Menu Close
(Shutterstock)

Plagiarisme Putin, ijazah palsu dari Ukraina, dan kisah para pemimpin dunia yang dituding melakukan kecurangan akademik

Skandal besar terkait penerimaan mahasiswa yang sempat meledak di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2019 – ketika orang tua kaya menyuap pejabat di beberapa kampus elit – menguak kenyataan bahwa banyak orang rela membayar jumlah fantastis demi bisa berkata, “Saya lulusan kampus Ivy League.

Di AS, tempat saya mengajar, banyak orang masih menjunjung mitos bahwa dunia akademik bersifat meritokratik, meski berbagai bukti menunjukkan sebaliknya. Tak heran, mereka kemudian kaget saat mengetahui bahwa sistem pendidikan di AS penuh dengan praktik yang ilegal dan melanggar etika.

Tapi, kecurangan akademik bukanlah hal baru – dan bukan hal yang bermula di AS.

Di beberapa negara, riset saya tentang korupsi akademik menunjukkan bahwa berbagai pejabat publik membangun karir politiknya di atas capaian akademik yang tak melulu jujur.

Pemimpin yang bohong

Nama dari seorang Menteri Pertahanan Jerman, Baron Karl-Theodor Maria Nikolaus Johann Jacob Philipp Franz Joseph Sylvester Buhl-Freiherr von und zu Guttenberg, sudah teramat panjang.

Tapi pada tahun 2006, ia memutuskan untuk menambahkan gelar “Dr.” pada namanya dengan menyelesaikan studi S3 bidang hukum di University of Beyrouth, Jerman.

Setidaknya, itulah kata sang menteri.

Tapi ternyata Guttenberg – yang waktu itu sering digadang-gadang menjadi penerus Perdana Menteri Angela Merkel – telah memplagiasi banyak bagian dalam disertasi S3-nya tentang perbandingan sistem hukum AS dan Eropa.

Para “detektif internet” yang menguak kecurangan ini pada tahun 2011 menjulukinya “Googleberg”. Ia terpaksa mengundurkan diri, meski kemudian mendapat jabatan kehormatan di think tank Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington, D.C. di AS.

Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg menghadiri suatu konferensi pers untuk mengumumkan pengunduran dirinya di Berlin pada tahun 2011. Reuters/Thomas Peter

Perdana Menteri Rumania, Victor Ponta, awalnya mencoba strategi yang berbeda ketika dirinya dituding melakukan plagiarisme akademik tak lama setelah menjabat pada tahun 2012: Ia menyangkal semua tuduhan tersebut.

“Satu-satunya penyesalan saya adalah tidak mencantumkan nama penulis di bagian bawah tiap halaman, melainkan menaruhnya dalam bibliografi di bagian akhir,” katanya.

Ponta mundur dari jabatannya pada tahun 2015 setelah menghadapi sejumlah skandal, termasuk diadili atas kasus penghindaran pajak.

Tapi, ia masih berusaha mempertahankan integritas akademiknya.

“Setelah mundur dari arena politik, saya berkeinginan untuk meraih gelar doktor yang baru sembari menaati dan menghormati seluruh standar dan ketentuan yang berlaku,” katanya dengan tegar, setelah mengakui di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bahwa dirinya memang memplagiasi lebih dari setengah isi disertasinya pada tahun 2004.

Ponta kemudian menyurati rektor Bucharest University untuk melepas gelarnya.

Strategi para pemimpin otoriter

Presiden Rusia Vladimir Putin selama ini lebih banyak bersikap tak acuh atas beragam tudingan bahwa ia bukanlah ‘otak intelektual’ di balik disertasinya pada tahun 1997 yang berjudul “Mineral and Raw Materials Resources and the Development Strategy for the Russian Economy.”

Tudingan-tudingan ini awalnya muncul pada tahun 2006, ketika investigasi dari lembaga riset Brookings Institution yang berbasis di AS, melaporkan bahwa ia memplagiasi sekitar 16 dari 200 halaman disertasi S3-nya dari sumber-sumber lain.

Dua belas tahun kemudian, sang pemimpin Rusia kembali menghadapi tudingan bahwa disertasinya ditulis oleh orang lain (ghostwrite). Menurut mantan anggota legislatif Rusia, Olga Litvinenko, disertasi Putin merupakan hasil tulisan dari ayahnya, Vladimir Litvinenko, yang kala itu merupakan pembimbing akademik Putin dan juga rektor dari Saint Petersburg Mining University.

Putin tidak mengakui maupun menyangkal tudingan bahwa ia memplagiasi disertasi S3-nya. WAW/FMS via Reuters

Yang juga berkontribusi dalam “menulis” disertasi Putin, kata Olga, adalah mesin fotokopi.

Memakai satu-satunya teknologi “copy paste” yang tersedia pada akhir 1990-an, Olga mengatakan bahwa ayahnya membantu Putin berbuat curang dengan menggunting paragraf dari berbagai sumber, kemudian menempelkan dan menggandakannya untuk menyusun halaman-halaman disertasi Putin.

Putin tidak pernah merespons berbagai tudingan ini.

Mode-mode kecurangan

Reaksi yang berbeda-beda dari Guttenberg, Ponta, dan Putin atas skandal terkait gelar S3 mereka seluruhnya masuk akal, berdasarkan temuan riset saya – tentu jika kita mempertimbangkan konteks kultural masing-masing kasus.

Mundur dari jabatan setelah adanya tudingan korupsi akademik, sebagaimana yang dilakukan Guttenberg, adalah respons yang rasional di negara seperti Jerman.

Jerman menempati posisi ke-6 dari 129 negara dalam hal kepatuhan terhadap hukum, berdasarkan indeks “rule of law” keluaran World Justice Project. Di negara tersebut, praktik semacam itu merupakan hal yang sangat memalukan secara profesional.

Tapi, di suatu negara demokrasi berkembang yang masih bergelut dengan korupsi, seperti Rumania, unjuk pengaruh dan kekuatan politik adalah cara yang masuk akal untuk meladeni tudingan kecurangan akademik. Menurut World Justice Project, di antara negara-negara Eropa, Rumania cenderung lemah dalam menuntut akuntabilitas dari pejabat negara yang terlibat penyelewengan kekuasaan ataupun dalam menuntut transparansi di kalangan pegawai pemerintah.

Kemudian, dalam suatu autokrasi seperti Rusia, sejujurnya, politikus papan atas bahkan bisa dengan mudah mengabaikan tudingan-tudingan akan ijazah palsu. Nyatanya, Putin telah menjabat posisi tinggi di Rusia, entah sebagai presiden maupun perdana menteri, sejak 1999.

Saking lebarnya cengkeraman Putin atas kekuasaan di Rusia, ia kebal dari segala konsekuensi politis yang muncul dari skandal akademik – bahkan skandal apapun.

Krisis disertasi di Ukraina

Begitu pula Ukraina, negara demokrasi muda yang tengah berjuang.

Di Ukraina, merupakan tradisi bagi politikus papan atas untuk memegang gelar S3. Kelima presiden Ukraina, sejak kemerdekaan negara tersebut dari Uni Soviet pada 1991 hingga awal tahun 2019 saat versi bahasa Inggris dari artikel ini terbit, telah memegang gelar S3 – setidaknya begitulah klaimnya.

Tapi, mengingat negara tersebut punya puluhan perusahaan swasta yang menawarkan jasa penulisan disertasi (ghostwriting), menjadi tradisi pula bagi masyarakat Ukraina untuk mengekspos politikus yang melakukan kecurangan akademik.

Keabsahan gelar doktor dan profesor dari Presiden Victor Yanukovych sempat menjadi bahan perdebatan saat banyak orang mengamati bahwa dokumen pendaftarannya untuk maju dalam pilpres 2004 penuh dengan kesalahan gramatikal – termasuk salah menulis kata “proffesor”.

Pada tahun 2017, mantan Perdana Menteri Ukraina Arseniy Yatsenyuk juga dituding memplagiasi disertasinya.

Keduanya mengikuti model Putin: Abaikan saja dan berharap skandalnya akan berlalu.

Dan memang seperti itu yang terjadi. Yakunovych terpilih menjadi presiden pada tahun 2010 saat ia maju pilpres untuk kedua kalinya. Yatsenyuk pun masih menjadi figur politik ternama di Ukraina.

Jangan tanya tentang gelar saya

Saat ditanya bagaimana mereka menghasilkan begitu banyak uang, milyarder kerap mengulang ucapan Henry Ford: “Saya siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya sepanjang hidup, selama Anda tidak menanyakan bagaimana saya menghasilkan uang satu juta pertama saya.”

Kata-kata sang juragan mobil menunjukkan betapa kaburnya – terkadang ilegal – asal muasal sumber harta kekayaan mereka.

Bagi beberapa politikus Rusia, Eropa, atau bahkan lulusan kampus AS saat ini, ungkapan yang setara mungkin adalah, “Jangan tanya bagaimana saya meraih gelar saya.”


Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel berbahasa Inggris yang terbit pada awal tahun 2019.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now