Menu Close
phBodrova/shutterstock.

Rasa, cipta, karsa: kunci peran guru dalam pendidikan inklusif

Komitmen pemerintah Indonesia dalam melaksanakan pendidikan inklusif tercermin dalam peningkatan jumlah sekolah inklusi dari 28.778 di tahun 2021 menjadi 40.164 di tahun 2023.

Pendidikan inklusif berarti semua anak berada di kelas dan sekolah yang sama—tidak hanya anak-anak penyandang disabilitas tetapi juga penutur bahasa minoritas dan lainnya.


Read more: Apa yang salah dalam penggunaan istilah inklusif di sekolah-sekolah Indonesia?


Namun, jumlah yang meningkat ini tidak dibarengi dengan solusi atas tantangan pelaksanaan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah defisit guru pendamping khusus (GPK) yang berdampak pada kurang optimalnya dukungan bagi siswa berkebutuhan tambahan di sekolah reguler yang jumlahnya meningkat setiap tahun.

Pada 2024, dari 40.164 sekolah inklusi, hanya 15,83% (5.956 sekolah) yang memiliki GPK.

Tercatat hanya 12,6% guru reguler yang telah mendapatkan pelatihan pendidikan inklusif. Jumlah ini sangat minim mengingat terdapat 3 juta lebih guru di seluruh satuan pendidikan di Indonesia.

Ini menunjukkan upaya peningkatan kompetensi pendidikan inklusif bagi guru reguler di Indonesia cukup mendesak. Kompetensi dalam pendidikan inklusif menjadi sangat penting bagi guru reguler untuk memastikan bahwa, semua siswa—termasuk yang berkebutuhan tambahan, dapat belajar dengan optimal di kelas yang sama.

Bagaimana menyiapkan guru untuk pendidikan inklusif?

Penyiapan guru untuk pendidikan inklusif diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 8 tahun 2016 pasal 44. UU ini menyatakan bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukkan mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum. Ketentuan serupa juga disampaikan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 13 Tahun 2020 pasal 5. Mata kuliah ini umumnya disajikan sebagai mata kuliah pilihan dengan bobot 2-3 SKS.

Namun, dari 6.032 program studi pendidikan di Indonesia, hanya sedikit Program Studi Pendidikan yang telah memasukkan mata kuliah pendidikan inklusi dalam kurikulum. Sebut saja Universitas Sebelas Maret, Universitas Brawijaya, Universitas Lambung Mangkurat, dan beberapa universitas lain.

Program profesi guru prajabatan—program pendidikan profesi yang mempersiapkan guru bersertifikasi—hanya menawarkan satu mata kuliah selektif yang berkaitan dengan kompetensi pedagogik inklusif, yaitu pengantar pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus.

Ini menunjukkan bahwa, baik secara legislatif maupun praktis, penyiapan guru dengan kompetensi pedagogik inklusif belum menjadi prioritas utama.

Calon guru hanya menerima sedikit materi tentang pendidikan inklusi—atau bahkan tidak sama sekali. Akibatnya, guru kurang siap menerapkan pendidikan inklusi secara efektif.

Sikap positif saja tidak cukup

Penelitian kesiapan guru dalam menerapkan pendidikan inklusi menunjukkan bahwa guru telah memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan inklusi,. Ini dipengaruhi oleh pengalaman mengajar, pelatihan terkait pendidikan inklusi, tingkat pendidikan, gender, jenis sekolah dan tingkat pendidikan guru.

Meski demikian, kekhawatiran dan tantangan dalam penerapannya tetap menjadi hambatan signifikan. Kekhawatiran ini mencakup kurangnya dukungan, sumber daya yang terbatas, dan kurangnya pelatihan yang memadai bagi guru.

Tingginya tantangan dan kekhawatiran serta minimnya dukungan membuat guru pesimis dan memiliki efikasi diri (kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan) yang rendah dalam menerapkan pendidikan inklusi. Guru dengan efikasi diri rendah cenderung merasa tidak mampu memfasilitasi peserta didik dengan kebutuhan tambahan, sehingga enggan melakukan adaptasi dan penyesuaian pembelajaran.

Guru yang percaya diri dan optimis penting dalam pendidikan inklusif. Zenzenstudio/shutterstock.

Selain sikap positif, guru juga perlu memiliki kepercayaan diri dan optimisme tinggi dalam mengajar peserta didik dengan beragam kebutuhan. Guru dengan efikasi yang tinggi terhadap pendidikan inklusi cenderung memiliki keinginan/motivasi yang kuat dalam menerapkan pengajaran inklusi.

Selain itu, efikasi yang tinggi mampu mendorong guru untuk kreatif dalam melakukan reformasi pengajaran, mencegah guru mengalami burnout atau keletihan mental serta membantu guru mengurangi kelelahan emosional.

Artinya, guru dikatakan siap melaksanakan pendidikan inklusi apabila ia memiliki sikap yang positif, melihat hambatan sebagai tantangan untuk mengembangkan diri, dan memiliki kepercayaan tinggi dalam menerapkan praktik pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi sebagai kompetensi standar

Pendidikan guru berperan penting dalam membekali calon pendidik dengan pengetahuan dan keterampilan yang esensial. Program ini menjadi jalur ideal untuk mengintegrasikan penyiapan guru untuk pendidikan inklusi.

Selain memastikan kesiapan guru dalam memenuhi kebutuhan beragam siswa sejak awal, integrasi pendidikan inklusi dalam program pendidikan guru juga menormalisasi pendidikan inklusi sebagai kompetensi standar guru.

Berbagai riset melaporkan bahwa penerapan mata kuliah pendidikan inklusi dalam program pendidikan guru efektif dalam meningkatkan kesiapan guru . Ini ditandai dengan peningkatan sikap positif, turunnya kekhawatiran, dan peningkatan efikasi dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi.

Untuk menerapkan pedagogi inklusi secara efektif, terdapat tiga sasaran utama transformasi pendidikan guru, yaitu:

  1. Mengubah persepsi dari “pendidikan khusus” menjadi “pendidikan untuk semua”: Mengubah cara pandang dari pendidikan yang berfokus pada kelompok tertentu menjadi pendekatan yang melibatkan semua siswa tanpa kecuali.

  2. Meyakini bahwa kemampuan anak dapat berkembang: Menghapus anggapan bahwa kehadiran siswa dengan keterlambatan belajar akan menghambat kemajuan siswa lain, dan sebaliknya, meyakini bahwa semua anak memiliki potensi untuk berkembang.

  3. Melihat kesulitan sebagai tantangan bagi guru untuk berkembang: Menganggap kesulitan yang dihadapi siswa sebagai peluang bagi guru untuk berkembang dan meningkatkan praktiknya, bukan sebagai kekurangan pada siswa itu sendiri.

Pendekatan rasa, cipta, karsa

Konsep Heart, Head, Hands (rasa, cipta dan karsa) menawarkan pendekatan holistik dalam merancang program pendidikan guru inklusi. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Johann Heinrich Pestalozzi, seorang pendidik dari Swiss yang meyakini bahwa pengajaran dan pembelajaran merupakan integrasi dari heart, head, dan _hand.

Dalam konteks Indonesia, Ki Hadjar Dewantara menyebut ketiga hal ini sebagai tri sakti jiwa yaitu rasa, cipta, karsa.

Heart/rasa berhubungan dengan keyakinan guru terhadap pendidikan inklusi sehingga guru perlu mengembangkan sikap positif terhadap pendidikan inklusi. Program pendidikan guru harus menumbuhkan keyakinan positif calon guru dan membantu mereka melihat pendidikan inklusi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai beban.

Keyakinan ini dapat dicapai guru dengan meluruskan prasangka dan mengatasi kekhawatiran mereka terhadap pendidikan inklusi, dan menggunakan pendekatan yang relevan secara budaya.

Head/cipta merujuk pada aspek kognitif dan pengetahuan dalam menerapkan pendidikan inklusif. Pendidikan guru umumnya lebih menekankan pada jenis-jenis disabilitas, dengan sedikit fokus pada strategi pengajaran inklusif. Penekanan pada jenis disabilitas ini dapat meningkatkan kekhawatiran calon guru dalam menerapkan pendidikan inklusif. Calon guru perlu dibekali pengetahuan yang relevan, termasuk praktik baik pendidikan inklusif yang sudah diterapkan di sekolah, serta materi tentang strategi pembelajaran yang inklusif seperti cooperative learning, universal design learning, collaborative problem solving, heterogenous grouping dan pengajaran efektif.

Sementara hands/karsa mencakup keterampilan praktis dan aplikasi langsung. Program pendidikan guru perlu berkolaborasi dengan sekolah sebagai tempat bagi guru mendemonstrasikan pengetahuan yang telah mereka dapatkan di kelas serta sebagai mentor dan contoh praktik baik penerapan pendidikan inklusi.

Penerapan konsep rasa, cipta, karsa dalam pendidikan guru inklusi menekankan pentingnya kolaborasi antara universitas dan sekolah untuk mengajar bersama, mendukung, dan menilai kesiapan calon guru dalam menghadapi kelas inklusif.

Dengan kata lain, pendidikan guru yang inklusif membutuhkan komitmen bersama. Ini bisa dimulai dengan mendefinisikan ulang pendidikan sebagai hak untuk semua anak, kemudian mengimplementasikannya secara konsisten untuk memastikan dampak yang bermakna dan berkelanjutan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,000 academics and researchers from 5,057 institutions.

Register now