Menu Close
Elon Musk menjanjikan kebebasan berbicara di Twitter. Mohamed_Hassan/Pixabay, CC BY

Pakar Menjawab: Elon Musk membeli Twitter, apa yang perlu kita waspadai?

Jagat Twitter kini tengah dihebohkan dengan transaksi pembelian situs micro-blogging tersebut oleh Elon Musk, pebisnis sekaligus orang terkaya di dunia.

Musk, yang terbilang sangat aktif di Twitter, membeli platform tersebut seharga US$44 miliar, atau setara dengan Rp 634 triliun. Dalam rilis persnya, Musk menyatakan bahwa:

Kebebasan berbicara adalah tanda berfungsinya demokrasi, dan Twitter adalah pusat kota digital di mana hal-hal yang penting bagi masa depan umat manusia diperdebatkan.

Pembelian Twitter oleh Musk ini memicu kicauan warganet. Maklum saja, keberadaan Musk sebagai pengguna Twitter selama ini sangat berpengaruh dan tak jarang mengundang kontroversi.

Transaksi yang dilakukan oleh Musk ini memancing banyak penolakan, namun banyak pula warganet yang menunggu-nunggu terobosan apa yang bisa diberikan Musk untuk pengembangan Twitter.

Dengan masuknya Musk ke Twitter, perubahan apa yang perlu diperhatikan para pengguna platform berusia 16 tahun tersebut?

Berikut rangkuman pendapat pakar dunia mengenai pembelian media sosial populer ini:

1. Kebebasan berbicara

Musk menyebut dirinya sebagai “absolutis kebebasan berbicara”, mengimplikasikan bahwa ia akan mendukung kebebasan dalam debat publik di platform yang baru dibelinya tersebut.

Namun, menurut Eric Heinze dari Queen Mary University of London, kekayaan Musk tidak akan cukup untuk membeli kebijakan sensor yang diberlakukan negara-negara di dunia.

Tidak ada kebebasan berbicara yang betul-betul bebas di dunia ini. Bayangan Musk tentang pusat kota yang idealis di masa lampau, tempat orang menyampaikan pendapat mereka dengan bebas, mengenyampingkan fakta bahwa perempuan, populasi kulit berwarna, dan penduduk negara jajahan tidak pernah betul-betul mendapat tempat di dalam diskusi publik ini.

Namun, mitos sering mengandung segelintir kebenaran. Tidak dapat disangkal bahwa protes dan perbedaan pendapat yang dulu terjadi di ruang publik kini sebagian besar telah bergeser ke platform media online yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan swasta.

Pada akhirnya, kebebasan bicara di platform digital global pun dibatasi oleh negara-negara tempat mereka beroperasi, baik demi menjaga keamanan maupun sebagai alat politik.

Uni Eropa, misalnya, baru-baru ini mengenalkan kebijakan digital yang melarang unggahan yang mempromosikan terorisme, pelecehan seksual anak, dan ujaran kebencian. Indonesia, di sisi lain, memiliki Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang justru kerap digunakan untuk menjerat mereka yang aktif mengkritisi pemerintah..

Perlu diingat, Musk juga menuai sejumlah kontroversi tentang kebebasan berbicara dengan melarang pegawai yang diberhentikan untuk membicarakan Tesla dan berusaha mengontrol jurnalis hingga peneliti berdiskusi tentang bisnisnya.

Musk boleh saja memecat seluruh tim monitor Twitter jika ia mau, walaupun nantinya ia akan menyadari pentingnya fungsi mereka dan terpaksa mempekerjakan mereka lagi.

2. Potensi disinformasi

Menurut Anjana Susarla dari Michigan State University, Twitter memiliki ceruk pasar yang unik dengan teks pendek dan utasnya yang mendorong adanya percakapan langsung di antara ribuan orang. Hal ini membuat platform tersebut populer di kalangan selebriti, tokoh media, dan politisi.

Kemampuan Twitter untuk membentuk wacana real-time, serta kemudahan pengumpulan data, menjadikannya tambang emas bagi para peneliti untuk menganalisis berbagai fenomena sosial. Unggahannya yang bersifat kronologis memposisikan Twitter sebagai pencatat sejarah dan pemeriksa fakta.

Salah satu ide yang diajukan oleh Musk, yaitu fitur untuk mengedit unggahan, dapat mengancam fungsi ini.

Keberpihakan dan polarisasi politik di dunia maya memungkinkan pengguna – baik bot (akun otomatis yang mengunggah tweet secara repetitif) maupun orang sungguhan – untuk mengedit tweet mereka dan menjadikannya senjata untuk menyebarkan disinformasi ataupun opini propagandis. Mengedit tweet dapat memungkinkan pengguna untuk secara selektif mengubah apa yang mereka katakan dan menyulitkan upaya untuk melacak informasi yang salah.

Selama ini, demi mengatasi disinformasi, Twitter cukup agresif dengan moderasi kontennya.

Visi Musk mengenai platform yang bebas dari moderasi cukup meresahkan mengingat bahaya algoritmik yang mungkin timbul. Penelitian telah menunjukkan sejumlah bahaya ini, seperti algoritme yang menetapkan jenis kelamin kepada pengguna, potensi ketidakakuratan dan bias dalam algoritma dalam mengumpulkan informasi dari platform ini, dan dampaknya pada mereka yang mencari informasi kesehatan secara daring.

3. Konflik kepentingan

Susarla menekankan adanya kekhawatiran publik yang luas mengenai peran yang dimainkan oleh platform teknologi dalam membentuk wacana populer dan opini publik.

Musk memiliki sejumlah bisnis, termasuk perusahaan mobil listrik Tesla dan perusahaan roket dan penerbangan SpaceX.

Karena bisnis Musk yang lain ini, kemampuan Twitter untuk mempengaruhi opini publik di industri penerbangan dan industri otomotif akan secara otomatis menciptakan konflik kepentingan. Belum lagi, hal ini dapat mempengaruhi akses informasi yang yang diperlukan bagi pemegang saham. Bahkan, Musk sebelumnya diduga menunda pengungkapan kepemilikan sahamnya di Twitter.

Massachusetts Institute of Technology (MIT) Media Lab sempat membuat latihan kreatif dengan meminta siswa sekolah menengah untuk membayangkan kembali platform YouTube dengan mempertimbangkan etika. Mungkin, sudah waktunya kita meminta Twitter melakukan hal yang sama, siapa pun yang memiliki dan mengelola perusahaan tempatnya bernaung.

4. Keamanan data

Nolan Higdon dari California State University mengingatkan bahwa Amerika Serikat (AS) kini tengah berada dalam kebangkitan oligarki - sekelompok pemimpin bisnis yang memiliki pengaruh politik besar. Hal ini terlihat dari banyaknya pebisnis yang mengakuisisi perusahaan media di AS dan memungkinkan mereka untuk menggiring opini publik demi kepentingan elektorat. Pemilik Amazon, Jeff Bezos, misalnya, membeli The Washington Post pada tahun 2013.

Akan tetapi, bukan itu saja yang dikhawatirkan dari transaksi pembelian Twitter oleh Elon Musk.

Musk memilih untuk membeli media sosial daripada outlet berita tradisional, dan membuatnya memeroleh kendali dari sistem pengiriman berita yang penting. Sebuah survei dari lembaga riset AS, Pew, pada 2021 menemukan bahwa 7 dari 10 pengguna Twitter mengatakan mereka menerima berita dari platform tersebut. Potensi ancaman yang ditimbulkan oleh miliarder individu yang mengendalikan Twitter jauh lebih rumit dan berbahaya daripada sekadar memengaruhi pemberitaan lewat media massa.

Bahkan sebelum Musk bersaing untuk membeli Twitter, Silicon Valley sudah dikendalikan oleh miliarder yang mengoperasikan beberapa perusahaan yang dikenal sebagai FAANG – Facebook (sekarang Meta), Amazon, Apple, Netflix, dan Google (sekarang Alphabet). Perusahaan-perusahaan ini mendapat keuntungan dari “kapitalisme pengawasan” (surveilance capitalism), yang memposisikan pengguna sebagai produk. Artinya, perusahaan mengumpulkan dan menjual informasi tentang pengguna kepada mereka yang tertarik untuk memprediksi atau mendorong perilaku manusia.

Dalam tatanan ekonomi seperti ini, perusahaan teknologi terus-menerus mengawasi pengguna di dalam dan di luar platform mereka demi mengumpulkan dan menganalisis data – yang meliputi audio, video, kata-kata, lokasi, dan bahkan DNA (deoxyribonucleic acid) – untuk memahami pemikiran dan proses kognitif pengguna.

Misalnya, saat menggunakan konten atau produk Twitter – termasuk yang terintegrasi dengan situs web lain – platform tersebut mengumpulkan data dan menyimpan halaman web yang diakses pengguna, alamat IP (identitas perangkat yang terhubung ke internet), jenis browser, sistem operasi, dan informasi cookie (rekam jejak dan aktivitas penulusuran dalam situs) mereka.

Dengan membeli Twitter, Musk bukan saja dapat mempengaruhi opini pengguna. Ia juga akan memiliki koleksi data pribadi yang ekstensif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now