Menu Close
Siluet hiu paus berada di bawah jaring nelayan. Paul Cowell/shutterstock

Pentingnya pengaturan perikanan hiu di Indonesia. Ini saran akademisi

Indonesia merupakan negara penangkap hiu terbesar di dunia. Berdasarkan data statistik Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menyumbang lebih dari sepuluh persen terhadap tangkapan hiu dunia, sehingga selalu menduduki posisi pertama dari paling tidak 40 negara penangkap hiu selama lebih dari satu dekade terakhir.

Hal ini tidak terlepas dari pengaruh permintaan pasar dunia terhadap ikan hiu baik sirip, tulang, minyak ataupun daging yang semakin meningkat sehingga membuat nelayan di Indonesia memburu hiu. Sementara, populasi hiu di alam semakin menurun dan status mereka terdaftar sebagai spesies yang rentan.

Dari 117 jenis hiu yang berada di perairan Indonesia, hanya hiu paus (Rhyncodon typus) yang berstatus ‘dilindungi penuh’ (tidak boleh ditangkap sama sekali untuk tujuan apapun).

Empat jenis hiu lainnya, yaitu hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan tiga jenis hiu martil (Spyhrna lewini, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokarran) dapat ditangkap tapi tidak boleh diekspor.

Dan, ada delapan jenis hiu yang masuk CITES (Konvensi Internasional Perdagangan Satwa Liar), yang artinya pemanfaatan untuk perdagangan luar negerinya diperbolehkan, namun dengan aturan ketat.

Hal ini berakibat kepada overfishing hiu yang menyebabkan turunnya populasi hiu di alam. Dampak lanjutan dari berkurangnya hiu di lautan adalah ekosistem laut tidak seimbang.

Apabila predator atas (top predator) berkurang, maka ikan predator menengah (mesopredator), seperti kakap, kerapu, dan hiu lainnya akan meningkat dan memangsa ikan-ikan kecil, misalnya ikan kakatua (parrotfish) yang memiliki peran dalam menjaga kesehatan terumbu karang, sumber kehidupan bagi biota laut. Akhirnya, penurunan populasi hiu yang tidak terkendali tidak hanya berdampak kepada kehidupan laut, namun juga ketahanan pangan manusia karena populasi ikan berkurang.

Penelitian saya menawarkan solusi untuk pengaturan spasial dan teknis bagi penangkapan hiu target agar berkelanjutan, tanpa mengancam keberadaan spesies di alam.

Menggantungkan hidup dari hiu

Perikanan hiu di Indonesia terbagi dua aktivitas, yaitu penangkapan hiu sebagai hasil sampingan atau tidak sengaja (bycatch sharks fishery) dan perikanan hiu target (targeted sharks fishery) dimana hiu merupakan hasil tangkapan utama.

Kelompok perikanan hiu target merupakan kelompok perikanan hiu yang penting mengingat nelayan yang terlibat dalam kegiatan perikanan ini memiliki ketergantungan yang sangat tinggi secara sosial dan ekonomi terhadap populasi ikan hiu.

Sebagai contoh, nelayan di desa Tanjung Luar dan Pulau Maringkik di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Author provided

Jumlah armada perikanan hiu berkisar antara 45 hingga 50 armada kapal nelayan, yang sebagian dimiliki oleh penampung/bos nelayan, dengan ukuran yang relatif sama yaitu kurang dari 14 meter atau berukuran sekitar sepuluh gros ton. Keluarga yang terlibat langsung diperkirakan 135 KK, namun belum termasuk para pengolah, pemotong, pengumpul dan pedagang.

Nelayan lokal dari kedua desa tersebut menangkap hiu dengan jangkauan yang cukup jauh jika dibandingkan ukuran perahunya. Dari Lombok Timur mereka melaut hingga perairan sebelah selatan dan timur Kalimantan atau Selat Makassar, Teluk Bone, dan selatan Pulau Sumba mendekati perbatasan dengan Australia.

Mereka juga menangkap hiu sepanjang tahun tanpa mengenal musim atau beralih ke perikanan lainnya.

Benaya Simeon/WCS, Author provided

Jika tidak mampu menjangkau lokasi penangkapan favorit mereka karena cuaca buruk, mereka akan menangkap ikan hiu di lokasi lainnya, seperti Selat Alas atau perairan selatan Lombok, laut Flores dan selat Makassar.

Hal ini menunjukkan betapa tingginya ketergantungan nelayan di Tanjung Luar dan Pulau Maringkik terhadap hiu dan sangat memengaruhi kondisi sosial masyarakat di kedua desa tersebut.

Contoh lainnya, perikanan hiu sebagai hasil sampingan yang bernilai di Cilacap, Jawa Tengah dan Pelabuhan Benoa, Bali.

Namun, beda dengan di Lombok Timur, armada penangkapan di kedua wilayah tersebut merupakan armada kapal yang besar, 60GT, dengan target utama ikan pelagis besar, seperti tuna, swordfish (todak atau Xiphias gladius), dan ikan kembung (mackerel).

Sayangnya, hiu sering tertangkap bersamaan dengan ikan pelagis besar dan tetap dimanfaatkan oleh nelayan, khususnya sirip. Sisanya dibuang kembali ke laut.

Permintaan daging hiu dari pasar lokal atau domestik, dan ekspor ke negara berkembang lain, menunjukkan jumlah yang signifikan dan relatif meningkat.

Hal ini menjadikan hiu menjadi salah satu sumber alternatif protein hewani sebagai sumber ketahanan pangan lokal dengan harga terjangkau.

Pentingnya pengaturan bagi perikanan hiu

Jika manusia terlalu banyak menangkap hiu di lautan hingga populasinya di alam menurun, peluang keberhasilan jumlah populasi hiu untuk pulih kembali sangat rendah dan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Jenis hiu kecil umumnya mencapai usia 7-8 tahun, hiu berukuran besar mencapai umur 40 tahun, dan hiu laut dalam mencapai umur lebih dari 100 tahun.

Karena panjangnya umur mereka, hiu membutuhkan waktu lama untuk tumbuh dewasa.

Hiu laut dalam memerlukan 30 tahun untuk mencapai usia dewasa, hiu kecil memerlukan 4-5 tahun untuk mencapai usia dewasa, dan hiu berukuran besar memerlukan waktu 15-20 tahun untuk mencapai usia dewasa.

Produktivitas kesuburan mereka juga relatif rendah. Hiu, umumnya, dapat bereproduksi setelah 2 tahun setelah mencapai usia dewasa, dengan jumlah anak bervariasi antara 1-40 anakan.

Menurunnya populasi hiu berdampak kepada perubahan struktur rantai makanan yang kompleks.

Hilangnya hiu sebagai predator utama akan memunculkan dominasi predator tengah (mesopredator), yaitu ikan-ikan yang dimangsa dan memangsa, sehingga ikan-ikan penting lainnya yang menjadi sumber bahan pangan akan berkurang atau hilang.

Selain ekosistem laut menjadi tidak sehat, berkurangnya pasokan ikan akan berpengaruh terhadap ketersediaan protein hewani bagi manusia.

Melihat pentingnya perikanan hiu target dalam hal sosial, ekonomi dan bahkan ketahangan pangan lokal, maka penting untuk melakukan pengaturan untuk menjaga populasi.

Berdasarkan hasil kajian tentang perikanan hiu yang berkelanjutan di tahun 2018, saya dan rekan dari Wildlife Conservation Society Indonesia Program menilai perlunya pengaturan secara spasial dan pengaturan teknis untuk menjaga kelestarian ikan hiu.

Pengaturan spasial dapat berupa melindungi habitat penting ikan hiu, misalnya daerah asuhan (nursery ground) untuk dijadikan kawasan konservasi dan pengembangan daerah buka tutup (open closure atau seasonal closure) di beberapa daerah penangkapan ikan hiu.

Hal ini untuk mengurangi tekanan perikanan di suatu daerah yang diketahui memiliki kelimpahan ikan hiu yang cukup tinggi.

Pengaturan teknis dapat dilakukan dengan mengembangkan pengaturan penangkapan ikan, misalnya dengan mengatur jumlah kapal yang diperbolehkan untuk menangkap ikan hiu, mengatur jumlah hari melaut dalam satu tahun untuk setiap perahu yang menangkap ikan hiu, dan/atau mengatur jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan (misalnya jumlah mata pancing).

Tidak kalah pentingnya, pemerintah perlu menetapkan spesies-spesies hiu yang memiliki tingkat kerentanan terhadap kepunahan paling tinggi, untuk dilindungi dan dilarang untuk ditangkap atau melalui penetapan perlindungan penuh.

Saat ini, Indonesia sudah memiliki rencana aksi perlindungan hiu dan ikan pari hingga tahun 2020. Sayangnya rencana ini belum memiliki kerangka legalitas sehingga penerapannya masih bersifat sukarela dan belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi lembaga pemerintah untuk menyediakan anggaran dana untuk perlindungan hiu.


Artikel ini diperbarui dengan tambahan informasi pengungkapan dari penulis.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now