Menu Close
Banyak pertanyaan tentang efektivitas peraturan baru yang memberikan upah kepada pelapor tindak pidana korupsi yang belu terjawab. www.shutterstock.com

Pelapor kasus korupsi bisa dapat hadiah hingga Rp200 juta. Tapi apakah efektif?

Indonesia telah merevisi aturan mengenai pemberian insentif bagi pelapor kasus tindak pidana perkara korupsi melalui Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2018

Di bawah aturan yang baru ini, sang pelapor tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara dapat memperoleh hadiah senilai 0.2% dari uang negara yang dapat dikembalikan kepada negara dengan nilai tidak lebih dari Rp200 juta rupiah.

Sedangkan pada ketentuan sebelumnya, tidak ada batasan maksimal tentang nilai hadiah yang diberikan kepada pelapor korupsi.

Hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang betul-betul mengetahui alasan atau latar belakang adanya perubahan ini. Pemerintah sendiri belum memberikan penjelasan atau pernyataan resmi terkait hal ini. Namun, bagian konsideran peraturan pemerintah itu sendiri menjelaskan bahwa peraturan yang baru ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemberian kemudahan kepada masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mempermudah pelaksanaan pemberian penghargaan kepada masyarakat.

Sayangnya, walaupun alasan tersebut nampak mulia, namun sesungguhnya ketentuan pemberian insentif macam ini belum terbukti berhasil diimplementasikan.

Buruknya mekanisme dan ketidakjelasan penentuan pemberian hadiah serta kecilnya jumlah insentif yang diberikan dapat dikatakan menjadi beberapa alasan utama yang mengakibatkan kebijakan ini tidak dapat berjalan secara efektif.

Buruknya pengaturan teknis

Sejak abad pertengahan, surat qui tam, telah memberikan hak bagi seorang individu untuk mendapatkan sebagian uang yang berhasil diperoleh kembali pada kasus-kasus kejahatan finansial yang ia laporkan.

Ketentuan pemberian insentif macam ini bertujuan untuk mendorong pihak-pihak yang ingin membantu penegakan hukum. Hal tersebut sesungguhnya sejalan dengan asumsi dasar analisis ekonomi terhadap hukum yang berpandangan bahwa manusia pada umumnya memberi respons secara positif terhadap insentif. Ketentuan PP No. 43/2018 ini pun dibentuk berdasarkan adanya asumsi tersebut.

Namun, terdapat beberapa faktor yang masih belum dapat dijawab oleh PP No. 43/2018 terkait implementasi. Tidak ada ketentuan teknis yang jelas terkait penentuan dan mekanisme pemberian hadiah kepada pelapor tindak korupsi.

Sebagai contoh, ketentuan ini masih belum menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti bagaimana jika ada dua pelapor dari satu kasus korupsi?

Apakah keduanya diberikan hadiah atau salah satu saja? Jika keduanya diberikan hadiah, siapa yang berwenang untuk menghitung porsi besaran masing-masing yang diberikan hadiah? Atau apakah hadiahnya akan dibagi sama rata bagi masing-masing pelapor, walaupun bobot bukti yang diberikan masing-masing pelapor berbeda-beda? Jika dibagi secara berbeda-beda, siapa pula yang berwenang untuk menentukan bahwa suatu keterangan lebih berbobot ketimbang keterangan pelapor yang lainnya?

Sepanjang pertanyaan-pertanyaan ini belum bisa dijawab, maka ketentuan baru ini (tetap) tidak akan ada gunanya.

Hadiah yang terlalu kecil

Di negara-negara lain, hadiah yang diberikan bagi pelapor suatu perkara kejahatan finansial bisa mencapai 30% dari total uang yang dapat dikembalikan atau disita. Negara-negara ini paham betul akan pentingnya suatu bukti dari keterangan yang diberikan oleh pelapor kejahatan dalam suatu proses peradilan pidana.

Sedangkan di Indonesia, pemerintah melalui peraturan terbarunya justru membatasi jumlah hadiah yang dapat diberikan kepada seorang whistleblower dalam suatu perkara tindak pidana korupsi. Batasan yang ditetapkan adalah sebesar Rp200 juta atau tidak lebih dari 0.2% dari jumlah uang yang dikembalikan. Sedangkan untuk kasus penyuapan, batasan hadiah yang dapat diberikan kepada seorang pelapor tersebut menjadi lebih rendah lagi, yakni Rp10 juta.

Ketentuan sebelumnya justru lebih baik karena tidak memberi batasan Rp200 juta. Peraturan lama hanya memberikan batasan 0.2% dari jumlah uang dikembalikan. Hanya saja memang peraturan lama tidak memberikan hadiah untuk kasus suap.

Hal ini menandakan bahwa dengan aturan baru, insentif bagi whistleblower relatif sama walaupun skala kasus korupsi yang dilaporkannya berbeda. Hadiah yang diberikan bagi whistleblower perkara besar seperti kasus E-KTP yang merugikan keuangan negara senilai lebih dari Rp2 trilliun, akan sama besarnya dengan insentif yang diberikan kepada kasus suap kepala daerah senilai Rp100 milliar.

Dengan melihat proporsi angka diatas, kita dapat menilai bahwa tidak akan ada manfaat lebih bagi seorang whistleblower jika yang bersangkutan berhasil membongkar suatu kasus mega-skandal korupsi. Padahal, seseorang yang berani melaporkan kejahatan besar tersebut, besar kemungkinan menghadapi risiko yang lebih besar pula. Mengingat, kasus korupsi yang besar pasti akan melibatkan tokoh-tokoh besar pula.

Terlepas dari pembentukannya yang berdasarkan asumsi ekonomi pemberian insentif bagi seorang whistleblower, ketentuan PP No. 43/2018 ini mungkin tidak akan banyak berhasil mendorong masyarakat turut terlibat aktif membongkar kejahatan korupsi pada kasus-kasus yang besar.

Lebih jauh lagi, berdasarkan asumsi ekonomi yang sama, pembatasan besaran hadiah terhadap pelapor malah dapat mendorong orang untuk bekerja sama dengan pelaku tindak pidana korupsi. Orang bisa menyimpulkan bahwa mereka dapat memperoleh keuntungan lebih banyak jika mereka bekerja sama dengan para pelaku kasus korupsi daripada dengan jaksa.

Adanya batasan terhadap jumlah hadiah yang diberikan kepada whistleblower dapat membuat mereka yang juga berpikir logis dan ekonomis, mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan para penjahat yang memiliki jumlah uang lebih banyak dan dapat memberikan insentif lebih, ketimbang bekerja sama dengan penegak hukum.

Pemerintah wajib menghargai para whistleblower dan mendorong masyarakat bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan dengan memberikan insentif secara langsung kepada mereka, khususnya pada kasus korupsi.

Namun perlu diingat, bahwa ketentuan baru yang telah dibuat sekarang ini, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya yang ada, justru jelas akan membuat masyarakat untuk semakin tidak mau ikut campur dalam urusan penegakan hukum. Sebaliknya, ketimbang bekerja sama untuk memberantas kejahatan, masyarakat justru akan terdorong untuk bekerja sama dengan pelaku kejahatan guna mendapat manfaat finansial yang lebih besar.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now