Artikel ini kami terbitkan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus.
Beberapa waktu lalu, Harian Kompas menerbitkan laporan yang mengejutkan masyarakat. Melihat uang kuliah di 30 kampus dan juga data Badan Pusat Statistik (BPS), mereka menemukan kenaikan biaya kuliah di Indonesia sulit diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat.
Menurut analisis tersebut, laju kenaikan biaya kuliah per tahun – sekitar 1,3% untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96% untuk kampus swasta (PTS) – mengalahkan laju naiknya pendapatan lulusan SMA (3,8%) maupun sarjana (2,7%).
Hal ini berpotensi mengancam akses pendidikan tinggi masyarakat di masa depan.
Tabungan orang tua yang memiliki gelar sarjana dan melahirkan bayi pada tahun ini, misalnya, diperkirakan kelak hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama 6 semester pada 2040. Sementara, lulusan SMA hanya bisa membiayai 3 dari 8 semester kuliah anaknya.
Tapi mengapa biaya kuliah terus meningkat pesat setiap tahunnya?
Operasional kampus makin mahal – tapi biayanya dibebankan pada mahasiswa
Menurut Elisabeth Rukmini, Manajer Pengembangan Strategis di Binus University, naiknya biaya kuliah erat kaitannya dengan meningkatnya biaya operasional yang harus dikeluarkan kampus tiap tahunnya.
Berkaca dari pengalamannya menjabat di tiga kampus swasta yang berbeda, Elisabeth mengatakan bahwa dua komponen pengeluaran kampus yang terbesar, yakni sumber daya manusia (seperti gaji dosen) serta sarana dan prasarana (dari alat praktikum hingga langganan jurnal), dapat mencapai sekitar 85% dari anggaran.
“Kebutuhan tersebut dari tahun ke tahun memang selalu meningkat [..] Tidak bisa dipungkiri, itu kebutuhan, itu yang harus dikeluarkan untuk mutu.”
Menurut Totok Soefijanto, rekan senior di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan juga mantan wakil rektor Universitas Paramadina, biaya operasional ini juga semakin meningkat akibat aspirasi kampus untuk berbenah dan meraih predikat ‘kelas dunia’.
“Ketika ingin jadi kelas dunia, akhirnya semua lihat ke luar, ke negara Barat terutama yang dianggap maju. Mereka lalu lihat bahwa infrastrukturnya bagus, punya gedung perpustakaan yang bagus. Kemudian, dosen-dosennya banyak riset dan banyak dikutip,” kata Totok
Dalam upaya meningkatkan kualitas, kampus pun harus memenuhi berbagai indikator standar mutu dan akreditasi yang ditetapkan pemerintah. Misalnya, memiliki dosen tetap lebih banyak dari yang tidak tetap.
Masalahnya, menurut Totok, di tengah meningkatnya biaya kebutuhan dan juga upaya pembenahan tersebut, banyak kampus belum mempertimbangkan keberlangsungan keuangan dan model bisnis secara jangka panjang.
“Kita meniru dari segi kualitas dosen harus menulis riset, harus dikutip sampai jurnal internasional dan segala macam, tapi yang tidak dilihat adalah bagaimana struktur pembiayaan di perguruan tinggi yang maju itu,” ungkapnya.
“[Kampus] harus memperkuat kapasitas fiskalnya (kemampuan keuangannya). Kalau tidak, bebannya akan ditimpakan ke mahasiswa.”
Menurut Elisabeth, hal ini paling terasa di kampus-kampus swasta. Berbeda dengan PTN yang dibiayai oleh negara, PTS harus mencari sumber pendanaan sendiri.
“Nah, tapi kebanyakan PTS di Indonesia masih tuition-dependent (menggantungkan pemasukan pada biaya kuliah mahasiswa). Yang paling sehat lah, paling rendah pun ketergantungan pada tuition fee mungkin masih 90% [dari biaya operasional]. Sumber lain? Ya hanya 10%,” katanya.
Padahal, mayoritas mahasiswa (sekitar 4,5 juta atau 64% jumlah nasional) berkuliah di salah satu dari 3.171 PTS atau 96% dari total perguruan tinggi di Indonesia.
Dengan sistem tuition-dependent ini, mahasiswa swastalah yang paling merasakan kenaikan biaya operasional kampus ini dalam bentuk uang kuliah – yang menurut laporan meningkat 6-7% setiap tahunnya.
Diversifikasi pendapatan dan efisiensi pengeluaran
Untuk meredam naiknya uang kuliah, Totok dan Elisabeth menjelaskan setidaknya dua cara yang bisa dilakukan kampus di Indonesia – terutama kampus swasta.
Pertama, melakukan diversifikasi sumber pendanaan. Dengan kata lain, kampus harus mencari sumber-sumber pemasukan alternatif agar tidak sepenuhnya membebankan biaya operasional kampus pada uang kuliah mahasiswa.
Totok, misalnya, mencontohkan pembentukan endowment fund (dana abadi) seperti di Harvard University di AS, tempat dulu ia bekerja.
“Ketika mahasiswa S1 baru masuk saat itu, biaya per mahasiswa mungkin bisa US$ 100 ribu (sekitar Rp 1,5 milyar) setahun. Tapi oleh Harvard hanya dibebankan US$ 50 ribu,” ujarnya.
“Dari mana sisanya 50%? Harvard punya endowment fund yang cukup besar. Itu bisa membantu mahasiswa yang ingin kuliah dengan kualitas tinggi, tetapi membayar 50% saja.”
Semasa Totok menjadi wakil rektor di Universitas Paramadina pada 2007-2017, misalnya, kampusnya menggalakkan dana abadi serupa dengan Harvard.
“Kita sampaikan kepada bisnis, ‘Anda masukkan ke endowment fund katakanlah 1M atau 2M, nanti kita tidak akan pakai dana itu, hanya dari bunganya saja. Jadi tetep dana Anda utuh’,” kata Totok.
Sebagai imbalan, misalnya, kampus kemudian bisa menawarkan naming rights (hak penamaan) – misalnya untuk gedung perpustakaan atau aula.
Selain dana abadi, Totok juga menyebutkan skema fellowship yang banyak diterapkan kampus luar negeri. Dalam skema ini, berbagai dosen berkolaborasi dengan dunia swasta dan sebagian gaji mereka dibayar oleh perusahaan.
Di luar itu, kampus seperti LSPR juga telah mengadakan pelatihan komunikasi dan konsultasi ke perusahaan dan lembaga negara. Pemasukannya, kata rektor LSPR, bisa membantu menyumbang 20-25% dari total pendapatan kampus per tahun.
Kedua, jika tidak melakukan diversifikasi pemasukan di luar uang kuliah mahasiswa, opsinya adalah efisiensi biaya operasional kampus.
Salah satu caranya, menurut Elisabeth, bisa dengan berbagai biaya fasilitas (resource sharing) dengan pihak lain seperti dunia industri.
“Efisiensi atas pengeluaran berarti bisa jadi pakai ekosistem baru – lab-lab yang dibangun sedikit dibagusin, tapi bisa dipakai dengan dunia industri, pemakainya bertambah. Alat itu tergunakan banyak orang, ada dana masuk, dan pemotongan harganya tidak hanya dibagi ke mahasiswa saja,” katanya.
Elisabeth juga menekankan pentingnya peralihan operasional kampus – baik akademik maupun administrasi – ke sistem digital.
“Bisa tidak dibuat model bisnis, misal apa yang sudah bisa dilakukan secara online, ya menjadi online? Ini jelas menekan biaya. Terasa di pandemi, maintenance fee (biaya perawatan) turun drastis,” katanya.
Meski demikian, Elisabeth mengingatkan bahwa terobosan terkait peralihan ke sistem online perlu mendapat dukungan lebih dari pemerintah – dari pemantapan infrastruktur digital di seluruh Indonesia hingga payung hukum yang lebih baik terkait merger kampus swasta dan pendirian perguruan tinggi berbasis online seperti Universitas Terbuka (UT).
Masa depan akses pendidikan tinggi
Totok dan Elisabeth pun mengingatkan bahwa memastikan keterjangkauan biaya kuliah merupakan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk pemerintah.
“Pemerintah tidak bisa tinggal diam […], harus memiliki keberpihakan kepada mereka yang relatif miskin sehingga tidak mampu mengirim anaknya kuliah,” kata Totok.
“Sekarang skemanya apa yang ada? Misalnya beasiswa bidikmisi. Atau beberapa pemda memberikan beasiswa. Apakah itu cukup? Apakah itu tepat sasaran?”
Meski demikian, universitas juga harus menjadi salah satu aktor terdepan dalam meredam biaya kuliah.
Kita tidak boleh lupa, kata Elisabeth, bahwa pemerataan pendidikan merupakan visi perguruan tinggi.
“Kalau biaya setiap tahun [naik] setidaknya 7%, terutama di PTS, dan nggak bisa dijangkau orang kebanyakan, makin omong kosong ide pemerataan itu. Terobosan harus dimulai dari model bisnisnya, model macam apa yang bisa menjamin pemerataan ke segenap orang Indonesia,” tegasnya.