Menu Close

Riset temukan tiga penyebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019

Made Nagi/EPA

Wahyu Setiawan, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awal bulan ini karena diduga menerima suap dari politikus.

Wahyu diduga menerima suap untuk menjamin agar politikus PDI Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku bisa ditetapkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024. Wahyu diduga meminta uang hingga Rp 900 juta ke Harun.

Kasus tersebut merupakan salah satu bentuk kasus malapraktik dalam pemilihan umum (pemilu) di Indonesia.

Sarah Birch, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, menjelaskan malapraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut.

Saya bersama rekan-rekan saya telah melakukan penelitian tentang malapraktik yang terjadi pada pemilu 2014 dan 2019, dan menemukan tiga penyebab mengapa praktik kecurangan terus terjadi pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia.


Read more: Memahami cara kerja _buzzer_ politik Indonesia


Penyebab kecurangan

Ada tiga penyebab malapraktik pemilu masih kerap terjadi di Indonesia.

Pertama, relasi patronase yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral.

Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh.

Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik; sementara non-material berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal.

Ini yang terjadi pada kasus Wahyu di atas.

Kedua, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah open list proporsional representation, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. Dalam sistem tertutup – yang pernah digunakan di pemilu sebelum 2004, terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.

Sistem ini mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras.

Caleg yang merasa punya potensi kemenangan besar akan melakukan manipulasi suara dengan penggelembungan ataupun pengurangan suara dari lawannya sesama partai, ketimbang lawan dari partai lain.

Tahun lalu misalnya, Amran, seorang caleg DPRD Kabupaten Bintan, Riau, dari Golkar mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi di pemilu 2019 terhadap rekan separtainya, Aisyah. Amran mengklaim kehilangan sejumlah suara di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Bintan Timur dan, di saat yang bersamaan, Aisyah mendapat tambahan suara.

Ketiga, masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang.

Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara.

Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan.

Secara blak-blakan seorang calon anggota legislatif Partai Perindo mengatakan telah membayar Rp 600 juta kepada 10 dari 12 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Karawang, Jawa Barat, pada 2019.

Sistem penyelenggaraan pemilu kita sebenarnya telah berupaya agar proses pelaksanaan pemilu dapat bekerja transparan dan akuntabel. KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) memiliki sistem pengendalian dan pengawasan kepada seluruh aparat di bawahnya.

Namun, malapraktik terjadi karena memang para caleg yang merasa perlu untuk “mengotak-atik” proses demi keuntungan pribadi dan kelompoknya harus melibatkan para penyelenggara pemilu.


Read more: Semakin banyak perempuan di DPR, tapi riset ungkap kehadiran mereka mungkin tidak signifikan


Kaitan dengan riset lain

Studi kami memperkaya berbagai kajian terkait dengan malapraktik pemilu yang sedang berkembang di dunia seperti yang telah dilakukan oleh Sarah Birch.

Berbagai studi telah mengidentifikasi adanya manipulasi terhadap hasil pemilu di Indonesia dengan titik tekan yang berbeda.

Edward Aspinall, profesor politik di Australian National University, Australia, dan Mada Sukmajati dosen ilmu politik dan pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjelaskan bahwa jual beli suara (vote buying) yang terjadi di banyak lokasi di Indonesia disebabkan oleh ikatan-ikatan yang terjalin antara caleg dan kelompok pemilih. Hal yang sama juga terjadi melalui relasi dan kedekatan antara caleg dengan para penyelenggara pemilu.

Selain itu, sebuah kumpulan riset yang diterbitkan Bawaslu menyebut bahwa salah satu aspek penting dalam manipulasi adalah arus uang dalam pemilu, seperti yang dilakukan oleh caleg Perindo di Karawang ataupun kasus Golkar di Bintan.

Seorang caleg, misalnya, mempersiapkan sejumlah uang untuk menyuap petugas dalam memanipulasi hasil pemilu, baik di level TPS hingga kabupaten/kota tempat proses rekapitulasi penghitungan suara masih dapat diganggu. Untuk melakukan tindakan manipulasi, para aktor ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dalam penelitian lain saya bersama kolega di Universitas Indonesia sebelumnya tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kami menemukan bahwa walau para penyelenggara pemilu di semua tingkatan telah dan selalu diingatkan dalam aspek integritas, kasus-kasus yang menyangkut kemandirian dan profesionalitas para penyelenggara pemilu tidak berkurang sama sekali.

Antara tahun 2018 dan 2019, ada 1.030 kasus pengaduan yang diterima oleh DKPP. Sebanyak 650 kasus disidangkan dan 144 orang penyelenggara pemilu diberhentikan tetap.

Tahun ini pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilakukan pada September. Malapraktik ini sulit dihentikan kecuali para penyelenggara pemilu memiliki tekad kuat untuk tidak melakukan tindakan curang sekecil apapun.

Publik, lewat lembaga masyarakat sipil ataupun media massa, bisa dan harus terus memperkuat pemantauan penyelenggaraan pemilu di semua daerah sehingga para kandidat dan para penyelenggara pemilu kesulitan untuk berkongsi untuk melakukan kecurangan.

Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now