Menu Close
Peternakan sapi perah di Lembang, Jawa barat. (Author provided)

Rencana Indonesia swasembada susu perlu hati-hati agar tak membebani emisi bumi

Artikel merupakan bagian dari edisi khusus Hari Bumi.


Susu merupakan bahan pangan berkualitas tinggi yang mendukung perbaikan gizi masyarakat Indonesia. Konsumsinya pun terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, dan diperkirakan berlanjut pada tahun-tahun mendatang.

Sayangnya, kebutuhan susu di Indonesia sampai saat ini masih mengandalkan impor. Angkanya sekitar 74,13% dari kebutuhan susu nasional.

Guna mengurangi ketergantungan terhadap impor, pemerintah mencanangkan strategi peningkatan produksi susu dalam negeri dengan menambah populasi sapi perah di peternakan skala kecil. Sebab, mayoritas produksi susu dihasilkan oleh sektor usaha tersebut.

Berdasarkan dokumen Cetak Biru Swasembada Susu Nasional, pemerintah menargetkan impor susu dapat berkurang menjadi 40% pada 2025.

Namun, pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan strategi tersebut. Pasalnya, penambahan populasi sapi berisiko meningkatkan dampak lingkungan sektor peternakan, terutama terkait emisi gas rumah kaca dari berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pemeliharaan sapi perah.

Kami melakukan penelitian untuk menghitung emisi gas rumah kaca dari peternakan skala kecil di Indonesia. Kami juga mengidentifikasi aktivitas-aktivitas terkait peternakan sapi perah yang menyumbang emisi gas rumah kaca sehingga bisa dijadikan sasaran untuk upaya mitigasi.

Penelitian kami menggunakan metode analisa daur hidup untuk menghitung tiga gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2), metana, dan nitrogen dioksida (NO2) dari aktivitas-aktivitas terkait pemeliharaan sapi perah, baik yang dilakukan di luar maupun di dalam peternakan. Data diperoleh dari 32 peternakan sapi perah skala kecil di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Hasilnya, setiap kilogram susu sapi (sekitar 0,97 liter) yang dihasilkan peternak skala kecil di Lembang melepaskan emisi 1,2 kilogram setara karbon dioksida. Jumlah ini adalah setengah dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran seliter bensin, yaitu sebanyak 2,3 kilogram.

Serdawa sapi yang tak bisa diremehkan

Kami menemukan bahwa sistem pencernaan sapi perah, manajemen kotoran sapi perah, penggunaan pupuk di lahan rumput, dan penggunaan bahan bakar atau listrik berkontribusi terhadap emisi di dalam peternakan. Sedangkan di luar peternakan, emisi berasal dari produksi pakan, pupuk, bahan bakar, dan listrik.

Adapun emisi terbesar dari peternakan adalah gas metana. Gas ini merupakan hasil samping pencernaan sapi perah yang keluar dari tubuh sapi melalui serdawa (kerap disebut sendawa).

Karena sistem pencernaan sapi tidak melumat semua makanan, maka sisa pakan tak tercerna itu dimanfaatkan oleh bakteri di saluran pencernaan sapi untuk membentuk gas metana. Sebagian kecil gas metana juga keluar melalui kotoran sapi.

Komponen emisi gas rumah kaca dari produksi susu serta perbandingan jumlah emisi dalam dua musim. (Author provided)

Selain serdawa sapi, produksi pakan juga menyumbang emisi karbon dioksida. Di Lembang, sapi perah mendapatkan pakan yang beragam, mulai dari rumput, ampas tahu, dan onggok (hasil samping pembuatan tepung tapioka). Ada pula pakan campuran yang terbuat dari dedak gandum, dedak padi, dan kopra (hasil samping perasan minyak kelapa yang dikeringkan). Pakan campuran ini juga dikenal sebagai konsentrat.

Tanaman-tanaman pakan tersebut ada yang diberikan langsung pada sapi perah usai dipanen. Ada juga pakan yang perlu diolah di pabrik pakan sebelum didistribusikan ke peternakan sapi perah.

Nah, emisi CO2 – komponen emisi terbesar setelah metana di peternakan sapi perah – dihasilkan dari aktivitas budi daya tanaman pakan sampai transportasi pakan-pakan tersebut. Ada juga faktor lainnya seperti alih fungsi lahan, pengolahan tanah, dan pemakaian pupuk selama budi daya tanaman pakan.

Selain itu, ada pula manajemen kotoran sapi perah yang menyumbangkan emisi paling kecil dibandingkan serdawa dan produksi pakan.

Meski demikian, angka ini kemungkinan lebih kecil karena sebagian besar peternak membuang kotoran sapi ke sungai. Akhirnya pembentukan metana dan nitrogen dioksida dari kotoran tidak terjadi. Namun, kotoran sapi yang dibuang sembarangan menimbulkan masalah lain: pencemaran sungai.

Mitigasi gas rumah kaca dari peternakan sapi perah

Untuk menurunkan emisi gas metana, para peternak dapat memperbaiki pola pemberian pakan sapi perah.

Penelitian kami menemukan manajemen pakan sapi perah di Lembang saat musim kemarau menghasilkan emisi gas metana yang lebih rendah dibandingkan saat musim hujan. Pasalnya, saat musim kemarau, panen rumput menurun sehingga peternak di Lembang mengganti rumput dengan jerami padi dan menambah konsentrat dan ampas tahu.

Perubahan pakan ternyata memperbaiki kemampuan pencernaan sapi sehingga emisi gas metana dari serdawa menurun. Namun, di sisi lain, pergantian pakan beresiko meningkatkan emisi dari produksi dan transportasi pakan.

Berkaca pada hal tersebut, maka upaya meredam emisi dari produksi dan transportasi pakan juga perlu dilakukan. Misalnya, efisiensi sistem pengolahan tanah dan pemberian pupuk dapat ditingkatkan oleh produsen pakan dengan mempertimbangkan faktor jenis tanaman, kondisi tanah, dan cuaca.

Kami juga merekomendasikan untuk menghindari praktik budi daya tanaman pakan di lahan alih fungsi, misalnya dari hutan yang ditebang. Sebab, proses alih fungsi lahan melepaskan emisi karbon yang cukup besar.

Tantangan lainnya adalah strategi penambahan pakan yang minim emisi metana (konsentrat dan ampas tahu) yang bianya bisa lebih mahal. Padahal, berdasarkan wawancara yang kami lakukan, biaya pakan sudah menjadi pangsa terbesar (70%) dari total biaya operasional peternakan sapi perah skala kecil. Ini dapat menjadi beban yang merugikan peternak jika tak disertai dengan peningkatan produksi susu.

Melihat pentingnya aspek pakan dalam penurunan gas rumah kaca dari peternakan sapi perah, pemerintah perlu membuat kebijakan perbaikan manajemen pakan dalam rencana swasembada susu. Pemerintah juga harus memastikan kebijakan tata niaga pakan untuk menjamin ketersediaan pakan berkualitas bagi peternak sapi perah.

Hal penting lainnya adalah pemberian pelatihan dan menyediakan fasilitas untuk perbaikan manajemen pakan, misalnya teknologi fermentasi untuk meningkatkan daya cerna rumput dan jerami padi.

Ketersediaan lahan adalah faktor pendukung utama dalam produksi pakan. Untuk mengurangi ketergantungan pada pakan yang perlu didistribusikan dari daerah lain, pemerintah perlu menjamin lahan untuk budi daya pakan di sekitar lokasi peternakan sapi perah. Dengan begitu, emisi CO2 dari produksi dan distribusi pakan dapat ditekan.

Sedangkan untuk manajemen kotoran, pemerintah dapat memastikan agar peternak dapat memanfaatkan kotoran sapi perah sebagai pupuk untuk budi daya pakan ataupun kebutuhan lainnya seperti biogas. Hal ini diperlukan untuk menghindari pencemaran kotoran di sungai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now