Menu Close
antarafoto ridwan kamil suswono deklarasi cagub dki adm.

Peringatan darurat: Indonesia terancam koalisi gemuk, pemulihan hukum makin mendesak

Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia hari ini, hukum menjadi murni produk politik di parlemen. Artinya, ia sangat rentan ditunggangi kepentingan-kepentingan politik tertentu yang tidak berpihak pada masyarakat sebagai subjek hukum.

Salah satu contoh terbaru yang paling tampak adalah upaya parlemen, melalui Badan Legislasi DPR RI, dengan secepat kilat melakukan pembahasan terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) pada 21 Agustus 2024.

Langkah DPR tersebut adalah respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024 yang diterbitkan sehari sebelumnya mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah dan Putusan No. 70/PUU-XXII/2024 terkait ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah.

DPR hendak menggagalkan putusan MK yang mengatur bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun saat pendaftaran. Mayoritas partai politik di parlemen koalisi pemerintah menginginkan syarat minimum usia tersebut dihitung dari saat pelantikan kepala daerah terpilih untuk memuluskan jalan bagi putra bungsu Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah.

Proses “pemaksaan” pengesahan produk hukum di parlemen ini menjadi ancaman serius terhadap pondasi demokrasi di Indonesia. Pasalnya, koalisi pemerintah yang “gemuk” di DPR membuat para politikus leluasa menjadikan hukum sebagai alat melegitimasi untuk mempertahankan kekuasaan elite tertentu.

Kini, cita negara hukum (rechtstaat) semakin rentan tergerus menuju ke arah negara kekuasaan (machtstaat). Kondisi tersebut akhirnya dinilai oleh masyarakat sebagai sebuah “peringatan darurat” terhadap demokrasi.

Jamak terjadi

Ini bukan pertama kalinya DPR “memaksakan” ketok palu untuk mengesahkan suatu kebijakan yang tidak dikehendaki publik–hanya untuk mengakomodir kepentingan pihak tertentu di lingkaran mereka.

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas (kanan) dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (keempat kanan), bersama Badan Legislasi DPR menyetujui RUU Pilkada dibawa ke rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU. Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto

Pada Oktober 2020, DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja yang substansinya cenderung merugikan pekerja, mengabaikan rentetan aksi protes massa besar-besaran. Begitu juga dengan pembentukan UU Ibu Kota Negara (UU IKN) yang dikerjakan dengan super cepat.

Dalam kasus RUU Pilkada kemarin, jika ribuan masyarakat, mayoritas mahasiswa dan kaum intelektual, di berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia tidak melakukan aksi demonstrasi besar-besaran turun ke jalanmengecam tindakan DPR, besar kemungkinan RUU Pilkada tersebut kini sudah lolos menjadi UU.

Bahaya oligarki dan koalisi gemuk

Sudah jadi rahasia umum bagaimana proses politik pembentukan undang-undang seringkali hanya mengutamakan kepentingan partai politik–yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan publik.

Namun, situasi masa kini tampaknya semakin mengkhawatirkan dengan adanya “koalisi gemuk”, yakni ketika parlemen dikuasai oleh partai politik yang sebagian besar menjadi partai koalisi pemerintah.

Dalam praktiknya, saat ini tujuh dari sembilan partai politik di DPR telah merapat ke koalisi pemerintah. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terlihat masih bertahan menjadi oposisi. Sementara PDI-P kini lebih cocok disebut oposisi sejak perhelatan Pemilu 2024 dan merenggangnya hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri dengan Jokowi.

Namun, ketika Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Oktober nanti, PKS telah menyatakan akan masuk koalisi pemerintah. Bisa dipastikan bahwa di periode berikutnya, hanya PDIP yang akan menjadi oposisi. Tujuh parpol lainnya tergabung dalam koalisi pemerintah.

Koalisi yang gemuk akan membuat kekuatan oposisi menjadi lemah. Konsekuensinya, check and balance dalam pemerintahan menjadi minim.

Koalisi gemuk memang dapat membantu menjaga stabilitas politik, karena parlemen (legislatif) pada akhirnya hanya akan mengikuti apa kata pemerintah (eksekutif). Namun, ini justru akan bertolak belakang dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat, karena parpol nantinya akan didominasi oleh segelintir elite.

Adanya koalisi “gemuk” juga semakin menegaskan kecenderungan politik yang pragmatis, kompromistis, dan elitis. Dinamika politik tanpa oposisi membuat pincang proses demokrasi dan tanpa kontrol. Relasi eksekutif dan legislatif terkunci oleh kepentingan kompromis tanpa ada upaya check and balances di antara kedua lembaga negara.

Konsekuensi adanya koalisi gemuk adalah pada produk hukum yang dihasilkan. Nantinya hukum di Indonesia acap kali dijadikan alat untuk memuluskan agenda kekuasaan supaya tetap status-quo. Hukum bukan lagi menjadi instrumen untuk menegakkan keadilan, menciptakan kepastian hukum, dan melindungi demokrasi.

Bentuk perwujudan dari penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan yaitu adanya dominasi oligarki yang tersistematis. Menurut Winters, dalam jurnalnya berjudul Oligarchy and Democracy In Indonesia, sejak pascareformasi, perpolitikan Indonesia dikuasai oleh oligarki penguasa pemilu (electoral ruling oligarchy) yang menciptakan sistem eksklusif dan tertutup di bawah kendali elite dan oligarki yang memengaruhi sistem demokrasi serta rule of law di Indonesia. Rule of law adalah prinsip negara hukum–bahwa negara harus tunduk pada hukum dan kekuasaan yang diberikan tidak boleh keluar dari batas hukum.

Presiden Joko Fauzan/Antara Foto

Dengan kata lain, oligarki memanfaatkan kekuasaan untuk mengontrol dan memuluskan proses politik untuk melahirkan aturan yang hanya akan menguntungkan mereka.

Urgensi memulihkan negara hukum

Menurut konstitusi, kedaulatan terbesar berada di tangan rakyat. Artinya, sumber kekuasaan negara berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Dan pelaksanaan kedaulatan rakyat harus berdasar pada hukum (demokrasi konstitusional).

Konstitusi juga menganut prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua prinsip ini saling terkait satu sama lain. Demokrasi di Indonesia itu harus berdasar kepada hukum, tetapi kedaulatan hukum harus juga bersifat demokratis.

Saat ini, Indonesia memerlukan pengaktifan kembali norma-norma di dalam konstitusi tersebut secara waras dan kembali pada tujuan utama prinsip negara hukum.

Pertama, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), karena norma-norma di dalam konstitusi memberi kewenangan dan membatasi kewenangan masing-masing lembaga negara, sehingga lembaga negara harus berjalan sesuai dengan kewenangannya.

Kedua, penegakan prinsip “check and balances”, yaitu adanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi antarlembaga negara–eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta lembaga negara lainnya.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Keempat, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan rakyat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengawasi para penyelenggara negara agar melaksanakannya sesuai dengan konstitusi dan prinsip rule of law.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,000 academics and researchers from 5,059 institutions.

Register now