Menu Close
Petugas kesehatan menyiapkan vaksin COVID-19 di Balai Kota Yogyakarta, 15 Desember 2022. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc

Riset: Takut “hukuman” administratif, salah satu pendorong terbesar kelompok rentan ikut vaksinasi COVID

Saat diperkenalkan pada Januari 2021, vaksinasi COVID-19 menuai banyak pro dan kontra di masyarakat Indonesia.

Faktanya, mayoritas penduduk bersedia divaksin. Pada 2023 ini, lebih dari 74% atau 174 juta masyarakat Indonesia – hingga 10 Mei 2023 – yang menjadi sasaran vaksinasi telah menerima dua dosis vaksin COVID-19.

Di balik keberhasilan tersebut, masih terdapat pertanyaan mengenai akses dan penerimaan vaksinasi COVID-19 bagi kelompok rentan. Setelah dua tahun pelaksanaan program vaksinasi COVID-19 di Indonesia, bagaimana pandangan masyarakat rentan terhadap vaksinasi COVID-19?

Kementerian Kesehatan telah mengidentifikasi kelompok rentan target penerima vaksin COVID-19, yaitu penyandang disabilitas, masyarakat adat, penghuni lembaga pemasyarakatan, pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS), pekerja migran Indonesia bermasalah (PMIB), dan masyarakat yang belum memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan).

Riset kami dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, dan Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP), yang laporannya sedang kami tulis, menunjukkan bahwa keputusan vaksinasi COVID-19 bagi kelompok rentan sangat bergantung pada dorongan keluarga dan pendamping, serta untuk menghindari sanksi administratif, seperti dihentikannya bantuan sosial (bansos) dan larangan bepergian.

Ikut vaksinasi untuk hindari “hukuman” administratif

Riset kualitatif kami fokus pada persepsi, penerimaan, kekhawatiran, dan aksesibilitas kelompok rentan (lansia dan penyandang disabilitas) terhadap vaksin COVID-19 di delapan kabupaten di empat provinsi di Indonesia: Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Riset dilaksanakan dengan melakukan enam Diskusi Kelompok Terpimpin (focus group discussion) di masing-masing kabupaten, dengan kelompok laki-laki dan perempuan secara terpisah untuk setiap kategori, yaitu kelompok lansia, kelompok penyandang disabilitas, serta kelompok masyarakat umum.

Di dalam kelompok masyarakat umum, terdapat pula anggota kelompok rentan lain, misalnya orang dengan HIV (ODHIV). Selain itu, wawancara mendalam dengan perwakilan pemerintah kabupaten dan puskesmas atau vaksinator juga dilakukan untuk mempelajari strategi komunikasi yang dilakukan di kabupaten tersebut.

Hampir semua informan penelitian kami, yang berjumlah total 304 orang, telah menerima vaksinasi dosis lengkap, yaitu dua kali suntik.

Namun demikian, capaian tersebut lebih didorong kekhawatiran atas konsekuensi yang akan mereka terima jika tidak melakukan vaksinasi. Jika tidak ikut vaksin, mereka khawatir tidak mendapatkan bantuan sosial, menghadapi penundaan pelayanan administrasi, dan dilarang bepergian dengan transportasi publik tertentu.

Kekhawatiran mengenai konsekuensi administratif sangat menonjol di kelompok responden laki-laki dibandingkan dengan kelompok responden perempuan, karena perannya sebagai kepala keluarga. Konsekuensi administratif tersebut, ditambah dengan pengaruh keluarga, teman sebaya, dokter, tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi faktor pemaksa (enforcing) yang berhasil meningkatkan cakupan vaksinasi.

Pemahaman akan vaksinasi dan manfaat vaksinasi masih rendah di semua kelompok responden, baik responden perempuan maupun laki-laki. Padahal, persepsi masyarakat mengenai kerentanan, tingkat keparahan, kematian akibat COVID-19, dan pengetahuan mengenai manfaat vaksin menjadi faktor pendorong (predisposing) penerimaan vaksinasi.

Informan dari kategori masyarakat umum menyatakan kekhawatiran atas risiko keparahan dan kematian akibat COVID-19, sehingga merasa perlu mendapatkan vaksin COVID-19. Namun, informan laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya kecenderungan simpang siurnya informasi yang mereka percaya mengenai COVID-19 dan vaksinasi.

Pada kelompok informan lansia dan penyandang disabilitas, meski kekhawatiran terhadap Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) masih cukup besar, konsekuensi administratif dan bantuan sosial yang mungkin mereka dapatkan jika tidak melakukan vaksinasi COVID-19 mendorong mereka ikut vaksinasi.

Cakupan vaksinasi COVID-19 tidak terlepas dari kesiapan daerah dengan menyediakan lokasi vaksinasi yang dekat dengan tempat tinggal dan program vaksinasi massal. Hal ini menjadi faktor pemungkin (enabling) yang mempermudah akses masyarakat terhadap vaksinasi COVID-19.

Data yang tak tampak

Walau cakupan vaksinasi COVID dosis dua nasional mencapai lebih dari 70%, hingga saat ini, laporan data penerima vaksin tidak memperlihatkan cakupan vaksinasi untuk kelompok rentan tersebut. Pemerintah pun belum mengidentifikasi langkah operasional untuk menjangkau dan memastikan agar kelompok rentan tersebut menerima vaksinasi COVID-19.

Ketidaktransparanan data mengenai penerimaan vaksin COVID-19 bagi kelompok rentan ini memunculkan pertanyaan apakah kelompok rentan, terutama yang tinggal di daerah terpencil dan terjauh dapat mengakses informasi dan mendapatkan vaksin COVID-19? Bagaimana sebetulnya sikap mereka terhadap vaksin?

Apakah keraguan mengenai KIPI, terutama bagi kelompok lansia dan penyandang disabilitas yang banyak menjadi diskusi pada awal pelaksanaan program vaksinasi COVID-19 ini telah teratasi? Perlu lebih banyak studi untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Keberhasilan vaksinasi berpotensi jangka panjang?

Pedoman Komunikasi Risiko untuk Penanggulangan Krisis Kesehatan yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada Mei 2021 menyampaikan tiga cara dalam mengintervensi perubahan perilaku, yaitu 3E – Education (edukasi dan promosi kesehatan), Engineering (rekayasa), dan Enforcement (penegakan hukum).

Dalam situasi kritis, rekayasa dan penegakan hukum memainkan peranan penting untuk dapat segera mengendalikan situasi. Namun, untuk perubahan perilaku jangka panjang, edukasi dan promosi kesehatan yang berkelanjutan dan dapat diakses oleh kelompok rentan sangat diperlukan.

Kesulitan akses informasi yang diperlukan membuat kelompok penyandang disabilitas sensori, seperti teman tuli dan netra, sangat bergantung pada penerjemahan informasi yang diberikan oleh keluarga atau pendampingnya.

Tatanan Bahasa Indonesia yang digunakan teman tuli berbeda dengan tatanan Bahasa Indonesia yang sehari-hari digunakan masyarakat umum, sehingga informasi tertulis yang tersedia seringkali membingungkan.

Contoh lain adalah bagaimana materi dalam format gambar yang sering dibagikan melalui media sosial tidak dapat dibaca oleh aplikasi pembaca layar yang digunakan teman netra.

Penelitian ini menemukan bahwa strategi komunikasi risiko dan perubahan perilaku yang didorong oleh enforcement memang berhasil membantu pemerintah dalam mencapai target programnya.

Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk membantu mencapai tujuan komunikasi risiko dalam mendorong pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuan (informed decision) untuk perubahan perilaku kesehatan jangka panjang.

Hal ini berpotensi menghentikan penerimaan vaksinasi COVID-19 atau mendorong keengganan masyarakat untuk melakukan vaksinasi booster. Saat ini, baru 37,9% target sasaran vaksinasi yang sudah melakukan booster pertama (dosis ketiga) dan hanya 1,7% yang melakukan booster kedua (dosis keempat). Lebih jauh, strategi ini tidak cukup dalam meningkatkan kesadaran dan ketahanan kesehatan masyarakat untuk menghadapi krisis kesehatan di masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now