Menu Close

Pakar Menjawab: Setelah Kemdikbud pakai model kemitraan vendor ala “shadow organisation”, apa hasil dan dampaknya bagi dunia pendidikan?

(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Beberapa minggu terakhir, Menteri Pendidikan (Mendikbudristekdikti) Nadiem Makarim menuai sorotan akibat ungkapannya tentang adanya shadow organisation beranggotakan 400 orang yang membantu Kemdikbudristekdikti memproduksi teknologi pendidikan. Ia menyampaikan ini dalam acara Transforming Education Summit di markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), bulan lalu.

Dalam klarifikasinya, Nadiem menjelaskan “shadow organisation” ini merupakan tim berisikan berbagai manajer produk, perancang perangkat lunak, hingga ilmuwan data dari GovTech Edu, suatu unit di bawah PT Telkom.

Menurut Nadiem, tim ini berperan lebih dari sekadar vendor kementerian: mereka juga menjadi rekan bertukar pikiran yang bekerja intensif dengan tim internal Kemdikbudristekdikti.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang mencuat terkait birokrasi – termasuk isu konflik kerja antara tim ini dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kemdikbudristekdikti – kemitraan teknologi ala “shadow organisation” menandakan model baru produksi platform pendidikan oleh pemerintah.

Lantas, apa urgensi dari tim teknologi Kemdikbudristekdikti ini, dan apakah hasil karya mereka sudah benar-benar berdampak bagi dunia pendidikan?

Pergeseran pola produksi teknologi pendidikan

Peneliti Kemdikbudristekdikti, Goldy Fariz Dharmawan mengatakan kementeriannya memperlukan mesin produksi teknologi yang lebih baik untuk mendukung upaya transformasi pendidikan di Indonesia.

“Kita berusaha mencari cara bagaimana pendidikan semakin bisa diakses dari wilayah yang relatif jauh. Selaras dengan kebijakan nasional meningkatkan konektivitas, di situ ada peluang, kita bisa pakai teknologi sebagai jalur meningkatkan akses sumber belajar’,” katanya.

Berbagai unsur dalam paket kebijakan Merdeka Belajar usungan Kemdikbud – dari penerapan Kurikulum Merdeka hingga reformasi pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) – misalnya, membutuhkan dukungan teknologi dan platform.

Sayangnya, kata Goldy, kompetensi dan kepakaran pengembangan teknologi yang dibutuhkan untuk upaya di atas tidak mudah didapat dari sumber daya manusia internal Kemdikbud.

Edi Subkhan, dosen teknologi pendidikan di Universitas Negeri Semarang juga mengindikasikan bahwa Pusat Data Teknologi dan Informasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pusdatin) Kemdikbudristekdikti – yang sebelum era Nadiem dikenal sebagai Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) – sebelum ini menghasilkan beragam produk teknologi pendidikan yang perancangannya minim evaluasi dan dampaknya belum terbukti.

Di antaranya, Edi menyebutkan, ada Rumah Belajar, TV Edukasi, platform materi belajar di Google Play Store, hingga beragam multimedia interaktif berbasis Android.

“Sebagian besar produknya dibuat tapi hampir nggak ada evaluasi atau informasi yang sampai ke publik pendidikan, sejauh mana produk-produk Pustekkom itu betul-betul bermanfaat bagi dunia pendidikan [..] Barangkali karena itu, kemudian Nadiem merasa perlu terobosan,” kata Edi.

Goldy juga mengungkap beberapa keunggulan lain dari kolaborasi produksi teknologi pendidikan antara Kemdikbudristekdikti dan GovTech Edu.

“Di tahap awal kalau kita sewa vendor, kita sudah tau mau bikin apa [..] tapi kadang agak sulit diterjemahkan ke teknologi. Kelebihan ‘satu tim teknologi untuk semua’ ini, semua bisa dibikin dalam satu artistektur yang sama,” katanya.

Ia juga mengatakan bahwa kemitraan ini membuat Kemdikbud lebih mudah melakukan proses scaling up (pengembangan dan perluasan) seiring produk-produk mereka berserta para penggunanya bertumbuh.

Platform keluaran Kemdikbud

Syaiputra Diningrat, dosen teknologi pendidikan di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (UNIPASBY), menjelaskan produksi teknologi pendidikan di Kemdikbudristekdikti ini membuahkan beberapa platform yang berupaya mendukung transformasi pendidikan usungan Nadiem.

Salah satunya rangkaian platform yang fokus pada peningkatan efisiensi dan transparansi pengelolaan sumber daya sekolah.

“Jadi Kemdikbud meluncurkan ARKAS (Aplikasi Rencana Kerja Anggaran Sekolah). Dulu anggarannya nggak terbuka ya, nggak dipublikasikan ke publik. Melalui ARKAS, salah satunya, bisa terbuka, siapa saja bisa melihat,” katanya.

“Yang kedua aplikasi SIPLah (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah). Kalau satuan pendidikan mau beli barang, misalnya komputer, mereka dianjurkan beli lewat sistem itu […] mulai dari penganggaran, pembelian, bahkan nanti bisa jadi dari pelaporan itu berbasis digital.”

Menurut pengakuan Kemdikbudristekdikti, ARKAS kini digunakan lebih dari 216 ribu sekolah dengan total dana kelolaan lebih dari Rp 51 triliun. Sementara, SIPlah telah digunakan lebih dari 100 ribu sekolah dan menggandeng setidaknya 84 ribu Usaha Kecil dan Menengah (UMKM).

Penjelasan Nadiem ke DPR terkait kolaborasi Kemdikbudristekdikti dengan GovTech Edu, serta produk teknologi pendidikan yang mereka hasilkan.

Ada juga platform Rapor Pendidikan – yang bisa diakses sekolah untuk melihat kondisi literasi, numerasi, dan kualitas pembelajaran siswa berdasarkan hasil Asesmen Nasional – hingga platform Kampus Merdeka yang memfasilitasi mahasiswa dengan program pengembangan diri lintas kampus atau dunia industri.

Yang juga jadi teknologi pendidikan unggulan Kemdikbudristekdikti adalah platform Merdeka Mengajar. Platform ini, terang Syaiputra, bertujuan memfasilitasi guru-guru yang tertarik mengaplikasikan Kurikulum Merdeka besutan Kemdikbudristekdikti.

Di superapp” (aplikasi super) ini, misalnya, guru bisa mendalami Kurikulum Merdeka, mengakses beragam bahan ajar, melakukan asesmen kemampuan awal siswa, hingga fitur berbagi metode pembelajaran dengan guru lain di seluruh Indonesia.

“Misalnya, ada modul yang mereka desain atau metode pengajaran baru yang mereka susun, itu bisa dibagi. Jadi guru nggak harus bikin dari nol tapi bisa adopsi dari [guru] yang lain kalau dia merasa cocok, atau kalau dia mampu bisa kembangkan sesuai konteks yang dia butuhkan,” kata Goldy.

Menurut pengakuan Kemdikbudristekdikti, lebih dari 1,6 juta guru telah menggunakan platform Merdeka Mengajar, dan lebih dari 92 ribu konten pembelajaran telah diunggah oleh guru untuk menginspirasi rekan sejawatnya.

Tapi, masih banyak tantangan di lapangan

Di satu sisi, para peneliti memuji beragam layanan digital yang lebih terintegrasi ini hingga adanya platform khusus yang akhirnya fokus pada pengembangan guru.

Tapi, masih ada beberapa tantangan dan kekurangan dalam aspek lain.

Pertama, Edi mengkritik minimnya transparansi evaluasi terkait efektivitas platform-platform tersebut, sehingga berpotensi mengulang kesalahan dari Pustekkom sebelum era Nadiem.

“PR-nya dari dulu sampai sekarang itu mengevaluasi kebergunaan produk-produk yang sudah dikerjakan [..] Ini belum sampai ke kita evaluasinya. Barangkali kalaupun ada ya langsung dipakai perbaikan secara internal sistemnya sendiri, jadi nggak ke publik juga,” katanya.

“Apakah materi [di platform itu] betul-betul bisa meningkatkan kompetensi pedagogi (metode mengajar) guru atau menambah penguasaan materinya?”

Dalam menjalankan riset, perancangan, dan evaluasi teknologi pendidikan, misalnya, Edi mengatakan Kemdikbud belum banyak melibatkan perguruan tinggi.

“Kita punya kampus banyak, itu relasinya dengan kementerian nggak jelas, malah lebih jelas kementerian dengan lembaga seperti SMERU atau PSPK yang sekarang dominan. Itu ya oke, tapi kalau mau membenahi struktur dan sistem, pusat kajian dan kampus-kampus dikasih kesempatan yang sama, jadi nggak mubazir,” katanya.

Mengutip buku “Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bureaucracy” (2005) karya profesor pendidikan di AS, Christopher Bjork, Edi mengatakan bahwa kementerian cenderung lebih suka mendengarkan lembaga semacam itu ketimbang riset bertemu guru di lapangan.

Kedua, Edi menyayangkan bagaimana masih ada sebagian guru yang masih kesulitan maupun enggan menggunakan layanan digital garapan Kemdikbudristekdikti, terutama platform Merdeka Mengajar.

“Dari curhatan guru, variasi guru kita macam-macam. [..] Misal di Semarang, sebagian besar yang usia 40 ke bawah ya familier [dengan teknologi pendidikan], tapi yang 40 ke atas? Seperti di [platform belajar] Coursera itu mandiri kan. Kita mengikuti, lalu ada umpan balik – guru nggak terbiasa itu,” ungkap Edi.

“Sementara dari faktor kepercayaan [..] ada juga guru yang bilang bahwa ini cuman kebijakan politik saja, pasti nanti ganti menteri ganti lagi, kebijakan dan platform ini akan ditinggal,” tambah Syaiputra.

Goldy tak memungkiri bahwa di lapangan, kementeriannya pasti menemui tantangan, dari respons guru terkait platform digital maupun potensi konflik budaya kerja di internal kementerian.

Namun, ia menyampaikan optimisme ke depannya, dan menegaskan kementeriannya mempunyai berbagai mekanisme untuk menindaklanjuti hambatan dan respons masyarakat demi berbenah diri.

“Kalau kita objektif, ada cerita baik ada cerita buruk. Cerita baik perlu jadi pelajaran untuk kedepannya, ‘oh ini praktik baik’. Kemudian yang buruk, misal telat tercapai atau gagal lalu akhirnya dibongkar, kita perlu cek kenapa bisa.”

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now