Menu Close
Dokter hewan Dinas Pertanian dan Perikanan Sukoharjo memeriksa mulut sapi yang diperjualbelikan di Pasar Hewan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, 14 Mei 2022., untuk mencegah penyebaran penyakit kuku dan mulut (PMK) hewan ternak. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/rwa

Ribuan sapi terinfeksi penyakit mulut dan kuku: mengapa wabah lama menyebar kembali dan bagaimana mengendalikannya?

Wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak yang bisa menurunkan kesehatan, produktivitas, dan kematian hewan menyebar cepat di beberapa daerah di Indonesia. Per 10 Mei 2022, penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus itu menginfeksi sekitar 2.000 hewan ternak di empat kabupaten di Jawa Timur dan 1.200 sapi di Aceh.

Meski Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan risiko penularan PMK dari hewan ternak ke manusia sangat kecil, tapi dampak ekonominya besar dan signifikan. Produksi susu sapi terancam turun, yang akan mempengaruhi bisnis turunan dari susu sapi. Begitu juga produksi daging sapi.

Di tengah pandemi COVID-19 yang belum selesai dan temuan penyakit baru hepatitis akut misterius yang menyerang anak-anak, wabah yang menyerang hewan ini menambah kesulitan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya.

Pemerintah harus segera mengendalikan virus penyebab PMK baik melalui langkah karantina maupun vaksinasi massal hewan dan

Mengapa PMK muncul lagi Indonesia

Di Indonesia, wabah PMK pertama kali diketahui pada 1887 di Malang, Jawa Timur. Penyakit kemudian menyebar ke berbagai daerah pada 1962.

Wabah PMK seolah telah hilang pada 1980-1982 berkat vaksinasi massal memberantas PMK yang dimulai 1974. Tapi, sembilan tahun kemudian, pada 1983, penyakit ini muncul lagi di Jawa Tengah. Saat itu virus menular ke mana-mana karena satu-satunya penyebab PMK yang menyerang di Indonesia, yaitu virus tipe O dengan strain O1, menjadi lebih kuat sehingga vaksin dari vaksinasi tahun 1970-an tidak mempan lagi.

Melalui vaksinasi secara teratur setiap tahun, wabah dapat dikendalikan dan sejak 1986 Indonesia menyatakan bebas PMK. Hal tersebut juga diakui di tingkat ASEAN sejak 1987 dan tingkat dunia sejak 1990 oleh OIE.

Tapi kini wabah itu datang lagi. Penyelidikan asal-usul wabah baru ini masih berjalan.

Menteri Pertanian telah menetapkan PMK sebagai wabah. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran dan melacak penyakit tersebut.

Pola penularan dan tanda PMK pada hewan ternak

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan PMK atau foot and mouth disease (FMD) merupakan penyakit hewan ternak yang parah dan sangat menular.

Penyebabnya adalah virus PMK, FMD virus (FMDV). Virus ini termasuk dalam genus Aphthovirus dari famili Picornaviridae, yang memiliki tujuh tipe (A, O, C, SAT1, SAT2, SAT3, dan Asia1) yang endemik di berbagai negara di dunia.

Penyakit ini menyerang sapi, babi, domba, kambing, dan ruminansia (hewan pemamah biak) berkuku belah lainnya. Penularan virus PMK dapat melalui semua ekskresi (misalnya tinja, urin) dan sekresi (lendir) dari hewan yang terinfeksi, khususnya melalui aerosol yang mengandung virus.

Selain itu, virus dapat menular melalui peralatan (pakaian, alas kaki), kandang atau kendaraan pengangkut hewan, bahan (pakan, air) yang terkontaminasi. Hewan yang telah pulih dari infeksi kadang-kadang dapat membawa virus dan memulai wabah baru penyakit.

Gejala klinis yang khas pada PMK adalah munculnya lepuh (vesikel) di hidung, lidah, bibir, dalam rongga mulut, antara jari-jari kaki, atas kuku dan puting susu. Lepuh yang pecah dapat menyebabkan kepincangan yang ekstrem dan keengganan untuk bergerak atau makan.

Gejala lainnya adalah demam, depresi, air liur berlebihan, berat badan turun, pertumbuhan lambat serta produksi susu turun yang dapat bertahan bahkan setelah pemulihan.

Biasanya, lepuh sembuh dalam tujuh hari (terkadang lebih lama). Namun, dapat terjadi komplikasi seperti infeksi bakteri sekunder pada lepuh yang terbuka. Kematian dapat terjadi sebelum timbulnya lepuh akibat miokarditis multifokal (radang seluruh otot jantung).

PMK dapat dicurigai berdasarkan gejala klinis, namun tidak dapat dibedakan secara klinis dari penyakit vesikular (adanya luka atau kerusakan jaringan) lainnya. Oleh karena itu, diagnosis kasus dugaan PMK melalui tes laboratorium merupakan hal yang penting.

Cara pengendalian

PMK dapat dicegah dan dikontrol melalui profilaksis sanitasi (pencegahan melalui kebersihan lingkungan dari penyakit) dan medis.

Kegiatan profilaksis sanitasi meliputi perlindungan zona bebas PMK dengan mengontrol perbatasan dan pergerakan hewan ternak serta produknya; inaktivasi (mematikan atau melemahkan) virus PMK pada produk hewani; karantina; pemotongan hewan baik yang terinfeksi, pulih, dan rentan PMK; pembersihan dan desinfeksi tempat dan semua bahan yang terinfeksi; pembuangan bangkai dan produk hewan yang terkontaminasi di daerah yang terinfeksi.

Profilaksis medis dilakukan melalui vaksin inaktif, yang dapat dikategorikan menjadi vaksin potensi standar (vaksin komersial) dan potensi lebih tinggi (vaksin darurat). Vaksin hidup yang dilemahkan tidak dapat diterima karena bahaya kembali virulensinya dan penggunaannya akan mencegah deteksi infeksi pada hewan yang divaksinasi.

Penyakit PMK pada manusia berhubungan dengan konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi, produk susu atau produk daging yang belum diproses dari hewan yang terinfeksi atau kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi (misalnya peternak dan dokter hewan). Tidak ada laporan penularan dari manusia ke manusia.

Langkah–langkah konkret dan segera untuk mengendalikan adalah otoritas kesehatan hewan harus menghilangkan virus PMK dengan cara dekontaminasi area sekitar hewan ternak, menghilangkan sumber infeksi dengan cara stamping out (memusnahkan hewan yang terinfeksi), melakukan vaksin PMK, dan karantina wilayah yang terkena kasus PMK.

Mengingat besarnya dampak secara ekonomi dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, kita perlu peningkatan kewaspadaan. Kita juga membutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, antarkementerian, organisai profesi dan seluruh lapisan masyarakat untuk bersungguh-sungguh mengendalikan dan mengeliminasi wabah PMK ini.


Nico Hartandi, Teknisi Litkayasa Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sri Oemijati, Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now