Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya.
Beberapa waktu lalu, Romo Magnis berpesan jika Indonesia tidak memiliki partai oposisi, maka perlahan demokrasi di negara ini akan sirna. Tidak akan ada lagi prinsip rule of law, yang ada hanyalah rule by law, yakni ketika pemerintah berada di atas hukum itu sendiri dan bebas berbuat apa saja.
Dampak paling mengerikan adalah tidak didengarnya suara-suara rakyat. Semua keputusan berada di kalangan elite dan mereka yang terus berkuasa.
Hal mengerikan tersebut bukan tidak mungkin terjadi di masa pemerintahamn Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Baru-baru ini saja Prabowo memberi sinyal akan menghilangkan oposisi, dengan mengatakan bahwa oposisi bukan budaya Indonesia.
Tampaknya ia akan mengikuti jejak Presiden Joko “Jokowo” Widodo yang merangkul semua partai politik masuk ke koalisi pemerintah. Saat ini, 8 dari 9 parpol di parlemen telah menjadi pendukung pemerintahan (ruling coalition).
Prabowo kemungkinan akan memiliki koalisi gemuk pendukung pemerintah. Ini satu hal yang sudah bisa diprediksi sejak masa Pemilu 2024. Dan ini akan membawa dampak mengerikan bagi tata kelola pemerintahan di Indonesia serta menyuburkan praktik korupsi.
Membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan
Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 Februari lalu, delapan parpol berhasil meraih kursi di parlemen, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Demokrat.
Dari delapan parpol yang mengisi 580 kursi di DPR RI, hanya PDIP saja yang kemungkinan besar akan menjadi oposisi. Meskipun kursi PDIP paling banyak, yakni 110, komposisinya tetap sangat timpang. Koalisi pemerintah tetap akan mengapitalisasi kekuasaan, terutama melalui posisi-posisi strategis lembaga negara.
Jika terjadi, maka ini tidak hanya akan berdampak pada hilangnya checks and balances, tetapi juga membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis.
Ketika kekuasaan tidak mendapatkan tantangan yang berarti, pemerintah cenderung memperkuat cengkeramannya dengan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi dan membungkam suara-suara kritis. Pada tahap ini, pemerintah tidak lagi merasa terikat oleh hukum dan cenderung menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi tindakan represifnya.
Melahirkan rezim otoriter
Kita bisa melihat dan belajar dari beberapa sejarah dan pengalaman negara lain, terutama tentang bagaimana ketiadaan oposisi yang efektif di dalam sistem politik dapat memperbesar risiko munculnya rezim yang otoriter.
Sejarah telah menunjukkan bahwa di negara-negara dengan sistem satu partai, seperti Jerman di bawah pemerintahan Hitler dan Italia di bawah Mussolini, cenderung mengarah pada kediktatoran.
Dalam rezim otoritarian modern, manipulasi politik sering dilakukan melalui pemanfaatan institusi yang tampak demokratis, namun pada kenyataannya dirancang untuk menjaga kekuasaan rezim. Contohnya, rezim berkuasa menggunakan mekanisme pemilu yang tampaknya sah, namun disertai dengan intimidasi, korupsi, atau penipuan untuk memastikan kemenangan.
Di beberapa kasus, fenomena ini terlihat di negara-negara pasca-Soviet. Partai oposisi sering “dikendalikan” untuk memberikan ilusi kompetisi politik, sementara mereka sebenarnya tidak mampu mengimbangi kekuasaan rezim.
Rezim otoriter sering kali menggunakan korupsi dan intimidasi untuk mempertahankan kendali, sementara oposisi yang ada dibuat tidak efektif dan tidak dapat berfungsi sebagai penyeimbang yang kredibel.
Contoh dari fenomena ini dapat dilihat di Rusia, pada masa rezim Vladimir Putin. Meskipun pemilu diadakan secara reguler, oposisi dibuat tidak berdaya melalui berbagai cara, mulai dari intimidasi, pembatasan akses terhadap media, hingga penangkapan para aktivis oposisi. Rezim menggunakan struktur hukum untuk melegitimasi tindakan represifnya, membuat partai oposisi tampak legal namun secara de facto tidak memiliki kapasitas untuk menantang kekuasaan.
Di Belarus, pada masa kepemimpinan Alexander Lukashenko, pemilu hanya digunakan sebagai alat untuk memperpanjang kekuasaan. Partai-partai oposisi diizinkan untuk berpartisipasi secara jumlah, namun rezim yang berkuasa sering membatasi kampanye, mengontrol akses ke media, dan melakukan intimidasi fisik terhadap para pendukung oposisi. Pemilu yang terjadi hanyalah ilusi demokrasi dengan hasil yang telah diatur dari awal.
Rakyat semakin tak terlibat
Kekuatan oposisi yang sangat minim tidak hanya melemahkan sistem politik secara keseluruhan, tetapi juga membawa dampak negatif bagi masyarakat sipil.
Ketika tidak ada lagi ruang untuk perbedaan pendapat atau kritik, masyarakat sipil kehilangan suara mereka dalam proses politik. Hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi, sering kali dibatasi. Akibatnya, masyarakat tidak lagi memiliki mekanisme untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka secara damai dan terorganisir. Ini dapat memperburuk ketidakpuasan sosial dan meningkatkan risiko terjadinya kerusuhan.
Kondisi ini juga memperburuk korupsi dan inefisiensi pemerintahan, karena tidak ada mekanisme yang efektif untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan. Tanpa oposisi yang kuat, kebijakan publik cenderung diambil berdasarkan kepentingan elit yang berkuasa, bukan demi kesejahteraan rakyat. Hal ini menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin besar, yang pada akhirnya memperburuk stabilitas politik dan sosial.
Selain dampaknya terhadap korupsi dan hak-hak masyarakat sipil, hilangnya oposisi yang kuat juga menimbulkan efek yang merugikan pada kualitas institusi demokrasi di sebuah negara yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas dan pengendali kekuasaan.
Di Indonesia, lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai pengawas dan pengendali kekuasaan mencakup sejumlah institusi demokrasi yang krusial, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Ombudsman. KPK, misalnya, bertanggung jawab dalam memberantas korupsi di kalangan pejabat publik, sementara KPU memastikan proses pemilu berjalan secara jujur dan adil. Ombudsman berperan dalam menangani pelanggaran administratif oleh aparatur negara.
Namun, rezim otoriter melemahkan institusi tersebut atau bahkan menyalahgunakannya untuk mempertahankan dominasi. Akibatnya, proses legislasi, peradilan, dan media, yang semestinya berfungsi secara independen, menjadi alat politik untuk mengukuhkan kekuasaan rezim.
Dalam hal legislatif, kubu oposisi yang lemah tidak mampu memengaruhi kebijakan, sehingga legislasi hanya mencerminkan kepentingan penguasa. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak mewakili kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada memperpanjang kekuasaan rezim atau menguntungkan kelompok elite tertentu.
Mengancam kerja media
Selain lembaga peradilan dan legislatif, media juga menjadi sasaran utama rezim otoriter dalam mengontrol opini publik. Kebebasan pers yang merupakan fondasi penting bagi demokrasi sering kali diberangus, dan media-media yang kritis terhadap pemerintah dihadapkan pada ancaman hukum, sensor, atau intimidasi fisik.
Rezim berkuasa akan mengontrol narasi yang disebarkan ke publik, memastikan bahwa hanya berita-berita yang menguntungkan pemerintah yang tersebar luas. Dengan cara ini, rezim dapat membentuk opini publik yang mendukung pemerintah atau minimal menghilangkan kritik yang terbuka terhadap kebijakan mereka.
Ketika media tidak lagi bebas, masyarakat akan kesulitan mendapatkan informasi yang objektif dan transparan mengenai situasi politik, sosial, dan ekonomi negara. Kurangnya akses terhadap informasi yang benar membuat rakyat semakin terisolasi dan tidak memiliki kemampuan untuk menantang kekuasaan secara efektif. Hal ini juga memperburuk kondisi sosial, karena masyarakat menjadi mudah terpecah oleh propaganda dan narasi yang dikendalikan oleh penguasa.
Memicu ketimpangan sosial
Dampak dari hilangnya oposisi yang efektif juga akan sangat memengaruhi kondisi sosial dan ekonomi negara. Ketika elite penguasa menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, sumber daya negara tidak lagi dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat umum. Korupsi yang merajalela dan kebijakan ekonomi yang tidak memihak kepada rakyat menyebabkan akan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Ketimpangan ini memicu ketidakpuasan yang semakin besar di kalangan masyarakat, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Ketidakpuasan sosial yang tidak tersalurkan secara damai karena represi politik akhirnya dapat berujung pada instabilitas politik dan konflik sosial. Ketika rakyat merasa bahwa aspirasi mereka tidak didengarkan dan hak-hak mereka terus-menerus dilanggar, mereka akan mencari cara lain untuk mengekspresikan ketidakpuasan tersebut, sering kali melalui protes-protes yang berujung pada kerusuhan atau bahkan pemberontakan.
Dalam beberapa kasus, represi yang berlebihan terhadap demonstran atau oposisi justru memicu reaksi yang lebih keras dari masyarakat, yang semakin memperburuk situasi keamanan dan stabilitas negara.
Pada akhirnya, menjaga checks and balances dalam pemerintahan adalah kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elite, dan hal ini menjadi tantangan penting dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendatang.
Dengan semakin menyusutnya kekuatan oposisi di Indonesia, ancaman hilangnya mekanisme pengawasan independen menjadi nyata. Fungsi penting lembaga-lembaga seperti DPR, KPK, dan Mahkamah Konstitusi dapat tergerus jika mereka tidak lagi memiliki independensi atau jika mereka diisi oleh aktor-aktor yang setia kepada penguasa. Dalam sistem demokrasi yang sehat, oposisi berperan penting untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang adil.
Tanpa oposisi yang kuat, potensi penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Karena itu, kita perlu memperkuat institusi demokrasi yang mampu menjaga keseimbangan kekuasaan. Lembaga seperti DPR harus tetap menjalankan fungsi pengawasan yang efektif, sementara KPK perlu tetap independen dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi di lingkup eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jika tidak, risiko munculnya pemerintahan yang otoriter dan tertutup akan semakin besar.
Masa pemerintahan Prabowo harus menyadari bahwa sebuah negara yang kuat tidak hanya diukur dari koalisi besar yang mendukung pemerintahannya, tetapi juga dari kemampuan sistem politik untuk mengakomodasi kritik dan memastikan bahwa semua elemen masyarakat memiliki kesempatan yang setara dalam proses politik. Hanya dengan adanya mekanisme checks and balances yang kuat, kebijakan-kebijakan pemerintah dapat disusun untuk kepentingan rakyat banyak dan menjauhkan Indonesia dari ancaman otoritarianisme.