Menu Close
Polusi PLTU bisa ditekan
PLTU di Konawe, Sulawesi Tenggara. Jojon/Antara

PLTU fleksibel: solusi sementara Indonesia untuk mengurangi emisi batu bara, apa itu?

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai kondisi bebas emisi (net zero emission) pada 2060 atau lebih awal dengan mempercepat penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2040-an.

Target ini salah satunya didukung oleh kebijakan ‘pensiun dini’ sejumlah PLTU dengan kapasitas total 9,2 gigawatt (GW) pada 2030.

Masalahnya, kebanyakan PLTU yang beroperasi saat ini berusia muda, rata-rata di bawah 11 tahun. Total kapasitas dengan usia tersebut mencapai 25.157 MW. Ada juga beberapa PLTU yang masih dalam tahap konstruksi dengan kapasitas total 10.519 MW – kecil kemungkinannya untuk dibatalkan.

Upaya mengurangi penggunaan PLTU seharusnya bisa dipercepat untuk memuluskan transisi ke pembangkit listrik energi terbarukan, sekaligus memenuhi target Indonesia bebas emisi 2060 atau lebih awal.

Salah satu opsi yang layak dipertimbangkan adalah mengubah pola operasi PLTU dari yang sebelumnya beroperasi 24 jam dalam sehari untuk menopang beban dasar sistem ketenagalistrikan (baseload), menjadi hanya menopang beban puncak pada jam-jam tertentu saja (peak load).

Pola operasi yang disebut ‘PLTU fleksibel’ ini memungkinkan penambahan pasokan pembangkit energi terbarukan (ET), terutama yang berasal dari sumber-sumber energi yang suplainya bergantung pada kondisi tertentu (seperti matahari dan angin) ke dalam sistem ketenagalistrikan. Harapannya, emisi CO2 dari pembakaran batu bara untuk PLTU bisa dikurangi.

Berdasarkan kajian yang saya lakukan bersama tim Institute for Essential Service Reform, Indonesia bisa menerapkan pola operasi fleksibel. Berikut penjelasannya.

Membuat operasi PLTU menjadi fleksibel

Aksi warga menolak PLTU batu bara
Warga yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) melakukan aksi unjuk rasa di depan PLTU Indramayu. Dedhez Anggara/Antara

Ada tiga kriteria performa dari suatu PLTU yang dapat disasar agar dapat beroperasi secara fleksibel:

1) produksi listrik minimum suatu pembangkit (minimum load) 2) tingkat kenaikan produksi listrik minimum ke produksi listrik maksimal (full load) per satuan waktu (ramp rates), 3) waktu nyala mula (start-up time).

Dengan pola operasi fleksibel, PLTU akan menurunkan minimum load ke tingkat yang lebih rendah, misalnya saat matahari tengah bersinar. Tujuannya untuk mengoptimalkan penyerapan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Sebaliknya, pada malam hari ketika PLTS tidak memproduksi listrik, unit-unit PLTU dapat memenuhi kebutuhan setrum dengan segera memaksimalkan produksi listriknya melalui ramp rates yang lebih cepat.


Read more: Riset: biaya lingkungan Indonesia nyaris seribu triliun setahun, ini 10 besar penyebabnya


Indonesia dapat mencontoh kesuksesan Jerman menerapkan pola operasi fleksibel sejak 2011. Melalui modernisasi, produksi listrik minimum PLTU Neurath unit E Jerman dapat diturunkan sebesar 41% menjadi 260 MW dari sebelumnya 440 MW. Ramp rates PLTU ini juga meningkat sebesar 239%, dan start-up time menjadi 1 jam lebih cepat.

Per tahun 2021, sistem ketenagalistrikan Jerman memiliki kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sebesar 61,96%. Sekitar 55,49% dari kapasitas energi terbarukan tersebut berasal dari pembangkit dengan pasokan listrik yang berfluktuasi (variable renewable energy), seperti energi surya dan energi angin atau bayu.

Pada 7 November 2021, pembangkit energi terbarukan di Jerman sempat mendominasi produksi listrik selama 12 jam. Dominasi ini membuat PLTU dan pembangkit fosil lainnya beroperasi fleksibel dengan produksi listrik minimum yang lebih rendah. Hasilnya, emisi CO2 di hari tersebut menjadi yang terendah pada November 2021.

Selain Jerman, India juga tengah menguji coba operasi fleksibel pada beberapa PLTU yang berumur kurang dari 9 tahun. Uji coba ini, yang bahkan dilakukan tanpa memodifikasi komponen fisik, mampu mengurangi produksi listrik minimum PLTU hingga angka 40%.

Memulai operasi fleksibel pada PLTU

Dampak PLTU dapat dikurangi dengan operasi fleksibel
PLTU Labuan di Banten. ESDM

Operasi fleksibel pada PLTU membutuhkan perencanaan yang memadai. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi kondisi sistem ketenagalistrikan terkini dan perencanaan ke depannya. Misalnya terkait kondisi pembangkit-pembangkit listrik energi fosil, jenis-jenis pembangkit energi terbarukan, hingga keseimbangan pasokan-kebutuhan listrik.

Hal berikutnya adalah mengidentifikasi unit-unit PLTU yang berpotensi untuk dioperasikan secara fleksibel dan diuji coba.

Secara umum, unit PLTU yang dapat beroperasi secara fleksibel memiliki kriteria sebagai berikut:

1) Berusia kurang dari 5 tahun 2) Berteknologi subcritical – dengan pembakaran yang tidak efisien 3) Memiliki kapasitas antara 100-600 MW

Pembangkit-pembangkit dengan karakter teknis tersebut banyak tersebar di luar pulau Jawa-Bali dan Sumatra. Misalnya di Kalimantan, terdapat sekitar 1,8 GW PLTU yang berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan di Sulawesi, terdapat sekitar 1,1 GW PLTU di rentang usia yang sama.


Read more: _David_ vs _Goliath_: mengapa pendanaan PLTU di Indonesia lebih perkasa ketimbang energi terbarukan


Kami mencoba menganalisis kemungkinan penerapan pola PLTU fleksibel di Pulau Sulawesi. Hasilnya, dengan pola operasi yang fleksibel, PLTU di Sulawesi dapat menurunkan produksi listrik minimumnya di angka 30% dari sebelumnya sekitar 50% pada 2030.

Kami memilih tahun 2030 karena, pada waktu tersebut, Sulawesi diperkirakan akan memperoleh 51,2% pasokan listriknya dari energi terbarukan. Pasokan ini dapat menggantikan fungsi PLTU sebagai penyangga beban sistem kelistrikan.

Nantinya, pada saat ekspansi pembangkit-pembangkit energi terbarukan sudah masif – sekaligus ditunjang dengan murahnya harga baterai, unit-unit PLTU yang sebelumnya beroperasi secara fleksibel dapat dihentikan sepenuhnya.

Tantangan dan rekomendasi

Jokowi resmikan PLTU
Presiden Joko Widodo saat meresmikan groundbreaking PLTU Lontar 1x315 MW di Jakarta. PLN

Secara teknis, operator-operator pembangkit di Indonesia cukup mumpuni untuk bisa melakukan hal ini. Karakteristik unit-unit PLTU yang masih berusia relatif muda juga menjadi modal terselenggaranya operasi fleksibel.

Tantangan-tantangan yang ada sebetulnya lebih berada di ranah pasar, regulasi, perencanaan, dan kontrak Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).

Misalnya, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN hanya menyinggung sedikit seputar operasi fleksibel tanpa melengkapinya dengan detail perencanaan. Begitu juga kebijakan jaringan sistem tenaga listrik (Grid Code) dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 20 Tahun 2020 yang tak memuat pengaturan PLTU Fleksibel.

Salah satu peluang sebenarnya muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang mengamanatkan Menteri Energi membuat rencana pengakhiran PLTU. Aturan ini diharapkan menstimulasi adanya regulasi-regulasi lain yang mendukung PLTU yang beroperasi secara fleksibel.


Read more: Mengapa program listrik pemerintah belum sanggup mendorong pemerataan kesejahteraan


Dalam rangka rencana pengakhiran PLTU ini, pemerintah dan PLN perlu membuat perencanaan dan pengaturan untuk mendorong operasi PLTU secara fleksibel.

PLN juga dapat memasukkan operasi fleksibel pada PLTU dalam dokumen perencanaan berikutnya. Pola ini dapat menjadi solusi sementara sebelum penghentian operasi seluruh PLTU. Upaya ini dianggap bisa meredam kerugian yang diderita pengembang PLTU muda.

Sementara, tantangan lainnya adalah dokumen perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang PLTU. Kontrak ini memiliki tenor yang juga panjang dan ketentuan yang baku dari pemerintah, serta kaku. Studi yang dilakukan oleh Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) juga mengakui pasar kelistrikan Indonesia menjadi batu penghalang untuk dapat mengoperasikan PLTU secara fleksibel.

Untuk mengatasi tantangan ini, renegosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) oleh PLN kepada pengembang pembangkit mutlak diperlukan untuk mengubah peran PLTU dari penyangga beban dasar sebagai menjadi load-follower (mengikuti perubahan beban). Perpres No. 112 Tahun 2022 dapat menjadi pintu masuk untuk memulai proses renegosiasi kontrak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now