Menu Close
Sigid Kurniawan/Antara Foto

Riset: keberpihakan politik mempengaruhi perilaku warga terkait pandemi di wilayah dengan konflik politik tinggi (misal Jakarta)

Bagaimana keberpihakan politik (sikap partisan) berdampak pada kepatuhan orang terhadap anjuran melaksanakan protokol kesehatan di masa pandemi?

Riset yang kami lakukan menemukan bahwa sikap partisan warga berpengaruh pada perilaku mereka di wilayah yang mengalami konflik politik - dalam hal ini antara pemerintah pusat dan daerah - terkait suatu kebijakan terhadap pandemi.

Pada 19-22 Mei 2020, kami melakukan survei panel dengan menggunakan telepon terhadap 2.000 responden yang dipilih secara acak.

Kami membagi sampel dalam tiga zona berdasarkan waktu pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB): Jakarta yang paling awal menerapkan PSBB, daerah-daerah lain yang menerapkan PSBB kemudian, dan daerah-daerah yang tidak menerapkan.

Kami menemukan variasi yang menarik dan mengejutkan.

Di wilayah yang mengalami konflik kebijakan dengan pemerintah pusat, orang yang punya keberpihakan politik cenderung berperilaku secara berbeda satu sama lain dalam mematuhi anjuran melakukan protokol kesehatan.

Dengan kata lain, wilayah yang terbelah secara kuat akibat pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat mendorong perilaku warga partisan yang berbeda secara tajam pula berkaitan dengan protokol kesehatan.

Beda dukungan, beda perilaku

Dalam survei, kami mewawancarai responden di tiga zona.

Pertama, 585 responden dari kota Jakarta yang menerapkan PSBB paling dini (zona lockdown awal). Kedua, 585 responden dari daerah-daerah yang menerapkan PSBB relatif terlambat (zona lockdown akhir). Terakhir, 830 responden dari wilayah-wilayah yang tidak menyelenggarakan PSBB.

Pada setiap zona, kami menggunakan metode pengumpulan sampel secara acak bersirala (stratified random sampling ).

Dalam survei, kami pertama-tama menanyakan efek kebijakan PSBB yang berbeda-beda terhadap penerapan empat tindakan yang dianjurkan selama masa pandemi: menjaga jarak; berdiam di rumah; cuci tangan; dan memakai masker ketika berada di luar.

Secara umum, mayoritas responden mengaku taat protokol kesehatan pada saat survei dilakukan Mei 2020.

Namun, responden yang tinggal di Jakarta (zona lockdown awal) cenderung lebih taat berdiam di rumah ketimbang dua zona yang lain.

Kemudian, kami melakukan analisis lebih dalam sejauh mana pemilahan keberpihakan politik (partisan sorting) berdampak terhadap kepatuhan dalam menjalankan protokol kesehatan.

Sikap partisan diukur berdasarkan pilihan responden di pemilihan presiden (pilpres) 2019. Memang, Prabowo Subianto - pesaing calon petahana Joko “Jokowi” Widodo saat itu - sekarang sudah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, tetapi basis massa pendukungnya secara umum memiliki sentimen negatif terhadap Jokowi.

Kami menemukan dua pola yang terjadi.

Pertama, pemilih Jokowi dan Prabowo di Jakarta cenderung berbeda sikap dalam merespons protokol kesehatan.

Kedua, terjadi perbedaan arah penyortiran partisan saat membandingkan Jakarta dengan dua zona lain.

Di Jakarta (zona lockdown awal), pendukung Prabowo lebih cenderung patuh menjaga jarak sosial, tinggal di rumah, dan mencuci tangan dibanding pemilih Jokowi.

Sebaliknya, di dua zona yang lain, justru pendukung Jokowi yang lebih patuh terhadap anjuran protokol kesehatan ketimbang pendukung Prabowo.

Ini menunjukkan bahwa sikap partisan mempengaruhi perilaku warga ketika terdapat “konflik partisan” atas suatu kebijakan.

Dan arah pemilahan partisan tersebut sejalan dengan posisi para aktor terkait.

Pemilih Prabowo yang tinggal di Jakarta cenderung menyokong kebijakan Gubernur Anies Baswedan (yang nota bene sekutu Prabowo) yang sejak awal mendorong kebijakan terkait pandemi secara lebih ketat.

Patut dicatat, sikap Jokowi bukannya permisif terhadap protokol kesehatan. Jokowi menyarankan warga menggunakan masker ketika berada di luar rumah (kami tidak melihat penyortiran partisan terkait anjuran ini).

Jokowi memang menyerukan warga agar bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, tetapi di saat yang sama, pemerintahannya juga menolak untuk menerapkan lockdown yang ketat.

Namun, secara umum, perbedaan kebijakan antara Anies dan Jokowi tampak kasat mata: Anies mengusulkan kebijakan lockdown sejak awal, sedangkan pemerintah pusat terkesan menyepelekan ancaman pada masa awal pandemi.

Dalam hal mudik, Anies mengeluarkan kebijakan menyetop operasional bus dari dan ke Jakarta. Uniknya, Pelaksana Tugas Menteri Perhubungan saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan segera membatalkan kebijakan Anies itu dengan alasan dampak ekonomi.

Dalam analisis lebih lanjut, kami menemukan bahwa pola penyortiran partisan terjadi lintas zona.

Analisis regresi logistik kami menunjukkan bahwa efek dukungan terhadap Prabowo bagi responden yang tinggal di Jakarta tetap sama kuatnya walau memperhitungkan faktor lainnya seperti responden kehilangan pekerjaan atau memiliki perasaan takut terinfeksi virus.

Jadi setelah memperhitungkan variabel-variabel lain, termasuk variabel latar belakang pendidikan dan pendapatan, efek partisan masih signifikan secara statistik.

Dalam studi-studi sebelumnya, hilangnya pekerjaan dan ketakutan akan virus adalah faktor yang sangat kuat yang mendorong orang patuh tetap tinggal di rumah.

Dan data kami menambah penjelasan lain mengapa warga memilih berdiam di rumah: sikap partisan.

Bukti lain penyortiran partisan tampak dalam evaluasi kebijakan terkait pandemi.

Sekali lagi, kami menemukan pola yang berbeda di Jakarta. Di Jakarta, pemilih Prabowo menilai bahwa respons gubernur jauh lebih baik; pemilih fanatik Jokowi menilai sebaliknya.

Di dua zona yang lain, pendukung Prabowo bahkan memberi nilai lebih buruk kepada kepala daerahnya masing-masing dibanding pendukung Jokowi.


Read more: 9 bulan pandemi: mengapa Indonesia gagal kendalikan COVID-19, korban meninggal terbanyak di Asia Tenggara


Temuan di negara lain

Temuan kami di Indonesia ini melengkapi studi-studi mengenai efek partisan terhadap perilaku di masa pandemi, terutama di negara-negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat (AS), Inggris dan Brazil.

Polarisasi begitu kuat mewarnai ketiga negara ini.

Bedanya, di AS dan Brazil, pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump dan Presiden Jair Bolsonaro cenderung menolak kegentingan pandemi dan enggan menerapkan kebijakan pembatasan. Sebaliknya, pemerintah Inggris cenderung responsif dalam menangani pandemi.

Akibatnya, penyortiran partisan terjadi secara kuat di AS dan Brazil ketimbang di Inggris.

Studi-studi menunjukkan pendukung Trump dan Bolsonaro cenderung mengabaikan protokol kesehatan.

Meski demikian, variasi antar-negara bagian di AS lebih terlihat ketimbang di Brazil. Negara bagian di negeri Paman Sam yang dikuasai Partai Demokrat (partai oposisi terhadap Trump) menerapkan kebijakan lockdown yang lebih ketat, sedangkan pemerintah federal menolak lockdown.

Kasus di Indonesia berbeda dengan ketiga negara demokrasi besar di atas.

AS mengalami penyortiran partisan yang kuat di tingkat nasional sekaligus variasi tinggi di tingkat negara bagian.

Di Brazil, penyortiran partisan antara pro dan anti Bolsonaro terjadi secara tajam di tingkat nasional, tetapi tidak terlihat di tingkat daerah.

Di Inggris, penyortiran partisan terlihat lemah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Di Indonesia sebaliknya: di level nasional nyaris tidak terjadi penyortiran partisan yang tinggi, tetapi penyortiran partisan terjadi di tingkat daerah.

Hal ini dimungkinkan karena terjadi perbedaan kebijakan di level daerah terkait pandemi.

Di Jakarta misalnya, PSBB diterapkan paling awal, sedangkan banyak wilayah yang baru belakangan menerapkan kebijakan tersebut, bahkan banyak juga yang tidak.

Perbedaan kebijakan tidak akan berujung pada penyortiran partisan jika tidak didorong oleh konflik partisan antara otoritas pemerintah daerah dengan pusat.

Di banyak wilayah yang dimenangkan Prabowo pada pilpres 2019, penyortiran partisan tidak terjadi karena pemerintah setempat tidak terjerat dalam konflik kebijakan dengan pusat.

Misalnya di Jawa Barat yang merupakan kantong suara Prabowo, penyortiran partisan tidak terjadi karena Gubernur Ridwan Kamil tidak bersifat berseberangan dengan pusat.

Jadi, sikap partisan memang mempengaruhi perilaku kita di tengah pandemi.

Namun, sikap partisan tersebut tidak serta-merta berubah menjadi perbedaan perilaku partisan yang tajam jika tidak disertai konflik partisan antara pemerintah daerah dengan pusat.


Ignatius Raditya Nugraha membantu penerbitan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now