menurun</a> di negara-negara Afrika akibat konflik bersenjata. </p>
<p>Ranjau darat juga berdampak buruk, karena didesain untuk berada di suatu tempat hingga terinjak. Jauh setelah perang berakhir, ranjau masih bisa membinasakan manusia ataupun hewan. Ranjau juga merusak lahan dan membatasi akses masyarakat atas lahan yang aman, sehingga berujung pada eksploitasi berlebihan di kawasan lainnya.</p>
<p>Ranjau juga muncul karena sapuan banjir. Ini terjadi di <a href="https://reliefweb.int/report/libya/libya-flood-update-flash-update-no3-16-september-2023-5pm-local-time">Libia</a>, <a href="https://www.reuters.com/world/europe/mines-uprooted-ukraine-dam-disaster-could-pose-danger-years-come-red-cross-2023-06-08/">Ukraina</a>, <a href="https://www.arabnews.com/node/1857786/middle-east">Libanon</a> dan <a href="https://reliefweb.int/report/bosnia-and-herzegovina/undp-flooding-unearths-landmine-danger">Bosnia Herzegovina</a>. </p>
<p>Banyak senjata meledak yang dirancang untuk bertahan dalam periode panas intens yang singkat. Ketika temperatur tinggi bertahan lama, bom yang diam pun dapat meledak. Saat suhu dunia memanas, kita dapat melihat lebih banyak ledakan, bukan hanya dari sisa-sisa bom, tapi dari timbunan amunisi.</p>
<p>Situasi tersebut terjadi di Timur Tengah <a href="https://www.nytimes.com/2023/07/29/world/middleeast/iraq-water-crisis-desertification.html">yang tengah mengalami pemanasan cepat atau <em>fast-heating</em></a>. Di Irak, enam gudang senjata <a href="https://www.scientificamerican.com/article/climate-change-may-be-blowing-up-arms-depots">meledak</a> selama gelombang panas intens pada 2019 - 2019. Di Yordania, gelombang panas <a href="https://www.abc.net.au/news/2020-09-12/explosions-rock-military-facility-in-jordan-army-blames-heat/12657276">dituding menjadi penyebab</a> ledakan fasilitas serupa pada 2020.</p>
<p>Kala perang berakhir, senjata kerap dibuang begitu saja ke laut. Sejak Perang Dunia I sampai dekade 70-an, amunisi kedaluwarsa dan senjata kimia di <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/663876/Future_of_the_sea_-_non_plastic_pollution.pdf">Inggris</a> dibuang ke laut. </p>
<p>Pembuangan ini tampak seperti solusi gampang, tapi bom-bom tersebut belum hilang. Lebih dari sejuta ton sampah amunisi berserakan di dasar palung laut alami antara Irlandia Utara dan Skotlandia. Amunisi ini terkadang meledak di bawah air, sementara senjata kimia dapat terdampar di pantai.</p>
<p>Selama Perang Dunia II, pertempuran intens juga berlangsung di Kepulauan Solomon. Sampai hari ini, orang-orang meninggal ataupun terluka setiap tahun akibat bom-bom yang tak terlindungi <a href="https://pulitzercenter.org/stories/whats-next-solomon-islands-experts-say-uxo-problem-shocking">meledak</a>. Para nelayan juga harus berhati-hati dengan bom di dalam air.</p>
<p>Eksploitasi lingkungan seperti pembalakan ilegal ataupun penambangan permata <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/099520010272224660/pdf/P1771510b38fda01e0afec01edd810d8cde.pdf">dapat meningkat saat perang</a>. Keuntungannya digunakan untuk membeli senjata untuk mengobarkan lebih banyak pertempuran.</p>
<p>Menurut <a href="https://wedocs.unep.org/handle/20.500.11822/7867">Perserikatan Bangsa Bangsa</a>, setidaknya 40% perang sipil dan konflik internal selama 1946 – 2006 berhubungan dengan sumber daya alam seperti <a href="https://www.indiatimes.com/explainers/news/explained-why-teak-imported-from-myanmar-is-called-conflict-wood-595202.html">kayu jati</a> dan emas. </p>
<p>Sumber daya alam kadang kala menjadi sasaran tembak, seperti <a href="https://landsat.visibleearth.nasa.gov/view.php?id=78594">penembakan membabi buta ke sumur minyak</a> di Kuwait ataupun penghancuran bendungan <a href="https://theconversation.com/ukraine-war-what-we-know-about-the-nova-kakhovka-dam-and-who-gains-from-its-destruction-207130">Kakhovka di Ukraina</a>. Taktik bumi hangus itu menyebabkan kerusakan tak terperi bagi lingkungan.</p>
<h2>Bagaimana hubungan perang dengan perubahan iklim?</h2>
<p>Perang berkepanjangan di kawasan Darfur di Sudan disebut-sebut sebagai <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/dec/18/how-water-is-helping-to-end-the-first-climate-change-war#:%7E:text=The%20Darfur%20conflict%20was%20labelled,shown%20that%20climate%20impacts%20such">perang perubahan iklim pertama di dunia</a> karena bermula dari kekeringan dan krisis ekologi. </p>
<p>Memang sulit menghubungkan iklim yang berubah dengan konflik bersenjata. Namun, setidaknya perubahan iklim dapat menjadi pemicu tak langsung yang dapat memperparah penyebab konflik bersenjata lainnya seperti sosial, ekonomi, maupun lingkungan.</p>
<p>Sebaliknya, konflik memperburuk kerusakan akibat perubahan iklim karena menghambat kemampuan masyarakat untuk merespon ataupun bertahan dari guncangan iklim.</p>
<p>Perang dan cuaca ekstrem sama-sama dapat memaksa orang-orang meninggalkan rumah. Pada akhir 2022, jumlah <a href="https://www.internal-displacement.org/global-report/grid2023">pengungsi</a> di negara mereka sendiri mencapai angka tertinggi. Ketika orang-orang dipaksa untuk pindah, efek bagi lingkungan dapat <a href="https://www.unep.org/news-and-stories/story/displacement-and-environment-africa-what-relationship#:%7E:text=Displacement%20itself%20can%20have%20environmental,lead%20to%20uncontrolled%20waste%20disposal">bertambah parah</a> karena munculnya persoalan pencemaran plastik dan sampah lainnya. </p>
<p>Perang yang berkobar dapat akan perhatian suatu pemerintah. Walhasil, perang dapat membatasi upaya suatu negara mengurangi emisi ataupun beradaptasi dengan perubahan iklim. </p>
<p>Bencana dapat diperparah oleh perang. <a href="https://odi.org/en/about/features/when-disasters-and-conflict-collide/">Longsor besar di Kolombia pada 2017</a> menyebabkan 300 jiwa melayang. Mengapa begitu mematikan? Sebagian karena banyak orang yang pergi ke kota terdampak, Mocoa, untuk menghindari perang dan membuat rumah sementara yang tidak memiliki perlindungan terhadap bencana. </p>
<p>Kita juga mengetahui bahwa kematian akibat bencana <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420923003618?via%3Dihub">meningkat</a> di negara-negara yang dilanda konflik bersenjata.</p>
<p>Sektor militer adalah pengguna bahan bakar fosil global yang intens. Sektor ini bertanggung jawab atas <a href="https://ceobs.org/wp-content/uploads/2022/11/SGRCEOBS-Estimating_Global_MIlitary_GHG_Emissions_Nov22_rev.pdf">5,5% emisi global</a>. Jika seluruh militer dunia berkumpul menjadi satu negara, maka kelompok ini merupakan penyumbang emisi terbesar keempat setelah Cina, Amerika Serikat, dan India.</p>
<p>Kita tak bisa lagi mengabaikan dampak berganda perang dan kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim. Perang memperburuk kemampuan adaptasi iklim kita, dan kerusakan lingkungan akibat konflik akan memperburuk perubahan iklim.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217666/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jumlah konflik terus naik, dan tak semua kerusakannya langsung terjadi. Perang meninggalkan kerusakan lingkungan jangka panjang.Stacey Pizzino, PhD Candidate, The University of QueenslandJo Durham, Senior Lecturer in Disaster Risk Management and Health, Queensland University of TechnologyMichael Waller, Senior Lecturer Biostatistics, The University of QueenslandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2173872023-11-10T04:01:13Z2023-11-10T04:01:13ZIkuti Content Creator Bootcamp #TheFutureIsGreen bersama TCID<p>The Conversation Indonesia meluncurkan <em>Content Creator Bootcamp #TheFutureIsGreen</em>. </p>
<p>Pendaftaran untuk kegiatan peningkatan kapasitas anak muda (usia 17-28) di bidang pembuatan konten isu lingkungan ini dibuka Jumat, 10 November hingga 3 Desember 2023. </p>
<p>Pelatihan akan dilaksanakan secara daring dan gratis untuk 20 peserta terpilih selama satu bulan. </p>
<hr>
<h2><em>Daftar Content Creator Bootcamp #TheFutureIsGreen <a href="https://bit.ly/RegistrasiTCIDContentCreatorBootcamp">di sini</a></em></h2>
<hr>
<p><em>Content Creator Bootcamp #TheFutureIsGreen</em> yang diselenggarakan dengan dukungan Ford Foundation dan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri bertujuan untuk mendukung <a href="https://theconversation.com/bagaimana-kreator-konten-bisa-menghasilkan-karya-yang-berpihak-pada-masyarakat-dan-kemanusiaan-163009">para kreator konten untuk menghasilkan karya yang berpihak pada masyarakat dan kemanusiaan</a>. </p>
<p>Saat ini, dampak perubahan iklim semakin nyata kita rasakan. Cuaca ekstrem yang tidak menentu, kekeringan dan panas berkepanjangan, mencairnya es di kutub, indeks kualitas udara yang menurun tajam, hilangnya spesies keanekaragaman hayati, hingga bencana kelaparan terjadi di depan mata kita.</p>
<p>Sejumlah riset menunjukkan, generasi Z mulai banyak yang peduli pada isu perubahan iklim. Meski riset juga menunjukkan <a href="https://theconversation.com/riset-awal-tunjukkan-nilai-kesadaran-perubahan-iklim-gen-z-di-indonesia-sangat-tinggi-150958">kesadaran iklim anak muda masih terbatas pada isu konsumsi ramah lingkungan</a> dan belum menyentuh isu kebijakan penanggulangan perubahan iklim. </p>
<p>Para konten kreator memiliki pengaruh dalam menarik anak muda tertarik dalam gerakan melawan perubahan iklim melalui <a href="https://theconversation.com/riset-antusiasme-gen-z-di-jawa-dan-bali-pada-isu-lingkungan-masih-rendah-215699">penggunaan strategi komunikasi pro lingkungan yang tepat bagi generasi Z</a>, salah satunya dengan pendekatan budaya populer, seperti penggunaan sosial media, film, musik, dan fotografi. </p>
<p>Kami merancang kurikulum <em>bootcamp</em> ini dengan menggabungkan materi pendalaman isu lingkungan hidup dan perubahan iklim, <em>content creator skills</em>, dan <em>digital landscape</em> bersama para ahli dan profesional di bidangnya.</p>
<p>Ada sejumlah topik yang dapat dipilih oleh calon peserta, yaitu:</p>
<h1>1. Energi bersih dan terbarukan</h1>
<p>Peserta dapat mengangkat isu pemanfaatan energi bersih dan energi terbarukan, seperti tenaga surya, tenaga angin, arus air, panas bumi, dsb. Akses yang merata bagi setiap orang untuk mendapatkan sumber energi terbarukan juga bisa menjadi pilihan topik yang diangkat oleh peserta.</p>
<h1>2. Polusi lingkungan</h1>
<p>Peserta dapat mengangkat tentang polusi yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, tentang bagaimana dampak polusi pada kesehatan dan aktivitas sehari-hari, atau upaya yang dilakukan untuk menekan polusi ini. Salah satu inisiatif yang bisa diangkat dalam sub-topik ini adalah terkait transportasi publik.</p>
<h1>3. Pengelolaan sampah</h1>
<p>Peserta dapat menceritakan mengenai pengelolaan sampah mandiri yang dilakukan masyarakat. Potret ancaman pengelolaan sampah yang tidak dikelola dengan baik juga bisa menjadi isu yang menarik. </p>
<h1>4. Kehutanan dan pengelolaan lahan</h1>
<p>Peserta dapat mengangkat kisah tentang kondisi hutan, pengelolaan hutan, penanaman pohon dan rehabilitasi hutan, pengelolaan dan restorasi lahan gambut dan hutan bakau untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, penggundulan hutan, termasuk kerusakan lahan gambut dan hutan bakau.</p>
<h1>5. Kota hijau dan pembangunan berkelanjutan</h1>
<p>Peserta dapat mengangkat cerita terkait pembangunan berkelanjutan kawasan perkotaan, ruang terbuka hijau, atau aspek ketahanan bencana.</p>
<h1>6. <em>Urban farming</em> dan <em>organic farming</em></h1>
<p>Sektor pertanian dapat dieksplorasi peserta dalam sub-topik ini. Urban farming dapat menggambarkan upaya masyarakat perkotaan dalam menciptakan ruang hijau dan ketahanan pangan. Sedangkan, organics farming dapat memotret bagaimana pertanian organik bisa menjadi solusi bagi pelestarian alam dan pengurangan pencemaran lingkungan.</p>
<h1>7. Ekonomi sirkuler</h1>
<p>Peserta bisa mengangkat kisah atau contoh baik praktik sistem atau model ekonomi yang bertujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, dengan mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya perekonomian selama mungkin, sehingga kerusakan lingkungan dan sosial dapat diminimalkan. Misalnya, bagaimana barang bekas diolah lagi menjadi barang baru berkualitas, proses ekonomi sirkuler di sekitarnya, dll.</p>
<p>Para peserta akan mendapatkan pelatihan intensif, konsultasi bersama para pakar, hadiah jutaan rupiah, <em>e-certificate</em>, <em>merchandise</em> ekslusif dari The Conversation Indonesia, dan jejaring baru.</p>
<p>Informasi selengkapnya tentang kegiatan ini dapat dibaca di <a href="https://drive.google.com/drive/u/2/folders/12Bra1-NaXRAUAA5pSzNWKME4UHhmdZWV">Syarat dan Ketentuan Content Creator Bootcamp #TheFutureIsGreen</a> </p>
<p>Segera daftarkan dirimu di <a href="https://bit.ly/RegistrasiTCIDContentCreatorBootcamp">tautan registrasi Content Creator Bootcamp #TheFutureIsGreen</a> </p>
<p>Pendaftaran calon peserta akan ditutup pada 3 Desember 2023.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217387/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kurikulum bootcamp ini kami disain dengan menggabungkan pendalaman materi isu lingkungan hidup dan perubahan iklim, serta peningkatan content creators skills dan digital landscape.Rina Aprilia, Project OfficerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2170952023-11-08T06:36:25Z2023-11-08T06:36:25ZEl Nino 2023 belum berakhir: kekeringan dan kebakaran berisiko semakin parah tahun depan<p><a href="https://theconversation.com/topics/el-nino-77545">El Nino</a> yang dimulai pada Juni 2023 membuat cuaca di banyak wilayah Indonesia lebih kering dan mengalami panas menyiksa. </p>
<p>Sejak beberapa bulan lalu, beberapa pihak memprediksi puncak El Nino terjadi pada <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230731130718-199-979940/selamat-datang-agustus-awal-puncak-el-nino">Agustus-September,</a> dengan intensitas yang lemah-moderat. Ada juga yang menaksir fenomena anomali cuaca ini memuncak <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230804064743-199-981746/beda-dari-bmkg-cek-puncak-dan-durasi-el-nino-versi-brin">pada Oktober,</a> lalu kemudian menurun.</p>
<p>Walau begitu, dengan pengalaman <a href="https://www.researchgate.net/publication/323783989_Impacts_of_El_Nino_and_IOD_on_the_Indonesian_Climate">meneliti El Nino</a> lebih dari 15 tahun, saya menyaksikan bagaimana pergerakan El Nino, termasuk puncaknya, semakin sulit diprediksi. </p>
<p>Misalnya, pada 2015 silam, banyak ilmuwan meramalkan El Nino yang terjadi saat itu hanya <a href="https://www.noaa.gov/media-release/noaa-elusive-el-ni-o-arrives">berlangsung lemah,</a> alias pemanasannya rata-rata per bulan tak melebihi 1,5°C dibandingkan kondisi non-El Nino. Durasinya pun tak melebihi sembilan bulan.</p>
<p>Nyatanya, El Nino 2015 berlangsung kuat dengan <a href="https://www.ecmwf.int/en/newsletter/151/meteorology/2015-2016-el-nino-and-beyond">pemanasan tertingginya mencapai 3°C.</a> Durasinya pun dua kali lipat lebih panjang dari El Nino lemah, yakni 18 bulan.</p>
<p>Dampaknya luar biasa. El Nino saat itu menyebabkan suhu bumi <a href="https://theconversation.com/state-of-the-climate-2015-global-warming-and-el-nino-sent-records-tumbling-63511">mencetak rekor terpanasnya.</a> Kebakaran hutan dan lahan menggila, mencapai 2,6 juta ha dengan angka kematian dini akibat paparan asap mencapai <a href="https://seas.harvard.edu/news/2016/09/smoke-2015-indonesian-fires-may-have-caused-100000-premature-deaths">100 ribu jiwa.</a></p>
<p>Lantas, bagaimana dengan El Nino tahun ini? Berdasarkan pengamatan saya, El Nino 2023 memiliki perilaku senada dengan El Nino kuat pada 2015-2016 dan 1997-1998.</p>
<p>Indonesia harus mewaspadai risiko ini. Maraknya kekeringan dan kebakaran hutan tahun ini kemungkinan bakal lebih parah lagi saat El Nino mencapai puncaknya pada 2024. </p>
<h2>El Nino akan menguat pada 2024</h2>
<p>Pada mulanya, El Nino memanaskan suhu permukaan laut dari Samudra Pasifik sebelah timur, dekat Peru. Panas lalu membesar dan menjalar ke arah barat sampai perairan selatan Hawai, hingga kepulauan di Pasifik barat dekat pulau Papua. </p>
<p>Per 29 Oktober lalu, Biro Meteorologi Australia mencatat pemanasan rata-rata bulanan di sekitar titik pantau El Nino di perairan di selatan Hawai (dikenal dengan area Nino 3.4) baru mencapai <a href="http://www.bom.gov.au/clim_data/IDCK000072/nino3_4.png">1,66°C.</a> </p>
<p>Pemanasan tersebut berpotensi tinggi menguat sampai tahun depan. Pasalnya, pemanasan parah El Nino 2023 baru berada di dekat Peru (area Nino 2) sebesar 2,42°C di atas normal. Butuh waktu setidaknya dua bulan hingga panas tersebut menyebar ke titik pantau Nino 3.4.</p>
<p>Karena itulah, <a href="http://www.bom.gov.au/climate/ocean/outlooks/index.shtml#region=NINO34">per 21 Oktober 2023,</a> Biro Meteorologi Australia menaksir puncak El Nino baru terjadi tiga bulan lagi, yakni Januari 2024. Saat itu, suhu terpanas permukaan rata-rata bulanan dapat mencapai 2,7°C di atas normal di area Nino 3.4.</p>
<p>Saya menganggap pemodelan oleh Biro Meteorologi Australia cukup valid karena berbasiskan data klimatologis lama, dari 1960-2010. Meskipun terpaut 13 tahun, data lama penting untuk membandingkan perilaku El Nino saat ini dengan kejadian pada 1997-1998 dan 2015-2016.</p>
<p>Prediksi Australia juga senada dengan <a href="https://www.jamstec.go.jp/aplinfo/sintexf/e/seasonal/outlook.html">Badan Ilmu dan Teknologi Laut-Bumi Jepang (Jamstec)</a> yang mengatakan bahwa El Nino pada puncak pemanasannya akan melampaui 2°C.</p>
<h2>Anomali cuaca Indonesia karena El Nino?</h2>
<p>Cuaca panas Indonesia yang terjadi beberapa bulan belakangan memang turut dipengaruhi El Nino. Namun, dampaknya masih kecil.</p>
<p>Sejauh ini, kondisi panas di Indonesia masih lebih banyak dipengaruhi oleh cuaca di Samudra India. Karena itulah masih ada awan-awan di atas langit Papua, diikuti oleh hujan.</p>
<p>Saat El Nino mencengkeram, Papua akan lebih panas dan kering, begitu juga dengan daerah-daerah di sekitarnya hingga menjalar ke banyak wilayah di Indonesia.</p>
<p>Sementara itu, hujan lebat disertai angin kencang yang terjadi di beberapa wilayah barat Indonesia saat ini, termasuk Jabodetabek pada sepekan terakhir, lebih dipengaruhi fenomena pemanasan dari Laut Cina Selatan. </p>
<p>Pemanasan kali ini tergolong anomali cuaca karena seharusnya, pada periode Oktober cuaca di kawasan tersebut cenderung lebih dingin akibat <a href="https://rmets.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/qj.2052">siklus monsun dingin</a> (<em>winter monsoon</em>) dari November-Maret.</p>
<h2>Musim hujan mengakhiri El Nino?</h2>
<p>Tahun ini Indonesia mengalami <a href="https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7008231/masuk-awal-musim-hujan-indonesia-waspada-dampak-ini">musim hujan</a> secara bertahap sejak Oktober 2023 hingga Februari 2024. </p>
<p>Apakah munculnya hujan menjadi pertanda berakhirnya El Nino? Sayangnya tidak. Musim hujan hanya meredam dampaknya sehingga Indonesia mungkin tidak akan sepanas saat ini. Mungkin ini bisa memberikan kita waktu untuk ‘beristirahat’ dari panas dan kekeringan.</p>
<p>Namun, hal ini tak berlangsung lama. Pada Maret 2024, ketika musim pancaroba melanda sebagian Indonesia, El Nino akan kembali mencengkeram. Saat itu, pemanasan suhu rata-rata memang menurun, tapi masih di atas 2,3°C. </p>
<h2>Apa yang perlu kita lakukan menghadapi El Nino?</h2>
<p>Saat ini ilmuwan-ilmuwan dunia sedang harap-harap cemas, mengkhawatirkan El Nino bisa menguat seperti <a href="http://www.thejakartapost.com/indonesia/2023/10/26/indonesias-gorilla-el-nino-threat-looms-amid-escalating-heatwave.html">‘gorila’</a> yang mengamuk melampaui perkiraan.</p>
<p>Indonesia harus mempertimbangkan cuaca panas akibat El Nino dapat berkepanjangan. Panasnya bisa begitu kuat, bahkan bisa melebihi kejadian-kejadian sebelumnya.</p>
<p>Ini dipengaruhi dengan kenaikan suhu rata-rata permukaan Bumi. Saat El Nino 2015-2016, kenaikan suhu permukaan Bumi belum mencapai 1°C. </p>
<p>Saat ini, suhu terpanas Bumi sudah mencapai 1,2°C. Kita harus bersiap dengan El Nino yang semakin mencengkeram. Selalu ada kemungkinan pemanasan ekstrem akibat El Nino terus bertahan dan tidak mudah meluruh.</p>
<p>Perhatian Indonesia sampai sekarang masih terbagi karena adanya Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2024. Perhelatan akbar ini biarlah berjalan, tapi jangan mengurangi fokus kita untuk mencegah dan menanggulangi dampak terburuk El Nino tahun depan. </p>
<p>Tahun ini, kita menyaksikan kebakaran hutan dan lahan telah melebihi <a href="https://sipongi.menlhk.go.id/">600 ribu hektare</a>–tertinggi sejak pandemi. <a href="https://tekno.tempo.co/read/1781165/ada-3-089-bencana-sepanjang-tahun-2023-bnpb-akibat-kerusakan-lingkungan">Kekeringan</a> sudah terjadi di ratusan wilayah, diikuti dengan kenaikan harga pahan pokok. <a href="https://makassar.tribunnews.com/2023/09/25/terungkap-penyebab-mati-lampu-di-sejumlah-kabupaten-kota-sulsel-plta-kekurangan-air">Bendungan mengering</a> sehingga listrik di beberapa wilayah byar-pet. </p>
<p>Kita membutuhkan usaha ekstra dari semua kalangan untuk mencegah agar beragam dampak tersebut tidak meluas pada tahun depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217095/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Erma Yulihastin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Indonesia dihantam anomali dari berbagai sisi: El Nino, pemanasan di Laut Cina Selatan, dan kawasan Samudra India sebelah timur.Erma Yulihastin, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2150752023-11-06T02:24:54Z2023-11-06T02:24:54ZBagaimana menangani pencemaran laut dari angkasa dengan teknologi satelit optik?<p>Pencemaran laut di Indonesia telah menjadi ancaman serius terhadap ekosistem dan mata pencaharian nelayan, salah satu contohnya adalah kasus <a href="https://news.republika.co.id/berita/120333/walhi-ingatkan-pemerintah-kasus-teluk-buyat">Teluk Buyat di Sulawesi Utara yang tercemar oleh merkuri dan arsen</a>.</p>
<p>Untuk mengatasi tantangan luasnya perairan Indonesia, teknologi pengindraan jauh melalui satelit optik menjadi solusi. Dengan memberikan data aktual mengenai kondisi laut dalam wilayah yang luas, teknologi ini memungkinkan deteksi pencemaran secara aktual, seperti <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/08/25/penginderaan-jauh-bantu-pemantauan-kualitas-air-dan-penanganan-sampah-laut">mendeteksi kualitas air dan sampah laut</a>, yang esensial untuk langkah-langkah konservasi.</p>
<h2>Bekerja layaknya kamera</h2>
<p>Satelit optik memiliki cara kerja yang mirip dengan kamera saku atau pun kamera ponsel yang sering kita gunakan sehari-hari.</p>
<p>Sebuah kamera umumnya memiliki tiga buah kanal sensor yaitu kanal merah, hijau dan biru. Masing-masing kanal tersebut akan merekam informasi pantulan cahaya yang bersumber dari matahari atau sumber cahaya lainnya yang masuk ke dalam kanal sensor sesuai dengan panjang gelombangnya.</p>
<p>Satelit optik juga memiliki kanal-kanal yang merekam informasi pantulan cahaya seperti halnya kamera. Hanya saja, jumlahnya lebih banyak dan tidak terbatas pada cahaya yang tampak atau <em>visible light</em>. Jumlah dan area sensor kanal ditentukan oleh tujuan dari dibuatnya satelit dan objek yang ingin diamati. Hal ini dikarenakan masing-masing objek memiliki karakteristik masing-masing, tergantung gelombang yang diserap atau dipantulkan. Karakter ini disebut juga dengan <em>spectral signature</em> atau variasi pancaran suatu bahan terhadap panjang gelombang.</p>
<p>Gambar di atas menunjukkan <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmars.2023.1135356/full">bahwa pola minyak berbeda dengan air laut</a>.</p>
<p>Pencemar laut memang memiliki karakteristik khas yang dapat membuatnya terpisah dari keadaan air laut yang bersih. Hal ini terjadi karena objek pencemar tidak menyerap beberapa gelombang cahaya tertentu.</p>
<p>Objek apung seperti <em>microplastic</em> dan <em>microalgae</em>, misalnya, dapat terlihat seperti pola bergaris putih atau warna hijau yang berbeda dengan warna air laut yang biasanya biru dalam citra satelit.</p>
<h2>Apa saja yang bisa dideteksi?</h2>
<p><strong>1. Tumpahan minyak</strong></p>
<p>Tumpahan minyak merupakan salah satu pencemaran yang sering terjadi di laut Indonesia. Pencemaran ini memberikan dampak besar tidak hanya bagi ekosistem laut tetapi juga mata pencaharian nelayan. Minyak yang tumpah di laut, baik yang berasal dari kapal, bangunan pinggir pantai maupun sumur pengeboran lepas pantai akan menutupi permukaan laut, sehingga mengganggu keseimbangan kehidupan di bawahnya.</p>
<p>Dengan mendeteksi tumpahan minyak lebih cepat, kita bisa segera mengambil tindakan untuk membersihkan dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada ekosistem laut. Selain itu, data dari satelit juga bisa digunakan untuk menentukan sumber tumpahan dan membantu dalam proses hukum terkait insiden tersebut.</p>
<p>Sensor pada satelit optik mampu mendeteksi perubahan warna, suhu, dan tekstur di permukaan laut. Saat terjadi tumpahan minyak, minyak akan membentuk lapisan tipis di atas air yang mengubah sifat permukaan laut tersebut. <a href="https://sustinerejes.com/index.php/a/article/view/115">Satelit dapat “melihat” perubahan ini dan memberi tahu kita di mana tumpahan minyak terjadi</a>.</p>
<p><strong>2. Sampah laut</strong></p>
<p>Sampah yang dibuang ke laut akan pergi kemana pun mengikuti arus sehingga sulit untuk mendeteksi keberadaannya atau memprediksi pergerakannya. Padahal, sampah laut, khususnya plastik, dapat <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmars.2023.1111838/full">menambah pelepasan karbon dari laut ke atmosfer</a> sehingga memperparah perubahan iklim.</p>
<p>Namun, penelitian <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0262247">terkini</a> menunjukkan bahwa satelit memiliki potensi yang besar untuk membantu melihat sampah laut dari angkasa. </p>
<p>Selain mendeteksi sampah yang mengapung dan terdampar di pantai, perkembangan teknologi telah memungkinkan satelit untuk membantu memprediksi pergerakan sampah. <a href="https://www.nature.com/articles/s41598-020-62298-z.pdf">Lauren Biermann, peneliti dari <em>Plymouth Marine Laboratory</em>, Inggris, pada 2020</a>, menggunakan satelit Sentinel-2 dan metode <em>Floating Debris Index</em> (FDI) untuk mendeteksi jejak sampah plastik di beberapa daerah. Sentinel-2 merupakan satelit beresolusi 10 meter yang dioperatori oleh <em>European Space Agency</em> (ESA), badan antar pemerintah yang dikhususkan untuk eksplorasi ruang angkasa dan berkantor pusat di Paris, Prancis.</p>
<p>Dengan menggunakan satelit optik, luasan sampah yang sangat melimpah mudah untuk dideteksi, apalagi jika luasannya melebihi resolusi Sentinel-2. Data satelit akan menunjukkan jejak sampah plastik ini sebagai warna yang berbeda dengan permukaan air. Seperti pada penelitian <a href="https://www.mdpi.com/2072-4292/14/10/2409">tahun 2022 yang mendeteksi sampah laut di <em>North Adriatic</em>, Eropa pada musim panas 2020.</a> </p>
<p>Tentunya, kemampuan satelit untuk memprediksi pergerakan sampah laut akan lebih maksimal jika dipadukan dengan informasi lain seperti arah arus, kecepatan arus, dan sifat oseanografi lain.</p>
<p><strong>3. <em>Algal bloom</em></strong></p>
<p><em>Algal bloom</em> atau fenomena mekarnya alga terjadi ketika populasi alga di perairan meningkat dengan cepat dan mengubah warna air menjadi hijau, merah, atau coklat. Meskipun beberapa <em>algal bloom</em> bersifat alami dan tidak berbahaya, ada juga yang menghasilkan racun yang dapat membahayakan kehidupan laut dan manusia yang mengonsumsi makanan laut.</p>
<p>Sensor pada satelit pengindraan jauh mampu mendeteksi perubahan warna dan kualitas cahaya yang dipantulkan oleh permukaan air. Saat alga mekar, mereka menghasilkan pigmen klorofil yang mengubah warna air. Satelit dapat “melihat” perubahan warna ini dan mengidentifikasi area yang mengalami <em>algal bloom</em>.</p>
<p>Dengan mendeteksi <em>algal bloom</em> lebih awal, kita dapat memperingatkan masyarakat dan nelayan tentang potensi bahaya. Selain itu, data dari satelit juga dapat digunakan oleh para peneliti untuk memahami penyebab dan pola <em>algal bloom</em>, serta mengembangkan strategi pencegahan dan pengendalian. </p>
<p><strong>4. Padatan tersuspensi</strong></p>
<p>Satelit optik juga memiliki kemampuan untuk mendeteksi benda kecil, terutama padatan tersuspensi di perairan. Area yang memiliki konsentrasi padatan tersuspensi tinggi, akan memiliki penampakan yang keruh. Semakin keruh kondisi perairan, semakin miskin klorofilnya, sehingga dapat menyebabkan terputusnya rantai makanan untuk biota laut.</p>
<p>Hal ini dapat dilihat pada bagian sisi muara di Muara Baru, Bekasi, di mana tampak area berwarna kecoklatan yang cukup kentara. Hal ini menunjukkan area tersebut memiliki kandungan padatan tersuspensi yang tinggi. Mengingat di area tersebut terdapat banyak tambak, sangat memungkinkan jika bagian muara memiliki konsentrasi padatan tersuspensi yang tinggi.</p>
<p>Penggunaan satelit untuk mengobservasi bumi sudah banyak dilakukan, termasuk untuk memantau pencemaran laut. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melakukan kerja sama dan riset terkait penggunaan satelit untuk menangani pencemaran laut, diantaranya: <a href="https://ijaseit.insightsociety.org/index.php?option=com_content&view=article&id=9&Itemid=1&article_id=16076">Satelit LAPAN A-3 untuk pemantauan tumpahan minyak di perairan Bintan</a>, <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/54/1/012073">pendeteksian total materi tersuspensi dengan satelit Landsat-8 yang mempunyai resolusi spasial multispektral 30 m dan resolusi temporal 16 hari</a>, dan <a href="https://jurnal.lapan.go.id/index.php/ijreses/article/view/2626">pemanfaatan satelit SPOT4, sistem satelit observasi bumi yang mencitra secara optis dengan resolusi tinggi dan dioperasikan di luar angkasa, untuk mendeteksi algal bloom</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215075/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apa itu satelit optik? Bagaimana ia bisa digunakan untuk mendeteksi pencemaran laut?Pingkan Mayestika Afgatiani, Research assistant, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Anisa Rarasati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Argo Suhadha, Junior scientist, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2168232023-11-02T01:51:09Z2023-11-02T01:51:09ZDari kodok hingga komodo: bagaimana El Nino berdampak buruk bagi satwa liar Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/557027/original/file-20231101-22-isf2g6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Komodo, spesies kadal purba yang kehidupannya terancam panas ektrem karena perubahan iklim. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/st33vo/48207621026/in/photostream/">(Steven Straiton/Flickr)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini diterbitkan untuk memeringati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional pada 5 November 2023.</em></p>
<p>Cuaca panas akibat El Nino yang melanda Indonesia beberapa bulan belakangan bukan cuma membuat kita gerah. Bagi sejumlah satwa liar, efek cuaca panas dan kekeringan bisa mematikan.</p>
<p>El Nino mengancam ruang hidup satwa liar di kawasan tropis karena menyebabkan sungai dan danau mengering, hutan-hutan rusak akibat kebakaran, serta pemanasan permukaan laut. Hal ini diperparah dengan tingkat ancaman satwa liar Indonesia yang berbeda karena wilayahnya merupakan kepulauan. Meski keberagamannya berpotensi lebih tinggi, kelimpahan spesies di kawasan kepulauan jauh lebih rendah dibandingkan kawasan kontinental (daratan luas).</p>
<p>Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyepakati <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg1/chapter/chapter-11/">El Nino</a> akan berlangsung lebih sering dan lebih parah akibat iklim yang berubah. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Antonio Guterres, bahkan menyebut Bumi sedang menghadapi masa <a href="https://news.un.org/en/story/2023/07/1139162">“pendidihan global”.</a> </p>
<p>Tanpa rencana pencegahan memadai, panas dan kekeringan ekstrem akibat fenomena cuaca berskala besar ini akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.</p>
<h2>Dampak El Nino terhadap satwa Indonesia</h2>
<p>Kekurangan air akibat El Nino mengancam langsung satwa-satwa yang bergantung padanya, contohnya amfibi. Satwa jenis ini berperan penting dalam rantai makanan: pengendali alami populasi serangga dan pakan bagi spesies lainnya seperti ular dan elang. Kehilangan amfibi pun akan mengganggu <a href="http://www.herpconbio.org/Volume_9/Issue_1/Hocking_Babbitt_2014.pdf">proses penting dalam ekosistem</a> seperti pengadukan tanah (bioturbasi) dan penguraian.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Dampak perubahan iklim terhadap amfibi" src="https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/557029/original/file-20231101-19-bn23t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Katak terbang Wallace, salah satu spesies amfibi langka yang tertekan karena perubahan iklim dan alih fungsi hutan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/rushen/29613780731/in/photostream/">(Rushen/Flickr)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meski hidup di dua alam, amfibi—yang terdiri dari katak, kodok, ataupun salamander—mengawali hidupnya dari air. Ketiadaan air akan membuat amfibi sulit berkembang biak. Sementara, di kawasan tropis beberapa jenis amfibi di kawasan tropis memiliki usia yang pendek, hanya <a href="https://www.jstor.org/stable/1565447">dua tahun.</a> </p>
<p>Musim kemarau berkepanjangan dapat meningkatkan risiko kepunahan spesies amfibi di Indonesia, yang saat ini tercatat mencapai <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/Human-Impact-on-Amphibian-Decline-in-Indonesia-Iskandar/ada33e9b999da53bcbc5226349a968abd4e7ded0">270 jenis</a>. Meski secara global amfibi sedang menghadapi <a href="https://www.nature.com/articles/s41586-023-06578-4">gelombang kepunahan</a> salah satunya karena perubahan suhu, dampaknya bagi amfibi di Indonesia belum banyak diteliti.</p>
<p>Selain amfibi, satwa lainnya yang terancam adalah ikan-ikan terutama spesies bermigrasi di sungai berarus deras dengan kadar oksigen tinggi. Penurunan debit air akibat kemarau akan mengurangi arus sungai, sehingga mengurangi kadar oksigen di dalamnya. Hal ini membuat ikan kesulitan mencapai tempat migrasi (biasanya untuk bertelur) atau mati dalam perjalanan.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah ikan tambra (<em>Tor tambroides</em>) di sungai-sungai di Kalimantan, Jawa, Sumatra, hingga beberapa kawasan Asia Tenggara. Kekeringan berisiko memperparah penurunan <a href="https://smujo.id/biodiv/article/download/364/385">populasi ikan ini</a> yang memang sudah tertekan karena perburuan dan kerusakan habitat. </p>
<p>Kekeringan di sumber air besar juga dapat mengancam langsung keberadaan populasi ikan-ikan endemik. Misalnya, kekeringan di Danau Poso, Sulawesi Tengah, turut mengancam ikan Popta’s Buntingi, satu dari beberapa spesies ikan endemik Danau Poso yang <a href="https://iktiologi-indonesia.org/ikan-endemik-danau-poso/">berstatus terancam punah.</a>. Kekeringan di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, juga berisiko bagi kelangsungan <a href="https://www.rri.co.id/daerah/361722/danau-sentarum-mengering-tanah-di-dasar-merekah?utm_source=news_slide&utm_medium=internal_link&utm_campaign=general_campaign">ikan arwana merah,</a> spesies <a href="https://www.iucnredlist.org/species/152320185/89797267">langka</a> penghuni kawasan tersebut. </p>
<p>Di hutan-hutan, primata yang hidup sepenuhnya di pepohonan atau arboreal tidak lepas dari tekanan El Nino. Saat kemarau ekstrem datang, pepohonan akan menyesuaikan diri dengan menghasilkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0304423819309367">buah yang lebih kecil dari biasanya.</a> Hal ini memengaruhi kelimpahan pakan sehingga mengganggu kehidupan mereka. </p>
<p>Owa Jawa merupakan primata <a href="https://www.iucnredlist.org/species/10550/17966495">langka</a> yang berisiko terimbas tekanan ini. Pasalnya, Owa tidak bisa melahap pakan daun dan biji-bijian, hanya buah-buahan.</p>
<p>Selain persoalan pakan, kesehatan primata juga terdampak langsung kebakaran hutan yang mengganas lantaran El Nino. <a href="https://theconversation.com/asap-kebakaran-hutan-menyebabkan-orang-utan-jarang-bergerak-dan-suaranya-menjadi-parau-208473">Studi terbaru</a> menyebutkan asap kebakaran menyebabkan suara orang utan menjadi parau dan diduga mengalami peradangan saluran pernapasan. Ini menjadi berita buruk, apalagi bila terjadi pada orang utan tapanuli yang populasinya tinggal <a href="https://www.iucnredlist.org/species/120588639/120588662">800 ekor.</a> </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/el-nino-2023-kebakaran-hutan-bermunculan-di-indonesia-ini-3-strategi-agar-tak-meluas-199407">El Nino 2023: kebakaran hutan bermunculan di Indonesia, ini 3 strategi agar tak meluas</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Cuaca panas juga dapat membalikkan upaya konservasi kadal purba komodo yang selama ini berjalan positif. El Nino dapat mematikan pohon-pohon sehingga anak-anak komodo kian rentan dimangsa oleh komodo dewasa. </p>
<p>Saat ini, anak-anak komodo kerap memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Tanpa El Nino saja, hanya <a href="https://www.iucnredlist.org/species/22884/123633058">1 dari 10</a> anak-anak komodo yang tumbuh dewasa. Bayangkan jika pada masa depan El Nino semakin kuat dan sering, anak-anak komodo yang bertahan hidup bisa semakin sedikit. </p>
<p>El Nino juga dapat memanaskan permukaan laut dan meningkatkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3758178/">keasamannya</a> sehingga dapat menyebabkan terumbu karang memutih, bahkan mati. Ini dapat mengancam ekosistem perairan Indonesia yang termasuk dalam Segitiga Karang Dunia sekaligus rumah bagi <a href="https://www.researchgate.net/publication/240629853_Indonesian_marine_and_coastal_biodiversity_Present_status#:%7E:text=(2014)%20reported%20about%201%2C100%20and,...">1.100 dan 5.300 spesies flora dan fauna perairan.</a> </p>
<h2>Segera bertindak</h2>
<p>Pemerintah sebaiknya menyediakan pendanaan cukup untuk meneliti dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati. Pengetahuan kita mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia sangat minim. Sementara, kerusakan habitat tersebut terus meningkat. </p>
<p>Sebagai langkah awal, Indonesia harus menggenjot penelitian yang memprediksi dampak perubahan iklim terhadap kehidupan satwa liar. Pemanfaatan teknologi pemantauan, pelaporan, dan verifikasi berskala luas menggunakan teknologi seperti peraba jarak jauh optik (LiDAR) ataupun Sistem Informasi Geografis harus dilakukan. </p>
<p>Teknologi ini memungkinkan kita untuk mengetahui pola-pola aktivitas satwa liar bahkan secara langsung. Harapannya, jika otoritas cuaca meramalkan cuaca ekstrem akan terjadi, kita bisa bertindak cepat—berbasiskan data pemantauan—untuk mencegah dampak negatifnya bagi satwa liar.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/el-nino-2023-juga-berdampak-ke-laut-bencana-bagi-ikan-dan-karang-204118">El Nino 2023 juga berdampak ke laut, bencana bagi ikan dan karang</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sistem pemantauan berbasis data ini jangan dibangun terpusat. Indonesia, dengan karakternya sebagai negara kepulauan, justru perlu memanfaatkan perguruan tinggi dan lembaga penelitian di daerah agar kegiatan pemantauan satwa liar tersebar di kawasan masing-masing. </p>
<p>Indonesia juga dapat meningkatkan penggalian materi biodiversitas untuk keperluan pangan, papan, obat-obatan, aromaterapi, kosmetik, dan lainnya dalam program pemanfaatan produk berbasis sumber daya hayati (<em>bioprospecting</em>) yang lebih terencana. Penggalian materi biologi juga perlu dilakukan bekerja bersama masyarakat adat, agar mereka dapat memanfaatkan material genetik dengan baik. Selain itu <em>bioprospecting</em> perlu digalakkan di berbagai perguruan tinggi di dalam negeri khususnya dan kalau perlu saja dengan perguruan tinggi luar negeri. </p>
<p>Indonesia juga dapat menjajaki sistem kredit biodiversitas, artinya memberi <a href="https://www.iucn.org/resources/issues-brief/biodiversity-offsets">kredit bagi pelestarian keanekaragaman hayati</a>. Kredit ini dapat dijual ke perusahaan untuk menebus aktivitasnya yang berdampak pada biodiversitas. Dana hasil penjualan kemudian bisa kita gunakan untuk memperkuat usaha pelestarian flora dan fauna di tanah air.</p>
<p>Tanggal 5 November adalah Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Semoga peringatan hari ini dapat memicu kita untuk tidak sekadar ‘menunggu’ dampak perubahan iklim, tapi aktif bertindak untuk mencegah dampaknya bagi seluruh kehidupan liar di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216823/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jatna adalah Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia sekaligus anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.</span></em></p>Kekeringan berdampak parah bagi amfibi, ikan-ikan, primata, kehidupan laut, hingga reptil purba.Jatna Supriatna, Professor of Conservation Biology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2156992023-10-19T08:23:56Z2023-10-19T08:23:56ZRiset: antusiasme Gen Z di Jawa dan Bali pada isu lingkungan masih rendah<p>Di tengah hingar-bingar gerakan anak muda global seperti <a href="https://fridaysforfuture.se/en/about-us/"><em>Fridays for Future</em></a> di Swedia, <em><a href="https://www.generationzero.org/our-story">Generation Zero</a></em> di Selandia Baru, atau <em><a href="https://youthforclimate.be/about">Youth for Climate movement</a></em> di Belgia, saya merasa skeptis, kurang percaya dan ragu-ragu dengan tingkat partisipasi anak muda di Indonesia dalam kegiatan yang pro lingkungan. </p>
<p>Beberapa penelitian sebelumnya, misalnya yang dilakukan oleh <a href="https://indikator.co.id/indikator-cerah-national-survey-release/">Indikator</a>, lembaga survei Indonesia yang bergerak di bidang politik dan kebijakan publik, pada tahun 2021, menyatakan bahwa anak muda Indonesia peduli masalah iklim.</p>
<p>Tulisan Aulia Dwi Nastiti, kandidat doktor dari <em>Northwestern University</em>, Amerika Serikat, dan Geger Riyanto, dosen di Universitas Indonesia, juga menyatakan bahwa anak muda peduli iklim dengan melakukan konsumsi ramah lingkungan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-aksi-iklim-anak-muda-didominasi-konsumsi-ramah-lingkungan-penting-tapi-perlu-aktivisme-yang-lebih-berdampak-182968">Riset: aksi iklim anak muda didominasi konsumsi ramah lingkungan -- penting tapi perlu aktivisme yang lebih berdampak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/AEDS-03-2023-0029/full/html?skipTracking=true">temuan penelitian yang saya lakukan tahun 2021 dengan partisipan di Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, dan Denpasar</a> menunjukkan sebaliknya, yaitu masih rendahnya antusiasme Gen Z di Jawa dan Bali pada isu lingkungan. </p>
<p>Penelitian tersebut mencari tahu alasan-alasan di balik perilaku Gen Z, <a href="https://www.pewresearch.org/short-reads/2019/01/17/where-millennials-end-and-generation-z-begins/">anak muda yang lahir di antara tahun 1997 dan 2012 atau saat ini mereka berusia 11 hingga 26 tahun</a>, untuk peduli atau tidak peduli pada kegiatan pro lingkungan.</p>
<p><a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/AEDS-03-2023-0029/full/html?skipTracking=true">Di dalam penelitian ini</a>, saya melibatkan tiga kelompok mahasiswa berusia 18-21 tahun. Tiga kelompok ini dipilih berdasarkan pengalaman mereka, yaitu, sudah memiliki pengalaman sebagai sukarelawan dalam kegiatan lingkungan, merupakan <em>influencer</em> yang pernah terlibat dalam pembuatan konten lingkungan, atau mahasiswa biasa.</p>
<h2>Peran diri dan lingkungan</h2>
<p>Dari hasil penelitian tersebut, saya melihat beberapa faktor yang menghambat kontribusi Gen Z dalam kegiatan pro lingkungan.</p>
<p><strong>1. Tekanan pribadi</strong></p>
<p>Gen Z cenderung memiliki banyak mimpi dan ambisi yang membuat mereka tenggelam dalam <a href="https://brands.wattpad.com/hubfs/A%20Day%20in%20the%20Life%20of%20Gen%20Z%20report.pdf?hsCtaTracking=daaa13f1-2e53-4513-bd9f-a68e9d58cb1e%7C86fadaed-4e59-48db-a671-7595e7b0120a">kesibukan</a>. Selain berkuliah, Gen Z bekerja paruh waktu, magang, membuka bisnis, atau sibuk di organisasi kampus, sehingga kegiatan yang dirasa tidak menguntungkan menjadi beban bagi aktivitas keseharian mereka. </p>
<p>Tidak mengherankan jika kemudian seorang peserta menyebutkan bahwa waktu adalah hal yang sangat berharga, sehingga mereka tidak mau menghabiskan waktu dengan berjalan kaki. </p>
<p>Beberapa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13676261.2015.1020927">artikel</a> juga menyatakan bahwa Gen Z sangat individual dan mementingkan diri mereka sendiri. Namun, penelitian saya menunjukkan bahwa tekanan untuk sukseslah yang mendorong mereka untuk bersikap seperti itu. </p>
<p>Artinya, kita perlu menilik kembali strategi komunikasi pro lingkungan untuk Gen Z, yaitu dengan menekankan pesan-pesan yang menguntungkan bagi anak muda, baik untuk saat ini maupun di masa depan.</p>
<p><strong>2. Pengaruh lingkungan sekitar dan tekanan sosial</strong></p>
<p>Keluarga, teman, dan komunitas menjadi pengaruh utama perilaku dari <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0013916518763894">Gen Z</a>. Perilaku pro lingkungan bisa dengan mudah terbentuk saat mereka berada dalam lingkungan yang positif.</p>
<p>Gen Z yang tinggal dengan keluarga yang memahami isu lingkungan, lebih berpeluang untuk melakukan praktik-praktik positif dan sederhana, seperti mematikan lampu sebelum bepergian, atau menggunakan AC dan air seperlunya. </p>
<p>Di sekolah, mereka akan melakukan perilaku pro lingkungan saat teman-teman mereka melakukan hal yang sama. Mereka akan terdorong untuk melakukan hal-hal baik, seperti membawa botol air minum isi ulang atau bekal dari rumah, apabila memiliki ‘teman’ yang berperilaku sama.</p>
<p>Hal ini menegaskan betapa Gen Z memiliki kesadaran norma sosial yang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14733285.2020.1818057">tinggi </a>. Artinya, mereka sangat peduli atas pikiran orang lain akan diri mereka.</p>
<p>Seorang partisipan, contohnya, berhenti berjalan kaki karena tetangganya mengatakan “sayang kalau kepanasan, apalagi kulitmu putih begitu”. Dalam cerita yang lain, rajin jalan kaki juga bisa menimbulkan komentar “pelit” atau dianggap tidak mau mengeluarkan uang untuk membeli bensin. Komentar-komentar negatif ini muncul karena adanya ketidakpahaman sosial tentang pentingnya kegiatan pro lingkungan. </p>
<h2>Apa solusinya?</h2>
<p><strong>1. Pendidikan kesadaran lingkungan secara formal maupun nonformal</strong></p>
<p>Dalam konteks formal, pemerintah melalui beberapa kementerian terkait sudah melakukan inisiasi penting. Misalnya dengan membuat <a href="https://www.scribd.com/document/406143713/Kesepakatan-Bersama-MENLH-010">kesepakatan bersama antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 03/MENLH/02/2010 dan Nomor 01/II/KB/2010 tentang Pendidikan Lingkungan Hidup</a>. Di tahun 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga sudah menerbitkan <a href="https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud81A-2013ImplementasiK13Lengkap.pdf">Peraturan Menteri Nomor 81A/2013</a> untuk mendorong program sekolah berbasis lingkungan di Indonesia.</p>
<p>Sayangnya, program ini masih belum menemukan titik terang di mana praktik pro lingkungan terbatas pada hafalan limbah dan polusi. Salah seorang partisipan dari Cirebon, Jawa Barat, mengaku:</p>
<blockquote>
<p>“Saya hanya menghafal jenis-jenis polusi dari pelajaran biologi, namun pengalaman tentang polusi baru saya dapat saat mulai kos di Yogyakarta.”</p>
</blockquote>
<p>Hal ini diamini oleh teman-temannya yang lain. </p>
<p>Selain pendekatan formal, penelitian ini juga menunjukkan nilai-nilai baik yang bisa dibangun melalui pendidikan nonformal. Beberapa partisipan, misalnya, mengaku mendapatkan ilmu dan praktik pro lingkungan, seperti kegiatan menanam pohon dan pentingnya merawat alam, dari kegiatan gereja dan masjid.</p>
<p><strong>2. Menggunakan pendekatan budaya populer</strong></p>
<p>Gen Z merupakan generasi yang lebih familiar dengan isu lingkungan saat membacanya di majalah, website, media sosial, ataupun film. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh salah satu partisipan yang menyebutkan bahwa:</p>
<blockquote>
<p>“Saya paham tentang banjir dari film Leonardo di Caprio.”</p>
</blockquote>
<p>Mendekati Gen Z memang tidak bisa menggunakan cara-cara lama. Program yang bersifat mekanistik, yaitu ditentukan oleh pemerintah atau pihak sekolah tanpa melibatkan kebutuhan dan keinginan siswa, tidak akan sukses untuk kelompok ini.</p>
<p>Kegiatan pro lingkungan harus didesain oleh dan untuk anak muda itu sendiri. Pihak lain, seperti guru, pemerintah, atau pemilik dana, bisa mengarahkan dan mengawasi prosesnya. Selain itu, kegiatan pro lingkungan juga bisa menggunakan media populer sebagai sarana edukasi. Bagaimanapun, bagi Gen Z, fotografi, musik, atau cerita menjadikan informasi pro lingkungan lebih ringan dan lebih mudah diingat daripada tumpukan buku pelajaran.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215699/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ina Ratriyana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak muda di Indonesia peduli masalah iklim, antusiasme, pengetahuan dan kontribusi mereka ternyata masih rendah. Apa penyebabnya?Ina Ratriyana, PhD candidate School of Film, Media, and Journalism, Monash University, Melbourne, Australia, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2152672023-10-10T02:51:19Z2023-10-10T02:51:19ZPerubahan iklim menambah sengsara warga miskin kota di luar Jawa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/552714/original/file-20230911-22-ceblp3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C10%2C3551%2C2655&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Warga Samarinda, East Kalimantan, saat banjir di tengah-tengah permukiman.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Bramanyuro/Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Cuaca ekstrem akibat <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/syr/">perubahan iklim</a> telah menyebabkan begitu banyak kejadian dan bencana di seluruh dunia.</p>
<p>Pertengahan 2023 silam, banjir bandang membuat jalan-jalan terendam dan membuat jutaan orang mengungsi di <a href="https://www.vox.com/climate/2023/7/11/23791452/vermont-flooding-climate-change">Amerika Serikat (AS), Korea Selatan, Pakistan, dan Turki</a>. Asia juga mengalami <a href="https://www.google.com/url?sa=D&q=https://www.bbc.com/news/world-asia-66197937&ust=1692313800000000&usg=AOvVaw3GIEwLSF7ljmYqWrBntVC_&hl=en&source=gmail">lebih dari seratus kematian</a> akibat periode monsun tahun ini. <a href="https://www.theguardian.com/world/2023/jul/10/india-floods-new-delhi-rain-record-deaths">Di India utara,</a> banjir mematikan akibat hujan ekstrem menelan 22 korban jiwa.</p>
<p>Di Indonesia, banjir parah pada April 2023 yang melanda <a href="https://floodlist.com/asia/indonesia-floods-central-kalimantan-april-2023">Kalimantan Tengah</a> mengakibatkan 16 ribu korban. Rumah-rumah dan bangunan publik turut terdampak. Sementara, saat kemarau tiba, <a href="https://regional.kompas.com/read/2023/06/21/171659578/12-kelurahan-di-kota-bima-dilanda-kekeringan-21103-jiwa-terdampak-krisis">kekeringan</a> makin menyulitkan warga kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam mengakses air bersih.</p>
<p><a href="https://arc.ui.ac.id/riset/resilient-indonesian-slums-envisioned-rise-building-an-inclusive-governance-with-people-and-water-to-make-socialecological-interactions-for-resilient-to-aquatic-disasters/">Dalam riset terbaru</a>, kami mencoba menggali bagaimana cuaca ekstrem berdampak pada kawasan urban, khususnya masyarakat miskin yang sangat dirugikan akibat kejadian tersebut. </p>
<h2>Warga miskin dan masalah terkait air</h2>
<p>Kami <a href="https://arc.ui.ac.id/riset/resilient-indonesian-slums-envisioned-rise-building-an-inclusive-governance-with-people-and-water-to-make-socialecological-interactions-for-resilient-to-aquatic-disasters/">mempelajari</a> tiga kota rawan banjir di Indonesia: Pontianak, Kalimantan Barat; Bima, NTB; dan Manado, Sulawesi Utara. </p>
<p>Penelitian kami berbasiskan studi lapangan, observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Kami mewawancarai 57 informan sepanjang proses pengumpulan data. Mereka terdiri dari aktor pemerintah, pemimpin komunitas, aktivis organisasi masyarakat sipil, dan pelaku usaha.</p>
<p>Penelitian kami bertujuan untuk mempelajari bagaimana pembangunan perkotaan berdampak pada masalah seputar air, terutama yang terkait perubahan iklim.</p>
<p>Riset kami menemukan bahwa masalah terkait iklim seperti banjir, kekeringan, dan serangan panas dapat berdampak pada seluruh kota, miskin maupun kaya. Namun, warga miskin menjadi golongan yang paling terdampak karena beberapa alasan.</p>
<p>Saat penduduk berpenghasilan menengah ke atas tinggal di kawasan perumahan yang nyaman dan terencanakan, kaum miskin kota <a href="https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/floods-neighborhood-mapping-poverty-and-flood-risk-indonesian-cities">terpaksa tinggal di kawasan yang paling rawan banjir</a>.</p>
<p>Selain itu, mereka juga tinggal di permukiman yang padat dan kumuh, dengan akses air bersih yang terbatas. Di lokasi yang kami datangi, warga permukiman ini tidak mendapatkan pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat, meskipun jaringannya berdekatan dengan rumah mereka.</p>
<p>Walhasil, masyarakat miskin menggunakan cara-cara tersendiri untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2015.08.023">bertahan hidup</a>, seperti menggunakan sumur gali, memompa air tanah, membangun kolam penampungan ataupun tandon air untuk menampung air hujan.</p>
<p>Cara senada juga dilakukan masyarakat miskin saat menghadapi banjir. Mereka langsung memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang tinggi, memantau kenaikan muka air di selokan, parit, dan sungai. Mereka juga membuat saluran komunikasi dengan platform digital untuk berbagi info cepat untuk merumuskan langkah antisipasi jika risiko banjir meningkat.</p>
<p>Sayangnya, langkah-langkah di atas cenderung reaktif dan belum menyentuh akar persoalan sebenarnya.</p>
<h2>Akibat pembangunan tak merata</h2>
<p>Kami menemukan bahwa masalah terkait air di Indonesia, seperti <a href="https://water.org/our-impact/where-we-work/indonesia/">banjir dan kelangkaan air</a>, berhubungan erat dengan <a href="https://academic.oup.com/book/36181">pembangunan yang tak merata</a> di berbagai kawasan perkotaan. Semua kota yang kami pelajari menunjukkan pola serupa.</p>
<p>Di beberapa kawasan kota, <a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/augment-connect-target-realizing-indonesias-urban-potential">pertumbuhan ekonomi meningkat pesat</a>. Gedung-gedung pencakar langit menjulang. Kawasan bisnis menggeliat. Perumahan mewah dengan pusat perbelanjaan di dekatnya pun bertumbuh.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Kawasan kumuh di Bandung" src="https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/547399/original/file-20230911-23-rgy6c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kawasan kumuh di Bandung, Jawa Barat, yang timbul karena perencanaan kota yang tak memadai dan pembangunan tak merata.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Ikhlasul Amal/Flickr)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pesatnya pembangunan memicu lonjakan harga tanah, biaya sewa rumah, dan ongkos kebutuhan dasar seperti air bersih dan listrik. Akibatnya, area-area mewah ini menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.</p>
<p>Sementara itu, di pedesaan dan kawasan yang kurang berkembang, orang-orang mengubah hutan menjadi lahan pertanian untuk memenuhi permintaan penduduk kota. Perubahan ini kemudian mengganggu siklus alami air.</p>
<p>Akhirnya, ketika cuaca ekstrem melanda, kawasan kota ketiban bencana. Hujan deras meningkatkan risiko banjir, sedangkan kemarau membuat warga kota sulit mendapatkan air bersih.</p>
<h2>Apa yang bisa kita lakukan</h2>
<p>Temuan kami menunjukkan bahwa aktivitas berburu keuntungan oleh para pengembang, ditambah dengan kebijakan yang lemah, telah memperparah bencana terkait air dan dampaknya paling dirasakan oleh kaum miskin kota. Di tengah situasi tersebut, kaum miskin kota kelimpungan untuk menyesuaikan diri, apalagi meningkatkan kehidupan mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/547408/original/file-20230911-28-p2o2yl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perencanaan berbasis warga untuk memastikan pembangunan yang adil di Kampung Akuarium, Jakarta.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Rujak Center for Urban Studies)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Riset kami merekomendasikan sejumlah langkah untuk membenahi kondisi warga miskin kota dalam menghadapi bencana terkait air, bukan cuma bertahan terhadapnya.</p>
<p>Sebagai langkah pertama, kita harus memastikan agar praktik pengelolaan air dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat.</p>
<p>Penting juga bagi kita untuk mempertimbangkan dan menangani ketimpangan di seluruh kawasan. Misalnya, kita dapat mengembangkan lingkungan terpadu yang dapat menghubungkan kembali kehidupan warga kota dengan sungai.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hadapi-perubahan-iklim-indonesia-perlu-perkuat-diplomasi-air-213666">Hadapi perubahan iklim, Indonesia perlu perkuat diplomasi air</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lalu, langkah kedua adalah kita harus mempertimbangkan risiko perubahan iklim saat merumuskan kebijakan tentang pelayanan dan kelembagaan terkait air. Kita harus mencari cara mendanai aksi-aksi pencegahan dan penanggulangan bencana supaya lebih berkelanjutan dan responsif.</p>
<p>Terakhir, penting bagi kita untuk berhati-hati saat merencanakan pembangunan infrastruktur. Kita harus memasukkan opsi-opsi yang valid, tapi bisa terus diperbarui dan diperbaiki. Opsi semacam ini membutuhkan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan kesadaran mereka soal isu ini.</p>
<p>Untuk jangka panjang, rekomendasi ini dapat mengintegrasikan aksi kita dalam seluruh siklus air untuk melindungi akses air, lingkungan, dan kesehatan masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215267/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Rifqi terafiliasi dengan Asia Research Centre Universitas Indonesia</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Cindy Rianti Priadi terafiliasi dengan Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Inaya Rakhmani terafiliasi dengan Asia Research Centre, Universitas Indonesia. Data dalam artikel ini diperoleh dari penelitian kolaboratif RISE (Resilient Indonesian Slums Envisioned) yang didanai oleh NWO-WOTRO/RISTEK-BRIN.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Muhammad Irvan terafiliasi dengan Asia Research Centre Universitas Indonesia.</span></em></p>Ketimpangan pembangunan perkotaan memperparah masalah terkait air di banyak kota di luar Pulau Jawa.Muhammad Rifqi Damm, PhD Student, University of GothenburgCindy Rianti Priadi, Assistant Professor in Environmental Engineering, Universitas IndonesiaInaya Rakhmani, Assistant Professor at the Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaMuhammad Irvan, Deputi Operasional ARC UI, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2147432023-10-03T03:24:44Z2023-10-03T03:24:44ZMengapa restorasi kawasan pesisir tak bisa diandalkan untuk menebus emisi karbon kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/551353/original/file-20220727-7627-p7o3a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3168%2C2004&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/surabaya-indonesia-january-10-2013-small-2024667200">Akuditaputri/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dewasa ini penyerapan <a href="https://www.ipcc.ch/sr15/chapter/spm/">ratusan miliar ton</a> emisi karbon menjadi langkah penting agar kita bisa menghindari dampak terburuk perubahan iklim. Penggunaan solusi alami untuk mencapai tujuan ini, dengan mengusahakan habitat alami tumbuh kembali, sepertinya menjadi <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/science.abn9668">solusi <em>win-win</em></a> bagi lingkungan dan iklim Bumi.</p>
<p>Endapan di bawah hutan mangrove, rawa air asin, dan padang lamun <a href="https://www.grida.no/publications/145">menyimpan begitu banyak karbon</a> yang sudah terpendam di sana selama ratusan tahun. Pelaku usaha dan pemerintah, yang ingin sekali menebus emisi gas rumah kaca (<em>carbon offsets</em>) seperti karbon dioksida atau CO2, sedang mencari cara untuk mendanai proyek pemulihan ekosistem yang disebut sebagai habitat karbon biru ini.</p>
<p>Banyak <a href="https://www.nature.com/articles/s43017-021-00224-1">akademikus</a> <a href="https://www.mckinsey.com/business-functions/sustainability/our-insights/blue-carbon-the-potential-of-coastal-and-oceanic-climate-action">dan kelompok swasta</a> menyokong gagasan tersebut. Asumsinya, mereka bisa memprediksi dengan akurat berapa banyak CO2 yang bisa diserap dari atmosfer di masa depan. </p>
<p>Kami adalah ilmuwan yang mempelajari bagaimana hubungan antara kehidupan laut, kimia, dan iklim bumi. Setelah meneliti proses yang dilakukan habitat pesisir dalam menyerap (dan melepaskan) gas-gas penyebab pemanasan global, kami malah meragukan pemulihan habitat ini berfaedah bagi iklim bumi.</p>
<p>Manfaat penanaman mangrove, misalnya, masih jauh dari kepastian. Ada juga risiko bahwa skala mitigasi perubahan iklim yang bisa dilakukan proyek-proyek restorasi sudah terlalu berlebihan.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fclim.2022.853666/full">Analisis terbaru kami</a> menemukan beberapa alasan mengapa dengan kondisi saat ini, sangat sukar bagi kita memperkirakan jumlah karbon yang bisa dikumpulkan oleh ekosistem pesisir. Karena itulah dasar perhitungan jumlah penebusan karbon dari proyek-proyek restorasi pesisir ini, selama 50-100 tahun ke depan, sangatlah lemah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tangan yang bersarung tangan menangani inti sedimen yang dikelilingi oleh vegetasi yang tergenang." src="https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475839/original/file-20220725-21-mo65cy.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Inti sedimen yang diambil dari rawa asin saat air pasang.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Stephanie Nolte/University of East Anglia</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sebab ketidakpastian</h2>
<p>Begitu banyak perkiraan seputar berapa jumlah karbon biru yang bisa diserap dari atmosfer. Dari ratusan studi ilmiah, perbedaan angka penyimpanan karbon di rawa air asin di antara angka tertinggi dan terendahnya bisa mencapai 600 kali lipat. Di padang lamun, perbedaannya 76 kali lipat, dan mangrove 19 kali lipat.</p>
<p>Penggunaan nilai rata-rata dari ratusan studi untuk habitat tertentu adalah jalan pintas termudah untuk memperkirakan jumlah penyerapan karbon yang bisa dicapai dari suatu proyek restorasi baru. Namun, jomplangnya perbedaan data juga berarti usaha penebusan emisi karbon ini bisa salah besar. </p>
<p>Karena kami melihat begitu banyak nilai rendah yang dilaporkan dalam studi, dan hanya sedikit nilai penyerapan karbon yang sangat tinggi, kemungkinan besar manfaat iklimnya juga dilebih-lebihkan. </p>
<p>Perbedaan penyerapan karbon muncul bahkan dari perbedaan jarak <a href="https://aslopubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/lno.11607?casa_token=HB7n3gyVoFIAAAAA%3ArSG8Z_c3GTLxN_KenoXoICHwgLrPT9ELogBhmy_8YPoJlL9Bq39xbQ-Qcipz5CaaDnfrZcbOebxK5g4">beberapa kilometer saja</a>. Untuk menghitung karbon secara kredibel, kita memerlukan begitu banyak tahap yang memakan waktu dan tenaga. Akibatnya, ongkos proyek restorasi juga meningkat.</p>
<p>Masalah sebenarnya lebih runyam. Angka penyimpanan karbon yang dilaporkan dalam berbagai riset biasanya ditentukan secara tidak langsung oleh sampel sedimen dari berbagai kedalaman untuk memperkirakan usianya. </p>
<p>Nah, ada organisme penggali yang mengganggu dengan mencampurkan lapisan di kedalaman sedimen muda maupun tua. Hal ini bisa membuat sedimen tua tampak lebih muda, sehingga tingkat penyimpanan karbonnya dapat lebih besar dari angka sebenarnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Foto udara dari lahan basah pesisir dengan kolam dan air mengalir." src="https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/476349/original/file-20220727-1293-lpcchf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Rawa asin pesisir di Stiffkey, North Norfolk, Inggris.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/aerial-view-coastal-salt-marshes-stiffkey-1429758971">Dronegraphica/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Banyak karbon yang terkubur di sedimen pesisir juga datang dari mana saja, misalnya dari tanah daratan yang terangkut oleh sungai. Besaran karbon dari luar ekosistem pesisir ini bisa 10% atau bahkan sampai 90% (dari total endapan di kawasan pesisir).</p>
<p>‘Karbon impor’ ini haruslah dikeluarkan dari perhitungan penebusan karbon untuk memperjelas: berapa banyak yang sudah tersimpan sebagai hasil pemulihan suatu habitat, dan berapa banyak karbon yang memang terkubur begitu saja. </p>
<p>Sayangnya, karbon impor ini mungkin lebih sulit terurai. Dalam sebuah <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/gcb.14089">studi</a> di salah satu rawa air asin, proporsi 50% karbon impor yang terendap di dekat sedimen permukaan justru naik menjadi 80% di lapisan terdalam. </p>
<p>Karena nilai yang lebih dalam mewakili tingkat penguburan karbon yang lebih lama di suatu habitat, peran habitat yang kita pulihkan dalam penyerapan karbon secara langsung mungkin tidak sepenting yang kita perkirakan.</p>
<p>Proses lainnya yang juga susah diukur dapat meningkatkan ketimbang mengurangi manfaat pemulihan habitat karbon biru terhadap iklim planet kita. Sisa-sisa tanaman dari habitat pesisir yang justru tersapu ke laut—alih-alih tersimpan di sedimen—mereka masih bisa <a href="https://royalsocietypublishing.org/doi/10.1098/rsbl.2018.0200">terkubur di tempat lainnya</a> di waktu yang lama. </p>
<p>Sisa tanaman tersebut, misalnya, dapat tenggelam ke perairan dalam di laut lepas. Sejauh ini saja, para ilmuwan tidak memiliki pengetahuan yang cukup seputar jumlah karbon yang mengalami proses tersebut—apalagi menghitungnya dengan tepat.</p>
<p>Peralihan kebun sawit di pesisir menjadi hutan mangrove, ataupun membanjiri kawasan pesisir untuk membuat rawa air asin bisa saja meningkatkan penyimpanan karbon di suatu kawasan. Namun, pada saat yang sama, <a href="https://agupubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1029/2020GB006858">kawasan ini bisa melepaskan lebih banyak</a> gas metana (atau dikenal sebagai gas rawa) dan dinitrogen oksida. Keduanya merupakan gas rumah kaca yang kuat sehingga proyek ini tidak bermanfaat bagi iklim.</p>
<p>Hal di atas bisa terjadi karena gas-gas dapat terbentuk ketika tidak ada cukup oksigen dalam tanah ataupun sedimen. Kondisi ini juga dapat mengarah pada penyimpanan karbon. Secara teknis, kita membutuhkan pengukuran lebih jelas untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tabung plastik menyilangkan anakan pohon di pantai berpasir." src="https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=283&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=283&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=283&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=356&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=356&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475840/original/file-20220725-23-slro76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=356&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Peralatan yang mengukur pertukaran gas di sedimen rawa mangrove Australia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Judith Rosentreter/Southern Cross University</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kemudian, ada juga hewan dan tumbuhan berkalsium yang tumbuh di habibtat-habitat ini, khususnya di padang lamun. Daun lamun yang berbentuk tali ini sering kali ditutupi oleh lapisan putih cacing bercangkang dan alga koralin. Ketika organisme ini membuat lapisan kalsium karbonat, mereka melepaskan CO2.</p>
<p>Di salah satu padang lamun di Florida, Amerika Serikat, <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/sciadv.abj1372">pelepasan CO2 justru lebih banyak terjadi dibandingkan penyimpanannya</a>. Di tempat lain, kondisi dapat mempengaruhi reaksi kimia antara CO2 terlarut dan karbonat di sedimen, sehingga <a href="https://aslopubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/lol2.10170">penyerapan karbonnya lebih tinggi</a>. Karena itulah, pengukuran canggih diperlukan di setiap lokasi untuk menentukan pentingnya dampak ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Hutan lamun di bawah air dengan daun berbintik-bintik putih." src="https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475841/original/file-20220725-13-whzn7b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Lamun Mediterania dilapisi ganggang koralin dan cacing dengan cangkang karbonat.</span>
<span class="attribution"><span class="source">David Luquet/CNRS & Sorbonne Universit</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Akhirnya, ada masa depan yang harus kita pertimbangkan. Apakah ekosistem pesisir yang pulih dapat bertahan dari dampak perubahan iklim seperti gelombang panas, badai, dan kenaikan muka air laut? Apakah ekosistem-ekosistem ini akan dikelola dengan baik dan dilindungi dari aktivitas pertanian, budi daya perikanan, pariwisata, dan industri serta aktivitas lainnya yang memang sejak awal menyebabkan habitat tersebut menghilang?</p>
<p>Setiap upaya harus kita lakukan untuk menahan kehilangan vegetasi pesisir dan membalikkan keadaannya di manapun itu. Habitat karbon biru bukan hanya penyerap karbon, tapi juga pelindung masyarakat pesisir dari <a href="https://theconversation.com/protecting-mangroves-can-prevent-billions-of-dollars-in-global-flooding-damage-every-year-132424">badai</a>, menjaga keberagaman hayati dan spesies target oleh sektor perikanan tangkap, dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2212041622000195">meningkatkan kualitas air.</a></p>
<p>Kita sungguh berharap upaya perlindungan ekosistem karbon biru di masa depan lebih efektif. Kita juga menginginkan pemanasan global dapat kita tahan di bawah batasan yang kita anggap kritis bagi kelangsungan hidup mereka, <a href="https://www.ipcc.ch/srocc/chapter/chapter-5/">yakni sekitar 2,3°C - 3,7°C</a> di atas era praindustri.</p>
<p>Sayangnya, sejauh ini kemajuannya meragukan. Sekalipun batas temperatur itu terlampaui, karbon yang baru tersimpan di ekosistem dapat terlepas lagi ke atmosfer apabila sudah tak ada lagi vegetasi untuk mencegah luruhnya sedimen di pesisir.</p>
<p>Karena skala penyerapan dan penyimpanan karbon jangka panjang yang sangat tidak pasti, terlalu berisiko bagi kita untuk mengandalkan habitat karbon biru sebagai alat untuk menebus emisi gas rumah kaca di tempat lain. </p>
<p>Jika gagal, konsekuensinya sangat besar. Oleh karena itu, prioritas kita seharusnya adalah melipatgandakan pemangkasan emisi. Kami meyakini, pemakaian metode penghilangan karbon untuk membantu mencapai nol emisi (<em>net zero</em>) akan berhasil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214743/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Phil Williamson menerima dana dari UKERC/NERC. Hingga tahun 2020, ia menerima gaji NERC sebagai Koordinator Sains untuk program Penghapusan Gas Rumah Kaca Inggris. Tujuannya adalah untuk menilai secara tidak memihak kelayakan berbagai cara untuk menghilangkan CO₂ dan gas rumah kaca lainnya dari atmosfer.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jean-Pierre Gattuso telah menerima dana dari Prince Albert II dari Monaco Foundation, Pusat Koordinasi Internasional Pengasaman Laut dari Badan Energi Atom Internasional, Veolia Foundation, Fasilitas Perancis untuk Lingkungan Global dan Komisi Eropa.
</span></em></p>Habitat ‘karbon biru’ memang menyimpan banyak karbon, tapi tidak cukup andal untuk menebus emisi yang kita hasilkan.Phil Williamson, Honorary Reader, University of East AngliaJean-Pierre Gattuso, Research Professor, CNRS, Iddri, Sorbonne UniversitéLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2146932023-10-02T02:20:03Z2023-10-02T02:20:03ZGagasan ‘green growth’ kehilangan dukungan dari peneliti kebijakan iklim, ungkap survey terhadap 800 akademisi<p>Saat memberikan <a href="https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/ov/speech_23_4426">pidato tahunannya</a> pada 13 September, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen berpegang pada narasi yang selama ini bergulir. Menjelaskan visinya mengenai Eropa yang kuat secara ekonomi dan berkelanjutan di era perubahan iklim, ia meminta Uni Eropa untuk mempercepat pengembangan sektor teknologi ramah lingkungan, “mulai dari pembangkit listrik tenaga angin hingga baja, dari baterai hingga kendaraan listrik”. </p>
<p>“Jika menyangkut Kesepakatan Hijau Eropa, kami tetap berpegang pada strategi pertumbuhan kami,” kata von der Leyen.</p>
<p>Rencana von der Leyen tidaklah unik. Gagasan pertumbuhan hijau (<em>green growth</em>)–gagasan bahwa tujuan lingkungan dapat diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan–masih menjadi ortodoksi ekonomi yang umum bagi lembaga-lembaga besar seperti <a href="https://elibrary.worldbank.org/doi/abs%20/10.1596/978-0-8213-9551-6">Bank Dunia</a> dan <a href="https://www.oecd.org/greengrowth/48012345.pdf">Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi</a> (OECD).</p>
<p>OECD telah berkomitmen untuk “memperkuat upaya menerapkan strategi pertumbuhan ramah lingkungan […], dengan mengakui bahwa lingkungan hidup dan pertumbuhan dapat berjalan beriringan”. Sementara, Bank Dunia menyerukan “pertumbuhan ramah lingkungan yang inklusif"–merujuk pada bagaimana "pertumbuhan ramah lingkungan diperlukan, efisien, dan terjangkau”. Uni Eropa pun telah membingkai <a href="https://www.eea.europa.eu/publications/reflecting-on-green-growth">pertumbuhan hijau</a> sebagai</p>
<blockquote>
<p>“dasar untuk mempertahankan tingkat serapan tenaga kerja dan mengamankan sumber daya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat […] mentransformasikan produksi dan konsumsi dengan menyelaraskan peningkatan PDB dan batasan lingkungan hidup”.</p>
</blockquote>
<p>Akan tetapi, survey kami terhadap lebih dari <a href="https://www.nature.com/articles/s41893-023-01198-2">800 peneliti kebijan iklim di seluruh dunia</a> mengungkap meluasnya skeptisme terhadap konsep di negara-negara berpendapatan tinggi, dengan menggunungnya literatur yang berargumen bahwa prinsip tersebut bisa jadi tak mungkin dilakukan atau tak diinginkan. </p>
<p>Alih-alih, paradigma-paradigma <em>post-growth</em> (pandangan bahwa dengan keterbatasan sumber daya alam, ekonomi ekstraktif dan populasi tak akan bisa terus bertumbuh) seperti “<em>degrowth</em>” dan “<em>agrowth</em>” justru semakin populer.</p>
<h2>Membedakan pertumbuhan hijau dengan <em>agrowth</em> dan <em>degrowth</em></h2>
<p>Namun apa arti dari terminologi ini?</p>
<p>Pemikir-pemikir <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0921800910005021">“<em>degrowth</em>”</a> mengajukan reduksi terencana konsumsi material di negara-negara maju demi mencapai masyarakat yang lebih berkelanjutan dan adil. Sementara, para pendukung <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0921800910004209">“<em>agrowth</em>”</a> mengadopsi pandangan yang netral terhadap pertumbuhan ekonomi, berfokus pada mencapai keberlanjutan tanpa memerhatikan fluktuasi pendapatan domestik bruto (PDB).</p>
<p>Secara esensi, kedua sudut pandang ini skeptis terhadap paradigma “<em>green growth</em>”, dengan <em>degrowth</em> mengambil posisi yang lebih kritis.</p>
<p>Perdebatan yang ada berpusat seputar konsep <em>decoupling</em> (pemisahan)–apakah perekonomian dapat tumbuh tanpa peningkatan degradasi lingkungan atau emisi gas rumah kaca. Pada dasarnya, hal ini menandakan pemisahan hubungan historis antara pertumbuhan PDB dan dampak buruknya terhadap lingkungan.</p>
<p>Yang penting, pemisahan <em>absolut</em> dan bukan pemisahan <em>relatif</em> diperlukan agar pertumbuhan ekonomi hijau dapat berhasil. Dengan kata lain, emisi harus menurun seiring pertumbuhan ekonomi, dan tidak hanya tumbuh lebih lambat.</p>
<p><a href="https://academic.oup.com/oxrep/article-abstract/30/3/407/552020?login=false">Para pendukung <em>green growth</em></a> berkeras bahwa pemisahan absolut dapat dicapai dalam jangka panjang, meskipun ada perbedaan pendapat mengenai apakah akan ada dampak jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Sebaliknya, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13563467.2019.1598964">perspektif <em>degrowth</em></a> menekankan pentingnya pemisahan absolut dilakukan dengan skala global dan dapat dicapai dengan kecepatan yang dibutuhkan untuk tetap berada dalam target iklim Kerangka Perjanjian Paris.</p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196(23)00174-2/fulltext">Sebuah studi terbaru</a>, misalnya, menemukan bahwa menemukan bahwa tingkat pemisahan kelompok berpendapatan tinggi saat ini masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2°C sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.</p>
<p>Sementara itu, posisi <em>agrowth</em> mengambil jalan tengah dengan pandangan yang cenderung beragam terkait perdebatan <em>decoupling</em> ini. <a href="https://nyaspubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/nyas.14900">Sebagian berpendapat</a> bahwa pemisahan mungkin dilakukan di bawah kebijakan yang tepat. Namun, fokusnya harusnya lebih pada kebijakan dan bukan target, karena hal ini menimbulkan kerancuan antara upaya dan hasil.</p>
<p>Pendapat lainnya adalah bahwa perdebatan ini tidaklah relevan karena PDBB merupakan indikator yang buruk untuk menunjukkan perkembangan di masyarakat–bahwa terdapat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0167487008001141">“paradoks PDB”</a>, yakni bagaimana indikator ini terus menjadi tolok ukur dominan dalam ekonomi dan politik meski kegagalannya banyak diakui.</p>
<h2>7 dari 10 pakar iklim skeptis terhadap <em>green growth</em></h2>
<p>Seberapa umum para pakar menganut pandangan <em>degrowth</em> dan <em>agrowth</em>? </p>
<p>Sebagai bagian dari survei terbaru terhadap 789 peneliti global yang pernah mempublikasikan riset soal kebijakan mitigasi perubahan iklim, <a href="https://rdcu.be/diKl4">kami mengajukan pertanyaan untuk menilai posisi responden dalam perdebatan pertumbuhan</a>. Menariknya, 73% dari seluruh responden menyatakan pandangan mereka sejalan dengan posisi “<em>agrowth</em>” atau “<em>degrowt</em>”, dengan pandangan pertama lebih populer di antara para pakar ini.</p>
<p>Kami menemukan bahwa pendapat tersebut bervariasi berdasarkan negara dan disiplin responden (lihat gambar di bawah).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="green growth, degrowth and agrowth split according to scientific discipline" src="https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=469&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=469&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/549105/original/file-20230919-21-12sur0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=469&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Grafik menunjukkan pemikiran 789 peneliti global, berdasarkan asal wilayah and disiplin keilmuan.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Fourni par l'auteur</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meskipun OECD sangat mendukung pertumbuhan ramah lingkungan, para peneliti dari Uni Eropa dan negara-negara OECD lainnya menunjukkan tingkat skeptisisme yang tinggi. Sebaliknya, lebih dari separuh peneliti dari negara-negara non-OECD, terutama di negara-negara berkembang seperti negara-negara BRICS, lebih mendukung pertumbuhan hijau.</p>
<h2>Gejolak disipliner</h2>
<p>Tak hanya itu, terdapat pula kesenjangan disiplin. Ilmuwan lingkungan dan sosial lainnya, kecuali ekonom ortodoks, merupakan kelompok yang paling skeptis terhadap pertumbuhan ekonomi hijau.</p>
<p>Sebaliknya, para ekonom dan insinyur menunjukkan preferensi tertinggi terhadap pertumbuhan ramah lingkungan, yang kemungkinan merupakan indikasi kepercayaan terhadap kemajuan teknologi dan model ekonomi konvensional yang menunjukkan sejalannya pertumbuhan ekonomi dengan tujuan iklim.</p>
<p>Analisis kami juga menguji hubungan antara posisi pertumbuhan dan PDB per kapita di negara asal responden. Sebuah tren muncul: ketika pendapatan nasional meningkat, terdapat peningkatan skeptisisme terhadap pertumbuhan hijau. Pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi, para ahli semakin mendukung argumen <em>post-growth</em> yang menekankan bahwa dampak sosial-lingkungan dari pertumbuhan mungkin lebih besar daripada manfaatnya.</p>
<p>Hasil ini bahkan terlihat lebih jelas ketika kita memperhitungkan Indeks Pembangunan Manusia yang Disesuaikan dengan Ketimpangan (<em>Inequality-adjusted Human Development Index</em>/IHDI), yang menunjukkan bahwa aspek-aspek di luar pendapatan, seperti ketimpangan dan pembangunan secara keseluruhan, mungkin memengaruhi pandangan-pandangan ini.</p>
<p>Di dunia yang sedang bergulat dengan perubahan iklim dan kesenjangan sosio-ekonomi, temuan-temuan ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Hasil ini menggarisbawahi perlunya dialog yang lebih holistik mengenai pembangunan berkelanjutan, yang melampaui paradigma pertumbuhan hijau konvensional.</p>
<h2>Pemikiran <em>post-growth</em> tak lagi radikal</h2>
<p>Meski von der Leyen teguh mendukung pertumbuhan hijau, pergeseran akademik ini semakin terefleksikan di dalam perdebatan politik.</p>
<p>Pada Mei 2023, Parlemen Eropa mengadakan konferensi bertajuk <a href="https://www.beyond-growth-2023.eu/">“<em>Beyond Growth</em>”</a> sebagai inisiatif dari 20 anggota dewan yang berasal dari lima fraksi politik berbeda dan didukung oleh lebih dari 50 organisasi mitra. Tujuan utamanya adalah untuk membahas usulan kebijakan yang tidak hanya menjadikan pendekatan pertumbuhan PDB nasional sebagai ukuran utama keberhasilan.</p>
<p>Enam pemerintah nasional dan regional–Skotlandia, Selandia Baru, Islandia, Wales, Finlandia, dan Kanada–telah bergabung dalam kemitraan <a href="https://weall.org/wego">Wellbeing Economy Governments</a> (WEGo). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk melakukan transisi menuju “perekonomian yang dirancang untuk melayani manusia dan planet bumi, bukan sebaliknya.”</p>
<p>Cukup jelas bahwa pemikiran <em>post-growth</em> tidak lagi menjadi posisi yang radikal dan terpinggirkan dalam upaya mencari solusi perubahan iklim. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan pada mengapa para ahli meragukan bahwa pertumbuhan ekonomi hijau dapat dicapai serta alternatif potensial yang berfokus pada konsep kesejahteraan masyarakat yang tak terbatas pada pertumbuhan PDB.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214693/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Karya ini berkontribusi pada Program 'María de Maeztu' untuk Unit Keunggulan Kementerian Sains dan Inovasi Spanyol (CEX2019-000940-M). I.S. menerima pendanaan dari program penelitian dan inovasi dari Horizon Europe Uni Eropa berdasarkan perjanjian hibah nomor 101056891, kerangka ClimAte Policy AcceptaBiLity Economic (CAPABLE). I.S. dan SD. mendapat dukungan ERC Advanced Grant dari Dewan Riset Eropa (ERC) di bawah Program Penelitian dan Inovasi Horizon 2020 Uni Eropa (nomor perjanjian hibah 741087).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Lewis King tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berdasarkan survei terhadap hampir 800 peneliti iklim, 73% skeptis terhadap gagasan pertumbuhan ramah lingkungan. Sebaliknya, pendekatan seperti pertumbuhan dan penurunan mulai mendapat tempat.Ivan Savin, Associate professor of quantitative analytics, research fellow at ICTA-UAB, ESCP Business SchoolLewis King, Postdoctoral research fellow in Ecological economics, Universitat Autònoma de BarcelonaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2126912023-09-26T02:10:31Z2023-09-26T02:10:31ZTransisi energi di Indonesia, tiga hal yang perlu kamu tahu<p>Istilah <a href="https://www.undp.org/energy/our-work-areas/energy-transition">transisi energi</a> begitu populer di media massa, seminar, diskusi, dan perbincangan masyarakat. Transisi energi adalah usaha kita untuk beralih dari pemakaian energi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.</p>
<p>Sebagian besar dari kita mungkin bertanya: apa maknanya, bagaimana melakukannya, dan tentu saja, apa untungnya buat kita jika kita semua jika kita benar-benar melakukannya.</p>
<p>Tulisan ini menjelaskan tiga hal mendasar tentang transisi energi.</p>
<h2>1. Transisi energi adalah mitigasi perubahan iklim</h2>
<p>Transisi energi merupakan satu dari sekian banyak bentuk mitigasi atau usaha meredam <a href="https://www.irena.org/Energy-Transition/Outlook">perubahan iklim</a>. </p>
<p>Sedangkan perubahan iklim merupakan akibat dari naiknya suhu rata-rata permukaan bumi (pemanasan global) dalam setidaknya dalam durasi 30 tahun.</p>
<p>Pada mulanya, menghangatnya permukaan Bumi adalah sebuah kewajaran. Normal. Bahkan kebutuhan. Tanpa paparan sinar matahari yang menghangatkan, hewan, tumbuhan, dan manusia tidak bisa tumbuh. </p>
<p>Jika energi panas sinar matahari memancar dari sumbernya dengan kekuatan 100%, maka ia akan terbagi-bagi: dipantulkan kembali ke luar angkasa oleh awan dan atmosfer 23%, diserap atmosfer 23%, diserap permukaan bumi 47%, dan dipantulkan oleh bumi kembali ke luar angkasa 7%. </p>
<p>Skenario normal ini merupakan bagian dari <em>earth’s energy budget</em> atau <a href="https://www.nasa.gov/feature/langley/what-is-earth-s-energy-budget-five-questions-with-a-guy-who-knows">anggaran energi bumi</a>, sebuah neraca energi yang masuk ke bumi dan yang keluar dari bumi ke luar angkasa.</p>
<p>Semua berubah ketika <a href="https://jrte.org/wp-content/uploads/2020/10/The-Effects-Of-Industrialization-On-Climate-Change-1-1.pdf">revolusi industri</a> dimulai pada akhir abad ke-18, saat era produksi massal menjadi tren.</p>
<p>Sejak itu konsumsi energi meningkat di berbagai sektor kehidupan yang didapatkan dari membakar kayu, minyak bumi, gas, dan batu bara (karena itu mereka disebut bahan bakar). Bahan bakar itu merupakan senyawa berbasis unsur hidrogen (H) dan karbon (C), yang meninggalkan limbah di atmosfer setelah dibakar. Kita menyebutnya emisi karbon.</p>
<p>Apa yang terjadi saat dan setelah emisi karbon memenuhi atmosfer kita? </p>
<p>Neraca anggaran energi bumi kita <a href="https://theconversation.com/earths-energy-budget-is-out-of-balance-heres-how-thats-warming-the-climate-165244">tak lagi seimbang</a>. Atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap dan memancarkan energi menjadi penyimpan panas yang semakin baik. Hangatnya matahari yang seharusnya hanya berlangsung saat matahari bersinar saja, justru menghangatkan bumi sepanjang 24 jam penuh karena disimpan oleh atmosfer. </p>
<p>Energi panas permukaan bumi yang seharusnya terpancar ke luar angkasa, malah terjebak di atmosfer.</p>
<p>Dalam istilah sains, atmosfer kita yang dipenuhi emisi karbon juga sering disebut <a href="https://www.epa.gov/ghgemissions/sources-greenhouse-gas-emissions">Gas Rumah Kaca (GRK)</a> karena efeknya yang menjebak panas bagaikan rumah kaca untuk lahan pertanian itu.</p>
<p>Planet kita tidak lagi menghangat, tapi memanas sejak beberapa dekade terakhir. Bahkan kini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mulai frustasi dengan lambatnya upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Dia pun <a href="https://news.un.org/en/story/2023/07/1139162">mengenalkan istilah baru: pendidihan global</a>.</p>
<h2>2. Mengapa butuh transisi energi? Bagaimana caranya?</h2>
<p>Mengapa pilihannya adalah transisi energi? </p>
<p>Jawaban pertama, bukti ilmiah <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg3/downloads/report/IPCC_AR6_WGIII_FullReport.pdf">temuan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terbaru</a> menunjukkan bahwa sumber GRK terbesar berasal dari sektor energi (34%). Lalu disusul industri (24%), kegiatan di sektor pangan, kehutanan, dan alih fungsi lahan (22%), dan transportasi (15%) serta bangunan (6%).</p>
<p>Maka, upaya transisi energi merupakan ikhtiar mengendalikan 49% sumber GRK (energi dan transportasi).</p>
<p>Jawaban kedua, transisi energi bukanlah <em>silver bullet</em> (obat mujarab lengkap) yang mampu menyelesaikan persoalan pendidihan global dan perubahan iklim secara serta-merta. Upaya itu hanya salah satu bentuk ikhtiar. </p>
<p>Saat kita melakukannya saja, perubahan iklim tidak otomatis tertanggulangi, apalagi kalau tidak melakukannya!</p>
<p>Lalu, bagaimana melakukan transisi energi? </p>
<p>Nah, di titik ini jawabannya mulai ruwet karena urusannya sangat kompleks.</p>
<p>Transisi energi di bidang transportasi misalnya, berarti mengubah jenis bahan bakarnya: dari minyak bumi (bensin, solar, avtur), ke bahan bakar lain, seperti bahan bakar organik (bioenergi) yang diperoleh dari makhluk hidup. </p>
<p>Bioenergi di Indonesia sedikitnya punya tiga tantangan. Pertama, kita cenderung menggunakan tanaman sawit untuk mengurangi pemakaian solar. </p>
<p>Sayangnya, perkebunan kelapa sawit dibangun dengan fondasi yang buruk. Seperti mengubah hutan yang tanamannya beragam-–dengan segudang jasa ekologisnya–-menjadi hutan yang tanamannya seragam. Dalam prosesnya, perusahaan sawit kadang kala membakar lahan gambut yang justru menambah GRK di angkasa.</p>
<p>Kedua, bioenergi berbasis jagung dan singkong untuk mengurangi penggunaan bensin. Ini berarti akan memicu persaingan fungsi lahan antara jagung dan singkong sebagai tanaman pangan (manusia) dan pakan (ternak) versus sebagai tanaman energi.</p>
<p>Ketiga, bioenergi berbasis ganggang (<em>microalgae</em>) masih membutuhkan riset yang panjang untuk bisa efisien.</p>
<p>Ada juga opsi lain, yaitu penggantian mesin yang berbasis pembakaran menjadi listrik. Pada titik ini, kekusutannya bertambah.</p>
<p>Meskipun kendaraannya tak lagi membakar bensin atau solar, ketika mengisi baterai kendaraan, kita menancapkan kabel kendaraan pada listrik yang berasal dari pembakaran batu bara. </p>
<p>Bagaimanapun, <a href="https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-handbook-of-energy-and-economic-statistics-of-indonesia-2022.pdf">lebih dari setengah pembangkit listrik Indonesia (54,94%)</a> merupakan ajang penambangan dan pembakaran bahan bakar fosil bernama batu bara.</p>
<h2>3. Kunci transisi energi: listrik</h2>
<p>Pembahasan kita sekarang menukik pada persoalan listrik. </p>
<p>Listrik adalah sebuah produk yang paling dicari semua orang. Lampu rumah, <em>rice cooker</em> dan alat dapur, lemari es, televisi, radio, AC, telepon genggam, laptop dan komputer, <em>lift</em> kantor, dan beberapa jenis kereta membutuhkan listrik. Begitu pula dengan kegiatan kita sehari-hari: pendidikan, kesehatan, hiburan, usaha kecil, industri besar, dan sebagainya.</p>
<p>Upaya transisi energi di sektor listrik berarti bagaimana caranya mengurangi 54,94% pembangkit batu bara.</p>
<p>Ada solusi, misalnya dengan <em>co-firing</em>. Maksudnya mengganti sebagian batu bara yang dibakar di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan pelet kayu atau bahan berbasis makhluk hidup lainnya (disebut biomassa). </p>
<p>Tantangan dari solusi ini serupa dengan sawit: ada potensi penggunaan lahan yang merusak keragaman hutan, ataupun persaingan lahan antara urusan pangan dengan urusan energi.</p>
<p>Sementara solusi energi terbarukan seperti air, angin, dan surya, juga menghadapi banyak persoalan. Energi air dinilai tidak ramah secara ekologis karena, ketika skalanya besar, pembangunan bendungannya bakal menenggelamkan beberapa ekosistem. </p>
<p>Angin dan surya diterpa persoalan pasokan yang tidak konstan (disebut intermitensi). Angin <a href="https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2017.06.098">tak selalu berhembus 24 jam</a>. Durasi sinar matahari di Indonesia <a href="https://ijeecs.iaescore.com/index.php/IJEECS/article/view/25887">hanya efektif 4-5 jam setiap harinya</a>.</p>
<p>Bahkan energi surya juga diancam oleh bayang-bayang ketergantungan impor. Pasalnya, kita tak punya industri manufaktur yang memproduksi komponen utamanya. Ketika industri manufaktur mencoba masuk (industri nikel dan baterai), kita tahu persis bagaimana efek lingkungannya <a href="https://mediaindonesia.com/nusantara/556476/walhi-dorong-pemerintah-tindak-tambang-nikel-pulau-obi-yang-rusak-lingkungan">tak diawasi dengan baik oleh otoritas Indonesia</a>.</p>
<h2>Optimisme transisi energi</h2>
<p>Banyak orang yang bekerja di sektor energi selama ini merasa pusing ketika mengelola kerumitan tersebut. Itu baru masalah teknis. </p>
<p>Dari perspektif kebijakan pemerintah, termasuk sikap dan perilaku perusahaan energi pelat merah, daftar masalahnya <a href="https://rm.id/baca-berita/government-action/187335/tingkatkan-minat-masyarakat-pakai-plts-atap-esdm-perbaiki-regulasi">tak kalah panjang</a>.</p>
<p>Namun, kita harus optimistis bahwa transisi energi itu mungkin dilakukan. </p>
<p>Tantangan-tantangan tersebut seharusnya mendorong kita semua (terutama pelaku industri bahan bakar fosil!) untuk mulai peduli pada urusan transisi energi. </p>
<p>Kita harus mencari solusi terbaik yang seimbang antara perspektif teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Itu memang tidak mudah, tapi mungkin.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212691/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ahmad Rahma Wardhana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meskipun kendaraannya tak lagi membakar bensin atau solar, ketika mengisi baterai kendaraan, kita menancapkan kabel kendaraan pada listrik yang berasal dari pembakaran batubara.Ahmad Rahma Wardhana, Peneliti dan Mahasiswa Doktoral, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2140822023-09-22T05:02:08Z2023-09-22T05:02:08ZThe Conversation Indonesia rilis buku “Dari Ahli untuk Bumi”, dorong kolaborasi atasi isu perubahan iklim dan lingkungan hidup<p>Isu lingkungan hidup dan perubahan iklim menjadi salah satu fokus <em>The Conversation Indonesia</em>. Kami menyadari, bumi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Berbagai peristiwa akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, seperti suhu bumi yang meningkat, turunnya permukaan air tanah, banjir, polusi, dan lain sebagainya ramai mewarnai pemberitaan sehari-hari. </p>
<p>Melihat hal ini, <em>The Conversation Indonesia</em> merasa kolaborasi dan aksi nyata berbagai pihak untuk melestarikan lingkungan dan mencegah dampak perubahan iklim semakin mendesak untuk diwujudkan.</p>
<p>Oleh karena itu, kami meluncurkan <em>e-book</em> “<em>Dari Ahli untuk Bumi: 15 Analisis Pilihan The Conversation Indonesia seputar Pelestarian Lingkungan</em>” pada Jumat, 22 September 2023. Tim editor kami telah mengkurasi ratusan artikel lingkungan hidup yang terbit di situs web <em>The Conversation Indonesia</em> dan memilih 15 analisis terbaik yang dapat dipakai sebagai rujukan bagi publik maupun para pembuat kebijakan.</p>
<p>Artikel-artikel pilihan ini merupakan tulisan para pakar seputar isu lingkungan, mulai dari kerugian manusia dalam industri ekstraktif dan pertanian, penggunaan lahan dan deforestasi, pengelolaan sumber daya alam, pendanaan ramah lingkungan, serta mitigasi perubahan iklim. Kami membagi topik-topik tersebut menjadi tiga tema besar: produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, pembangunan desa dan kota, serta penanganan perubahan iklim. </p>
<p>Melalui <em>Dari Ahli untuk Bumi</em>, kami mencoba mengingatkan pentingnya kontribusi dari tingkat individu untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Mulai dari menggunakan sabun ramah lingkungan hingga bersikap bijak saat mendonasikan pakaian bekas, hal-hal kecil yang kerap dianggap remeh ini mungkin merupakan awal dari upaya besar menyelamatkan bumi.</p>
<p>Tak hanya peran individu, kami juga berusaha mengangkat pentingnya peran pemerintah daerah. Beberapa tulisan dari peneliti di buku ini menggarisbawahi upaya di berbagai provinsi untuk mengangkat dan menyelesaikan isu lingkungan, mulai dari krisis air tanah hingga potensi energi bersih. </p>
<p><em>E-book</em> “<em>Dari Ahli untuk Bumi</em>” ini kami luncurkan dengan dukungan Kementerian Dalam Negeri RI dan Ford Foundation. </p>
<p>Harapannya, melalui analisis para pakar yang kami kumpulkan dalam buku ini, Indonesia bisa lebih siap mencari solusi atas krisis lingkungan yang kita alami bersama. Selain itu, kami juga berharap para akademisi, peneliti, media, dan pemerintah berkolaborasi lebih baik dalam meningkatkan kesadaran dan upaya mitigasi perubahan iklim, serta mendorong kebijakan lingkungan hidup yang bermanfaat bagi publik.</p>
<p><a href="https://cdn.theconversation.com/static_files/files/2816/Dari_Ahli_Untuk_Bumi_-_15_Analisis_Pilihan_The_Conversation_Indonesia_-_220923.pdf?1695358831">Unduh versi digital “Dari Ahli untuk Bumi: 15 Analisis Pilihan The Conversation Indonesia Seputar Pelestarian Lingkungan” di tautan ini.</a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214082/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
“Dari Ahli untuk Bumi” merupakan kumpulan 15 analisis pilihan dari pakar tentang produksi dan konsumsi bertanggung -jawab, pembangunan desa dan kota, serta penanganan perubahan iklim.Rina Aprilia, Project OfficerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2137652023-09-19T00:23:41Z2023-09-19T00:23:41ZPemanasan global sudah menyentuh 1,5°C, apakah Bumi ‘game over’? Ternyata belum<p>Juli 2023 menjadi bulan dengan suhu global terpanas <a href="https://public.wmo.int/en/media/news/july-2023-confirmed-hottest-month-record">dalam sejarah</a>. </p>
<p>Kenyataan ini membikin gusar. Sebab, pekan lalu Badan Antariksa Eropa mengumumkan suhu rata-rata global pada Juli sudah mencapai 1,5°C lebih tinggi dibandingkan era praindustri (sejak 1850-an).</p>
<p><a href="https://www.abc.net.au/news/2023-09-11/global-temperatures-pass-1-5c-above-pre-industrial-levels/102836304">Sebuah judul berita yang tidak menyenangkan</a> kemudian menyatakan bahwa kita telah melampaui target Perjanjian Paris tahun 2015. Perjanjian ini bertujuan menahan pemanasan Bumi hingga 1,5°C—sekitar satu dekade lebih awal dari perkiraan dalam Perjanjian Paris pada 2030.</p>
<p>Lantas, apakah kita sudah <em>game over</em> dalam usaha meredam kenaikan suhu bumi? Apa umat manusia sudah kalah?</p>
<p>Jawabannya sama dengan semua hal terkait perubahan iklim: tidak sesederhana itu. Batasan tersebut naik hanya sebulan, kemudian temperatur rata-rata Bumi menurun lagi. </p>
<p>Juli 2023 juga bukanlah yang pertama saat kita melampaui target 1,5°C. Pada <a href="https://climate.copernicus.eu/tracking-breaches-150c-global-warming-threshold">Februari 2016 lalu</a>, kejadian serupa berlangsung walaupun cuma beberapa hari.</p>
<h2>Ingatkan saya, kenapa 1,5°C begitu penting?</h2>
<p>Pada 2015, suasana dunia berlangsung seperti kita siap memulai aksi memerangi perubahan iklim. Setelah debat panas selama puluhan tahun, sekitar 195 negara mengadopsi Perjanjian Paris, <a href="https://www.ipcc.ch/sr15/faq/faq-chapter-1/">kesepakatan formal yang tak mengikat</a> dengan kesepakatan yang jelas: membatasi pemanasan global sampai 1,5°C di atas level praindustri untuk menghindari efek terburuk perubahan iklim. </p>
<p>Namun, angka tersebut bukanlah nomor sakti. Setiap kenaikan suhu akan memperburuk dampak perubahan iklim. </p>
<p>Lantas mengapa angka 1,5°C begitu krusial? Jawaban utamanya, angka tersebut dipatok sebagai batasan untuk mewakili kegawatan yang akan kita hadapi. <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement">Perjanjian paris menyatakan</a> usaha menghindari perubahan iklim yang berbahaya, kenaikan temperatur bumi “harus berada di bawah 2°C”. Inilah yang melahirkan batasan 1,5°C.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sudahkah-kebijakan-perubahan-iklim-indonesia-responsif-gender-209791">Sudahkah kebijakan perubahan iklim Indonesia responsif gender?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lalu, apakah itu <a href="https://www.nature.com/articles/nclimate3179">level berbahaya</a> dari perubahan iklim? Level ini terjadi saat kerusakan akibat perubahan iklim menjadi sangat luas ataupun parah. Kerusakan ini dapat mengancam perekonomian, ekosistem, pertanian, dan memiliki risiko superbesar yang tak bisa dipulihkan lagi seperti keruntuhan lapisan es ataupun sirkulasi laut. Yang lebih penting, tingkat pemanasan ini berisiko melampaui batas kemampuan manusia beradaptasi.</p>
<p>Gampangnya, ambang batas 1,5°C adalah ‘jalur terbaik seperti saat kita berada dalam perahu di atas sungai, tanpa dayung’.</p>
<h2>Apakah kita terlambat?</h2>
<p>Lalu, apakah kita menyerah saja? </p>
<p>Belum.</p>
<p>Otoritas global tentang perubahan iklim, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC_, mengartikan 1,5°C sebagai titik landasan suhu rata-rata global yang naik dari rata-rata suhu selama 1850 - 1900 (praindustrial).</p>
<p>Memang benar bahwa batasan ini sudah terlampaui pada Juli 2023. Namun, iklim tak hanya dilihat dari fenomena sebulan.</p>
<p>Temperatur rata-rata global naik-turun setiap tahun di atas tren pemanasan global. Pasalnya, secara alamiah iklim dari tahun ke tahun bervariasi.</p>
<p>Suhu global beberapa tahun belakangan memang lebih panas dari rata-rata. Namun tren tersebut sebenarnya agak dingin karena fenomena La Niña yang berturut-turut. </p>
<p>Apalagi, tahun ini ada pemanasan signifikan yang terutama berlangsung akibat kejadian El Niño di kawasan Pasifik. Tahun-tahun El Niño membuat Bumi <a href="https://theconversation.com/why-are-so-many-climate-records-breaking-all-at-once-209214">menjadi lebih panas</a>.</p>
<p>Agar tren tahunan terlihat lebih jelas, kita biasanya menggunakan data rata-rata selama beberapa dekade. Oleh karena itu, laporan IPCC 2021 menetapkan ambang batas 1,5°C sebagai <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-023-01702-w">periode 20 tahun pertama</a> yang dihitung ketika kenaikan suhu global menyentuh 1,5°C (berdasarkan suhu udara di permukaan Bumi).</p>
<p><a href="https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.2207183120">Penelitian terbaru</a> menunjukkan perkiraan terbaik untuk melewati ambang batas ini adalah pada awal tahun 2030-an. Artinya, berdasarkan definisi IPCC, rata-rata suhu global antara awal dekade 2020-an dan dekade tahun 2040-an diperkirakan sebesar 1,5°C.</p>
<h2>Nyaris melampaui garis merah</h2>
<p>Sejauh ini kita memang belum melampaui target Perjanjian Paris. Namun, temperatur Juli lalu menunjukkan kita sedang berada di ujung tanduk.</p>
<p>Saat dunia terus memanas, kita akan terus melihat ‘Juli-juli’ selanjutnya. Kita akan terus bergerak semakin dekat dengan batas 1,5°C, dan pemanasan global akan menjadi lebih berbahaya. </p>
<p>Apakah mungkin pemanasan suhu Bumi ini di bawah 1,5°C? Mungkin saja. Kita membutuhkan pemangkasan emisi yang agresif nan ekstrem untuk mencapai kondisi tersebut. Jika gagal, kita bakal melampaui target Perjanjian Paris dalam satu dekade mendatang ataupun sesudahnya.</p>
<p>Katakanlah itu batasan itu sudah kita lewati. Apakah artinya kita sudahi saja aksi iklim di dunia ini? </p>
<p>Jangan sampai begitu. Kenaikan suhu 1,5°C saja sudah buruk, apalagi 1,6°C. Pemanasan global 2°C lebih buruk lagi. Kenaikan suhu 3°C akan <a href="https://theconversation.com/seriously-ugly-heres-how-australia-will-look-if-the-world-heats-by-3-c-this-century-157875">tak terbayangkan</a>. Setiap pergerakan suhu akan sangat krusial.</p>
<p>Sedekat mungkin kita dengan batas itu–-sekalipun sudah terlewat–-masih lebih baik.</p>
<p>Saat ini, ada <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/accd83/meta">bukti menggembirakan</a> bahwa sekalipun kita sudah melampaui 1,5°C, kita masih bisa membalikannya dengan mengakhiri pelepasan emisi gas rumah kaca dan menyedot kelebihannya di atmosfer. Upaya ini seperti membalikkan kapal kontainer raksasa-–membutuhkan waktu untuk mengatasi kelambanan kita. Namun, secepat mungkin kita berusaha, maka akan lebih baik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/studi-emisi-gas-rumah-kaca-mencapai-titik-tertinggi-dan-pemanasan-global-sedang-melaju-amat-cepat-207516">Studi: Emisi gas rumah kaca mencapai titik tertinggi dan pemanasan global sedang melaju amat cepat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/213765/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ailie Gallant menerima dana dari Dewan Riset Australia dan Departemen Perubahan Iklim, Energi, Lingkungan dan Air.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kimberley Reid menerima dana dari Dewan Riset Australia.</span></em></p>Juli adalah bulan terpanas sepanjang sejarah-–dan suhunya melebihi 1,5 derajat. Namun satu bulan ini berarti kita gagal memenuhi tujuan Perjanjian Paris.Ailie Gallant, Associate Professor, School of Earth, Atmosphere and Environment, Monash UniversityKimberley Reid, Postdoctoral Research Fellow in Atmospheric Sciences, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2130692023-09-13T03:49:02Z2023-09-13T03:49:02ZJika manusia punah, seperti apa rupa Bumi satu tahun kemudian?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/546799/original/file-20230501-28-b9wqpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=58%2C0%2C9664%2C5116&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sekilas tentang dunia pasca-apokaliptik.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/post-apocalyptic-urban-landscape-royalty-free-image/1331834934?phrase=post+apocalypse+city&adppopup=true">Bulgar/E+ via Getty Images</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p><strong>Jika manusia punah, seperti apa rupa Bumi satu tahun kemudian? – Essie, usia 11 tahun, Michigan</strong></p>
</blockquote>
<hr>
<p>Pernahkah kamu membayangkan bagaimana jadinya dunia ini jika semua orang tiba-tiba menghilang? </p>
<p>Apa yang akan terjadi pada semua barang kita? Apa yang akan terjadi pada rumah, sekolah, lingkungan, dan kota kita? Siapa yang akan memberi makan anjing? Siapa yang akan memotong rumput? Meskipun ini adalah tema yang umum dalam film, acara TV, dan buku, akhir dari umat manusia masih merupakan hal yang aneh untuk dipikirkan. </p>
<p>Namun, sebagai <a href="https://www.design.iastate.edu/faculty/carlton/">seorang profesor desain perkotaan</a>–yaitu, seseorang yang membantu kota-kota merencanakan seperti apa komunitas mereka nantinya–terkadang menjadi tugas saya untuk memikirkan prospek seperti ini.</p>
<h2>Sangat hening</h2>
<p>Jika manusia menghilang begitu saja dari dunia, dan kita bisa kembali ke Bumi untuk melihat apa yang telah terjadi setahun kemudian, hal pertama yang akan kita perhatikan bukanlah dengan mata kita. </p>
<p>Melainkan dengan telinga kita. </p>
<p>Dunia akan menjadi sunyi. Kita akan menyadari <a href="https://education.nationalgeographic.org/resource/noise-pollution/">betapa bisingnya suara yang dibuat oleh manusia</a>. Gedung-gedung kita berisik. Mobil-mobil kita berisik. Langit kita berisik. Semua kebisingan itu akan berhenti.</p>
<p>Kita akan memperhatikan cuaca. Setelah satu tahun tanpa manusia, langit akan menjadi lebih biru, udara akan menjadi lebih jernih. Angin dan hujan akan membersihkan permukaan bumi; semua <a href="https://www.unep.org/news-and-stories/blogpost/young-and-old-air-pollution-affects-most-vulnerable">kabut asap dan debu yang dibuat manusia</a> akan hilang.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="seekor rusa yang berdiri di tengah-tengah jalan setapak kota" src="https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/523677/original/file-20230501-22-fqdsd2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tidak lama lagi, hewan-hewan buas akan mengunjungi kota-kota yang dulunya sangat nyaman untuk ditinggali.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/life-after-people-royalty-free-image/1078643476?phrase=post+apocalypse+city&adppopup=true">Boris SV/Moment via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Rumah yang nyaman</h2>
<p>Bayangkan tahun pertama, saat rumah kamu tidak akan diganggu oleh siapa pun. </p>
<p>Masuklah ke dalam rumah. Berharaplah kamu tidak haus, karena tidak akan ada air di keran. Sistem air membutuhkan pemompaan yang konstan. Jika tidak ada orang di tempat penyediaan air umum untuk <a href="https://wonderopolis.org/wonder/how-does-water-get-to-my-faucet">mengelola mesin yang memompa air</a>, maka tidak akan ada air.</p>
<p>Namun, air yang ada di dalam pipa-pipa ketika semua orang menghilang akan tetap ada ketika musim dingin pertama tiba. Jadi pada musim dingin pertama, udara dingin akan membekukan air di dalam pipa dan meledakkannya. </p>
<p>Tidak akan ada listrik. Pembangkit listrik akan berhenti bekerja karena tidak ada yang <a href="https://theconversation.com/curious-kids-how-does-electricity-work-118686">memantaunya dan menjaga pasokan bahan bakar</a>. Jadi rumah akan menjadi gelap, tanpa lampu, TV, telepon, atau komputer. </p>
<p>Rumah akan berdebu. Sebenarnya, ada debu <a href="https://www.highlightskids.com/explore/science-questions/what-is-dust-made-of#:%7E">di udara sepanjang waktu</a>, tapi kita tidak menyadarinya karena sistem pendingin udara dan pemanas ruangan kita menghembuskan udara ke sekeliling. </p>
<p>Saat kamu bergerak melalui ruangan-ruangan di rumahmu, kamu juga membawa debu ke mana-mana. Namun, begitu semua itu berhenti, udara di dalam rumah akan diam dan debu akan mengendap di mana-mana.</p>
<p>Rumput di halaman rumah akan tumbuh - dan terus tumbuh hingga akhirnya menjadi sangat panjang dan tidak bisa tumbuh lagi. Rumput liar baru akan muncul dan bertumbuh di mana-mana. </p>
<p>Banyak tanaman yang belum pernah dilihat sebelumnya akan mencuat di halaman. Setiap kali pohon menjatuhkan biji, akan tumbuh anak pohon. Tidak akan ada orang yang mencabut atau menebangnya. </p>
<p>Kamu akan melihat lebih banyak <a href="https://www.pestworldforkids.org/pest-guide/mosquitoes/">serangga yang berdengung</a>. Ingat, orang cenderung melakukan segala cara untuk membasmi serangga. Mereka menyemprot udara dan tanah dengan semprotan serangga. Mereka menghilangkan habitat serangga. Mereka memasang kasa pada jendela. Dan jika itu tidak berhasil, mereka menepuk-nepuknya. </p>
<p>Tanpa orang-orang yang melakukan semua hal ini, serangga akan kembali. Mereka akan kembali menguasai dunia.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="reruntuhan" src="https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/524515/original/file-20230504-25-39fi1z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Dengan waktu yang cukup, jalan akan mulai runtuh.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/destroyed-asphalt-road-earthquake-consequences-royalty-free-image/1284881863?phrase=apocalypse%2B">Armastas / iStock via Getty Images Plus</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Di jalan tempat kamu tinggal</h2>
<p>Di lingkungan tempat tinggal kamu, banyak binatang yang <a href="https://sciencetrek.org/sciencetrek/topics/urban_wildlife/facts.cfm">berkeliaran, melihat dan bertanya-tanya</a>. </p>
<p>Pertama-tama adalah binatang-binatang kecil: tikus, babi tanah, rakun, sigung, rubah, dan berang-berang. Yang terakhir ini mungkin akan mengejutkan, tapi daerah seperti Amerika Utara <a href="https://kids.nationalgeographic.com/animals/mammals/facts/beaver">pernah kaya dengan berang-berang</a>. </p>
<p>Hewan-hewan yang lebih besar akan datang setelahnya - rusa, anjing hutan, dan beruang. Mungkin tidak pada tahun pertama, tapi pada akhirnya.</p>
<p>Tanpa lampu listrik, ritme alam akan kembali. Satu-satunya cahaya yang ada adalah dari Matahari, Bulan dan bintang-bintang. Makhluk-makhluk malam akan merasa senang karena mereka mendapatkan langit gelap mereka kembali.</p>
<p>Kebakaran akan sering terjadi. Petir mungkin akan <a href="https://kids.nationalgeographic.com/science/article/lightning-">menyambar pohon atau ladang</a> dan membakar semak belukar, atau menghantam rumah dan bangunan. Tanpa ada orang yang memadamkannya, api tersebut akan terus berkobar hingga akhirnya padam.</p>
<h2>Di sekitar kota Anda</h2>
<p>Dalam waktu satu tahun, bangunan beton–jalan raya, jalan tol, jembatan dan bangunan–akan terlihat sama saja. </p>
<p>Kembalilah, katakan, dalam satu dekade kemudia. Retakan-retakan di dalamnya akan muncul, dengan tanaman-tanaman kecil yang menggeliat. Hal ini terjadi karena Bumi terus bergerak. Dengan gerakan ini muncul tekanan, yang menimbulkan keretakan. </p>
<p>Pada akhirnya, jalan-jalan akan retak hingga terlihat seperti pecahan kaca, dan <a href="https://www.weekand.com/home-garden/article/science-trees-breaking-sidewalks-18025841.php">bahkan pohon-pohon akan tumbuh di antaranya</a>.</p>
<p>Jembatan dengan kaki-kaki logam perlahan-lahan akan berkarat. Balok dan baut yang menahan jembatan akan berkarat juga. Namun, jembatan-jembatan beton yang besar, dan <a href="https://kids.kiddle.co/Interstate_Highway_System">jalan raya antardaerah, yang juga terbuat dari beton, akan bertahan selama berabad-abad</a>.</p>
<p>Bendungan dan tanggul yang telah dibangun manusia <a href="https://damsafety.org/kids#:%7E:">di sungai-sungai dan aliran-aliran air di dunia</a> akan terkikis. Pertanian akan kembali ke alam. Tanaman yang kita makan akan mulai menghilang. Tidak ada lagi jagung, kentang, atau tomat. </p>
<p>Hewan ternak akan menjadi mangsa empuk bagi beruang, anjing hutan, serigala, dan macan kumbang. Dan hewan peliharaan? Kucing-kucing akan menjadi liar - artinya, mereka akan menjadi liar, meskipun banyak yang akan dimangsa oleh hewan-hewan yang lebih besar. Sebagian besar anjing juga tidak akan bertahan hidup. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/ItYE6y0zMgI?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Hantaman asteroid dan suar matahari adalah dua dari sekian banyak cara yang dapat menyebabkan kiamat.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Seperti zaman Romawi kuno</h2>
<p>Seribu tahun lagi, dunia yang kita kenal masih samar-samar bisa dikenali. Beberapa hal akan tetap ada; itu akan tergantung pada bahan pembuatnya, iklim, dan keberuntungan. Sebuah gedung apartemen di sini, bioskop di sana, atau pusat perbelanjaan yang runtuh akan berdiri sebagai monumen peradaban yang hilang. Kekaisaran Romawi, misalnya, runtuh lebih dari 1.500 tahun yang lalu, tapi kita masih bisa melihat <a href="https://www.headout.com/blog/ruins-in-rome/#:%7E">sisa-sisanya hingga saat ini</a>.</p>
<p>Jika tidak ada yang lain, lenyapnya manusia secara tiba-tiba dari dunia ini akan mengungkapkan sesuatu tentang cara kita memperlakukan Bumi. Hal ini juga akan menunjukkan kepada kita bahwa dunia yang kita miliki saat ini tidak dapat bertahan tanpa kita. Kita juga tidak dapat bertahan jika kita tidak merawatnya. Agar tetap berfungsi, peradaban - seperti hal lainnya - membutuhkan pemeliharaan yang konstan. </p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213069/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carlton Basmajian tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mungkin itu adalah perang nuklir, perubahan iklim yang menghancurkan, atau virus yang mematikan. Namun, jika sesuatu menyebabkan orang menghilang, bayangkan apa yang akan terjadi setelahnya.Carlton Basmajian, Associate Professor of Community and Regional Planning, Urban Design, Iowa State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2113682023-09-07T04:22:33Z2023-09-07T04:22:33Z‘Green skills’ untuk hadapi ancaman perubahan iklim<p>Perubahan iklim adalah ancaman lingkungan yang semakin nyata. Terutama bagi kaum muda global, yang jumlahnya mewakili seperempat total penduduk dunia, dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/267547288_Youth_in_the_Developing_World_Implication_for_Research_in_International_Agricultural_and_Extension_Education">86% </a> di antaranya berasal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. </p>
<p>Perubahan iklim akan <a href="https://www.cscp.org/our-work/climate-change-employment/">berdampak serius terhadap lapangan kerja</a>, terutama angka pengangguran dan krisis biaya hidup, yang menempati urutan teratas dalam peringkat risiko global menurut temuan riset <a href="https://www.weforum.org/reports/global-risks-report-2023/digest"><em>Global Risk Report</em> tahun 2023</a> dari <em>World Economic Forum</em>, organisasi non-pemerintah dan lobi internasional yang berbasis di Cologny, Kanton Jenewa, Swiss.</p>
<p>Salah satu solusi alternatif untuk mengurangi risiko krisis biaya hidup dan pengangguran tenaga kerja adalah melalui peningkatan ‘keterampilan hijau’ (<em>green skills</em>).</p>
<h2>Apa itu <em>green skills</em>?</h2>
<p>Menurut <a href="https://www.unido.org/stories/what-are-green-skills#:%7E:text=Simply%20put%2C%20green%20skills%20are,sustainable%20and%20resource%2Defficient%20society."><em>United Nations Industrial Development Organization</em></a>, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas mempromosikan dan mempercepat pembangunan industri, <em>green skills</em> adalah sebuah pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk hidup, berkembang, dan mendukung masyarakat yang bersumber daya cukup dan berkelanjutan.</p>
<p><a href="https://www.oecd.org/cfe/leed/Greener%20skills_Highlights%20WEB.pdf"><em>Organization for Economic Cooperation and Development</em> (OECD)</a>, organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi internasional, mengklasifikasikan <em>green skills</em>, menjadi: </p>
<ol>
<li><p><em>Cognitive competencies</em>: kesadaran lingkungan dan kemauan untuk belajar tentang pembangunan berkelanjutan, keterampilan sistem dan analisis risiko, serta inovasi untuk menjawab tantangan hijau</p></li>
<li><p><em>Interpersonal skills</em>: koordinasi, keterampilan komunikasi dan negosiasi, lalu keterampilan pemasaran untuk mempromosikan produk dan jasa yang lebih hijau</p></li>
<li><p><em>Intrapersonal competencies</em>: kemampuan adaptif dalam menggunakan dan mempelajari alat teknologi baru, serta keterampilan wirausaha dalam menciptakan teknologi rendah karbon).</p></li>
</ol>
<p>Mengapa <em>green skills</em> penting untuk mengurangi risiko perubahan iklim? </p>
<h2><em>Green skills</em> menurunkan biaya hidup</h2>
<p><em>Green skills</em> dapat menekan laju krisis finansial dan sumber daya alam. Biaya hidup tinggi terjadi akibat semakin langkanya sumber alam atau kekayaan lainnya dalam memenuhi kebutuhan manusia yang semakin besar populasinya.</p>
<p>Penelitian <a href="https://www.jstor.org/stable/43673759">Lucas Bretschger</a> profesor dari <em>Centre of Economic Research</em>, ETH Zurich, Swiss, tahun 2013, menyebutkan bahwa manusia seringkali bergantung pada sumber daya tidak terbarukan sementara pertumbuhan populasi terus naik. Hal ini mempercepat laju penggunaan sumber daya tersebut.</p>
<p>Untuk mengantisipasinya, kita membutuhkan tenaga kerja beremisi rendah dan pembangunan berbasis sertifikasi atau <a href="https://journals.openedition.org/poldev/310">pengukuran berkelanjutan</a>. Pengukuran berkelanjutan ini bisa diaplikasikan ke dalam gaya hidup kaum muda melalui kompetensi hijau, seperti yang ditunjukkan dalam <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/Green-competencies%3A-insights-and-recommendations-a-Cabral-Dhar/b4f044ff4c99890860b88dfe1ecfd2e142eec05c">studi kolaborasi antara Clement Cabral dari <em>Université Internationale de Rabat</em>, Maroko dan Rajib Lochan Dhar dari <em>Indian Institute of Technology Roorkee</em>, India</a>, tahun 2020.</p>
<p>Kompetensi yang dimaksud merupakan gabungan dari:</p>
<ol>
<li><p>Pengetahuan hijau: pengetahuan yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti misalnya pengetahuan tentang praktik-praktik ramah lingkungan</p></li>
<li><p>Keterampilan hijau: keterampilan terkait lingkungan semisal keterampilan mengelola sampah</p></li>
<li><p>Sikap hijau: kecenderungan psikologis untuk mengevaluasi persepsi atau keyakinan mengenai lingkungan alam semisal sikap terhadap konservasi</p></li>
<li><p>Perilaku hijau: perilaku untuk melestarikan sumber daya, mencegah orang lain terlibat dalam degradasi lingkungan, memulai tindakan untuk melindungi lingkungan dan menghentikan kerusakan lingkungan</p></li>
<li><p>Kesadaran hijau: mengetahui dampak perilaku manusia terhadap lingkungan, contohnya kesadaran akan pembangunan berkelanjutan.</p></li>
</ol>
<p>Dengan memiliki kompetensi tersebut, kaum muda dapat mengurangi ketergantungannya terhadap sumber daya yang tidak terbarukan sehingga mengurangi biaya hidup yang harus dikeluarkan. Salah satu contohnya adalah mengurangi biaya untuk membeli barang karena memiliki keterampilan daur ulang, penggunaan kembali (<em>reuse</em>), dan desain ramah lingkungan.</p>
<h2><em>Green skills</em> ciptakan <em>green jobs</em></h2>
<p>Definisi <em>green jobs</em> masih diperdebatkan. Namun, organisasi buruh <em>International Labour Organization</em> (ILO), dan badan PBB yang mengurusi isu lingkungan yaitu<a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/documents/publication/wcms_098504.pdf"> <em>UN Environment Programme</em> (UNEP), di tahun 2008</a>, membuat satu pengertian tentang <em>green jobs</em> yakni sebuah usaha atau seperangkat tanggung jawab seseorang (termasuk wirausaha) yang berdampak minimum terhadap lingkungan dan menjaga keberlangsungannya. </p>
<p><em>Green jobs</em> memiliki dampak bagi pembangunan ekonomi bangsa, khususnya dalam meningkatkan produktivitas dan ketenagakerjaan pemuda. Bahkan, <a href="https://www.weforum.org/agenda/2023/04/future-of-jobs-is-green-2023-climate-change-labour-markets/"><em>green jobs</em></a> telah mengubah arah dan pemetaan bursa kerja dunia, yang tentunya semakin mendorong masyarakat dan komunitas global untuk beraksi bersama menurunkan emisi karbon atau aksi penyelamatan dari ancaman krisis iklim lainnya. </p>
<p><a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1019/1/012030/pdf">Lai Chee Sern,</a>, dosen dari Universiti Tun Hussein Onn
Malaysia, mengemukakan bahwa sepuluh <em>green skills</em> yang paling sering bersinggungan dengan <em>green jobs</em>, adalah keterampilan mendesain, kepemimpinan, keterampilan manajemen, keterampilan terkait energi, keterampilan perencanaan kota, keterampilan lansekap, keterampilan komunikasi, keterampilan pengelolaan limbah, keterampilan pengadaan barang dan jasa, dan keterampilan finansial.</p>
<p>Dalam pelaksanaannya, peran dan arah keterampilan hijau ini masih harus diselaraskan dengan kebutuhan industri. Untuk memastikan keselarasan ini, Lai Chee Sern juga menyarankan adanya perbaikan kurikulum yang memasukkan <em>green skills</em> dan ketersediaan dari pelatihan-pelatihan yang mengajarkan keterampilan tersebut.</p>
<p>Dengan semakin banyaknya inovasi, keterampilan, dan pelatihan hijau yang dilakukan untuk menjawab masalah krisis iklim, semakin tinggi pula peluang ketersediaan pekerjaan untuk mengurangi risiko pengangguran bagi kaum muda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gracia Paramitha, PhD tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Krisis biaya hidup menempati urutan teratas dalam peringkat risiko global. Salah satu solusi untuk menghadapinya adalah melalui peningkatan ‘keterampilan hijau’ (green skills).Gracia Paramitha, PhD, Lecturer, School of Government and Public Policy IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2114232023-08-29T05:56:18Z2023-08-29T05:56:18ZKeong mas: kisah spesies eksotik impor perusak padi, bagaimana mengendalikannya?<p>Keong mas dikenal sebagai spesies eksotik yang mudah ditemukan di persawahan. Sebenarnya spesies ini bukan asli Indonesia, tapi spesies impor yang baru <a href="https://www.cabidigitallibrary.org/doi/10.1079/cabicompendium.68490">diperkenalkan ke negeri ini pada tahun 1980-an</a>. </p>
<p>Setidaknya, data sains mengindikasikan dua spesies keong mas yang ditemukan di Indonesia adalah berjenis <a href="https://doi.org/10.11598/btb.2011.18.2.247"><em>Pomacea canaliculata</em> dan <em>P. insularum</em> (disebut juga sebagai <em>P. maculata</em></a>. Keduanya berasal dari Amerika Selatan. </p>
<p>Di Indonesia, perkembangbiakan keong mas yang cepat telah menjadi hama yang merusak tanaman padi dan <a href="http://www.knowledgebank.irri.org/step-by-step-production/growth/pests-and-diseases/golden-apple-snails">dapat menurunkan hasil panen hingga separuh dari produksi</a>. </p>
<p>Selain itu, kenaikan suhu global juga <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28726175/">diprediksi</a> akan meningkatkan jumlah wilayah yang sesuai sebagai habitat keong mas. Pada 2050 dan 2080 penyebaran keong mas diprediksi <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28726175/">meningkat 8–10%</a> di seluruh dunia. </p>
<p>Kita perlu mengendalikan populasi spesies ini agar tidak merusak sumber pangan dan kehidupan manusia.</p>
<h2>Dari ikan hias jadi hama</h2>
<p>Dalam <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Keong_Emas">cerita rakyat di Indonesia</a>, keong mas digambarkan sebagai kisah iri dengki.</p>
<p>Akibat iri dengki, seorang perempuan bernama Candra Kirana disihir menjadi keong mas. Namun, pada akhirnya dia dapat menjadi manusia lagi setelah bertemu dengan Raden Inu. Menariknya, pengarang asli dan mulai kapan cerita ini muncul sangat susah untuk ditelusuri. </p>
<p>Dalam dunia sains, keong mas masuk Indonesia diduga melalui bisnis hewan hiasan rumah. Keong mas, terutama jenis <em>P. canaliculata</em>, di Indonesia diimpor sebagai <a href="https://www.cabidigitallibrary.org/doi/10.1079/cabicompendium.68490">hewan peliharaan akuarium</a>. Namun, saat perdagangannya tidak begitu sukses, keong mas dibuang ke badan perairan seperti sungai, danau, atau kanal irigasi. </p>
<p>Distribusi secara tidak sengaja, seperti terbawa muatan kapal, ditengarai juga menjadi alat penyebar keong mas di Indonesia. </p>
<p>Setelah puluhan tahun, salah satu dari <a href="http://www.iucngisd.org/gisd/100_worst.php">spesies asing invasif terburuk</a> ini dapat dijumpai di lahan persawahan di negeri ini. </p>
<p>Keberadaan mereka di lahan persawahan salah satunya dapat diketahui dengan adanya telur keong mas yang berwarna merah jambu tersusun seperti anggur. Telur ini menempel di berbagai permukaan seperti batang padi dewasa atau tembok saluran irigasi. Cangkang keong mas ini tidak selalu berwarna keemasan. Cangkang mereka lebih dekat ke warna cokelat muda seperti lumpur. </p>
<p>Di lahan persawahan inilah keong mas menjadi hama utama padi.</p>
<p><a href="http://www.knowledgebank.irri.org/step-by-step-production/growth/pests-and-diseases/golden-apple-snails">International Rice Research Institute (IRRI) Knowledge Bank</a> menyebutkan bahwa jika hama ini tidak dibasmi, area satu meter persegi sawah dapat dirusak dalam semalam dan mengurangi hasil panen sampai lebih dari 50%. </p>
<p>Selain dampak pada persawahan, introduksi suatu spesies eksotik pada suatu ekosistem baru secara umum dapat <a href="https://www.cbd.int/undb/media/factsheets/undb-factsheet-ias-en.pdf">menimbulkan dampak yang negatif</a>. Spesies eksotik dapat bereproduksi dengan cepat, mengalahkan spesies asli dalam kompetisi memperoleh makanan atau ruang. Spesies eksotik ini dikenal sebagai salah satu penyebab hilangnya biodiversitas global. </p>
<h2>Sulit mengendalikan keong mas di sawah</h2>
<p>Berbagai metode untuk memberantas hama keong mas di sawah telah dicoba. </p>
<p>Salah satunya, secara lengkap IRRI telah menyajikan <a href="http://www.knowledgebank.irri.org/training/fact-sheets/pest-management/item/golden-apple-snails-fact-sheet">informasi cara mengendalikan keong mas</a>. Contohnya, di lingkungan yang telah terinvasi keong mas, kerja sama massal petani memungut keong mas dan menghancurkan telurnya dapat menjadi langkah yang baik. </p>
<p>Manajemen tinggi air maksimum 2 cm di persawahan juga dipercaya mampu menghambat penyebaran keong mas. Pada ketinggian air di bawah 2 cm ini, keong mas akan lebih susah bergerak. </p>
<p>Cara lain untuk menghambat penyebaran mereka di lahan persawahan adalah dengan manajemen aliran air. Penghalang fisik, seperti saringan, akan mampu mengalirkan air irigasi tapi menahan keong keluar sawah. Petani juga dapat meletakkan daun tembakau atau jeruk yang bersifat toksik pada keong mas di tanggul-tanggul sawah.</p>
<p>Mengontrol populasi keong mas dengan pestisida juga dapat dilakukan. Cara ini mungkin efektif, tapi <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4020-6059-5_24">dapat membahayakan hewan akuatik lain</a>, meningkatkan polusi bahan kimia, atau menjadi paparan racun pada petani itu sendiri. </p>
<p>Alternatifnya, penggunaan pestisida nabati untuk keong mas mulai banyak diteliti keefektifannya. Cara alami lainnya adalah penggunaan agens kontrol biologi seperti <a href="https://pertanian.kulonprogokab.go.id/detil/715/peluang-ternak-bebek-di-area-sawah-endemis-keong-mas">introduksi bebek ke sawah</a> atau budi daya ikan di sawah (<a href="https://ppid.jemberkab.go.id/berita-ppid/detail/pelepasan-benih-ikan-dalam-program-inovasi-mina-padi-kelurahan-tegal-gede">minapadi</a>). </p>
<p>Sementara itu, tahap paling rentan serangan keong mas dalam budi daya padi adalah saat persiapan lahan dan penanaman. Padi berusia 10 hari setelah pindah tanam (dari persemaian) dan 20 hari dengan metode tebar benih adalah kelompok padi paling rentan terhadap serangan keong mas. </p>
<p>Jadi, penyelamatan padi pada tahap ini adalah kunci utama mengurangi potensi kerugian panen akibat hama keong mas. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.cabi.org/wp-content/uploads/Working-Paper-21.pdf">belum ada proses pengendalian keong mas</a>, termasuk cara di atas, terbukti efektif, aman, atau menguntungkan secara ekonomi. Upaya tersebut hanya mampu menyelesaikan masalah secara singkat. </p>
<p>Pengendalian keong mas terbaik adalah dengan mencegahnya masuk ke suatu lingkungan budi daya tanaman, seperti lahan padi. </p>
<p>Karantina ketat dan pemusnahan dini saat populasinya masih sedikit harus dilakukan untuk mencegah penyebaran. Saat mereka sudah memperbanyak populasinya, bisa dikatakan sudah terlambat.</p>
<h2>Keong mas makin menyebar karena perubahan iklim</h2>
<p>Masyarakat yang paling terdampak pada serangan hama keong mas adalah petani. Namun, dalam skala nasional, jika produksi beras nasional turun, seluruh masyarakat dapat terdampak. </p>
<p>Oleh karena itu, masyarakat juga dapat diimbau untuk mengenal hama ini, yang sedikit banyak dapat membantu dalam manajemennya.</p>
<p>Di Jepang, masyarakat diajak untuk <a href="https://sites.google.com/site/sukumiringo/">melaporkan keberadaan keong mas</a> di sekitar mereka. </p>
<p>Dalam kurun waktu 2017-2019, keberadaan keong mas dilaporkan secara rinci lokasinya dalam bentuk geolokasi di Google Map. Data yang telah <a href="https://esj-journals.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1440-1703.12152">dipublikasikan</a> tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk melihat penyebaran keong mas dan bahan riset untuk mengendalikannya. </p>
<p>Dari data geolokasi yang telah dipublikasikan, keberadaan keong mas yang paling banyak dijumpai di daerah barat dan tengah Jepang, yang kondisi iklimnya relatif lebih hangat.</p>
<p>Riset menunjukkan suhu global yang meningkat <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28726175/">diperkirakan</a> akan memperluas jumlah wilayah yang sesuai sebagai habitat keong mas. </p>
<p>Pengendalian keong mas pada masa depan tidak hanya akan berkutat di sawah dan perairan tawar, tapi harus lebih luas lagi lagi mengingat dapat begitu berbahayanya spesies eksotik di lingkungan baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211423/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mafrikhul Muttaqin menerima dana dari Japanese Government (MEXT) Scholarship untuk studi doktoral di Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang dengan topik penelitian terkait padi dan keong mas. Mafrikhul juga dosen di Departemen Biologi IPB University.</span></em></p>Kita perlu mengendalikan populasi keong mas agar tidak merusak kehidupan manusia. Perubahan iklim juga meningkatkan populasi keong mas.Mafrikhul Muttaqin, Doctoral Student, Nara Institute of Science and Technology (NAIST) JapanLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2112052023-08-09T03:56:46Z2023-08-09T03:56:46ZPerubahan iklim berkontribusi pada kekerasan terhadap anak-anak – begini penjelasannya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542603/original/file-20230814-18-pokbtp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Piyaset. Shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Berita utama media-media di belahan bumi utara pada musim panas tahun 2023 ini tampaknya didominasi oleh bencana tentang iklim setiap hari: <a href="https://www.theguardian.com/environment/live/2023/jul/17/europe-heatwave-2023-us%20-asia-heat-extreme-severe-weather-fires-flash-floods-flooding-record-breaking-heat-wave-stress-temperature-red-alert-climate-crisis">gelombang panas</a>, <a href="https://www.theguardian.com/world/2023/jul/24/greece-wildfires-corfu-evia-rhodes-heatwave-northern-hemisphere-extreme-weather-temperatures-europe">kebakaran hutan</a>, <a href="https://news.sky.com/story/icy-water-courses-through-italian-streets-after-dramatic-hailstorm-12925407">badai es masif</a>.</p>
<p>Pemandangan seperti itu akan menjadi realitas global kita di tahun-tahun mendatang. Ilmuwan melukiskan <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/resources/spm-headline-statements/">gambaran suram</a> tentang bagaimana perubahan iklim akibat ulah manusia, dikombinasikan dengan degradasi lingkungan yang lebih luas, akan memengaruhi kita semua, termasuk anak-anak.</p>
<p>Penelitian terkait bagaimana tepatnya perubahan iklim dan degradasi lingkungan berhubungan dengan kekerasan terhadap anak masih dalam tahap awal.</p>
<p>Namun, sangat penting untuk mengeksplorasi persimpangan ini untuk memacu gerakan akademik dan politik di bidang terkait. Temuan dari tinjauan tersebut, dan penelitian lebih lanjut yang mungkin muncul, dapat membantu menginformasikan kebijakan dan intervensi yang dapat melindungi dan mendukung anak-anak, khususnya mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan guncangan lingkungan.</p>
<h2>Studi kami</h2>
<p>Kami melakukan <a href="https://osf.io/preprints/socarxiv/zpxc8/">peninjauan literatur yang ekstensif</a> tentang persimpangan perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kekerasan terhadap anak-anak, untuk melihat apa yang diketahui sejauh ini dan apa yang perlu diperhatikan.</p>
<p>Kata kunci yang kami gunakan adalah kekerasan langsung – fisik, seksual dan emosional – dan kekerasan struktural; yaitu, berakar pada sistem dan institusi yang tidak adil dan tidak adil. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang bernuansa tentang implikasi bagi anak-anak di semua negara. Artinya, kita dapat mengeksplorasi sebab dan akibat dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan dalam kaitannya dengan sistem, institusi, struktur, norma, dan interaksi.</p>
<p>Studi tersebut mengidentifikasi lima tema: bahaya dan pengurangan risiko bencana; jenis kelamin; mobilitas atau imobilitas yang disebabkan oleh iklim; pekerja anak; dan kesehatan. Yang jelas muncul adalah bahwa kekerasan terhadap anak tidak semata-mata fenomena yang meningkat selama guncangan lingkungan. Ini berakar kuat pada ketidakadilan sejarah, sistem dan struktur global sehingga secara tidak proporsional memengaruhi mereka yang hidup dalam kemiskinan.</p>
<h2>1. Bahaya dan pengurangan risiko bencana</h2>
<p>Bahaya alam, dikombinasikan dengan krisis kemanusiaan skala besar, menimbulkan risiko langsung terhadap kesehatan, kehidupan, harta benda, dan lingkungan.</p>
<p><a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34247619/">Sebuah studi</a> telah mengungkap bagaimana meningkatnya tekanan sosial, ekonomi, dan emosional dalam situasi ini membuat anak-anak berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan, baik di rumah mereka atau di tempat penampungan bantuan. Kekerasan ini mungkin dilakukan oleh teman sebayanya, atau oleh pengasuh yang memaksa mereka bekerja karena kebutuhan mendadak untuk membangun kembali atau membantu memenuhi kebutuhan.</p>
<p>Diperlukan lebih banyak pengetahuan untuk menginformasikan rencana terpadu dan peka budaya untuk melindungi anak-anak dengan lebih baik dari bahaya lingkungan.</p>
<h2>2. Gender</h2>
<p>Efek perubahan iklim dan degradasi lingkungan tidak netral gender. Mereka dapat memengaruhi anak perempuan dan anak laki-laki secara berbeda. Ada <a href="https://gh.bmj.com/content/6/4/e004377">semakin banyak kajian</a> tentang kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan sehubungan dengan perubahan iklim.</p>
<p>Tetapi kajian ini cenderung berpusat pada isu-isu yang memengaruhi perempuan dewasa, menyamakan istilah “gender” dengan “perempuan”, tanpa perhatian yang cukup terhadap efek gender dari perubahan iklim pada anak perempuan dan laki-laki.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17441692.2022.2095655">Penelitian</a> menunjukkan bahwa perubahan iklim berpotensi memperburuk pemicu perkawinan anak yang diketahui di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tetapi temuan bervariasi secara signifikan menurut wilayah. Misalnya, <a href="https://www.jstor.org/stable/48584105">terdapat peningkatan</a> dalam pernikahan anak yang didorong oleh penerimaan pembayaran mahar di Afrika sub-Sahara selama periode kekeringan yang tiba-tiba. Tapi di India, kekeringan justru menyebabkan penurunan pernikahan anak hingga penundaan pembayaran mahar.</p>
<p>Data bernuansa tentang keterpaparan anak laki-laki terhadap berbagai bentuk kekerasan dalam konteks perubahan iklim tidak ada. Itu karena studi cenderung berfokus pada laki-laki sebagai pelaku tetapi bukan sebagai korban kekerasan.</p>
<h2>3. Mobilitas dan imobilitas</h2>
<p>Jumlah <a href="https://theconversation.com/as-more-climate-migrants-cross-borders-seeking-refuge-laws-will-need-to-adapt-159673">migran iklim</a> meningkat.</p>
<p>Penelitian yang kami ulas tentang migrasi, pemindahan dan relokasi karena perubahan iklim, bahaya alam atau yang disebabkan oleh manusia menunjukkan peningkatan risiko kekerasan terhadap anak-anak dalam keluarga yang bermigrasi dan paparan yang lebih tinggi di kamp dan tempat penampungan. Selain itu, pemisahan dari keluarga atau pengasuh membuat anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap kekerasan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/climate-change-migration-and-urbanisation-patterns-in-sub-saharan-africa-149036">Climate change, migration and urbanisation: patterns in sub-Saharan Africa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sementara itu, imobilitas – ketika orang tidak dapat atau tidak ingin bergerak – telah dikaitkan dengan pelecehan anak, cedera dan kepadatan penduduk di daerah kumuh dalam beberapa <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/disa.12441">penelitian</a>.</p>
<p>Ketakutan akan kekerasan di tempat penampungan dapat membuat perempuan tetap tinggal di rumah setelah bencana alam, sehingga meningkatkan risiko bahaya atau bentuk kekerasan lainnya bagi anak-anak.</p>
<h2>4. Buruh anak</h2>
<p><a href="https://www.ilo.org/ipec/Informationresources/WCMS_651800/lang--en/index.htm">Penelitian dari ILO</a> menunjukkan bahwa buruh anak meningkat setelah bencana alam karena ketergantungan keluarga pada pekerjaan anak dan tidak adanya strategi untuk menghapus praktik perburuhan anak secara menyeluruh. Buruh anak juga lazim di industri yang terkait dengan perubahan iklim, seperti pertanian, perikanan, pertambangan, mode, dan pariwisata.</p>
<p>Cakupan buruh anak dalam konteks ini, dan kaitannya dengan kekerasan, masih belum dieksplorasi secara memadai dalam penelitian, karena sifat tersembunyi dan kekhususan kontekstual dari isu ini.</p>
<h2>5. Kesehatan</h2>
<p>Kesehatan fisik dan mental anak-anak dipengaruhi oleh perubahan iklim. Bahaya alam telah <a href="https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196(20)30274-6/fulltext">dikaitkan</a> dengan hasil kesehatan yang buruk dan peningkatan kematian di antara anak-anak, terutama mereka yang lebih muda dari lima tahun.</p>
<p>Ada <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20337500/">bukti yang muncul</a> bahwa masalah kesehatan mental, yang berasal dari guncangan iklim dan lingkungan, dapat menyebabkan meningkatnya tindak kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Meningkatnya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2542519621002783">kecemasan lingkungan</a> di kalangan anak-anak dan remaja, yang disebabkan oleh kesadaran akan perubahan iklim dan degradasi lingkungan serta ketakutan akan konsekuensinya, menambah masalah kesehatan mental.</p>
<h2>Upaya ke depan</h2>
<p>Dengan menyoroti skala dan arah dari hubungan ini, kami ingin menggarisbawahi kebutuhan mendesak atas pendekatan kontekstual dan penelitian lebih lanjut terkait perubahan iklim dan kekerasan pada anak.</p>
<p>Memahami keterkaitan ini sangat penting untuk menginformasikan kebijakan dan intervensi yang dapat melindungi dan mendukung anak-anak, terutama mereka yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan guncangan lingkungan. Dengan mengatasi akar penyebab kekerasan dan memprioritaskan kesejahteraan anak-anak dalam krisis ini, kita dapat berjuang menuju masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211205/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Simone Datzberger menerima dana untuk penelitian ini dari UCL Grand Challenges.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jenny Parkes, Lottie Howard-Merrill, dan Steven Kator Iorfa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beberapa penelitian telah menunjukkan kontribusi perubahan iklim pada kekerasan terhadap anak-anak. Namun, pendekatan kontekstual dan penelitian lebih lanjut terkait fenomena ini masih diperlukan.Simone Datzberger, Associate professor, UCLJenny Parkes, Professor in Education, Gender and International Development, UCLLottie Howard-Merrill, PhD Candidate, UCLSteven Kator Iorfa, Doctoral Candidate, University of PortsmouthLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.