Menu Close
Calon penumpang antre untuk menaiki kapal motor saat terjadinya banjir rob di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta. (Sumber: Risyal Hidayat/Antara)

Perubahan iklim bisa ciptakan gelombang massal pengungsi, tapi keberadaan mereka belum diakui hukum internasional

Pemanasan suhu global yang mencapai 1,1°C sejak 1850 mempercepat melelehnya es di kutub sehingga menaikkan muka air laut yang lebih cepat dari perkiraan para pakar. Panel antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2021 melaporkan, secara global, kenaikan muka air air laut rata-rata telah meningkat sekitar 0,20 m sejak tahun 1901.

Kejadian ini berdampak besar yang belum banyak disadari oleh para pakar maupun masyarakat: perpindahan manusia secara massal. Karena kenaikan air laut, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) melaporkan setiap tahunnya akan ada sekitar 21.5 juta orang yang terpaksa mencari tempat lain yang lebih layak untuk ditinggali akibat bencana alam yang semakin sering terjadi. Mereka dapat disebut sebagai pengungsi iklim atau climate refugees.

Selain karena bencana, kondisi geografis suatu daerah juga dapat memicu gelombang migrasi sehingga bisa memicu polemik internasional di masa depan. Contohnya, negara-negara yang berada di wilayah Pasifik diperkirakan akan tenggelam baik separuh maupun seluruhnya.

Sayangnya, fenomena ini belum dibahas secara mendetil di tataran pemerintah negara-negara. Instrumen hukum internasional juga belum mengakomodasi kebutuhan pengungsi iklim untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Padahal, risiko gelombang pengungsi sudah terjadi, dan berpotensi semakin besar serta meluas.

Persoalan di Konvensi Pengungsi

Isu yang pertama yang akan timbul seputar pengungsi adalah: siapakah ‘mereka’?

Pasal 1 (2) Konvensi Pengungsi 1951 mendefinisikan pengungsi sebagai mereka yang mengalami “…persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik…”.

Ketika konvensi ini dibentuk pada tahun 1951, para ahli tak pernah memikirkan alasan persekusi akibat bencana alam ataupun perubahan iklim. Akhirnya, pelabelan nama untuk mereka yang mencari status pengungsi akibat perubahan iklim akan menjadi suatu masalah.

Saat ini, meskipun para pakar belum mempunyai kesepakatan universal untuk para pencari suaka akibat perubahan iklim, pada umumnya mereka disebut ‘pengungsi lingkungan’ atau ‘imigran lingkungan’. Namun, dalam aturan pengungsi internasional, pengungsi dan imigran adalah hal yang berbeda.

Pengungsi adalah mereka yang ‘terpaksa’ pindah karena alasan yang disebutkan di Konvensi 1951. Sedangkan imigran – meskipun tidak disebutkan dalam aturan internasional, adalah orang yang pindah secara sukarela ke negara lain yang umumnya karena alasan ekonomi, sosial, atau keluarga.

Video negara Kiribati yang terimbas langsung kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim.

Polemik perlakuan negara terhadap pengungsi iklim tercermin dalam kasus Teitiota v New Zealand. Dalam kasus ini, Teitiota bersama keluarganya mengajukan diri sebagai pengungsi iklim di Selandia Baru karena terpaksa meninggalkan negara asalnya – Kiribati – yang memiliki kualitas tanah yang buruk serta terimbas kenaikan air laut. Namun, upayanya ditolak pengadilan karena dalam definisi pengungsi tidak memuat faktor perubahan iklim ataupun bencana alam.

Teitiota tidak patah arang dan membawa kasus ini ke Komisi HAM PBB. Lagi-lagi, Komite HAM PBB menolak argumen Teitiota. Meski demikian, Komite menyepakati argumen bahwa suatu negara tidak boleh mendeportasi warga negara lain yang bermigrasi karena dampak perubahan iklim dan bencana alam yang mengancam hak asasi manusia yang esensial.

Pengakuan pengungsi iklim oleh negara

Instalasi seni terkait penanganan krisis iklim global di Bonn, Jerman. (Sumber: John Englart/Flickr)

Polemik yang kedua terkait persoalan kebangsaan. Bagaimanakah status negara para pengungsi selanjutnya?

Merujuk pada Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Tugas Negara, ada empat unsur yang harus dimiliki suatu negara: penduduk tetap, wilayah yang ditentukan, pemerintahan, dan kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan internasional.

Jika negara-negara kepulauan maupun pulau kecil kehilangan wilayahnya akibat perubahan iklim, bukan akibat dari pelepasan dari negara penjajahan atau peleburan dua atau lebih negara, seperti yang selama ini terjadi – apakah keberadaan bangsa dan negara mereka akan tetap diakui secara internasional?

Lalu, jika penduduk di negara kepulauan kecil ini terpaksa berpindah, ke mana tujuan mereka? Apakah ada negara yang siap untuk menerima gelombang pengungsi besar? Apakah penduduk negara kepulauan itu siap beradaptasi di tempat baru?

Pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi perhatian ketika kita memikirkan nasib mereka di masa depan.

Persoalan kian pelik karena para kepala negara kepulauan ini menolak untuk pindah dan tidak mau dicap sebagai ‘pengungsi’. Sebab, menurut mereka, kenaikan air laut terjadi akibat perubahan iklim. Aktivitas negara-negara maju dituding sebagai biang keladinya. Sementara, yang harus menanggung akibat terbesar dari dampak perubahan iklim ini adalah negara-negara kecil yang tengah berkembang.

Pada 1987, Presiden Maumoon Abdul Gayoom dari Maladewa adalah orang pertama yang mengangkat isu ini di level internasional:

“Pasti ada jalan keluarnya. Baik Maladewa maupun negara pulau kecil mana pun tidak ingin tenggelam. Itu sudah pasti. Kami juga tidak ingin tanah kami terkikis atau ekonomi kami hancur. Kami juga tidak ingin menjadi pengungsi lingkungan. Kami ingin berdiri dan berjuang”.

Pada saat ini, para ahli hukum internasional masih memperdebatkan apakah konvensi yang ada sekarang mampu menangani isu perubahan iklim dan kenaikan muka air laut, ataukah dibutuhkan adanya konvensi baru untuk menanganinya. Sementara perdebatan ini terus berlanjut, kenaikan suhu yang menyebabkan kenaikan air laut pun juga terus meningkat.

Pemerintah antarnegara harus berkoordinasi

Pengajuan status pengungsi dari Teitiota semestinya menyadarkan kepada pembuat aturan, kepala negara, dan aktor-aktor lain yang terlibat, bahwa gelombang pengungsi iklim sudah ada dan terjadi lebih cepat dari perkiraan.

Masalah ini belum termasuk pengungsi internal (orang yang berpindah di dalam satu negara), yang sudah ada di beberapa negara seperti Afrika dan Amerika Serikat.

Di Indonesia, bencana alam juga menimbulkan korban dan pengungsi. Jumlahnya mencapai 8,4 juta jiwa pada 2021. Risiko ini bisa membesar karena para ahli menaksir sekitar dua ribu pulau dan 112 wilayah akan tenggelam di 2050.


Read more: Ditolak di berbagai tempat, mengapa pengungsi Rohingya diterima dengan tangan terbuka di Aceh


Persoalan pengungsi iklim membutuhkan koordinasi internasional, terutama negara-negara yang memproduksi emisi dan jejak karbon terbesar. Studi Bayes Ahmed dari University College London menghitung negara seperti Australia, Amerika Serikat merupakan pihak yang semestinya menerima 10 dari setiap 100 pengungsi karena aksi karbonnya di masa silam.

Perpindahan suatu penduduk ke tempat baru yang lebih aman bukanlah perkara mudah. Kerumitan ini semakin bertambah apabila pengungsi iklim belum diatur dalam aturan internasional yang komprehensif. Dibutuhkan kerja sama dengan semua pihak – terutama dari negara yang rentan terdampak kenaikan muka air laut – serta pakar dari berbagai disiplin ilmu untuk menjawabnya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now