Menu Close

Riset: selain diskriminatif, bahasa politik pemerintah justru perburuk penanganan COVID-19

Sidak protokol kesehatan oleh Satpol PP Badung di Bali. Fikri Yusuf/Antara Foto

Sadar atau tidak, narasi yang dibangun oleh pemerintah Indonesia dalam kampanye kebijakan penanggulangan COVID-19 dipenuhi oleh rekayasa dan metafora yang bertujuan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang tenang, tidak panik, dan tidak cemas.

Sayangnya, penggunaan metafora tersebut justru membawa dampak buruk.

Saya melakukan penelitian pada tahun 2021 terhadap pidato Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Bogor , pernyataan beberapa pejabat tinggi negara, serta cuitan-cuitan akun twitter resmi Kementerian Kesehatan (@kemenkes) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (@BNPB) terkait COVID-19.

Hasil penelitian ini menunjukkan buruknya bahasa politik pemerintah Indonesia dalam mengomunikasikan kebijakan terkait penanggulangan COVID-19.

Berikut contoh narasi buruk pemerintah yang menjadi temuan penelitian.

Narasi Oksimoron dalam “New Normal

Secara linguistik, frasa new normal atau normal baru bisa masuk ke dalam kategori oksimoron, yakni sebuah frasa berbentuk kiasan yang memiliki arti berlawanan.

New normal memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Satu sisi merujuk pada kebaruan, tapi di saat yang bersamaan merujuk pada makna kenormalan atau kebiasaan.

Apabila dilihat dari sisi sintaksis, yakni aturan atau prinsip dalam pembuatan kalimat, istilah new normal mengindikasikan kode tersembunyi terkait dengan bagaimana (seharusnya) kita bersikap. Itulah mengapa frasa new normal sangat efektif untuk menggiring masyarakat pada suatu tindakan tertentu.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi tata bahasa, frasa new normal yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “normal baru” menggiring penerima pesan, atau komunikan, untuk fokus kepada kata “normal”. Sebab, dalam bahasa Indonesia, hukum yang berlaku adalah DM (Diterangkan-Menerangkan). Ini berbeda dengan hukum yang berlaku dalam bahasa Inggris, yakni MD (Menerangkan-Diterangkan).

Dalam frasa new normal, kata yang diterangkan adalah normal dan yang menerangkan adalah new. Dengan demikian, jelas bahwa kata “normal” merupakan kata kunci yang menjadi esensi.

Maka, wajar bila masyarakat lebih berfokus pada euforia sebuah kenormalan, bukan tata aturan baru dan ketaatan pada protokol kesehatan sebagaimana yang diharapkan.

Narasi new normal ini bisa dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk membuat masyarakat tenang. Namun, harus disadari hal tersebut mengandung risiko yang sangat berbahaya, misalnya membuat disiplin protokol kesehatan jadi mengendur.

Sejak Maret 2020, istilah new normal pada akhirnya memang menjadi pilihan pemerintah. Penerapan new normal pada awalnya bertujuan untuk kembali membuka laju perekonomian dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang tepat.

Sejumlah aktivitas publik, seperti di pusat perbelanjaan, baik pasar modern maupun pasar tradisional, toko, dan kantor memulai menerapkan aturan baru tersebut.

Sayangnya, situasi yang terjadi kemudian adalah jumlah warga yang terpapar virus corona malah bertambah.

Gambar: sebaran percakapan

Istilah new normal sebelumnya telah ramai diperbincangkan di dunia maya. Di Twitter, pada tanggal 16-27 Mei 2020, sebuah analisis yang dibuat dengan menggunakan Social Network Analysis (SNA) oleh Drone Emprit – sebuah sistem yang berfungsi untuk memonitor dan menganalisis media sosial dengan platform online berbasis teknologi big data – menunjukkan fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang paling bersemangat membahas penerapan “new normal”.

Uniknya, kampanye new normal tersebut didominasi oleh akun-akun pendukung pemerintah dan juga pihak kepolisian antara lain @BIDHumas_SB, @HumasPadang, @polisisumut, dan @LautHumas.

Menyepelekan COVID-19 dan merendahkan perempuan

Selain penggunaan narasi yang manipulatif dengan tujuan menenangkan publik, terdapat juga narasi di mana pemerintah menggunakan istilah-istilah metafora. Maksudnya adalah penggunaan kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.

Namun, penggunaan metafora tersebut justru terkesan menyepelekan situasi pandemi COVID-19.

Salah satunya adalah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang me-metafora-kan virus corona dengan “istri”.

Kalimat lengkap Mahfud MD adalah: “Virus corona seperti istrimu. Awalnya kamu mencoba mengendalikannya, kemudian kamu menyadari bahwa kamu tidak akan bisa. Maka, kamu belajar untuk hidup bersamanya.”

Penggunaan metafora tersebut bukan hanya memantik perdebatan, tapi juga, dalam konteks linguistik, memperlihatkan ideologi produsen teks.

Metafora dapat mencerminkan cara pandang produsen teks dalam melihat sebuah persoalan. Dari sisi linguistik, pilihan metafora yang mengumpamakan virus corona seperti seorang istri merupakan sebuah perumpamaan yang peyoratif, yaitu pemberian makna menghina dan merendahkan.

Artinya, pernyataan Mahfud tersebut dapat dikatakan merendahkan perempuan. Mahfud tidak menggunakan kata “pasangan”, yang sebenarnya memiliki makna yang lebih netral. Beliau memilih kata “istri”, yang merujuk pada jenis kelamin tertentu.

Ada dua pesan ideologis yang terkandung dalam metafora tersebut.

Pertama, produsen teks memandang bahwa istri (perempuan) merupakan pihak yang harus dikontrol oleh suami (laki-laki).

Kedua, metafora tersebut mengungkap jelas karakter misoginis sekaligus patriarkis yang dianut oleh produsen teks. Istri dalam konteks metafora ini diposisikan bukan sebagai pasangan, namun sebagai pihak yang seharusnya tunduk pada suami. Produsen teks seakan ingin membangun wacana pemaknaan hubungan suami-istri dalam bingkai relasi penaklukan dan penundukkan.

Merujuk pada beberapa temuan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa narasi yang dibangun oleh pemerintah dalam penanggulangan COVID-19 justru sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Pasalnya, hal itu dapat menciptakan manipulasi kenyataan seperti istilah new normal yang diandaikan membawa angin segar bagi mayarakat.

Selain itu penggunaan metafora yang bernuansa candaan namun pada nyatanya menghina kelompok tertentu, justru menunjukkan buruknya bahasa politik pemerintah.

Ini sesuai dengan pernyataan jurnalis sekaligus novelis George Orwell, tentang bahasa politik. Menurut Orwell, bahasa politik dirancang untuk membuat suatu kebohongan terdengar seperti kebenaran, pembunuhan menjadi terhormat, dan memberi kesan soliditas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now