Menu Close

Pandemi ancam kesembuhan pasien tuberkulosis, sebuah riset ungkap strategi untuk atasi ini

Sejumlah pasien penderita Tuberkulosis (TB) antre saat akan menjalani pemeriksaan rutin di Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan. ANTARA FOTO/Dhoni Setiawan/ss/13.

Indonesia merupakan negara dengan kasus tuberkulosis (TB/TBC) terbanyak kedua di dunia namun pengendalian penyakit tersebut mengalami berbagai hambatan selama pandemi.

Hambatan tersebut di antaranya berkurangnya layanan untuk pasien TB karena banyak tenaga kesehatan yang dikerahkan untuk menangani pasien COVID-19.

Selain itu, keengganan pasien TB pergi ke layanan kesehatan karena khawatir akan tertular COVID-19 juga menjadi hambatan utama lainnya.

Keengganan pasien TB ke rumah sakit tersebut berdampak pada proses pengobatan pasien. Padahal, untuk dapat sembuh, pasien TB yang telah menunjukkan gejala harus menjalani pengobatan yang berkelanjutan mulai dari enam bulan hingga dua tahun, tergantung keparahan penyakitnya.

Sebuah riset dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, menunjukkan bahwa alasan pasien TB tidak rutin menjalankan pengobatannya sebenarnya bersifat individual. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan pendekatan secara personal untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat pada pasien TB.

Meski penelitian ini mengolah berbagai data sebelum pandemi, hasil risetnya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini karena permasalahan dan strategi yang digunakan untuk mengatasinya memiliki prinsip yang sama, yaitu penggunaan pendekatan personal.

Efektivitas terapi personal

Banyak upaya yang telah dilakukan para peneliti dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan bagi pasien TB untuk minum obat, termasuk dengan pendekatan individual sesuai dengan kondisi dan hambatan yang dihadapi tiap pasien.

Riset kami yang menganalisis studi-studi di 12 negara dari tahun 2003 hingga 2018 mencoba mengetahui strategi yang efektif untuk meningkatkan kesadaran pasien TB untuk menuntaskan pengobatan.

Secara total, riset tersebut menganalisis 15.507 subjek dari berbagai negara: Pakistan, Australia, Irak, Cina, Senegal, Afrika Selatan, Timor Leste, Kanada, Amerika Serikat, Spanyol, Hong Kong, and Meksiko.

Dua pasien terjangkit penyakit TBC menutup mulutnya dengan masker saat melakukan pemeriksaan di Klinik Paru-paru di Makassar. ANTARA/Yusran Uccang/ss/nz/09

Studi kami menemukan bahwa strategi intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB untuk minum obat hingga tuntas cukup bervariasi.

Mulai dari penyediaan pengingat minum obat, pemberian insentif dalam bentuk voucher makanan dan kebutuhan sehari-hari. Ada juga model pemberian insentif untuk transportasi dan pengobatan, pemberian nutrisi yang cukup, kemudian pemberian paket pengobatan singkat. Ada juga dengan pemberian konsultasi minum obat yang dilakukan oleh tenaga profesional kesehatan maupun kelompok-kelompok masyarakat.

Pendekatan-pendekatan di atas bersifat personal karena berusaha menjawab tantangan yang berbeda di antara pasien TB yang satu dengan yang lainnya ketika ingin menuntaskan pengobatan mereka.

Misalnya strategi pemberian insentif untuk transportasi dan pengobatan bisa efektif bagi para pasien yang mengalami kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena faktor ekonomi dan faktor geografis.

Solusi ini cocok bagi mereka yang tidak memiliki biaya dan kendaraan dan tinggal di daerah terpencil. Pemerintah juga sudah memiliki program berkaitan dengan pemberian bantuan ini.

Pasien yang menderita TB yang kebal obat juga bisa menerimanya karena mereka harus mendatangi secara rutin sentra pelayanan penyakit TB kebal obat yang tidak selalu tersedia di tingkat kabupaten dan kota.

Penanganan TB yang kebal obat memang sangat kompleks. Namun, dengan upaya berkelanjutan, komitmen, dan kolaborasi antara pusat rujukan dan penyedia layanan kesehatan di daerah pedesaan, pasien TB bisa mendapatkan perawatan yang tepat, seperti kasus di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur .

Lalu pemberian insentif dalam bentuk voucher makanan bisa ditawarkan kepada pasien TB yang harus kehilangan pekerjaannya setelah didiagnosis menderita TB. Banyak perusahaan yang langsung memberhentikan pekerjanya yang terinfeksi TB karena takut menulari pekerja yang lain.

Untuk mengatasi kendala masa pengobatan yang panjang, solusi yang diberikan bisa berupa membuat sistem pengingat untuk waktu minum obat bagi pasien TB. Strategi ini sudah diterapkan dan teruji efektivitasnya, salah satunya di Cina.

Seorang petugas tengah memeriksa sampel dahak pasien di ruang Laboratorium Tuberkulosis (TB), Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan. ANTARA FOTO/Dhoni Setiawan/ss/nz/13.

Teknologi-teknologi baru juga telah dikembangkan untuk melakukan pengawasan terhadap pasien TB.

Teknologi bisa membantu mengirim pesan singkat sebagai pengingat dan informasi obat melalui ponsel; pengawasan rutinitas minum obat oleh tenaga kesehatan melalui menggunakan video call dan sensor minum obat yang disematkan pada kotak obat.

Beberapa negara, seperti Cina, India dan Belarus sudah menggunakan teknologi digital ini untuk perawatan TB di negara mereka.

Pendekatan teknologi ini sebenarnya cocok untuk menjawab masalah pasien TB selama pandemi.

Pendekatan personal saat pandemi

Situasi pandemi yang memaksa orang untuk menjaga jarak dan tidak pergi ke fasilitas umum menyediakan ruang bagi teknologi untuk menjadi solusi.

Teknologi juga bisa menjadi solusi untuk penanganan pasien TB selama pandemi.

Penggunaan teknologi dalam memastikan pasien TB meminum obat merupakan pendekatan yang cukup menjanjikan dalam mengatasi permasalahan pasien TB ketika pandemi.

Teknologi tersebut bisa dalam bentuk aplikasi yang bisa mengawasi konsumsi obat pasien TB. Selain itu, teknologi juga bisa menjadi media komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan tanpa harus melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan.

Sayangnya, penggunaan teknologi seperti ini masih perlu dioptimalkan di Indonesia. Hal tersebut juga yang mendorong tim peneliti di Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran untuk mengembangkan aplikasi digital yang bisa membantu pasien TB menuntaskan pengobatannya dengan menggunakan prinsip pendekatan personal.

Kita semua berharap dengan adanya teknologi, permasalahan ketidakpatuhan penggunaan obat TB bisa diatasi, sehingga target pemerintah Indonesia untuk bebas TB pada 2030 bukan hanya jargon semata.

Hal tersebut akan terwujud ketika seluruh pihak baik peneliti, masyarakat, dan pemerintah dapat bahu-membahu dalam menyelesaikan permasalahan tersebut bersama-sama.


Artikel ini terbit berkat kerja sama The Conversation Indonesia dengan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjajaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now