Menu Close

Pemerintah perlu berikan kepercayaan dan dukungan bagi desa untuk “berbisnis”, BUM Desa berbadan hukum solusinya

Pintu masuk obyek wisata Pantai Ngiroboyo yang dikelola oleh BUM Desa Sumber Makmur, Sendang, Pacitan, Jawa Timur. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Kehadiran Badan Usaha Milik (BUM) Desa semakin menegaskan bahwa desa telah menjadi aktor penting dalam pembangunan nasional dan memiliki otonomi dalam bidang ekonomi untuk memanfaatkan potensi wilayahnya.

Berdasarkan peraturan terkait, BUM Desa didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa untuk mengelola aset desa dan memanfaatkan ekonomi desa demi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Bentuk usaha BUM Desa beraneka ragam, mulai dari toko barang bersubsidi, pariwisata, hingga bisnis pengelolaan sampah.

Saat ini, struktur organisasi BUM Desa diisi oleh masyarakat asli desa dan keputusan tertinggi berada di Musyawarah Desa.


Read more: Where to now for asylum seeker policy under Tony Abbott?


.

Akan tetapi, sekadar ada tidak cukup untuk memastikan hasil optimal yang dapat diberikan BUM Desa untuk masyarakat setempat. Penguatan BUM Desa dalam konteks legal perlu menjadi hal yang perlu diperhatikan pemerintah.

BUM Desa yang berbadan hukum diharapkan akan menjadi organisasi bisnis murni yang selayaknya dikelola secara profesional dan menunjang kemandirian masyarakat desa dalam berbisnis.

Apa urgensinya BUM Desa menjadi badan hukum?

Pengembangan BUM Desa untuk menjadi badan hukum merupakan bentuk dukungan pemerintah agar masyarakat desa dapat mengenali potensi tempat tinggalnya dan memanfaatkannya demi kesejahteraan desa. Perubahan BUM Desa menjadi sebuah badan hukum juga menunjukkan kepercayaan pemerintah kepada masyarakat desa bahwa masyarakat desa mampu untuk mengelola organisasi bisnis dan mengembangkannya.

Berikut ini adalah beberapa manfaat ketika BUM Desa menjadi berbadan hukum:

Pertama, segala kegiatan atau aktivitas dari BUM Desa akan bersifat resmi dan sah secara hukum. Dengan demikian, manajemen BUM Desa dapat menambah unit usaha atau lini bisnis baru yang didasarkan pada potensi desa – dan hal ini bisa dijamin legalitasnya.

Manajemen BUM Desa yang memiliki unit usaha akan dapat memaksimalkan kegiatan dari unit usaha mereka dan menilai unit usaha mana yang memiliki potensi keuntungan tinggi di masa depan. Bukan tidak mungkin, unit usaha BUM Desa tersebut juga nantinya dapat berbadan hukum.

Kedua, BUM Desa dapat menjalin kerja sama dengan organisasi bisnis lain.

BUM Desa yang telah berbadan hukum memiliki keleluasaan untuk menjalin kerja sama dengan bisnis lain dalam bentuk nota kesepahaman ataupun bentuk lainnya yang legal dan sah secara hukum. Kolaborasi ini tentunya harus tetap memperhatikan potensi ekonomi desa dan kapabilitas yang dimiliki oleh BUM Desa.

Ketiga, BUM Desa dapat membuka usaha di luar wilayah desa. Hal ini tentu menjadi kesempatan bagi BUM Desa untuk memperluas pasar dan meningkatkan potensi keuntungan.

Keempat, legalitas yang dimiliki dapat membantu memperbaiki tata kelola organisasi BUM Desa.

Hal ini dapat mendorong pembagian tugas yang jelas antara manajemen BUM Desa dan pengawas BUM Desa. Dalam konteks ini, peran masyarakat desa untuk monitoring BUM Desa juga akan menjadi krusial.

Kelima, status badan hukum dapat memotivasi manajemen BUM Desa untuk meningkatkan kompetensi dalam menyusun pelaporan keuangan yang baik. Pelaporan keuangan ini tidak hanya untuk pertanggungjawaban kepada Musyawarah Desa, namun dapat pula dipergunakan sebagai dasar untuk menjalin kerja sama dengan organisasi bisnis lain dan laporan kepada pemerintah daerah.

Tantangan dalam mewujudkan BUM Desa berbadan hukum

Beberapa poin manfaat yang akan diperoleh dari status badan hukum tidak akan dapat dimiliki oleh BUM Desa jika BUM Desa dan komponennya tidak melakukan perbaikan dalam beberapa hal.

Berdasarkan wawancara dan observasi yang saya lakukan pada bulan Juni 2022 pada BUM Desa di Kabupaten Buleleng, Bali, dengan empat informan dari ketua BUM Desa, saya mengidentifikasi lima hal yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan manajemen BUM Desa sebelum memperoleh legalitasnya.

Permasalahan pertama adalah terkait sumber daya manusia.

BUM Desa belum memiliki sumber daya manusia yang siap untuk mendukung badan hukum baik dari sisi kompetensi maupun kuantitas. Kita dapat memahami hal ini terjadi dikarenakan masih senjangnya kualitas pendidikan di desa. Selain itu, penunjukan pengurus BUM Desa tidak melihat kompetensi individu dan ada turut campur dari pemerintahan desa. Ketika berbadan hukum, maka BUM Desa harus memiliki sumber daya manusia yang memahami aktivitas BUM Desa sebagai organisasi badan hukum.

Kedua, pemerintah desa selaku pemilik bisnis belum memahami pengelolaan BUM Desa.

Terkadang, kepala desa belum memahami sejauh mana intervensi yang dapat dilakukan kepada manajemen BUM Desa. Intervensi dari kepala desa ini bahkan dapat berlebihan dan mengganggu aktivitas BUM Desa sebagai organisasi bisnis.

Dalam konteks ini, maka pengurus BUM Desa harus independen dan tidak larut dalam dinamika politik di desa. Praktik ini masih terjadi dan terkadang dipergunakan untuk keuntungan bagi kepala desa. Kepala desa seharusnya memiliki pemahaman sejauh mana perannya dalam pengelolaan BUM Desa.

Permasalahan berikutnya adalah administrasi dan pelaporan keuangan BUM Desa yang belum tertib.

Beberapa manajemen BUM Desa belum memahami mengenai tata cara pelaporan keuangan dan administrasi dari aktivitas organisasi. Pencatatan transaksi keuangan masih dilakukan secara manual dan belum terdokumentasi dengan baik.

Permasalahan ini juga terjadi karena belum adanya sistem yang terkomputerisasi di BUM Desa. Memang, menurut Badan Pusat Statistik, hanya ada 8% populasi pedesaan yang sudah menggunakan pranata komputer. Belum lagi, masih terdapat hampir 20.000 desa yang unit rumah tangganya belum dialiri listrik.

Tantangan keempat adalah belum mampunya manajemen BUM Desa mengelola potensi ekonomi desa.

Pada faktanya, masih ada manajemen BUM Desa yang belum mampu untuk mengelola potensi ekonomi desa, baik dari sisi kompetensi maupun infrastruktur. Sebagai contoh, sebuah desa memiliki potensi ekonomi wisata alam, namun dikarenakan manajemen BUM Desa belum memiliki kompetensi dalam bidang pariwisata dan infrastruktur yang mencukupi, potensi desa tersebut belum dapat dikelola oleh BUM Desa.

Terakhir, peran masyarakat desa dalam mengawasi BUM Desa belum maksimal. Bahkan, terkadang masyarakat desa belum menggunakan layanan yang diberikan oleh BUM Desa dan ada kekhawatiran mengenai kerugian BUM Desa secara finansial.

Ini menunjukkan bahwa rasa memiliki masyarakat terhadap BUM Desa masih perlu ditingkatkan. Untuk itu, perlu ada kegiatan yang disusun agar meningkatkan partisipasi warga dalam pengawasan BUM Desa.

Saran dan masukan kepada pemangku kebijakan terkait

Saya mendukung upaya pemerintah untuk mengembangkan BUM Desa sebagai organisasi berbadan hukum.

Namun, “memaksa” semua BUM Desa menjadi organisasi berbadan hukum juga perlu dipertimbangkan kembali mengingat adanya beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi oleh BUM Desa.

Pemangku kebijakan perlu meningkatkan peran pemerintah desa dan pemerintah kabupaten dalam pelatihan sumber daya manusia terkait BUM Desa. Diperlukan pelatihan SDM yang berkelanjutan dan disesuaikan dengan perkembangan BUM Desa.

Selain itu, perlu adanya upaya untuk memastikan pengelolaan BUM Desa berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pemahaman pemerintahan desa mengenai kemampuan manajerial serta dengan memberikan pengawasan yang berkelanjutan terkait dengan pelaporan keuangan BUM Desa. Selain itu, perlu adanya seleksi manajemen BUM Desa yang transparan dan sesuai kompetensi yang diperlukan.

Pemangku kebijakan juga perlu memperhatikan upaya pengembangan unit bisnis desa dengan pendampingan dalam penyusunan nota kesepahaman antara manajemen BUM Desa dengan organisasi bisnis lain.

Rasa memiliki dan keterlibatan masyarakat setempat juga perlu menjadi perhatian dengan menyusun mekanisme agar penduduk desa dapat meningkatkan perannya untuk monitoring aktivitas BUM Desa. Contoh partisipasi ini, misalnya, bisa ditempuh dengan melibatkan masyarakat untuk memberikan umpan dan masukan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now