Menu Close
Banyak orang antre mengikuti vaksinasi COVID-19 massal di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 26 Juni 2021. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

Mengapa pemerintah mesti segera beri vaksin COVID-19 untuk ibu hamil

Pada 22 Juni lalu, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) merekomendasikan pemberian vaksinasi COVID-19 bagi ibu hamil - kelompok rentan yang belum masuk dalam program vaksinasi nasional COVID-19 - setelah melihat meningkatnya kasus perempuan hamil terinfeksi virus corona.

Sampai kini Kementerian Kesehatan belum mengeluarkan petunjuk teknis vaksinasi bagi ibu hamil bagi petugas kesehatan di lapangan. Kementerian Kesehatan masih menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Ada ribuan tenaga kesehatan yang sedang hamil yang belum bisa divaksin karena kebijakan ini. Mereka menghadapi risiko yang besar dari kehamilannya sendiri dan dari tertular COVID-19 melalui pekerjaannya.

Sejumlah data yang tersedia di berbagi riset dari negara lain menunjukkan bahwa ibu hamil adalah kelompok berisiko tinggi dalam situasi wabah COVID-19.

Karena itu, sudah saatnya Kementerian Kesehatan segera menerbitkan kebijakan untuk memvaksinasi COVID-19 bagi perempuan hamil, serta mempercepat program vaksinasi ibu hamil, terutama untuk para tenaga kesehatan.

Risiko tinggi

Sebuah studi yang melibatkan sekitar 91.000 perempuan, sekitar 8.200 di antaranya hamil), di Amerika Serikat menunjukkan bahwa jika ibu hamil terpapar COVID19, mereka memiliki risiko 5,4 kali lipat lebih tinggi diopname di rumah sakit.

Selain itu, mereka punya 50% risiko lebih tinggi masuk ICU dan 70% risiko lebih tinggi memerlukan ventilator (alat bantu pernafasan) dibandingkan mereka yang tidak hamil. Risiko kematian akibat COVID-19 sama antara perempuan hamil dan yang tidak hamil.

Berbagai organisasi profesi kebidanan dan kandungan di dunia, seperti International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), juga telah menekankan tingginya risiko ibu hamil jika terpapar COVID-19 dan menyarankan vaksinasi COVID-19 untuk ibu hamil.

Di Amerika Serikat, Center for Disease Control, American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG), dan Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM) telah merekomendasikan vaksin COVID19 bagi ibu hamil. Di Inggris, Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) juga menekankan hal ini.

Data penderita COVID-19 pada ibu hamil

Ada beberapa studi dan rekomendasi organisasi profesi dokter dan bidan yang mendukung perlunya ibu hamil diimunisasi dengan vaksin COVID-19.

Salah satunya, studi dari Brasil yang menunjukkan 18,9% perempuan yang diopname karena COVID-19 ternyata sedang hamil, sementara angka kelahiran secara umum untuk populasi Brasil hanya 1,3%. Ini kemungkinan menunjukkan tingginya infeksi COVID-19 di kalangan ibu hamil.

Yang mengkhawatirkan adalah, menurut riset tersebut, hanya 22,6% dari jumlah ibu hamil yang meninggal karena COVID-19 sempat ditangani di ICU. Hal ini lebih jauh menggarisbawahi bahwa ibu hamil telah terkena dampak dari problem kapasitas pelayanan kesehatan yang sudah sangat terbebani di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah.

Selain itu, sebuah studi dari Inggris terhadap sekitar 5.800 bayi baru lahir menunjukkan bahwa bayi yang terlahir dari ibu yang terpapar COVID-19 memiliki risiko hampir lima kali lipat lebih besar untuk dirawat di ICU daripada bayi yang terlahir dari ibu yang tidak terpapar COVID-10.

Data keamanan vaksin COVID-19 untuk ibu hamil

Data awal menunjukkan vaksin-vaksin berbasis mRNA produksi Pfizer/BioNTech dan Moderna aman digunakan untuk ibu hamil.

Penggunaan vaksin produksi Sinovac, AstraZeneca, serta Johnson&Johnson/Janssen untuk kehamilan baru terbukti aman pada uji coba hewan yang hamil. WHO telah mengeluarkan rekomendasi penggunaan vaksin Sinovac untuk ibu-ibu hamil berisiko tinggi.

Selain itu, semua negara dan lembaga regulator sepakat bahwa tidak diperlukan tes kehamilan sebelum vaksinasi. Mereka juga sepakat bahwa penundaan kehamilan untuk keperluan vaksinasi tidak diperlukan.

Per 3 Juli 2021, 23,8% populasi dunia telah menerima vaksin. Dari jumlah ini tentu ada yang mengalami kehamilan setelah divaksin atau tidak menyadari dirinya tengah hamil ketika divaksin. Sampai kini belum ada laporan yang secara khusus menunjukkan masalah keamanan pada kelompok yang baru ketahuan hamil setelah divaksin.

Praktik di negara lain

Beberapa negara maju dan negara di Asia Tenggara telah membuka program vaksinasi untuk ibu hamil seperti Amerika Serikat, Belgia, Israel, Malaysia, Inggris, Singapura, dan Filipina.

Negara-negara ini telah mengeluarkan izin penggunaan jenis vaksin yang beragam: Moderna, Pfizer, Sinovac, Bharat, AstraZeneca, CanSino, Sputnik V, dan Janssen.

Dalam petunjuk vaksinasi terbarunya, pemerintah Malaysia memutuskan vaksin Pfizer/BioNTech, Sinovac, dan AstraZeneca dapat digunakan untuk ibu hamil.

Fisiologi kehamilan dan kerentanan infeksi

Imunitas selama kehamilan mengalami perubahan karena keberadaan janin dan produk kehamilan, meliputi penurunan sel-sel imun seperti sel-sel Natural Killer, sel-sel Dendritik dan perubahan hormonal.

Perubahan-perubahan ini secara teori berpotensi meningkatkan risiko keparahan ibu hamil yang terinfeksi COVID19. Selama wabah flu babi (H1N1) pada 2009, faktor imunitas ibu hamil adalah salah satu alasan mengapa tingkat keparahan di kalangan ibu hamil lebih tinggi.

Keberadaan janin yang semakin membesar akan mendesak rongga dada, sehingga menurunkan kapasitas pernafasan, dan memaparkan ibu-ibu hamil pada risiko infeksi pernafasan yang lebih berat.

Secara normal, perempuan hamil mudah mengalami penggumpalan darah. Sementara itu, salah satu manifestasi COVID-19 adalah penggumpalan darah yang meningkatkan risiko kematian. Jika keduanya bergabung, maka ibu hamil yang terinfeksi COVID19 memiliki risiko berlipat kali mengalami manifestasi ini.

Di Inggris telah dilaporkan kasus kematian pada ibu hamil karena penggumpalan darah di paru-paru akibat infeksi SARS-CoV-2.

Apakah risiko penggumpalan darah pada kehamilan normal akan melipatgandakan risiko penggumpalan darah karena vaksin AstraZeneca?

Sampai saat ini tidak ada faktor-faktor tertentu yang diketahui secara spesifik meningkatkan risiko penggumpalan darah setelah medapatkan vaksin AstraZeneca. Artinya, seorang ibu hamil tidak lantas meningkat risikonya mengalami penggumpalan darah ketika mendapat vaksin AstraZeneca.

Vaksinasi lain untuk ibu hamil dan perlunya riset

Program vaksinasi untuk ibu hamil bukan hal baru.

Sebelum pandemi COVID-19, ibu-ibu hamil di berbagai negara telah menerima suntikan vaksin untuk berbagai macam penyakit yang melindunginya dari infeksi pathogen yang dapat merugikan kehamilannya.

Selama ini belum pernah ada laporan yang secara khusus mengatakan bahwa ibu hamil memiliki risiko keamanan dari vaksin-vaksin yang ada.

Indonesia memiliki program vaksinasi TT (tetanus toxoid) untuk ibu hamil). Selain itu juga ada vaksin-vaksin lain yang direkomendasikan selama kehamilan, seperti vaksin influenza dan vaksin Tdap (untuk mencegah tetanus, difteri dan pertussis).

Untuk memperkuat keputusan pemberian vaksinasi COVID pada ibu hamil, Kementerian Kesehatan dan universitas perlu segera membuat riset secara cepat untuk meneliti data keamanan penggunaan jenis-jenis vaksin COVID-19 yang telah digunakan selama ini di masyarakat.

Sebab, kecuali untuk vaksin Pfizer dan Moderna, tidak ada satu pun uji klinis vaksin-vaksin yang ada sekarang memiliki data keamanan penggunaannya pada ibu hamil.

Per 4 Juli 2021, hampir 14 juta penduduk Indonesia telah menerima vaksin lengkap dua dosis dan 32 juta yang lainnya menerima satu dosis vaksin. Ini angka yang sangat besar untuk digunakan sebagai basis riset.

Dari jumlah ini, tentu ada yang mengalami kehamilan setelah divaksinasi atau tidak sadar dirinya sedang hamil ketika divaksin. Data dari kelompok ini dapat memberi informasi mengenai profil keamanan penggunaan vaksin di kalangan ibu hamil.

Kita tidak ingin kelambatan mengambil keputusan untuk vaksinasi ibu hamil memberikan dampak buruk yang luas di tengah masyarakat bagi ibu hamil dan bayinya, di tengah lonjakan varian delta yang mengganas saat ini di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now