Menu Close

Riset: bagaimana pendengung dan pasukan siber ancam demokrasi dan kebebasan berekspresi

Chumakov Oleg/Shutterstock

Pasukan siber di Indonesia yang sengaja membelah opini publik bukan omong kosong.

Hasil riset terbaru dari Oxford Internet Institute (OII) tentang disinformasi–informasi palsu yang sengaja dibuat dan disebar untuk menipu banyak orang–dalam skala global dan manipulasi informasi di ruang media sosial menunjukkan bahwa di Indonesia ada partai politik dan politikus serta kontraktor swasta membentuk pasukan siber.

Dari riset yang digelar oleh ahli teknologi dan demokrasi Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford Inggris tahun 2017-2018 itu diketahui bahwa pasukan dunia maya menciptakan akun palsu di media sosial baik berbentuk manusia maupun robot untuk mendukung politikus atau partai politik tertentu, menyerang oposisi, dan membelah opini publik.

Propaganda di Indonesia umumnya lebih banyak dilakukan oleh pendengung (buzzer) terutama untuk kepentingan pemilihan umum.

Strategi komunikasi yang digunakan oleh pasukan bayaran ini adalah melakukan disinformasi dan mengamplifikasi pesan dalam media sosial melalui pembuatan tagar atau mempercepat sirkulasi disinformasi.

Pasukan siber ini umumnya temporer dan bekerja berdasarkan pesanan. Tidak ada organisasi formal dan permanen yang terbentuk.

Bila politikus dan partai politik tak menahan diri, media sosial akan menjadi alat untuk merusak demokrasi karena mereka memakainya untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat, terutama terkait pemilihan umum dan pengawasan kebijakan publik.

Paradoks media sosial

Laporan Oxford Internet Institute merupakan sebuah kritik terhadap peran teknologi digital dalam demokrasi.

Awalnya Internet dianggap sebagai bentuk ideal dari ruang publik versi Habermas yang memungkinkan terjadinya diskursus rasional antara rakyat dan penguasa secara langsung.

Selain itu internet merupakan pilar kelima dalam demokrasi yang ikut mengontrol tiga cabang utama dalam sistem demokrasi: legislatif, eksekutif, dan legislatif dan satu institusi informal media massa. Internet akan menjadi katalis yang akan membuat sistem demokrasi menjadi sempurna.

Tapi data riset Oxford Internet menunjukkan terjadinya efek bumerang.

Teknologi digital yang seharusnya mengemansipasi demokrasi, ternyata malah mendegradasi dengan menciptakan polarisasi dan perpecahan publik dalam prosesnya. Elit politik menjadikan internet, terutama media sosial seperti Twitter, YouTube, dan Facebook, sebagai medium propaganda baru untuk menyebarkan disinformasi dan misinformasi – informasi keliru tapi penyebarnya tidak tahu itu salah.

Pada akhirnya informasi yang tidak akurat dan faktual akan mendistorsi pengetahuan publik. Hal ini membuat publik kehilangan kerangka acuan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, terutama terkait pemilihan pemimpin dan pengawasan kebijakan publik.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa teknologi digital hanya mengamplifikasi kesenjangan kekuasaan dalam sistem demokrasi yang telah terjadi selama ini. Perdebatan publik dalam sosial media bukanlah untuk mengembangkan diskursus demokrasi, tapi merupakan perpanjangan kepentingan dari elit politik.

Fenomena global

Ada dua konsep yang harus dibedakan antara pasukan siber dan pendengung (buzzer) dan bagaimana mereka bekerja mengancam demokrasi.

Konsep pertama mengacu kepada lembaga yang terorganisasi dan penggunaan strategi untuk melakukan propaganda disinformasi. Sedangkan pendengung merupakan orang terkenal dan punya banyak pengikut yang dibayar untuk menyebarluaskan propaganda melalui media sosial.

Hal ini menjadi fenomena global, bahkan terjadi di negara demokrasi maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.

Kiprah mereka dalam ruang media sosial terjadi di 70 negara, termasuk Indonesia, pada 2017 dan 2018.

Temuan riset Oxford menunjukkan propaganda via media sosial ini dijalankan secara terorganisasi oleh pasukan siber di lima platform sosial media yang berbeda: Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp, dan Instagram.

Gugus tugas siber ini dibentuk oleh lima kategori organisasi: pemerintah, politikus dan partai politik, kontraktor swasta, lembaga nirlaba, dan individu dan tokoh berpengaruh (influencer). Pasukan siber ini kemudian menggunakan akun media sosial palsu baik yang berbentuk manusia, algoritme robot (bot), gabungan manusia dan algoritme robot (cyborg), dan akun hasil peretasan. Dari akun-akun inilah propaganda dikemas dan dikelola untuk kepentingan mengarahkan opini dan pengetahuan publik.

Pesan propaganda ditujukan untuk: (1) kampanye pro-pemerintah atau pro-aktor politik, (2) menyerang oposisi, (3) mengalihkan isu, (4) memecah masyarakat, dan (5) menekan partisipasi melalui serangan terhadap individu.

Selain menciptakan pesan yang efektif untuk propaganda, pasukan siber menggunakan lima strategi berbeda untuk mencapai tujuan komunikasinya:

a. Menciptakan disinformasi dalam bentuk meme, video, situs berita palsu, dan manipulasi konten media untuk menyesatkan publik.

b. Secara massal melaporkan sebuah konten atau akun (mass reporting) dengan tujuan sebagai sebuah sensor agar konten atau akun ditutup oleh pengelola platform.

c. Internet troll (trolling) atau meretas identitas sebuah akun dan menyebarkan informasi personal akun tersebut kepada publik (doxing).

d. Menggunakan data (data-driven), pasukan siber menargetkan segmen pengguna tertentu dengan bantuan hasil analisis data, sehingga disinformasi bisa semakin efektif.

e. Amplifikasi pesan, yakni pasukan siber berfungsi untuk membuat sebuah pesan menjadi topik pembicaraan di sosial media, misalnya dengan mempromosikan tagar agar menjadi populer.

Tingkat propaganda

Strategi pesan dan komunikasi yang tepat akan menentukan keberhasilan sebuah propaganda. Apalagi ketika organisasi pelaku memiliki kapasitas tinggi untuk melakukan kegiatannya, terutama ketika pasukan ini berbentuk permanen dan memiliki dukungan infrastruktur dan pendanaan yang memadai.

Sebagai contoh, negara otoritarian, baik yang berbentuk monarki seperti Arab Saudi atau republik seperti Cina, yang membentuk pasukan siber secara formal dan permanen akan memiliki tingkat probabilitas keberhasilan yang tinggi dalam menjalankan propaganda.

Hal inilah yang menjadi kekhawatiran global, bahwa media sosial digunakan oleh rezim otoriter untuk menekan perbedaan dalam opini publik demi melanggengkan kekuasaan. Kebebasan berekspresi juga terancam karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah diserang balik dengan disinformasi dan akun media sosialnya diretas dan disebar.

Dalam konteks Indonesia, tingkat manipulasi propaganda di Indonesia masih dalam kapasitas rendah karena pelaku utama bukan negara. Tipe karakteristik pesan dan strategi komunikasi belum mencapai tingkat yang kompleks, sehingga sebenarnya masalah ini masih bisa diantisipasi oleh negara dan publik.

Pentingnya literasi

Pendidikan politik dan literasi informasi bisa menjadi kunci untuk memerangi propaganda melalui sosial media. Selain itu aktor-aktor politik, baik politikus maupun partai politik, harus bisa menahan diri untuk tidak mengerahkan pasukan siber untuk memenangkan perebutan kekuasaan dalam pemilu.

Saat ini perusahaan pemilik platform sosial media secara global melakukan tindakan preventif dengan menutup akun-akun palsu, termasuk di Indonesia.

Upaya bersama dari masyarakat, pemerintah, dan pengelola sosial media menjadi keniscayaan untuk membuat ruang sosial media menjadi arena diskursus rasional, dan bukan alat propaganda politik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now