Menu Close
Botol, kemasan, sendok garpu, dan kantong plastik yang dijual gerai makanan bungkus pulang mendominasi sampah laut. Richard Smith/Shutterstock

Riset: 3 cara agar larangan plastik sekali pakai dapat ampuh menangkal pencemaran

Pemerintah dari seluruh dunia berbondong-bondong memperkenalkan larangan produk plastik sekali pakai untuk melawan pencemaran.

Pemerintah Zimbabwe, misalnya, melarang kemasan dan botol plastik berlaku pada 2010. Sedangkan pemerintah Antigua dan Barbuda, negara kepulauan di Laut Karibia bagian timur, melarang produk sekali pakai untuk katering dan makanan bawa pulang (takeaway) pada 2016. Vanuatu juga menerbitkan larangan serupa untuk kemasan plastik sekali pakai pada 2018.

Eropa melarang kapas colok, gagang balon, dan produk sekali pakai untuk katering dan kemasan bawa pulang. Larangan ini turut mencakup produk turunan polistirena (polimer atau bahan plastik yang terbuat dari minyak bumi) pada 2021.

Pemerintah Inggris juga mengikuti langkah Eropa dengan melarang pasokan piring dan alat makan plastik sekali pakai, gagang balon, gelas dan kemasan polistirena kepada seluruh restoran, kafe, dan gerai makanan bawa pulang. Aturan ini akan berlaku pada April 2023. Penundaan larangan berlaku pada produk serupa yang dijual di supermarket dan warung hingga 2024.

Di Indonesia, per 2021 ada 54 kabupaten kota dan dua provinsi yang melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.

Meskipun berbagai larangan sudah terbit, produksi, penggunaan, dan pembuangan plastik terjadi di lintas negara maupun benua. Karena itulah, kesuksesan larangan penggunaan produk plastik tidak bisa hanya diukur dari kebijakan di satu negara.

Riset kami menggarisbawahi kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pemakaian suatu produk, misalnya larangan, pajak, ataupun pungutan, kurang menjangkau persoalan pencemaran global.

Efek pelarangan produk plastik sekali pakai cuma terbatas pada wilayah keberlakuannya, kecuali ada pergeseran besar dalam perilaku publik dan komersial yang melampaui batas-batas negara.

Patut diingat bahwa persoalan ini terkait erat dengan ‘budaya membuang’ atau (throwaway culture). Karena itu, larangan plastik sekali pakai yang tidak disertai kebijakan pendukung maupun strategi besar peralihan perilaku itu hanya menciptakan perubahan-perubahan kecil.

Sendok garpu plastik merusak lingkungan.
Alat makan plastik di kafe dan restoran termasuk dalam larangan Inggris baru-baru ini. ADragan/Shutterstock

The Global Plastics Policy Centre University of Portsmouth, Inggris, menelaah 100 kebijakan yang terbit untuk melawan pencemaran plastik di seluruh dunia pada 2022. Dari studi tersebut, setidaknya ada tiga pelajaran kunci agar larangan plastik lebih manjur.

1. Mudahkan barang penggantinya

Konsumen dan pelaku bisnis (pengguna plastik) akan sulit mematuhi larangan plastik sekali pakai yang berlaku mendadak. Upaya untuk memastikan sektor bisnis untuk mencari barang pengganti dengan harga yang terjangkau juga penting.

Antigua dan Barbuda menerapkan langkah ini dengan berinvestasi pada riset material-material ramah lingkungan. Mereka berhasil mencari bahan terjangkau untuk menggantikan plastik, seperti ampas hasil pengolahan tebu (bagasse).

Agar publik mendukung larangan plastik, pemerintah perlu mengintervensi harganya supaya material alternatif bisa lebih murah.

Bahan atau produk pengganti plastik juga harus berdampak lebih rendah terhadap lingkungan. Sebab, bahan pengganti tak selamanya lebih baik. Penggantian tas plastik dengan kertas, misalnya, bukanlah gagasan terbaik jika kita memperhitungkan dampak lingkungan seluruh daur hidupnya.


Read more: Bagaimana kita mengatasi persoalan sampah sisa makanan yang turut memperparah perubahan iklim?


2. Terapkan secara bertahap

Penerapan larangan bertahap dapat meningkatkan kesuksesannya. Namun, pendekatan ini juga membutuhkan pesan yang konsisten dan jelas seputar jenis produk yang dilarang dan waktu dimulainya.

Di Antigua dan Barbuda, larangan kantong plastik pada 2016 dan 2017 memicu dukungan untuk larangan produk plastik lainnya pada 2017 dan 2018.

Dalam dua kasus ini, larangan pertama kali dikenakan pada impor (pengadaan produk), setelah itu pada distribusinya. Tahapan ini memberikan waktu pemasok untuk mencari produk alternatif sekaligus menghabiskan sisa stoknya.

Pendekatan ini juga sukses dilakukan Inggris dalam larangan sedotan plastik, kapas colok, dan pengaduk di Inggris pada 2020. Kebijakan tersebut memungkinkan peritel menghabiskan stoknya selama periode sosialisasi selama enam bulan mengikuti pengenalan larangan tersebut.

3. Libatkan masyarakat

Pemerintah membutuhkan kampanye untuk menjelaskan mengapa larangan diberlakukan, apa manfaatnya bagi masyarakat dan pelaku bisnis.

Kampanye juga membutuhkan informasi tentang produk pengganti untuk mendukung larangan tersebut. Di Vanuatu, pemerintah menunda larangan popok sekali pakai karena publik mengkhawatirkan ketiadaan produk pengganti yang berkelanjutan.

Kolaborasi bersama publik semacam ini juga dibutuhkan untuk memicu inovasi. Contohnya, pada 2018, komunitas penenun dan pengrajin di Vanuatu mengatasi larangan kantong plastik dan kemasan polistirena dengan produk pengganti alami buatan dalam negeri, termasuk kantong dan kemasan makanan yang dirangkai dari daun palem.

Larangan plastik sekali pakai dapat menginspirasi perubahan sistem sosial sekaligus merombak hubungan setiap orang dengan plastik. Namun, tanpa perencanaan produk pengganti yang tepat dan terjangkau, kebijakan yang bertahap, dan upaya meraih dukungan publik serta pertimbangan seluruh daur hidup plastik, larangan ini akan berdampak kecil terhadap pencemaran serta menampilkan kesan kemajuan yang salah.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now