Menu Close
Bisnis pariwisata harus menyampaikan dengan jelas kepada konsumen tentang apa yang mereka akan lakukan di tengah kondisi yang tak terencana. Gede Surya/AAP

Pelajaran bisnis dari Gunung Agung: perusahaan mesti siap menghadapi kondisi tak terduga

Ketika sebuah gunung api meletus, kita bisa melihat perusahaan mana yang punya rencana manajemen krisis yang baik dan mana yang tidak.

Kejadian mendadak yang tidak bisa dikendalikan adalah bagian tak terelakkan dari kegiatan pariwisata apa pun. Perusahaan yang kompeten seharusnya memiliki kapasitas untuk mengatasi situasi yang berjalan kacau, sebagai bagian tak terpisahkan dari cara kerja mereka.

Kebijakan pemasaran konvensional menyatakan bahwa ketika organisasi bereaksi dengan tepat terhadap kejadian di luar kendali, hal tersebut memiliki konsekuensi positif untuk keseluruhan hubungan dengan konsumen. Namun agar efektif, konsumen yang terdampak perlu mendapat respon cepat dari pelaku bisnis, atau semua upaya akan sia-sia.

Penutupan bandara Ngurah Rai di Bali menyebabkan banyak penumpang terlantar. Gunung berapi dan abu memang berada di luar kendali maskapai penerbangan, tetapi cara merespon kebutuhan penumpang yang telantar sepenuhnya berada alam kuasa mereka.

Bagaimana mempersiapkan dan menangani kejadian yang tak terkendali

Sebagai langkah pertama, bisnis pariwisata harus mengkomunikasikan dengan tepat apa yang akan mereka lakukan di tengah situasi tak menentu kepada konsumen—dengan cepat dan jelas, guna mengurangi ketidakpastian dan mencegah kebingungan.

Ini perlu didukung oleh tindakan nyata, yakni menepati janji dan memberi ganti rugi kepada konsumen. Bila gagal melakukannya, maka perusahaan menghadapi risiko konsekuensi negatif yang lebih jauh lagi.

Belum lama ini saya pergi liburan singkat ke Bali. Pengalaman saya, Jetstar Australia dengan cepat mengkomunikasikan bahwa penerbangan bantuan yang berangkat dari Bali akan segera mulai beroperasi (cuaca memungkinkan). Mereka juga menyatakan dengan jelas kepada penumpang yang hendak kembali ke Bali bahwa tidak akan ada penerbangan ke sana, kecuali jika cuaca memungkinkan dalam jangka panjang.

Rincian spesifik penerbangan keberangkatan ke Bali, begitu juga dengan yang dibatalkan, secara berkala diperbarui melalui situs perusahaan dan platform media sosial mereka. Konsumen juga bisa berinteraksi langsung dengan Jetstar melalui pusat informasi dan forum chat. Aktivitas khusus ini juga ditiru oleh maskapai Australia lainnya—Virgin dan Qantas—yang terbang ke Bali, sehingga secara umum konsumen mendapat informasi dengan baik.

Tanpa komunikasi semacam ini, konsumen akan cepat bingung, tidak pasti, dan bahkan panik karena mungkin terjebak di Bali. Erupsi gunung berapi bisa mempengaruhi pola perjalanan udara dan ini lebih menggelisahkan bagi konsumen maupun perusahaan wisata Bali, karena potensi letusan besar meningkat.

Memberikan informasi yang cepat tentang tindakan yang perlu dilakukan konsumen adalah yang terpenting. Sebagai contoh, hotel perlu mengkomunikasikan lebih awal kepada para tamu yang masih tinggal, mengenai kemungkinan mereka memperpanjang waktu inap agar mereka dapat kesempatan memilih kamar lebih dulu.

Sementara itu, pelaku bisnis di Bali tidak terlihat sangat proaktif di awal. Meski demikian menteri pariwisata Indonesia meminta hotel memberikan diskon bagi penumpang yang telantar, dan menginstruksikan penerbangan murah untuk tidak mengambil keuntungan dari situasi ini melalui biaya pembatalan dan penjadwalan ulang. Menteri juga menetapkan perpanjangan otomatis bagi visa yang kedaluwarsa.


Read more: Letusan Gunung Agung: otoritas wisata Bali mengambil risiko rusaknya reputasi demi dolar turis


Namun juga ada perangkap yang berhubungan dengan respon terhadap kejadian tak terduga akibat perusahaan lain di pasar. Misalnya, satu perusahaan yang menangani kejadian ini dengan cara yang buruk bisa memiliki dampak negatif pada keseluruhan pengalaman pelanggan, terlepas dari upaya pemulihan yang dilakukan perusahaan lainnya.

Misalnya, pelanggan telah memesan dan membayar untuk akomodasi hotel tambahan sebagai antisipasi penundaan terbang, tapi kemudian mendapat pemberitahuan bahwa mereka dijadwalkan pada penerbangan bantuan karena sekarang kondisinya memungkinkan.

Akibat kebijakan non-refund di beberapa hotel, dan dari penjual akomodasi daring, para pelanggan ini menderita kerugian tak terduga dan mereka bisa punya kesan negatif terhadap pengalaman mereka (baik hotel maupun maskapai).

Juga sangat penting bagi perusahaan untuk menginformasikan konsumen tentang penyebab kekacauan yang spesifik, karena persepsi konsumen mengenai siapa yang bertanggung jawab berperan utama dalam tindakan yang akan mereka ambil.

Dalam kasus erupsi Gunung Agung, maskapai yang terbang ke Bali terus-terusan menunjuk kondisi cuaca dan penutupan bandara sebagai pihak yang bertanggung jawab secara langsung atas keputusan mereka untuk tidak terbang. Tiap saat, pesan kunci yang mendasari soal keamanan penumpang memiliki tujuan lain—memberikan atribusi bagi kegagalan pelayanan.

Meskipun perusahaan adalah pihak yang harus berinisiatif, pelanggan juga perlu mengerjakan bagian mereka. Paling tidak, pelanggan perlu memastikan bahwa rincian kontak liburan mereka adalah yang terkini, serta tekun memantau perkembangan. Pelancong juga harus sadar bahwa ada banyak sumber informasi pemerintah yang dirancang secara spesifik untuk menginformasikan tentang hal yang perlu dilakukan dalam situasi seperti Bali.

Secara keseluruhan, dari Bali kita mendapat pelajaran, apa yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh perusahaan di tengah situasi tak terduga seperti itu.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now