Menu Close
Kejatuhan Lehmann Brothers memulai krisis.
David Shankbone/Wikimedia, CC BY-NC

Perang Ukraina memiliki kaitan yang mengejutkan dengan krisis finansial global 2008 – dan paralel dengan Perang Dunia II

Sekitar satu dekade setelah krisis finansial yang memporak-porandakan kapitalisme modern pada 1929 dan 2008, konflik berkobar di Eropa dan berpotensi merebak ke wilayah lain di dunia. Sejauh ini, dampak perang di Ukraina memang jelas tidak sebanding dengan Perang Dunia II. Akan tetapi, perbenturan ideologi yang terjadi dalam dua konflik tersebut sama-sama fundamental.

Jika fenomena paralel ini tidak menarik banyak perhatian, saya menduga hal itu karena di permukaan, perbandingan ini terdengar tidak masuk akal. Akan tetapi, perlu disadari bahwa baik krisis keuangan besar maupun perang merupakan gejala dari masalah struktural yang dalam mengakar di masyarakat. Masalah struktural ini menjadi gerakan tektonik yang menciptakan retakan di permukaan.

Sebelum akhir abad ke-19, umat manusia hidup sulit. Pasokan barang bergantung pada cuaca, walaupun permintaan biasanya tidak menjadi masalah.

Hal ini berubah seiring kemunculan metode produksi saintifik dalam pertanian dan manufaktur, yang memperkenalkan pupuk dan mesin dalam moda produksi. Dimulai dengan Amerika Serikat (AS) sebagai pionir teknologi, pasar di Barat mulai kebanjiran produk dengan hanya sedikit masyarakat yang mampu membeli.

Sistem kapitalisme yang secara fundamental tidak stabil ini membuat terlalu banyak pinjaman yang harus diperpanjang karena produsen gagal menemukan cukup pelanggan untuk membayar utang mereka. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kepanikan finansial terjadi di AS. Puncaknya, pasar modal AS ambruk pada 1929 dan memicu krisis ekonomi Great Depression yang merebak ke seluruh dunia. Berdasarkan sebuah teori, inti permasalahan berada pada kelebihan pasokan barang.

Bisa dikatakan, Perang Dunia II adalah pertarungan kolosal antara empat model industri, masing-masing menawarkan solusinya sendiri terhadap permasalahan ini. Solusi dari Inggris adalah mencoba menciptakan kembali perekonomian imperial pra-Perang Dunia I yang berpusat di kerajaan tersebut (ya, Ukraina dan Rusia juga memainkan peran sebagai produsen gandum pada periode ini).

Joseph Stalin in 1925
Stalin: ‘nyet’ (tidak) pada model imperial Inggris. Wikimedia

Pada awal dekade 1920-an, tidak lama setelah Revolusi Rusia, Inggris menawarkan pada Rusia kesempatan untuk berintegrasi kembali ke dalam visi sistem dagang merkantilis. Tawaran ini pada akhirnya ditolak dalam perdebatan yang terjadi di Rusia.

Akan tetapi, perdebatan ini justru menjadi sebagian faktor yang mendorong pemimpin Soviet kala itu, Joseph Stalin, untuk mengenalkan model “sosialisme dalam satu negara” (bertentangan dengan pandangan Karl Marx yang menekankan bahwa komunisme membutuhkan revolusi dunia). Stalin mengajukan sistem ekonomi terencana, dengan pasokan dan permintaan bagi barang industri diatur oleh negara.

Sementara Inggris berusaha melindungi diri dengan memasang tarif eksternal yang tinggi dalam sistem perdagangan di luar kerajaan, kelompok sosialis nasional Jerman mengembangkan model yang berbeda. Mereka menerapkan sistem ekonomi semi-terencana yang pada dasarnya kapitalis, namun dengan nasionalisasi industri kunci serta keberadaan serikat.

AS memiliki variasi lain: “New Deal” (kesepakatan baru). Sistem ini mengkombinasikan perusahaan utilitas yang dinasionalisasi, pertahanan, pendidikan, dan sistem pensiun dalam ekonomi terencana yang berpusat pada konglomerat, namun kesemuanya dibangun dengan hak kepemilikan pribadi. Walaupun banyak kesamaan dengan model Jerman, sistem AS dibangun atas dasar demokrasi.

Pada 1939, empat sistem yang berbeda ini beradu di medan perang. Sistem keempat (AS) muncul sebagai pemenang. Pendekatan ini diadaptasi pada tahun-tahun berikutnya, namun pada dasarnya kita menyebut kemenangan ini sebagai globalisasi. Globalisasi kini tengah diperebutkan dan menjadi pusat perdebatan ideologi dewasa ini.

Dulu dan sekarang

Krisis 2008 tidak separah krisis pada 1929, akan tetapi dampaknya tetap merusak ekonomi kapitalis yang berpusat pada pasar sebagai sistem ekonomi dominan pada masa kini. Selama puluhan tahun, sistem ekonomi kapitalis digunakan untuk menarik konstituen dengan embel-embel “kebebasan”, yang berarti keunggulan properti pribadi dikombinasikan dengan kebebasan memilih konsumen. Ini selaras dengan “pasar bebas” yang didominasi oleh konglomerat multinasional, yang secara leluasa berkeliaran di seluruh dunia sambil menghindari pajak dan kewajiban pribadi dan perusahaan.

Bentuk lain dari kapitalisme muncul pada akhir abad ke-20 dan hanya memasukkan segelintir dari unsur-unsur tersebut. Rusia kembali pada kapitalisme yang didominasi negara, setelah percobaannya mengadaptasi pendekatan ekonomi neoliberal berujung pada kejatuhan Uni Soviet pada dekade 1990-an. Solusi yang diterapkan Rusia sekarang menjadi basis popularitas dan kekuatan Vladimir Putin.

Di sisi lain, Cina membuka ekonominya sejak akhir 1970-an demi menghindari kejatuhan negaranya. Mungkin karena belajar dari pengalaman Rusia pada dekade 1990-an, Cina bergerak hati-hati, berupaya menjaga sistem kapitalismenya tetap berada di bawah kontrol partai komunis.

Dalam versi ketiga, negara-negara Teluk mendorong masuknya perusahaan swasta dan investasi miliaran dolar ke negara mereka, di bawah kendali beberapa syekh dan keluarga penguasa. Bagi mereka, pendekatan otoriter ini mencerminkan apa yang telah mereka lakukan selama ini – dan akan terjadi pada masa mendatang.

Delegates gathering to hear a speech at the Dubai Expo 2020.
Kapitalisme gaya Arab dipamerkan dalam Expo Dubai. EPA

Tiga versi kapitalisme ini naik daun selama tahun 2010-an akibat krisis keuangan global. Krisis merusak kepercayaan bahwa pasar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, serta keyakinan pada kelas politik dan demokrasi itu sendiri. Dengan bank-bank yang nyaris ambruk diselamatkan sementara orang-orang melakukan penghematan, mudah untuk berpikir bahwa Cina, Rusia atau sedikit bumbu-bumbu populisme Barat adalah masa depan.

Hingga sekarang, masing-masing versi dari kapitalisme otoriter ini berdiri sendiri-sendiri, hanya sesekali terhubung dengan yang lain. Akan tetapi, perang yang tengah bergejolak kini tampaknya mengubah itu semua dan menjadi perang proksi antara demokrasi otoriter dan liberal. Cina, negara-negara Teluk, mungkin India – dan Partai Republik pro-Trump di AS – bersikap ambivalen terhadap perang Rusia, sementara tidak demikian bagi bagian dunia lainnya.

Siapa yang akan menang? Rusia mungkin sedang berjuang secara militer di Ukraina, tapi pertempuran proksi untuk masa depan kapitalisme ini tidak akan dimenangkan oleh rudal Stinger.

Anehnya, Barat, yang dipimpin oleh AS dan Uni Eropa, berhasil meyakinkan bahwa krisis 2008 tidak akan separah yang seharusnya. Mereka melakukan ini dengan kombinasi penghematan, memotong suku bunga menjadi nol dan secara besar-besaran meningkatkan jumlah uang beredar melalui pelonggaran kuantitatif.

Namun, mereka harus membayar harga mahal untuk ini. Kesenjangan ekonomi semakin melebar, bahkan sebelum naiknya inflasi baru-baru ini. Sekali lagi, muncul masalah permintaan: jika orang tidak mampu membeli barang dan jasa yang dijual produsen, ketidakstabilan ekonomi yang lebih besar akan terjadi. Jadi, sementara otoritarianisme kehilangan pesonanya dengan Putin menghancurkan Ukraina, kondisi yang melahirkan populisme semakin kuat.

Sampai Barat benar-benar membayangkan kembali kapitalismenya – mungkin dengan versi New Deal dekade 2020-an – perang proksi tahun 2022 kemungkinan akan terus menemukan medan baru.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now