Pandemi COVID-19 telah memaksa penerapan model pembelajaran jarak jauh. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah menyediakan kuota internet gratis bagi satuan pendidikan jenjang PAUD, sekolah dasar dan menengah, serta perguruan tinggi.
Namun, adanya peraturan lockdown dan akses internet yang tidak merata, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil, membuat orang tua harus turun tangan dan terlibat secara langsung dalam pembelajaran jarak jauh ini.
Penelitian kami di salah satu desa, di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, menunjukkan bagaimana ibu-ibu dengan pendidikan dan akses teknologi terbatas menjadi pendukung penting dalam proses belajar-mengajar anak-anaknya. Peran para ibu sangat krusial dan menantang karena dilakukan di tengah keterbatasan kemampuan sembari mengerjakan urusan rumah tangga lainnya.
Ibu dipaksa beradaptasi
Dalam penelitian ini, kami melakukan FGD (diskusi kelompok terpumpun) dan wawancara dengan 30 ibu yang memiliki anak-anak usia sekolah dasar yang tiba-tiba harus belajar dari rumah selama masa pandemi. Sebagian besar dari ibu-ibu tersebut hanya menamatkan pendidikan dasar sehingga kurang familiar terhadap teknologi digital. Bahkan, beberapa ibu menyebutkan bahwa mereka gemetar saat memegang handphone karena canggung.
Selain itu, kualitas jaringan internet yang buruk dan biaya pembelian data internet juga menjadi kendala tambahan di wilayah terpencil ini.
Namun, terlepas dari kendala tersebut, para ibu tetap menginvestasikan banyak waktu dan energi secara emosional untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka. Mereka memantau kelas daring, berusaha menjelaskan pelajaran, dan mengatur penggunaan gadget anak-anak mereka agar tetap fokus pada tugas sekolah daripada games atau video. Dengan kata lain, mereka ‘dipaksa’ memfasilitasi pembelajaran daring anak-anak dalam waktu singkat dan perangkat yang mereka sendiri belum familier.
Tak heran, para ibu yang kami wawancarai meragukan kemampuan mereka untuk mendukung anak-anak mereka secara akademis. Salah seorang dari mereka berkata:
“Saya orang yang tidak kompeten dan jika sekolah tidak segera dibuka kembali, saya khawatir anak-anak saya akan menjadi seperti saya.”
Beban ganda ibu
Penelitian kami menegaskan komitmen ibu-ibu di pedesaan terhadap pembelajaran anak-anak dalam menghadapi hambatan, sekaligus menunjukkan ketahanan yang luar biasa yang sering tidak terlihat.
Pekerjaan ‘tak kasat mata’ ini mencerminkan apa yang disebut sosiolog Diane Reay sebagai emotional capital—sumber daya afektif yang diinvestasikan orang tua, terutama ibu, dalam pendidikan dan perkembangan anak-anak mereka. Bagi para ibu di pedesaan Indonesia ini, hal itu terwujud dalam bentuk perhatian, waktu, dan kepedulian, bahkan ketika mereka merasa kewalahan dengan pekerjaan sehari-hari mengurus rumah tangga.
Salah seorang ibu mengungkapkan:
“Kami sebagai orang tua hanya terbiasa menghadapi masalah seperti masalah dapur dan pekerjaan rumah lainnya. Sekarang, beban pikiran kami bertambah dengan adanya sekolah daring ini.”
Meskipun beberapa ibu menerima dukungan dari guru atau keluarga besar, sebagian besar dari mereka memikul peran pendidikan baru ini sendirian. Pengalaman kesendirian tersebut menyoroti bagaimana peralihan ke pembelajaran jarak jauh secara daring memperburuk ketimpangan peran ayah-ibu dalam rumah tangga dan dukungan pembelajaran untuk anak. Tekanan ini semakin menambah beban ekstra ibu yang memiliki sumber daya atau penghasilan terbatas.
Ibu perlu dukungan
Temuan penelitian kami menegaskan bahwa pendidikan berkualitas yang menjangkau semua anak, memerlukan sistem pendukung dan infrastruktur yang baik dan bisa diandalkan, terutama di masa-masa krisis seperti pandemi COVID-19. Para ibu, terutama yang memiliki keterbatasan kemampuan dan akses internet, membutuhkan sistem pendukung dan infrastruktur untuk mendukung pembelajaran anak-anak mereka.
Ini bisa dilakukan dengan memberikan bantuan pendampingan belajar secara langsung dari utusan pemerintah yang berkordinasi dengan guru-guru sekolah—termasuk staf dinas pendidikan, dinas sosial, dll.
Dalam hal infrastruktur, penyediaan perangkat komputer umum dengan akses internet yang merata akan sangat membantu para ibu yang tidak terbiasa menggunakan gadget. Dengan adanya perangkat komputer umum ini, anak-anak dapat melaksanakan proses belajar-mengajar daring dengan bantuan dari pegawai desa atau utusan pemerintah yang ditempatkan di setiap desa. Peran dan keterlibatan ibu di sini adalah sebagai pendamping agar anak didik merasa aman meskipun harus dibimbing oleh seseorang yang baru mereka kenal.
Intinya, kebijakan dan teknologi pendidikan harus memperhitungkan konteks yang beragam termasuk kemampuan ibu-ibu di pedesaan. Ini bisa dimulai dengan melakukan lebih banyak penelitian yang terstruktur. Misalnya, dengan lebih dahulu melakukan analisis kebutuhan, dilanjutkan dengan sosialisasi dan pelatihan penggunaan teknologi terkait pendidikan, kemudian disusul dengan pendampingan secara intensif dari pihak pemerintah.
Bentuk pendekatan berbasis kebutuhan tersebut akan mengarah pada implementasi yang lebih tepat sasaran. Harapannya, para ibu dapat lebih memahami bagaimana sebaiknya melakukan proses belajar-mengajar jarak jauh, dengan menggunakan teknologi yang baru bagi mereka.