Perubahan iklim dianggap sebagai ancaman terbesar bagi umat manusia di abad ke-21. Dampaknya tidak hanya berhubungan dengan permasalahan lingkungan tetapi juga dengan permasalahan sosial dan ekonomi.
Indonesia adalah salah satu negara yang berisiko tinggi terkena dampak perubahan iklim. Sialnya, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO menyatakan Indonesia sebagai negara yang tidak siap menghadapi dampak tersebut.
Pada saat yang bersamaan, Indonesia sudah merasakan berbagai fenomena akibat perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan yang berkepanjangan, pergeseran pola curah hujan, peningkatan suhu, dan naiknya permukaan air laut.
Komunitas internasional melalui UNESCO menyepakati bahwa salah satu cara untuk memersiapkan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim, terutama generasi muda, adalah melalui pendidikan. Pendidikan perubahan iklim (Climate change education/CCE) dikumandangkan oleh UNESCO sebagai pendidikan formal, non-formal, dan informal yang membantu orang-orang memahami dan menghadapi dampak dari krisis iklim, serta memberdayakan mereka dengan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang dibutuhkan.
Penelitian yang saya lakukan tentang posisi dan kondisi pendidikan perubahan iklim di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan perubahan iklim di Indonesia belum menjadi prioritas baik dari segi kebijakan perubahan iklim maupun kebijakan pendidikan. Terdapat ketidaksinkronan gagasan pendidikan perubahan iklim di dalam kedua kebijakan tersebut.
Tujuan mitigasi perubahan iklim dan pendidikan harus selaras
Menggunakan analisis tematik 20 teks kebijakan perubahan iklim seperti Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim) dan 12 teks kebijakan pendidikan seperti Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka) di Indonesia, serta wawancara dengan 17 ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan, dan Dinas Pendidikan Kota Balikpapan, penelitian ini menemukan bahwa:
1. Pendidikan perubahan iklim masih termarginalkan
Kebijakan perubahan iklim dan kebijakan pendidikan memang menjelaskan pentingnya pendidikan perubahan iklim. Namun, pendidikan perubahan iklim masih sangat termarginalkan dalam kedua kebijakan tersebut baik secara kuantitas maupun kualitas. Fokus pendidikan perubahan iklim sering kali mengabaikan inisiatif pendidikan yang lebih luas, termasuk yang menarget anak-anak dan masyarakat umum.
Perwakilan dari Direktorat Mitigasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa, “masalahnya adalah jejak karbon masyarakat belum diperhitungkan, belum diukur. Jadi, kita tidak bisa memosisikan mereka sebagai pelaksana aksi dalam konteks yang lebih jelas”.
Akibatnya, pelaksanaan pendidikan perubahan iklim lebih banyak melalui jalan nonformal, seperti pelatihan atau lokakarya. Ini ditujukan kepada pihak-pihak bersangkutan, seperti staf pemerintahan dan sektor swasta strategis. Namun, pemerintah Indonesia mengakui bahwa akurasi pencatatan tersebut masih dipertanyakan karena tidak adanya sistem yang mencatat, memonitor, dan mengevaluasi kegiatan dan hasilnya.
Selain itu, dengan sistem pendidikan desentralisasi, setiap daerah maupun sekolah dapat menentukan sendiri isu pendidikan yang menjadi prioritas. Dinas pendidikan daerah maupun sekolah-sekolah berlomba mengajukan mata pelajaran maupun topik untuk menjadi prioritas seperti pendidikan kewarganegaraan, bahasa daerah, dan pendidikan agama. Ini sering kali menghalangi isu pendidikan perubahan iklim menjadi topik prioritas di suatu daerah.
Integrasi isu perubahan iklim juga masih termarginalkan dalam mata pelajaran sains. Terminologi ‘pemanasan global’ dan ‘perubahan iklim’ dalam kebijakan pendidikan, misalnya, hanya dapat ditemukan secara masif dalam dokumen-dokumen yang diterbitkan pada 2022, bersamaan dengan pemberlakuan Kurikulum Merdeka.
2. Kurangnya sinergi antarkebijakan
Definisi dan tujuan pendidikan perubahan iklim dalam kebijakan perubahan iklim dan kebijakan pendidikan masih berbeda. Kebijakan perubahan iklim menggunakan gagasan capacity building’ (pembangunan kapasitas) yang menitikberatkan pada keterampilan teknis penanganan perubahan iklim.
Fokus pendidikan perubahan iklim dalam kebijakan perubahan iklim adalah pendidikan nonformal melalui pelatihan-pelatihan. Sehingga, pembangunan kapasitas tertuju terutama ke staf pemerintahan dan sektor swasta yang berhubungan dengan lima sektor pengendalian perubahan iklim, yaitu sektor energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan.
Sementara itu, kebijakan pendidikan memiliki gagasan agen perubahan dalam mengatasi perubahan iklim. Melalui pendidikan perubahan iklim, kebijakan pendidikan bertujuan untuk menumbuhkan individu-individu yang memiliki landasan moral dan karakter yang kuat serta menghormati lingkungan. Individu-individu ini kemudian diharapkan dapat menerjemahkan nilai-nilai etika mereka ke dalam tindakan nyata, sehingga dapat berkontribusi pada strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang efektif.
Kurangnya sinergi dari tujuan kedua kebijakan di atas mengakibatkan program-program pendidikan perubahan iklim tidak efektif. Padahal, selain meningkatkan efektivitas dari segi implementasi maupun pemanfaatan sumber daya, kebijakan yang bersinergi juga akan memudahkan pemantauan dan evaluasi dampak dari inisiatif pendidikan perubahan iklim.
Pendekatan pendidikan Jepang untuk pembangunan berkelanjutan (Education for sustainable development/ESD), contohnya, menunjukkan kebijakan yang selaras. Pemerintah Jepang telah mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan ke dalam kurikulum nasionalnya, memastikan bahwa siswa belajar tentang aspek keberlanjutan dalam berbagai mata pelajaran. Siswa mempelajari pentingnya hemat listrik sebagai aksi konsumsi berkelanjutan. Ini selaras dengan kebijakan nasional Jepang yang mengutamakan efisiensi energi untuk meredam perubahan iklim.
3. Dominan nilai ekonomi
Pertimbangan ekonomi yang mendominasi wacana kebijakan sering kali membayangi aspek pendidikan dan lingkungan dari pendidikan perubahan iklim. Ini berpotensi memarginalkan pendidikan perubahan iklim dalam domain kebijakan.
Di Indonesia, strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus mengikuti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Proyek-proyek seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan kawasan industri sering kali diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun proyek-proyek ini dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja, mereka juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, peningkatan emisi karbon, dan degradasi ekosistem.
Dalam konteks ini, pendidikan tentang dampak lingkungan dari proyek-proyek tersebut sering kali diabaikan atau dianggap kurang penting dibandingkan dengan manfaat ekonominya. Akibatnya, pemahaman masyarakat tentang dampak lingkungan dari proyek-proyek pembangunan ini tetap rendah.
Fokus ekonomi dalam kebijakan perubahan iklim dan kebijakan pendidikan memang penting bagi Indonesia. Namun, porsi penyampaiannya perlu diseimbangkan dengan penanganan dan pendidikan perubahan iklim. Pendidikan perubahan iklim juga dapat menjadi alat untuk memperkenalkan permasalahan rumit seperti dampak pembangunan ke lingkungan untuk meningkatkan pemikiran kritis para pelajar.
Masih ada harapan
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan mendesak akan kebijakan yang terkoordinasi antara tujuan perubahan iklim dan pendidikan. Harapannya, desain dan implementasi pendidikan perubahan iklim dapat berjalan secara selaras dan efektif di Indonesia.
Saat ini, usaha-usaha ke arah sana mulai tampak. Inisiatif seperti Kurikulum Merdeka versi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Program Adiwiyata yang dirumuskan Kementerian Lingkungan Hidup, menunjukkan bahwa ada upaya untuk memasukkan pendidikan perubahan iklim ke dalam sistem pendidikan formal.
Kurikulum Merdeka dirancang untuk pembelajaran yang lebih fleksibel, sehingga memungkinkan integrasi topik-topik perubahan iklim ke dalam berbagai mata pelajaran. Kurikulum Merdeka juga memuat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Program lintas disiplin ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk ‘mengalami pengetahuan’ melalui proyek-proyek observasi lingkungan sekitar dan mencari solusi terhadap masalah yang ditemukan. Salah satu topik dari P5 adalah ‘Gaya Hidup Berkelanjutan’.
Sementara itu, Program Adiwiyata juga dapat mendorong sekolah-sekolah yang berpartisipasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan siswa. Sekolah juga dapat mengevaluasi kegiatan pembelajaran berdasarkan tanggung jawab mereka untuk melestarikan lingkungan alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Pendidikan perubahan iklim yang ditujukan kepada masyarakat umum, khususnya generasi muda, menjadi sangat penting untuk memersiapkan bangsa Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang diprediksi akan lebih ekstrem pada beberapa dekade mendatang. Hal ini menekankan perlunya pengarusutamaan pendidikan perubahan iklim di dalam pendidikan formal di Indonesia.
Indonesia dapat memulai langkah awal dengan membuat kebijakan khusus mengenai desain dan implementasi pendidikan perubahan iklim yang holistik dan selaras, tidak tumpang tindih. Misi ini dapat tercapai dengan adanya peran yang jelas bagi instansi mana yang bertanggungjawab atas pendidikan perubahan iklim dalam pendidikan formal Indonesia.