Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit prioritas yang harus dituntaskan pemerintah Indonesia bahkan dunia. Infeksi mematikan akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis ini bisa menyerang berbagai organ tubuh, terutama paru-paru yang paling sering terinfeksi.
Pada tahun 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sebanyak 10,6 juta orang di seluruh dunia terjangkit TB. Di tahun yang sama, TB menyebabkan 1,3 juta orang meninggal dunia.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2021 memperkirakan ada 969.000 pasien TB di Indonesia. Namun, setahun berselang, penemuan kasus TB hanya mencapai 724.309 kasus atau 75%. Artinya, terdapat 25% kasus yang belum terdeteksi ataupun tidak terlaporkan di tahun 2022.
Terbaru, Kemenkes melaporkan total penemuan kasus TB di Indonesia meningkat menjadi 809.000 pada 2023. Dengan begitu, Kemenkes berhasil menemukan 90% kasus baru TB selama dua tahun terakhir.
Sejumlah faktor menyebabkan kenaikan temuan kasus TB, seperti perbaikan sistem deteksi dan pelaporan data yang real time hingga pengadaan laboratorium dan fasilitas kesehatan yang lebih baik.
Selain itu, peningkatan kasus TB disebabkan ada banyak kasus yang tidak dilaporkan (under-reporting) akibat pelayanan TB di Indonesia mengalami perubahan besar selama pandemi COVID-19. Hal ini memperlambat penanganan TB hingga menyebabkan penularan setempat.
Penyebab meningkatnya risiko kena TB
Gaya hidup seperti merokok turut meningkatkan risiko masyarakat Indonesia terkena TB. Pun, sejumlah masalah kesehatan, seperti malnutrisi, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan diabetes bisa meningkatkan risiko seseorang terkena TB, berikut alasannya:
1. Merokok
Perokok aktif bahkan pasif rentan terkena TB karena aktivitas ini melemahkan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, asap rokok bisa mengganggu kerja silia yang bertugas menghalau benda asing dari saluran pernapasan, termasuk bakteri.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa orang yang merokok setiap hari kebanyakan berusia 45-54 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Menurut laporan Kemenkes pada 2022, kelompok paling banyak yang mengidap TB adalah umur 45-54 tahun dengan 16,5% dan laki-laki dengan 42,2%.
2. Malnutrisi
Malnutrisi alias kondisi kekurangan nutrisi, terutama pada anak, menyebabkan kerentanan terhadap penyakit infeksi, termasuk TB. Ketika indeks massa tubuh (IMT) berkurang akibat malnutrisi, risiko tertular TB semakin besar.
Anak pengidap malnutrisi merupakan kelompok berisiko terinfeksi TB. Data Kemenkes pada 2022 menunjukkan terdapat 110.881 anak pengidap TB di Indonesia. Penemuan kasusnya meningkat sebanyak 158,4% dari tahun 2021-2022.
3. Infeksi HIV
TB menjadi salah satu penyakit paling mematikan bagi orang dengan HIV (ODHIV). HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh ODHIV sehingga infeksi TB sulit dilawan.
Read more: Kombinasi HIV dan TB percepat kematian orang dengan HIV, bagaimana mencegahnya?
ODHIV memiliki kemungkinan berisiko 18 kali lebih besar terinfeksi TB yang bergejala (TB aktif) dibandingkan dengan orang tanpa HIV.
Sayangnya, ODHIV yang menjalani skrining TB tahun 2022 secara nasional hanya 74% atau sekitar 75.376 orang. Jumlah ini masih jauh dari target nasional sebesar 100% atau sekitar 102.198 orang.
4. Diabetes
International Diabetes Federation (IDF) melaporkan bahwa Indonesia terus mengalami peningkatan jumlah kasus diabetes. Indonesia menduduki peringkat ke-5 negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak, yaitu 19,5 juta orang di tahun 2021. Jumlahnya meningkat sebanyak 11,7% pada 2023. Jumlah ini bahkan diprediksi akan meningkat menjadi 28,6 juta pada tahun 2045.
Kemenkes melaporkan sebanyak 5.186 pengidap diabetes telah menjalani skrining gejala TB menggunakan sinar-x, tetapi kasus TB yang ditemukan hanya sebesar 3% atau sekitar 155 orang. Jumlah ini masih jauh dari angka yang ditargetkan sebanyak 214.105 orang.
Pengidap diabetes berisiko dua hingga empat kali lipat lebih besar terkena TB aktif. Soalnya, diabetes bisa melemahkan kekebalan tubuh sehingga pengidapnya lebih mudah terinfeksi TB.
Langkah selanjutnya
Meningkatnya penemuan kasus TB menunjukkan perkembangan program TB di Indonesia. Namun, pemerintah harus lebih fokus dan gencar dalam manajemen penanganan TB, terutama pada orang-orang yang berisiko tinggi mengalami kesakitan hingga kematian akibat penyakit ini.
Kemenkes sebenarnya telah menyusun Peta Jalan Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia 2020-2030. Kasus TB ditargetkan menurun jadi 65 per 100.000 penduduk pada tahun 2030. Kematian akibat TB juga ditargetkan turun menjadi 6 per 100.000 penduduk.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu mempercepat penanganan TB lewat sejumlah strategi berikut:
1. Perbanyak ‘active case finding’
Pemerintah Indonesia harus lebih masif melakukan deteksi dini TB lewat active case finding (ACF), yaitu rangkaian pemeriksaan riwayat penyakit dan gejala TB. Aktivitas ini meliputi pemeriksaan dahak dan tuberkulin, protein murni yang dihasilkan bakteri penyebab TB. ACF juga melibatkan rontgen dada pakai sinar-x portabel.
Selama ini deteksi dini TB terhambat oleh keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan. Karena itu, perlu dilakukan upaya “jemput bola” yang lebih masif lewat ACF.
ACF dilakukan dengan menentukan wilayah prioritas yang memiliki kasus TB terbanyak. Lalu, menentukan target sasaran ACF, yaitu populasi kunci dan rentan menggunakan tes skrining yang lebih sensitif dan praktis, seperti rontgen dada portabel dengan atau tanpa bantuan kecerdasan artifisial (AI) computer-aided diagnosis (CAD) yang masih memerlukan pengembangan lebih lanjut.
Pemerintah juga perlu memprioritaskan delapan provinsi, terdiri atas 193 kabupaten/kota dengan kasus TB terbanyak sebesar 62% dari total kasus di seluruh Indonesia.
2. Tingkatkan pengobatan secara tuntas
Angka keberhasilan pengobatan TB bisa mencapai 90% atau lebih jika pengobatan dilakukan secara tuntas. Pengobatan tuntas TB membutuhkan waktu cukup lama, yaitu enam bulan.
Pengobatan yang tidak tuntas, termasuk kebiasaan terlambat minum obat, sering menjadi akar masalah TB resistensi obat. Artinya, bakteri penyebab TB menjadi kebal terhadap serangan obat sehingga penyakit ini makin sulit disembuhkan. Pengobatan yang tidak tuntas bisa disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, perilaku masyarakat dalam mencari pengobatan yang didasari oleh minimnya pengetahuan seputar TB. Survei Prevalensi TB 2013-2014 menunjukkan bahwa hanya 26% pasien mencari pengobatan di fasilitas kesehatan, 43% tidak mencari pengobatan, dan 31% melakukan pengobatan sendiri. Kedua, kurangnya kapasitas penyedia layanan kesehatan turut menyebabkan tidak tuntasnya pengobatan pasien TB.
Laporan Kemenkes pada 2022 menunjukkan total kasus TB yang sudah tercatat dan diobati, hanya mencapai 86%. Berdasarkan fasilitas kesehatannya, angka keberhasilan pengobatan (treatment success rate) yang mencapai target nasional 90% hanya di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
3. Perbanyak investigasi kontak dan terapi pencegahan
Investigasi kontak sebanyak 90% atau lebih harus dilakukan untuk menemukan pasien TB aktif maupun pasien infeksi laten TB (ILTB), kondisi ketika gejala TB tidak muncul karena tubuh pasien mampu mengendalikan Mycobacterium tuberculosis, tetapi sistem kekebalannya tidak sanggup mengeliminasi bakteri secara sempurna.
Mengidentifikasi dan mengobati pasien ILTB sangat penting untuk mencegah perkembangan infeksi menjadi TB aktif.
Pengobatan untuk ILTB menggunakan terapi pencegahan TB (TPT) yang pengobatannya harus dilakukan 80% atau lebih. TPT ditujukan untuk anak usia di bawah 5 tahun yang kontak erat dengan pasien TB aktif, ODHIV yang tidak terdiagnosis TB, dan populasi rentan lainnya.
Data Kemenkes pada 2022 menyebutkan kasus yang terdeteksi lewat investigasi kontak masih kecil, yaitu 35%. Pun, pemberian TPT pada kontak serumah hanya sebesar 1,3%. Pemerintah harus terus mengejar target investigasi kontak dan terapi pencegahan TB.
4. Vaksinasi BCG menyeluruh
Kendati tidak selalu bisa melindungi seseorang dari risiko terinfeksi TB, vaksin Bacille Calmette-Guéirn (BCG) dapat mencegah keparahan infeksinya. Vaksin ini memungkinkan terjadinya hasil TB positif, tapi tidak bergejala (hasil positif palsu) ketika pemeriksaan TB dilakukan lewat tuberculin skin test (TST) atau mantoux test. Sampai saat ini belum ada vaksin berlisensi yang bisa mencegah infeksi TB.
BCG sendiri memiliki daya lindung yang bervariasi, antara 70-80% pada populasi berbeda, seperti bayi baru lahir atau remaja. Perlindungan vaksin akan melemah seiring waktu, bahkan seseorang tetap dapat terinfeksi TB meskipun sudah divaksinasi.
Meski begitu, vaksinasi BCG sudah diwajibkan dan menjadi imunisasi dasar di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 melaporkan bahwa vaksinasi BCG sudah mencapai 88,9% dari target 95%.
Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan proporsi pemberian BCG secara menyeluruh, terutama di kawasan dengan pemberian vaksinasi BCG paling sedikit, seperti Provinsi Papua Pegunungan.
Peningkatan temuan kasus TB menunjukkan perkembangan program penanganan TB di Indonesia. Namun, pemerintah perlu bergerak cepat dengan melakukan langkah-langkah strategis di atas agar temuan ini tidak sia-sia dan target eliminasi TB di tahun 2030 bisa tercapai.