Menu Close
Sejumlah penumpang mengenakan alat pelindung diri (APD) di dalam pesawat rute Samarinda-Jakarta saat terbang di atas kawasan perairan Laut Jawa, 2 Oktober 2022. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nym.

Pakar Menjawab: WHO sebut akhir pandemi di depan mata, apa yang harus disiapkan Indonesia?

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus baru-baru ini menyatakan bahwa akhir pandemi COVID-19 “di depan mata”. Hal ini ditandai, antara lain, jumlah kematian karena COVID-19 secara global pada awal September lalu mencapai angka terendah sejak Maret 2020.

Sejauh ini, lebih dari enam juta orang di seluruh dunia telah meninggal akibat infeksi virus corona.

Walau Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan pandemi COVID di negaranya telah selesai, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan sampai kini masih menjalankan kebijakan darurat kesehatan publik.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan masih menunggu pedoman dari WHO untuk mengubah “pandemi” jadi “endemi” dan berhati-hati mengambil kebijakan. Kasus harian COVID-19 di Indonesia sejak awal September telah turun dibanding bulan sebelumnya. Presiden Joko Widodo telah meminta Menteri Kesehatan untuk berkonsultasi ke WHO terkait status pandemi.

Pertanyaannya: bagaimana sebaiknya rencana Indonesia dalam jangka menengah dan panjang untuk hidup berdampingan dengan atau menghadapi COVID? Sebab, kalau misalnya pandemi dinyatakan berakhir, virus corona akan tetap hidup di masyarakat seperti virus influenza dan virus lainnya. Kita perlu waktu lebih lama untuk memusnahkan virus ini di masyarakat.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kami bertanya kepada Teguh Haryo Sasongko, peneliti kesehatan dari International Medical University (Malaysia) dan penulis The Cochrane Collaboration.

Vaksinasi rutin akan menjadi kebutuhan

Teguh Haryo Sasongko mengatakan vaksinasi merupakan salah satu alat yang ampuh untuk melawan virus penyebab COVID-19.

Masalahnya, kata dia, vaksin generasi pertama yang saat ini digunakan belum kita ketahui tentang berapa lama daya lindungnya. “Apakah vaksin saat saat bisa melindungi dari semua jenis varian dan subvarian,” katanya. Kini kebijakan vaksin penguat (booster) juga dilakukan di Indonesia.

Karena itu, menurut Teguh, dalam beberapa tahun ke depan, dunia tidak bisa melepaskan diri dari vaksinasi massal secara rutin, terutama di kalangan kelompok berisiko tinggi. Seberapa besar populasi yang harus divaksin, itu masih pertanyaan. Kita bisa belajar dari vaksin influenza yang setiap tahun berubah, tergantung dari varian yang muncul tahun itu. “Vaksin bisa berubah sesuai dengan varian yang muncul dan teknologi itu juga sudah ada,” ujarnya.

Apalagi dengan vaksin mRNA seperti Pfizer dan Moderna, lebih mudah mengubah vaksin untuk virus corona. Kemunculan varian baru telah menyebabkan efektifitas vaksin menurun. Maka ada tuntutan untuk menyempurnakan vaksin yang ada, supaya bisa menanggulangi masalah tersebut dengan vaksin baru.

“Teknologi itu sudah ada. Pemerintah bersiap-siap untuk vaksin rutin, jangka waktunya kapan, itu belum tahu,” kata Teguh.

Tidak bisa lagi kebijakan “buka-tutup”

Melihat pola penyebaran COVID akhir-akhir ini, kebijakan “buka-tutup” pembatasan mobilitas masyarakat bukan lagi pilihan. Namun, strategi kontrol yang mendasar seperti cuci tangan dan pakai masker, itu tetap perlu dilakukan. Memakai masker sangat penting untuk proteksi diri dan orang lain dan tidak banyak menghalangi aktivitas sehingga tetap perlu dilakukan.

Menurut Teguh, pemerintah perlu meninggalkan pembatasan mobilitas saat pandemi menanjak dan perlu fokus pada kebijakan jangka menengah dan panjang. Ada beberapa strategi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Indonesia baik terkait dengan vaksin maupun prioritas anggaran.

Pertama, meningkatkan kapasitas respons dalam vaksinasi. Kata kuncinya adalah bagaimana Indonesia punya kemandirian dalam memproduksi vaksinasi yang bagus. Dalam konteks ini, pengembangan vaksin Merah Putih perlu dipercepat agar Indonesia bisa mandiri.

Kedua, walau Indonesia belum bisa memproduksi vaksin bermerek dalam negeri, ada merek vaksin luar negeri yang bisa diproduksi di dalam negeri. Indonesia bisa jadi hub (pusat produksi) untuk vaksin-vaksin itu untuk kawasan Asia Tenggara. Hal ini untuk menekan ongkos dan memudahkan akses bagi masyarakat luas.

Ketiga, Indonesia perlu turut segera mengadopsi vaksin teknologi terbaru berbasis mRNA yang terbukti memiliki efektivitas sangat tinggi.

Vaksin Merah Putih saat ini berbasis protein rekombinan. Langkah ini penting mengurangi ketergantungan terhadap vaksin luar negeri. Setidaknya, Indonesia memiliki kontrak dengan produksi vaksin mRNA yang memungkinkan transfer teknologinya ke peneliti dan produsen vaksin Indonesia.

Sementara itu, terkait anggaran, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran kesehatan yang lebih banyak untuk pelayanan dan penelitian kesehatan, terutama dalam konteks pengendalian pandemi. Anggaran lainnya bisa diprioritaskan untuk mengembangkan vaksin, termasuk pengadaan alat dan peningkatan kapasitas peneliti vaksin di Indonesia.

Hal yang tak kalah penting adalah anggaran untuk memperkuat surveilans genomik virus corona di Indonesia. Langkah ini sangat penting agar otoritas kesehatan memiliki data-data terbaru tentang varian-varian virus baru yang muncul di masyarakat sehingga bisa diketahui varian yang dominan. “Jika anggaran mencukupi, pemerintah kemudian bisa membuat alat pendeteksi cepat untuk menapis kasus-kasus yang ada di masyarakat secara cepat sehingga bisa ditangani segera,” kata Teguh.

Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan yang adaptif terhadap perubahan perlu diambil pemerintah agar masyarakat tetap sehat, aman dan kehidupan bisa terus berjalan secara produktif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now