Menu Close
Kebun kelapa sawit muda di Kalimantan Tengah. glennhurowitz/flickr

Riset: mengelola hutan alam lebih menguntungkan dibanding perkebunan kelapa sawit

Artikel ini merupakan bagian untuk memperingati Hari Hutan Internasional yang jatuh pada tanggal 21 Maret.

Keuntungan ekonomi dari perkebunan kelapa sawit yang sangat menjanjikan membuat Indonesia rela mengorbankan areal hutannya menjadi perkebunan kelapa sawit di penjuru Nusantara.

Data terbaru menunjukkan Indonesia mengubah 243.857 hektare kawasan hutan per tahun menjadi kebun kelapa sawit sejak tahun 1990. Angka ini setara dengan 4 kali luas kota Jakarta.

Di Papua, kawasan hutan sudah mencapai 30 juta hektare, atau sepertiga luas kawasan hutan Indonesia.

Perubahan fungsi hutan menjadi kebun sawit di Papua dimulai sejak tahun 2017, didorong maraknya perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia.

Namun, riset kami menemukan bahwa pemerintah Indonesia dapat memperoleh keuntungan lebih besar ketika mempertahankan kawasan hutannya, dibanding mengalihfungsikannya menjadi kebun kelapa sawit.

Berdasarkan perhitungan kami, pemerintah Indonesia sebenarnya mampu meraup keuntungan US$3.795,44 atau sekitar Rp63.706.460,40 per hektare jika tetap mempertahankan keberadaan hutan.

Sementara, kebun kelapa sawit hanya menghasilkan keuntungan kepada ekonomi sebesar US$2.153 atau sekitar Rp36.116.575 per hektare.

Bagaimana alam memberikan manfaat ekonomi lebih

Perkebunan kelapa sawit memang dapat meningkatkan taraf hidup kehidupan masyarakat di area pedalaman.

Di Papua, kami menemukan kelapa sawit dapat mendorong perkembangan infrastruktur, peningkatan harapan hidup (kesehatan), serta akses pendidikan yang semakin terbuka.

Selain itu, masyarakat setempat mendapatkan pelatihan kewirausahaan dari perusahaan kelapa sawit.

Penelitian kami menemukan setiap keluarga berkesempatan melatih kemampuan berdagang mereka dari penjualan hasil kebun sawit ke berbagai perusahaan ketika musim panen. Perusahaan-perusahaan ini juga yang membagikan lahan seluas empat hektare bagi setiap keluarga untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit.

Namun, temuan kami juga membuktikan bahwa keuntungan tersebut masih lebih rendah dibanding dengan apa yang bisa mereka peroleh ketika mereka mempertahankan kawasan hutan mereka.

Penelitian kami menemukan bahwa hutan mampu memberikan berbagai bentuk manfaat ekonomi bagi masyarakat, dalam bentuk makanan, air, kayu, hingga obat-obatan.

Perhitungan kami atas keuntungan ekonomi tersebut kami dapat melalui wawancara dengan masyarakat.

Melalui wawancara tersebut, kami bisa mengetahui bahwa setiap individu mampu meraup keuntungan ekonomi yang bernilai setidaknya Rp2 juta (US$125) per bulan dari akses mereka terhadap kayu, makanan, dan obat-obatan yang disediakan oleh hutan.

Selain itu, ada pula keuntungan yang didapatkan dari hutan bagi ekosistem, misalnya keberadaan hutan mampu menghambat pemanasan global.

Aspek tak ternilai lain adalah keanekaragaman hayati dan keberadaan sumber daya genetik.

Setengah dari spesies endemik di Papua akan punah jika manusia terus menebang hutan. Jika mereka punah, kita tidak akan pernah bisa memulihkan keberadaan mereka kembali.

Di samping menilai aspek ekonomi, kami juga mengevaluasi dampak lingkungan dari perubahan fungsi lahan.

Untuk menilai dampak lingkungan dari perkebunan kelapa sawit, kami akan memasukkan dalam kalkulasi ketika kebun-kebun tersebut telah memenuhi standar kualitas Eropa.

Menurut standar Eropa, mereka hanya akan mengakui produk-produk dari perkebunan yang menerapkan praktik intensif pertanian. Sehingga, perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan dan gambut tidak akan diperhitungkan. Alasan ini juga yang mendasari mengapa nilai ekonomi hutan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kelapa sawit.

Beberapa masukan

Industri kelapa sawit sebenarnya bukan masalah karena juga bisa memberikan manfaat ekonomi.

Salah satu produk turunan sawit seperti biosolar misalnya mampu menurunkan emisi gas rumah kaca serta ketergantungan kita akan energi.

Walau demikian, pemerintah juga perlu membandingkan dampak ekonomi serta lingkungan akan kerugian dan keuntungan yang masyarakat peroleh, baik dari hutan maupun kebun kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit tidak boleh dibuka jika perkebunan tersebut tidak memenuhi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial dengan hasil yang memuaskan.


KOREKSI : Pada paragraf ketiga, sebelumnya tertulis “Di Papua, kawasan perkebunan sawit sudah mencapai 30 juta hektare, atau sepertiga luas kawasan hutan Indonesia.” seharusnya “Di Papua, kawasan hutan sudah mencapai 30 juta hektare, atau sepertiga luas kawasan hutan Indonesia.”


Stefanus Agustino Sitor telah menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now