Menu Close
Area perumahan kumuh di Jakarta. Photo by Tom Fisk from Pexels.

Penduduk Jawa-Bali semakin miskin selama pandemi

Pandemi COVID-19 menyebabkan munculnya penduduk miskin baru hampir di semua provinsi di Indonesia. Sejalan dengan pusat penyebaran virus, dampak penurunan ekonomi rumah tangga terparah dialami oleh mereka yang tinggal di wilayah Jawa-Bali.

Pada 22 Januari 2022 lalu, Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa 70-80% kasus positif COVID-19 di Indonesia berpusat di Pulau Jawa dan Bali.

Hal ini dapat dimengerti mengingat Jawa-Bali, khususnya Jawa, merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, populasi di wilayah Jawa-Bali mencapai 155.908.666 jiwa, atau setara dengan 57,7% dari total penduduk Indonesia.

Selain karena tingkat kepadatan, penduduk di Pulau Jawa juga cenderung memiliki mobilitas yang tinggi dibandingkan pulau besar lainnya di Indonesia. Faktor budaya seperti mudik, misalnya, menjadi salah satu penyebab tingginya penyebaran kasus COVID-19 di pulau dengan populasi paling padat di dunia tersebut.

Total 128 kabupaten dan kota di wilayah Jawa-Bali mengalami peningkatan angka kemiskinan, yang terjadi akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan gaji selama pandemi.

Sebaran kemiskinan di Jawa-Bali akibat pandemi

Secara karakteristik, area Jawa-Bali didominasi oleh wilayah urban. Jawa-Bali memiliki 35 kota dengan wilayah pinggirannya masing-masing.

Misalnya, wilayah Metropolitan Jakarta, yang dianggap sebagai episentrum COVID-19, secara administratif melingkupi tidak hanya DKI Jakarta tetapi juga Bogor, Depok, Tangerang Raya, dan Bekasi.

Sejak pandemi, wilayah Jawa-Bali menjadi simpul kemiskinan baru karena perekonomian kota yang terdampak. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 bukan sekadar krisis kesehatan semata, melainkan juga bencana urban yang memengaruhi kehidupan masyarakat di perkotaan.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jika dibandingkan dengan data September 2019, seluruh provinsi di Jawa dan Bali mengalami peningkatan kemiskinan ketika gelombang pertama pandemi terjadi pada Maret 2020.

Pada level provinsi, kenaikan penduduk miskin tertinggi dialami oleh DKI Jakarta (1,11 persen poin), Jawa Barat (1,06 persen poin), dan Banten (0,98 persen poin).

Sementara itu, provinsi lain di Jawa seperti Jawa Timur (0,89 persen poin), Daerah Istimewa Yogyakarta (0,84 persen poin), dan Jawa Tengah (0,83 persen poin) juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi.

Perbandingan persentase penduduk miskin di wilayah Jawa Bali (level kab/kota) tahun 2019 dan 2021.

Seiring berjalannya pandemi, peningkatan angka kemiskinan tidak hanya melanda kota-kota besar.

Pada periode Maret-September 2020, peningkatan angka kemiskinan tertinggi terjadi di pulau-pulau kecil dan kota pesisir seperti di Kepulauan Seribu (2,78 persen poin), Kabupaten Sampang (2,07 persen poin), Jakarta Utara (1,74 persen poin), Kabupaten Bangkalan (1,66 persen poin), dan Kabupaten Indramayu (1,59 persen poin).

Pola yang sama terulang pada tahun 2021. Jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi di tahun 2019, peningkatan angka kemiskinan tertinggi lagi-lagi terjadi di pulau-pulau kecil dan kota pesisir, yaitu Kabupaten Sampang (3,05 persen poin), Kepulauan Seribu (2,97 persen poin), Kabupaten Bangkalan (2,67 persen poin), dan Kabupaten Cirebon (2,36 persen poin).

Sementara di Bali, daerah yang paling tinggi peningkatannya adalah Kabupaten Buleleng (0,93 persen poin) yang membentang di sepanjang pesisir utara Pulau Bali, diikuti dengan Kota Denpasar (0,86 persen poin) sebagai pusat pertumbuhan pariwisata, dan Kabupaten Badung (0,84 persen poin).

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan melonjaknya angka kemiskinan di seluruh wilayah Jawa-Bali.

Menurut hasil survei dampak COVID-19 terhadap tenaga kerja yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2020, sebanyak 15,6% dari 1112 responden mengalami PHK dan pengurangan gaji pada tahun pertama pandemi.

Kementerian Tenaga Kerja juga menyebutkan bahwa angka PHK sampai Agustus 2020 mencapai 3,6 juta orang, meningkat pesat jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 45.000 orang.

Menurut hasil survei BPS, sebanyak 36,49% penduduk bekerja mengalami pengurangan gaji akibat adanya Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang ditetapkan pemerintah.

Sementara, dalam konteks angka kemiskinan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pembatasan sosial yang menyebabkan terbatasnya jadwal operasional kapal penumpang dan kargo secara tidak langsung berkontribusi pada naiknya angka kemiskinan di wilayah tersebut.

Bukan sekadar angka

Statistik yang ada selama ini bukanlah sekadar angka, melainkan potret dari apa yang sedang terjadi pada masyarakat kita.

Salah satu informan kami, MR (26 tahun), warga pendatang dari Jawa Tengah yang berprofesi sebagai terapis di Jakarta, mengaku kehilangan pekerjaan saat merebaknya pandemi COVID-19 gelombang pertama di Jakarta.

MR dirumahkan secara sepihak dan kehilangan penghasilan karena hotel-hotel tempat dia bekerja tutup.

“Biasanya, saya sebulan bisa dapat lebih dari UMR (Upah Minimum Regional). Sekarang, mau cari uang seratus ribu saja susah,” ujar MR. Saat ini, UMR Jakarta berkisar di angka Rp 4,6 juta.

MR menambahkan, kondisi pandemi memaksanya untuk menggunakan taksi daring ketika berpergian, alih-alih ojek daring dan transportasi umum lainnya yang lebih terjangkau. Besarnya ongkos yang dikeluarkan menambah sulit beban hidupnya.

Kartu Prakerja yang dikemas menjadi “bantuan sosial” pada masa pandemi juga tidak sepenuhnya membantu.

MR mengatakan bahwa Kartu Prakerja sulit sekali diakses dan hanya memberikan harapan palsu. Ia mengaku telah empat kali mendaftar Kartu Prakerja, namun kuota selalu penuh.

Di Bandung, informan NN (38 tahun) mengatakan bahwa beberapa tetangganya yang bekerja sebagai buruh bangunan kini tidak bisa bekerja di kota lagi. Banyak dari mereka yang pulang ke kampung masing-masing dan beralih jadi buruh tani.

Sementara itu, di Jawa Timur, masyarakat yang tinggal di pulau kecil seperti Madura dan Bawean juga sangat terdampak. Bahkan, salah satu kabupaten di Madura, Pamekasan, hingga saat ini masih menerapkan PPKM Level 3.

Beberapa penggalan cerita tersebut menunjukkan bahwa pandemi telah menyebabkan berbagai kesulitan ekonomi yang memiskinkan masyarakat.

Menurut kami, alih-alih fokus pada investasi dan membangun megaproyek besar yang manfaatnya belum tentu bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, pemerintah seharusnya berfokus pada pemulihan ekonomi skala lokal untuk mengantisipasi kemiskinan di level akar rumput.

Dana pemulihan ekonomi nasional (PEN), yang sempat mengundang polemik akibat adanya wacana penggunaannya untuk pendanaan pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur, harus dialokasikan sesuai fungsinya dan tidak digunakan untuk mendukung proyek yang tidak berdampak langsung terhadap mitigasi pandemi.

Hal ini mengingat kemiskinan adalah sebuah keniscayaan dan ketidakpastian dari COVID-19 yang masih berlanjut hingga hari ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now