Menu Close
Pengurangan sampah APD harus dilakukan dari hulu ke hilir. FOTO ANTARA/Andika Wahyu/pd/07

Riset tunjukkan sampah plastik APD di Jabodetabek meningkat selama pandemi

Pandemi COVID-19 mengharuskan kita melindungi diri dan orang lain dari virus SARS-CoV-2, salah satunya dengan menggunakan masker yang menutupi hidung dan mulut.

Namun, alat pelindung diri (APD) yang terbuat dari plastik tidak jarang berakhir di pantai dan laut.

Tim kami, terdiri dari para peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Terbuka dan Institut Pertanian Bogor (IPB), melakukan monitoring sampah alat pelindung diri di muara Sungai Marunda dan Cilincing menuju Teluk Jakarta pada Maret-April 2020, masa-masa awal pandemi.

Kami menemukan bahwa terdapat peningkatan jumlah sampah di muara sungai yang menuju ke Teluk Jakarta sampai sebesar 5%, namun ada penurunan berat sebesar 23-28%, dibandingkan penelitian tahun 2016.

Hal ini mengisyaratkan adanya peningkatan sampah yang terbuat dari bahan yang ringan, seperti plastik.

Sampah APD yang sebelumnya hampir tidak ditemukan, menyumbang 15-16% dari sampah muara sungai, yaitu sebanyak 780 buah atau 0,13 ton per hari.

Cordova, et al 2021. Unprecedented plastic-made personal protective equipment (PPE) debris in river outlets into Jakarta Bay during COVID-19 pandemic.

Kami menerbitkan riset di jurnal Chemosphere. Studi komparatif yang pertama dari Indonesia ini dimungkinkan dengan adanya data monitoring sebelum pandemi yang dirilis dalam jurnal Scientific Reports.

Hingga kini, kajian komparatif terkait sampah APD yang mencemari lingkungan sebelum dan semasa pandemi minim di Indonesia.

Kami mengidentifikasi 7 tipe sampah, seperti plastik, metal, kayu dan sebagainya, di kedua muara sungai yang terletak di kawasan Jabodetabek sebagai episenter kasus COVID-19 di Indonesia.

Plastik mendominasi sampah yang ditemukan di muara sungai, yaitu sebanyak 46-57%. Angka tersebut tidak banyak berubah dari 37-59% sampah plastik pada masa sebelum pandemi.

Cordova et al 2021. Sumber : Unprecedented plastic-made personal protective equipment (PPE) debris in river outlets into Jakarta Bay during COVID-19 pandemic.

Sampah APD yang bermunculan di muara sungai, antara lain masker medis, sarung tangan, pakaian hazmat, pelindung wajah, hingga jas hujan, yang jumlah dan ragamnya jelas meningkat tajam dibandingkan sebelum pandemi.

Sampah APD setelah 9 bulan sejak periode monitoring hingga tulisan ini dipublikasikan cukup sulit untuk diperkirakan.

Meski demikian, kondisi pandemi saat ini dapat menjadi dasar yang fundamental untuk pengelolaan sampah yang lebih baik.

Tidak pasti bagaimana tingkat limbah medis akan berubah saat kita memasuki fase “normal baru”, terlebih dalam waktu dekat akan dilaksanakan vaksinasi secara besar-besaran untuk menghadapi pandemi.

Penelitian lanjutan diperlukan untuk pemantauan dengan mempertimbangkan meningkatnya risiko kesehatan dan ekologi.

Penanganan dari hulu ke hilir

Badan PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) mengingatkan bahwa penanggulangan limbah pandemi akan lebih menyulitkan bagi negara-negara berkembang.

UNEP memperkirakan limbah medis dari rumah sakit dan fasilitas kesehatan mencapai 290 ton per hari di Indonesia.

Untuk DKI Jakarta, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan lonjakan limbah medis sampai 5 kali lipat, hingga 212 ton per hari pada 2020.

Lonjakan sampah APD berbahan plastik di muara sungai merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia dalam komitmen untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70% selama periode 2018-2025.

Meski demikian, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk setidaknya menurunkan jumlah sampah APD berbahan plastik dibuang ke lingkungan.

1. Intervensi, pemilahan, dan transportasi

Kita dapat melakukan intervensi aliran sampah menuju laut dengan memasang jaring-jaring sampah di sungai, yang dapat juga berfungsi untuk memonitor komitmen kita dalam mengurangi sampah plastik laut.

Meski demikian, seharusnya kita bisa mengendalikan jumlah sampah plastik sebelum mengalir ke aliran sungai dengan pemilahan sampah, mulai dari lingkungan rumah tangga.

Sejak awal pandemi, pemerintah telah merilis regulasi seperti kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dengan pengelolaan limbah infeksius (limbah B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan COVID-19, serta limbah B3 medis pada fasilitas pelayanan kesehatan darurat COVID-19.

Kebijakan tersebut memberikan pedoman untuk melakukan pemilahan sampah medis saat pandemi, seperti membuang sampah APD (seperti masker sekali pakai, sarung tangan, baju hazmat) pada kemasan khusus.

Kemasan khusus bisa berupa boks pengumpulan sehingga sampah APD dan sampah pada umumnya tidak tercampur satu sama lain.

Selanjutnya, petugas dari dinas terkait melakukan pengambilan dari setiap sumber, tidak hanya dari fasilitas kesehatan tetapi juga dari sumber rumah tangga, untuk diserahkan pada pengelola limbah B3.

Hasil temuan sampah APD di muara sungai mengingatkan kita pentingnya dukungan masyarakat bagi kebijakan pemerintah, dimulai dari pemilahan sampah.

Hasil studi “Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di kawasan Jabodetabek” menggambarkan hanya separuh dari warga yang memilah sampah.

Belum lagi, persoalan keterbatasan sumber daya manusia atau pekerja, dari dinas terkait maupun pihak ketiga, dalam mengumpulkan sampah APD dan mengantarkan ke pengelola limbah B3.

Petugas mengangkut plastik berisi masker bekas pakai.
Pengelolaan limbah masker bekas pakai masyarakat. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

2) Pengelolaan limbah medis ramah lingkungan

Ada beberapa opsi dalam mengelola limbah medis B3 agar bebas virus, yaitu dengan insinerator (pembakaran), autoclave dan hydrothermal (sterilisasi uap), dan microwave (gelombang mikro frekuensi tinggi).

Keunggulan insinerator adalah besarnya volume sampah yang dapat dimusnahkan dengan proses yang cepat dan terintergrasi dengan pembangkit listrik.

Namun, insinerator harus memiliki sistem pengendalian pencemaran udara akibat timbulnya dioksin furan yang dapat menyebabkan kanker.


Read more: Insinerator sampah akan perparah pencemaran udara Jakarta


Di Indonesia, banyak dari fasilitas pelayanan kesehatan tidak memiliki insinerator.

Hingga pertengahan tahun 2019, dari 2.820 rumah sakit dan 9.884 puskesmas di Indonesia, baru terdapat 10 jasa pengelola limbah medis dengan kapasitas 170-an ton per hari.

Dan hanya ada 87 rumah sakit yang dapat mengelola limbah medis dengan kapasitas limbah 60-an ton per hari.

Namun demikian, dalam kondisi khusus pandemi saat ini, KLHK mengizinkan rumah sakit untuk mengolah limbah medis walau proses perizinan inseneratornya belum selesai.

Metode lainnya, yaitu autoclave, hydrothermal, dan microwave, dapat menjadi alternatif pengelolaan bagi rumah sakit dan fasilitas kesehatan karena tidak menghasilkan emisi, bebas patogen sehingga aman dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Setelah melalui proses sterilisasi, APD berbahan plastik seperti masker sekali pakai dapat didaur ulang dan menghasilkan produk berbahan plastik lainnya.


Read more: Empat cara mengelola limbah masker dan APD selama pandemi COVID-19. Mana yang lebih efektif?


Perlu peran masyarakat

Persoalan sampah plastik, terutama saat pandemi masih berlanjut, harus menjadi perhatian semua pihak.

Upaya pemerintah perlu didukung oleh peran aktif masyarakat dalam mengurangi sampah plastik, serta pemetaan dan pemecahan masalah lingkungan yang timbul melalui data dan inovasi.

Salah satu solusi bisa membuatkan tempat sampah khusus (dropbox) untuk limbah APD, misalnya, masker sekali pakai, di ruang publik, seperti yang dibuat oleh pemerintah daerah Banjarmasin.

Ini merupakan inisiatif yang positif, terutama untuk mengatasi keterbatasan sumber daya petugas dalam pengangkutan sampah medis, dan akhirnya bisa mengurangi jumlah sampah APD yang berakhir di lingkungan.

Lebih lanjut, masyarakat umum juga bisa berpartisipasi dengan menggunakan masker dan APD lainnya dengan bahan yang tahan lama dan dapat dibersihkan kembali, namun tidak mengurangi fungsi.

Plastik tidak dapat terurai bahkan ketika pandemi selesai. Peningkatan sampah plastik semasa pandemi menekankan pentingnya menjaga kesehatan lingkungan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now