Menu Close
Merendahkan perempuan yang menyukai seks anal bisa merusak kesehatan, kesejahteraan, dan otonomi seksual mereka.
Merendahkan perempuan yang menyukai seks anal bisa merusak kesehatan, kesejahteraan, dan otonomi seksual mereka. Foto Arsip / Stringer

Riset: beberapa perempuan menikmati seks anal, tapi pendidikan tentang seks yang aman perlu diutamakan

Apa yang terlintas di benakmu ketika membayangkan seks anal? Apakah kamu memikirkan rasa sakit, ketakutan, atau keterpaksaan? Apakah kamu berpikir soal seks antara pria gay? Apakah kamu menganggap seks anal merupakan aktivitas yang cabul, kasar, menantang, dan lebih kotor daripada jenis seks lainnya? Atau kamu membayangkan hal yang seru, romantis, ada cinta, keterikatan, keintiman, kepercayaan, dan kesenangan di dalamnya?

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa seks anal sering dikaitkan dengan stigma, rasa malu, dan kecurigaan. Pemahaman soal seks anal didominasi oleh persepsi negatif.

Dalam penelitian medis maupun budaya populer, kerap muncul pandangan bahwa dalam aktivitas seks anal antara laki-laki dan perempuan, laki-laki cenderung berperan menjadi penetrator, perempuan menerima penetrasi. Pandangan yang ada juga bertendensi menunjukkan seks anal sebagai aktivitas seksual berisiko dan memiliki unsur pemaksaan.

Contohnya, dalam serial Amerika Serikat (AS), Sex and the City, salah satu tokoh utamanya, Charlotte Yorke merasa cemas dan tertekan karena pasangan laki-lakinya menginginkan seks anal. “Aku tidak sudi jadi perempuan yang suka seks anal, karena menurutku… laki-laki tidak menikahi perempuan yang suka seks anal. Siapa yang pernah mendengar soal Si Nyonya Penyuka Seks Anal?” keluh York kepada teman-temannya.

Charlotte merasa cemas karena diajak seks anal oleh pacarnya dalam adegan ‘Sex and the City’ (Serial 1, episode 4, 1998)

Dan tentu saja, adegan seks anal yang terkenal dalam serial Inggris populer, Fleabag. Saat tokoh utamanya, Phoebe Waller-Bridge melakukan seks anal dengan seorang “Laki-laki Berengsek”, dia berkata:

Setelah beberapa posisi seks standar, kamu sadar, dia mulai mendekati lubang pantatmu, tapi kamu mabuk, dan dia berusaha keras untuk tetap melakukannya sehingga kamu membiarkannya. Dia senang.

Seks anal pada adegan pembuka serial TV terkenal, ‘Fleabag’ (Serial 1, episode 1, 2016)

Begitu juga dalam serial komedi AS, The Mindy Project yang bercerita soal seks anal yang “tak disengaja”.

Selain mengejutkan penonton, penggambaran seks anal dalam serial tersebut menempatkan hasrat dan kesenangan laki-laki di atas perempuan. Perempuan jarang dipandang sebagai penetrator aktif seks anal, terutama antara pasangan lesbian, dan nyaris tidak pernah dianggap sebagai penyuka anal.

Stigma yang menghantui perempuan

Tim peneliti kami menggelar serangkaian focus groups discussion (FGD), sebuah grup diskusi dengan pembahasan terfokus berisi 20 peserta berusia 19 sampai 56 tahun. Anggotanya merupakan praktisi kesehatan seksual dan orang-orang yang tertarik dengan isu kesehatan seksual, seperti anak muda dan pekerja berusia muda. Penelitian ditujukan untuk mencari tahu pandangan seputar seks anal, dengan menggali sejumlah pertanyaan, seperti: Apa itu seks anal? Siapa yang melakukannya dan apa alasannya?

Peserta dalam grup diskusi kami langsung mengasumsikan bahwa seks anal merupakan pilihan (preferensi) seksual laki-laki sebelum mempertimbangkan bahwa aktivitas ini juga disukai oleh perempuan. Para peserta menganggap bahwa perempuan yang menginginkan seks anal, secara budaya adalah seorang petualang, senang bereksperimen seks, atau “aneh” dalam beberapa hal.

Bayangkan kamu bertemu seorang perempuan yang berterus terang mengenai betapa dia menikmati hubungan seks dengan pacar laki-lakinya setiap malam. Perempuan ini berperan sebagai penetrator, bukan penerima. Apakah tindakannya dianggap keren? Liar? Atau mesum? Apakah dia akan mengalami kerugian karena preferensi seksualnya (bias gender)? Apakah dia akan dihakimi?

Hasil penelitian kami menunjukkan demikian. Perempuan yang suka seks anal mengalami bias gender. Sikap negatif ini mungkin tidak mengejutkan–beberapa dokter bahkan enggan membahas seks anal dengan perempuan karena aktivitas seks ini berpotensi membahayakan kesehatan.

Menyikapi seks anal di tengah stigma

Penelitian kami menyoroti kekhawatiran beberapa praktisi kesehatan seksual mengenai keputusan perempuan dalam melakukan seks anal. Mereka menduga perempuan melakukan seks anal karena dipengaruhi oleh pasangan laki-lakinya atau mereka dipaksa melakukan seks anal tanpa persetujuan bersama. Dugaan ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah perempuan setuju melakukan seks anal karena keinginan mereka pribadi atau justru hanya demi memuaskan hasrat laki-laki.

Sebagian besar peserta penelitian kami menganggap bahwa seks anal merupakan isu yang terabaikan ketika membicarakan pendidikan seks dan hubungan. Dan tentu saja, topik ini tidak diajarkan sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Sulit memperkirakan berapa banyak orang, khususnya perempuan, yang melakukan seks anal. Banyak orang merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan secara terbuka mengenai kehidupan seks mereka karena faktor lingkungan tinggal (geografis), kontekstual, dan kebersilangan (interseksional), seperti ras, agama, gender, dan seksualitas.

Kesepakatan bersama (konsensus) mengenai apa itu seks anal juga tidak ada, entah itu menjilat anus dengan lidah (rimming), perempuan penetrasi menggunakan alat bantu seks berbentuk penis (pegging), merangsang anus dengan jari (fingering), seks penis-anus, pijat anal, atau aktivitas lainnya. Meski begitu, sejumlah penelitian menduga lebih dari sepertiga perempuan AS telah melakukan seks penis-anus heteroseksual.

Beberapa akademisi lainnya berpendapat bahwa ada lebih banyak orang dewasa dan remaja yang sudah melakukan seks anal daripada orang yang memiliki akun X (sebelumnya Twitter).

Bertolak belakang dengan bias gender dan kekhawatiran mengenai seks anal, dugaan tersebut menunjukkan bahwa seks anal merupakan aktivitas yang relatif umum bagi kehidupan seksual perempuan yang lebih luas.

Lalu, di tengah bias gender dan kekhawatiran yang mungkin berlebih mengenai pemaksaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, bagaimana seks anal bisa dibahas dengan tepat?

Utamakan keselamatan dan kesenangan perempuan

Fokus pembahasan mengenai kenikmatan seksual perempuan sangat kurang dalam diskusi seputar pendidikan seks dan hubungan, serta tata cara pelayanan dan perawatan (praktik klinis) kesehatan seksual. Setelah melakukan penelitian, kami berpendapat bahwa seks anal harus dimasukkan ke dalam pendidikan kesehatan seksual sebagai bagian dari bentuk kenikmatan seksual yang lebih luas.

Hal yang perlu diperhatikan seharusnya bukanlah mengenai keterlibatan dalam seks anal–perempuan tetap melakukan seks anal, entah kita mau mengakuinya atau tidak–tetapi kurangnya pendidikan seputar seks anal yang jika disertakan dalam pendidikan seks dan hubungan, dapat meningkatkan pengetahuan (literasi) seksual perempuan.

Kami tidak menganjurkan siapa pun melakukan seks anal jika mereka tidak menginginkannya. Penelitian kami hanya menekankan bahwa perempuan berhak memiliki pengetahuan yang memungkinkan seks anal dilakukan dengan aman, atas dasar suka sama suka, menyenangkan, dan positif.

Penelitian kami telah menyoroti dugaan (asumsi) tersembunyi mengenai seks anal yang stigmanya harus ditantang dan dihilangkan. Ini melibatkan pemahaman mengenai apa itu seks anal, siapa yang bisa memicu aktivitas ini, dan apakah perempuan bisa secara aktif melakukan seks anal untuk kesenangan pribadi.

Edukasi seputar seks anal yang berfokus pada kenikmatan perempuan memungkinkan lebih banyak pilihan untuk terlibat aktivitas seksual yang dirasa tepat bagi semua perempuan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,000 academics and researchers from 5,059 institutions.

Register now