Menu Close
shutterstock.

Pestisida RNA jadi solusi baru membasmi hama, bagaimana peluang dan tantangan penerapannya di Indonesia?

Di Indonesia, serangan hama menjadi masalah setiap musim tanam dan sering kali berujung gagal panen. Pada 2023, diperkirakan 174 ribu hektare lahan pertanian padi dan 34 ribu hektare lahan jagung terserang hama seperti wereng, penggerek batang, dan tikus.

Serangan hama berisiko meningkat akibat perubahan iklim yang menyebabkan petani akan semakin bergantung pada racun hama.

Pestisida konvensional yang biasa digunakan petani untuk membasmi hama memang membantu meningkatkan hasil panen. Namun, di sisi lain pestisida ini memiliki banyak efek samping yang merugikan, baik bagi manusia maupun lingkungan.

Di Indramayu, pestisida jenis neonicotinoid misalnya ditemukan mencemari 75% titik perairan muara yang menjadi sampel penelitian. Pestisida jenis ini juga dapat mengurangi populasi lebah madu dan mengganggu kemampuan mereka untuk kembali ke sarang.

Bagi manusia, terutama petani, paparan pestisida bisa menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, seperti risiko hipertensi, resistensi insulin, dan diabetes.

Selain itu, pestisida juga dapat merusak ekosistem dan berdampak pada hewan lain yang bukan target. Paparan pestisida bisa menyebabkan gangguan ginjal dan hati, bahkan obesitas pada hewan.

Masalah ini menuntut adanya solusi berupa pestisida yang lebih aman bagi manusia dan lingkungan beserta organisme di dalamnya. Salah satu teknologi yang berpotensi menjawab masalah ini adalah pestisida berbasis asam ribonukleat (RNA).

Apa itu pestisida RNA? Apa bedanya dengan pestisida konvensional yang biasa digunakan para petani di Indonesia? Kenapa lebih aman? Bukankah sama-sama pestisida? Mari ikuti penjelasan di bawah ini.

Apa itu pestisida RNA? Bagaimana cara kerjanya?

Pestisida RNA memanfaatkan teknologi yang disebut RNA interference (RNAi)–sebuah mekanisme biologis yang ditemukan pada 1998 oleh ilmuwan asal Amerika Serikat, Andrew Z. Fire dan Craig C. Mello. Penemuan ini berkontribusi besar dalam pemahaman tentang regulasi genetik hingga mereka mendapatkan penghargaan Nobel pada 2006.

Mekanisme RNAi bekerja seperti sakelar untuk “mematikan” ekspresi gen dalam sel hama. RNAi yang aktif dapat membungkam gen target (gene silencing) supaya tidak bisa menghasilkan protein meskipun gen masih ada di dalam sel.

Mekanisme ini ibarat lampu di rumah kita yang tidak akan menyala selama sakelar mati. Dengan kata lain, ketika gen silencing terjadi, gen tersebut tidak hilang, hanya tidak aktif. Walhasil, gen tersebut tidak menghasilkan protein yang biasanya diperlukan untuk fungsi tertentu.

Mekanisme RNAi ini dipicu oleh double stranded RNA (dsRNA)—mirip dengan pesan palsu yang dikirim ke sel hama. Sel mengenali dsRNA sebagai ancaman sehingga memicu aktifnya mekanisme RNAi dan enzim yang disebut Dicer. Selanjutnya, Dicer akan bekerja layaknya pemotong kertas yang menghancurkan pesan tipuan dsRNA menjadi pesan-pesan yang lebih kecil (siRNA).

Kemudian, siRNA bergabung dengan kompleks protein yang disebut RNA-Induced Silencing Complex atau RISC. Ini adalah “mesin penghancur” dalam sel hama, yang mengoyak semua pesan genetik serupa, termasuk pesan asli (mRNA) hama yang penting bagi kelangsungan hidupnya. Akibatnya, hama tidak bisa memproduksi protein yang dibutuhkan dan akhirnya mati.

Mekanisme RNAi. Bagan disunting dan diterjemahkan oleh penulis ke Bahasa Indonesia. Sumber : Andrew Z. Fire dan Craig C. Mello, 2006, nobelprize.org.

Mengapa pestisida RNA lebih aman?

Pestisida RNA dirancang untuk bekerja secara spesifik hanya pada gen target. Oleh karena itu, pestisida ini lebih aman untuk lingkungan dan organisme nontarget, seperti lebah atau burung.

Selain itu, RNA lebih mudah terurai di alam, sehingga tidak meninggalkan residu berbahaya seperti pestisida konvensional.

Pestisida berbasis RNA pertama kali hadir di pasar Amerika Serikat. Pestisida ini diterapkan pada tanaman jagung yang telah direkayasa genetik atau GMO (genetically modified organism) dengan merek SmartStax Pro yang dikembangkan oleh perusahaan Bayer. Produk tersebut mulai dikomersialkan pada 2020, setelah mendapatkan persetujuan dari Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA).

Varietas tanaman jagung ini dimodifikasi secara genetik sehingga dapat memproduksi dsRNA yang dirancang untuk menargetkan gen tertentu pada hama jagung invasif yang merugikan, seperti western corn rootworm (Diabrotica virgifera). Ketika hama memakan tanaman tersebut, dsRNA ini akan masuk ke dalam tubuh hama dan mengganggu ekspresi gen target, yang pada akhirnya menyebabkan kematian hama. Jadi, pestisida RNA berfungsi sebagai mekanisme pertahanan yang dihasilkan oleh tanaman itu sendiri.

Namun, teknologi pestisida RNA berbasis tanaman hasil rekayasa genetik menghadapi tantangan, terutama terkait penerimaan konsumen. Banyak konsumen masih skeptis terhadap produk hasil rekayasa genetik karena ada kekhawatiran tentang keamanan dan dampak kesehatan.

Sebagai alternatif, pestisida RNA dalam bentuk obat semprot mulai dikembangkan dalam skala massal oleh perusahaan Greenlight Biosciences pada 2021. Pestisida dalam bentuk ini dianggap lebih mudah diterima oleh masyarakat karena tidak melibatkan rekayasa genetika tanaman secara langsung dan dapat diaplikasikan pada tanaman apa pun.

Selain di Amerika Serikat, pada 2023, badan pengawas pengendalian hama di Kanada juga telah mengizinkan uji lapangan untuk sebuah merek pestisida RNA. Di Jepang, perusahaan Ajinomoto juga mulai mengembangkan teknologi serupa.

Dengan perkembangannya di berbagai negara, pestisida RNA berpotensi menjadi tren baru dalam pengendalian hama, menawarkan alternatif yang lebih ramah lingkungan dan spesifik untuk mengatasi tantangan pertanian modern.

Peluang dan tantangan penerapan pestisida berbasis RNA di Indonesia

Aplikasi pestisida RNA dalam bentuk obat semprot ini berpotensi diterapkan di Indonesia untuk membantu menangani hama padi seperti wereng cokelat. Penelitian menunjukkan bahwa dsRNA dapat menyebabkan kematian hama wereng cokelat hingga 100%.

Hama seperti ulat grayak—yang menyerang tanaman jagung cukup masif hingga 44ribu hektar pada 2023—juga bisa menjadi target potensial.

Meski demikian, pengembangan pestisida RNA untuk hama jenis ini cukup menantang karena ulat grayak memiliki enzim unik yang dapat mempersulit efektivitas dsRNA dalam mengganggu proses biologis mereka. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan meningkatkan efektivitas pestisida RNA terhadap ulat grayak. Beberapa penelitian sedang berupaya mencari formulasi yang tepat agar pestisida RNA dapat bekerja pada hama jenis ini.

Sawah yang rusak akibat hama wereng coklat di Pulau Jawa, Indonesia/shutterstock.

Riset-riset ini dapat menjadi dasar pengembangan pestisida semprot berbasis RNA skala industri di Indonesia, sebagaimana produk serupa hasil produksi perusahaan GreenLight di Amerika Serikat. GreenLight memproduksi pestisida semprot berbasis RNA dengan merek Calantha. Pestisida ini menarget hama kumbang kentang Colorado (Leptinotarsa decemlineata) dan mulai meluncur di pasaran pada tahun ini.

Meskipun potensinya besar, ada tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan pestisida RNA. Salah satunya adalah kemungkinan pestisida RNA menyerang hama bukan target, sehingga diperlukan regulasi yang ketat untuk memastikan keamanan penggunaannya. Selain itu, petani perlu diberi edukasi tentang cara penggunaan pestisida ini dengan benar, termasuk rotasi dengan pestisida lain agar hama tidak menjadi resisten.

Teknologi produksi massal yang lebih murah juga perlu dikembangkan agar harga pestisida RNA dapat bersaing dengan pestisida konvensional. GreenLight, misalnya, berhasil menekan biaya produksinya menjadi kurang dari US$1 atau sekitar Rp15 ribu per gram dengan memanfaatkan fermentasi bakteri Escherichia coli.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,400 academics and researchers from 5,063 institutions.

Register now