Menu Close
Vaksin COVID seharusnya tersedia untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas, dan kelas. ANTARA FOTO/Agha Yuninda/wsj/aww

Riset: LGBTIQ+ Indonesia menghadapi kesulitan mengakses layanan kesehatan selama pandemi COVID-19

Para individu lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer (LGBTIQ+) di Indonesia terpengaruh diskriminasi dan intoleransi berlapis selama pandemi COVID-19.

Penderitaan mereka bertambah karena kesulitan mendapatkan KTP, kehilangan pekerjaan atau berpenghasilan lebih rendah dari sebelum krisis. Mereka juga menghadapi kesulitan mendapatkan hak perawatan kesehatan yang sama yang dinikmati oleh penduduk lainnya.

Penelitian kualitatif saya, yang dilakukan pada awal tahun 2022 dan baru-baru ini dipublikasikan, menunjukkan bahwa orang-orang LGBT+ di Indonesia pernah mengalami hambatan signifikan untuk mengakses layanan kesehatan, obat-obatan, dan vaksin COVID-19 selama pandemi.

Studi saya melibatkan empat sesi analisis domain budaya (CDA) dengan pakar kesehatan Indonesia dan aktivis LGBT+. CDA adalah metode berdasarkan eksplorasi bagaimana orang memikirkan daftar hal-hal yang terkait satu sama lain (seperti tantangan dan fasilitator yang mempengaruhi akses layanan kesehatan). Selain itu, saya memfasilitasi diskusi kelompok fokus (FGD) dengan peserta yang sama dan tambahan partisipan lainnya.

Akses ke layanan kesehatan

Penelitian saya tersebut menemukan bagaimana pandemi telah menyebabkan ruang perawatan kesehatan yang aman yang menargetkan individu LGBT+ menghentikan sementara layanan mereka atau menghilang sepenuhnya.

Selain itu, pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah Indonesia membatasi mobilitas warga negara, yang mempersulit minoritas gender dan seksual untuk mengakses layanan kesehatan di tengah pembatasan mobilitas.

Klinik kesehatan masyarakat yang dikenal sebagai Puskesmas kewalahan dengan jumlah pasien, yang mengganggu layanan infeksi menular seksual (IMS). Beberapa klinik ini, yang menawarkan pemeriksaan IMS gratis sebelum COVID, berhenti melakukannya dan meminta pasien untuk menemui dokter hanya jika mereka menunjukkan gejala.

Selama diskusi kelompok terarah, seorang peserta menjelaskan bagaimana Puskesmas yang sebelumnya menawarkan tes HIV cepat, dan penyediaan kondom dan pelumas tidak dapat lagi diberikan di “hotspot”, tempat laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) biasa bertemu langsung. Seperti yang dijelaskan oleh seorang aktivis, “orang tidak diizinkan untuk berkumpul, dan itu sulit untuk pemeriksaan HIV dan mendorong orang untuk melakukan pemeriksaan penyakit infeksi menular seksual. Semuanya telah online, dan staf kami telah menggunakan aplikasi gay sekarang untuk menjangkau klien kami.”

Di tengah krisis ini, kita juga harus merefleksikan implikasi kelas dari mengakses layanan kesehatan, karena individu LGBT+ dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih rendah paling terpengaruh oleh tidak adanya layanan penjangkauan langsung.

Sistem kesehatan nasional berbasis keluarga di Indonesia juga berdampak pada akses masyarakat LGBT+ terhadap layanan kesehatan. Seperti yang dikatakan seorang ahli kesehatan, “ada penjaga gerbang seperti orang tua, karena skema asuransi kesehatan nasional berbasis keluarga, jadi kartu asuransi Anda terkait dengan keluarga Anda, dan anak muda queer harus melalui orang tua mereka untuk mengakses layanan kesehatan, yang menimbulkan masalah ketika menjelaskan mengapa mereka ingin ke dokter”.

Akses ke obat-obatan dan vaksin COVID-19

Akses ke obat-obatan merupakan tantangan bagi banyak orang LGBT+. Aktivis di Bali, Jakarta, dan Yogyakarta menggambarkan bagaimana beberapa orang yang hidup dengan HIV tidak dapat mengakses rejimen obat antiretroviral mereka karena kekurangan. Ini berarti mereka diberi terapi kombinasi lain yang berbeda dari yang mereka gunakan sebelum pandemi.

Seperti yang dikatakan seorang aktivis, “orang-orang harus mengubah jenis pengobatan mereka menjadi sesuatu yang baru, dan mereka berubah dari merasa baik-baik saja menjadi mengalami efek samping”.

Orang LGBT+ telah memenuhi syarat untuk menerima vaksin COVID, tapi diskriminasi, masalah aksesibilitas (seperti masalah transportasi ke pusat vaksinasi) dan misinformasi telah muncul sebagai tantangan.

Di Indonesia, kelompok LGBT+ juga mengalami kesulitan akses vaksin karena kendala transportasi dan karena tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Hal ini menyebabkan beberapa badan amal mendukung perempuan transgender dan tunawisma untuk mendapatkannya.

Misalnya, badan amal Kebaya di Yogyakarta mendukung waria untuk mencapai pusat vaksinasi dengan membayar transportasi. Tidak bisa mendapatkan vaksin berarti mengurangi mobilitas minoritas seksual dan gender. Seperti yang dijelaskan oleh seorang aktivis Indonesia, “Kalau tidak punya vaksin, tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa masuk ke gedung pemerintahan; kita punya aplikasi, dan sebuah tantangan lagi kalau tidak punya smartphone”.

Hentikan diskriminasi

Di Indonesia, pandemi COVID-19 secara tidak proporsional berdampak pada individu LGBT+, khususnya mereka yang hidup dengan HIV, pekerja seks, individu transgender, dan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Hal ini terutama dirasakan dalam kaitannya dengan layanan kesehatan, yang sulit diakses oleh mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah.

Indonesia memiliki kewajiban hak asasi manusia (HAM) internasional yang berlaku sama bagi kelompok LGBT+ dan memberikan panduan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak tersebut bagi semua warga negara. Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada 2005 dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada 2006, dan merupakan negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).

Meski meratifikasi konvensi semacam itu, sejak 2016, kepanikan moral telah menggambarkan orang-orang LGBT+ di Indonesia sebagai mengancam prinsip-prinsip moral bangsa.

Sikap diskriminatif dan sulitnya memperoleh KTP membuat sulitnya mendapatkan perawatan. Hal ini menunjukkan perlunya segera menerapkan pendekatan berbasis HAM untuk lebih memahami kebutuhan populasi LGBT+ dan melindungi hak-hak mereka sebagai manusia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now