Menu Close

Penyair Putu Oka Sukanta menghadapi pandemi lewat puisi

Putu Oka Sukanta Lara Noorgard, Author provided

Di tengah meningkatnya kasus COVID-19 di Indonesia dan statusnya sebagai episenter pandemi, puisi-puisi penyair dan aktivis Putu Oka Sukanta merefleksikan bagaimana pandemi mengubah hubungan antarmanusia dan cara mempertahankan optimisme dan daya lenting.

Sebagai mantan tahanan politik - Putu dipenjara selama 10 tahun tanpa proses pengadilan pada masa rezim Suharto dan salah satu dari segelintir penyintas kekerasan massal 1965-1965 yang masih hidup - ia tahu betul kekurangan pemerintah dalam melindungi kelompok paling rentan di masyarakat.

Data resmi menunjukkan hingga 4 Agustus 100.636 orang telah meninggal akibat COVID-19. Namun, kelompok pemantau data Lapor COVID-19 menduga banyak data kematian yang tidak tercatat oleh pemerintah. Sekitar 30% dari kematian ini terjadi pada Juli.

Pemerintah terlambat mengambil tindakan tegas untuk mengendalikan virus karena khawatir akan dampak ekonomi pembatasan yang ketat. Pada Maret 2020, pemerintah menginstruksikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapannya tergantung pada pemerintah daerah dan inkonsisten. Kini, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 9 Agustus untuk Jawa dan Bali untuk menekan angka kasus COVID.

Usia Putu 82 tahun. Ia memiliki gangguan jantung. Dengan kondisi tersebut, ia mengisolasi diri selama beberapa bulan terakhir. Beberapa anggota keluarganya baru-baru ini terkena COVID-19.

Ketika ia di penjara, Putu mengimpikan kesendirian. Kini, meski tinggal bersama lima orang anggota keluarga, rasa sepi melanda. Ia merasa cepat lelah dan bosan, tak bisa duduk terlalu lama untuk menulis dan berkarya.

Meski begitu, ia tetap menulis, seperti dalam puisi “Aku Berharap”:

aku berharap

mendengar ketok ketok di pintu

yang kututup selalu

walau tidak dikunci baku

aku berharap

melihat bayangan

timbul lenyap di kaca jendela, cuma

hanya deru angin

menyambut gerimis dingin

aku berharap

mendengar ketok ketok di pintu,

kalau tidak, cukup bayangan melintas

di kaca jendela

agar aku bisa bercerita

rasa bahagia, kangen kamu

Sebagai aktivis politik, Putu tidak bisa mengabaikan kudeta militer di Myanmar.

Terinspirasi para perempuan yang menggantungkan pakaian dalamnya untuk mencegah tentara mengejar para demonstran, ia menulis puisi, “Militer Myanmar Melawan Celana Dalam Perempuan”, berseru pada kawannya, aktivis hak asasi manusia Galuh Wandita dalam cuplikan puisi yang berbunyi:

Hai Galuh,

mari berseru:

Sahabatku perempuan sedunia, kirimkan

celana dalam bekasmu ke Myanmar,

(lebih bagus yang bernoda darah)

dijadikan bendera melambai lambai,

memotong jalan, menyambut dan menaklukkan pemburu.

Putu berkata pada saya: “Aku ini insan politik. Menulis tentang politik ini semacam refleks.”

Ia bilang kini ia dipengaruhi emosi. Ia membiarkan dorongan menulis menguasai dirinya, menentukan saatnya menulis. “Aku lebih ikhlas, pasrah.”

Sebagai mantan tahanan politik, punya uang sendiri penting untuk rasa kemandirian dan ketenangan batinnya. Selama di penjara, ia belajar akupunktur dari seorang teman. Ia kini menjadi ahli obat herbal dan akupunktur.

Putu membuka praktik akupunktur di rumahnya, bertemu pasien tiga kali seminggu den memberi resep obat-obatan herbal. Ia merawat tanaman herbal bersama istrinya di sebuah kebun di Jakarta Selatan bernama Taman Sringanis. Tapi ia menutup praktiknya pada Maret 2020 karena pandemi.

Ia merindukan kesibukan klinik. “Rumah ini rumah riuh,” katanya. “Pasien itu seperti buku. Aku belajar dari mereka. Mereka memberi aku stimulus, berdialog, dan lain-lain.”

Mahasiswa, pengamen, dan pengemis sering mendatangi rumahnya untuk mendapatkan informasi atau pertolongan. “Tiba-tiba, sepi, bengong. Kesedihan yang natural terjadi. Merasa kehilangan. Merasa diasingkan.”

Bagi Putu, isolasi mandiri ada kemiripan dengan pengalamannya menjadi tahanan politik. Di penjara, suara-suara “kambing, anak-anak, dan lain-lain” juga tak terdengar. Tapi meski kehilangan hak-haknya, di penjara, Putu merasa punya tujuan, “musuh bersama” yang harus dihadapi, yaitu Orde Baru.

Dengan pandemi ini, sekarang ia punya hak pribadi, tapi tidak bisa menggunakannya [karena pandemi]. “Dalam hati, aku bertanya pada diri sendiri, apa yang bisa aku lakukan dalam situasi seperti ini.”

Sebagai praktisi kesehatan, Putu melihat perlunya mengembangkan sistem kesehatan yang kuat dan penggunaan upaya-upaya pencegahan.

Ia mengkritik pendekatan pemerintah yang fokus pada penyembuhan penyakit, alih-alih pencegahan melalui nutrisi yang baik, dan sistem layanan kesehatan yang baik. “Orang menghadapi penyakit dengan menyembuhkan, mencari obatnya, daripada bagaimana mencegah, supaya tidak terjadi sakit.”

Selamat dari layanan kesehatan yang minim di penjara dulu, Putu melihat masyarakat Indonesia mencoba meningkatkan daya tahan tubuh mereka untuk mencegah jatuh sakit di tengah sistem kesehatan yang berada dalam situasi krisis.

“Ide bahwa makanan adalah obat, obat adalah makanan bukan sesuatu yang baru, tapi hal ini menjadi lebih penting lagi karena mengetahui COVID menyerang orang yang imunitasnya lemah,” menurutnya.

Bercocok tanam kini menjadi hobi dan cara menambah pendapatan di Ibu Kota Jakarta.

Tabungan Putu mulai mengering, “Dengan tabunganku bisa hidup untuk setahun. [Pandemi ini] sudah lebih dari satu tahun kan.”

Royalti dari penjualan buku-bukunya melambat. Di tengah pandemi, buku menjadi barang mewah dan para penerbit kesusahan. “Penghasilan kami berkurang, sementara kita kan tidak bisa mengurangi pengeluaran seperti listrik.”

Survei lembaga penelitian SMERU tahun lalu menunjukkan sekitar 74% rumah tangga pendapatannya menurun karena pandemi, namun biaya hidup tetap meningkat. Para pekerja di Taman Sringanis tidak dipecat, tapi gajinya dibayar dengan dicicil.

Pandemi ini menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang parah, mengancam rasa martabat manusia, dan mengungkap kelemahan sistem kesehatan Indonesia.

Di tengah semua ini, berbagai upaya penggalangan dana untuk membantu para korban bermunculan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now