Menu Close

RUU Sisdiknas: peluang besar untuk benahi kualitas pendidikan – kita perlu perjuangkan terus sambil membuka lebar diskusi publik

(Shutterstock/Arief Akbar)

Pemerintah saat ini sedang merumuskan rancangan untuk memperbarui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003.

Selama dua dekade terakhir, UU ini menjadi payung hukum yang mendasari semua kebijakan dan kegiatan pendidikan bagi warga negara Indonesia. Di antaranya adalah pengaturan karir dan kompetensi guru hingga jalur dan jenis institusi pendidikan.

Sayangnya, di bawah payung UU Sisdiknas 2003 ini, mutu pendidikan kita – khususnya hasil belajar murid – berdasarkan ukuran nasional maupun global relatif stagnan alias tidak menunjukkan perbaikan. Bahkan, dalam beberapa indikator, performa murid Indonesia merosot.

Meski alokasi anggaran negara untuk pendidikan meningkat dan berlipat ganda hingga mencapai 20% per tahun – terutama untuk gurupenelitian kami untuk program Research on Improving Systems of Education (RISE) menemukan capaian numerasi pelajar Indonesia justru relatif memburuk sejak 2000.

Sejak 2013, hasil tes internasional Programme for International Student Assessment (PISA) juga selalu menempatkan kemampuan membaca, berhitung, dan sains pelajar Indonesia pada peringkat bawah dari hampir 80 negara peserta – bahkan keenam dari bawah untuk hasil terbaru pada 2018.

Tak hanya siswa, Uji Kompetensi Guru (UKG) yang digelar pemerintah pada 2015 menunjukkan rerata nilai nasional guru sebesar 53,02 – masih di bawah standar minimum yakni 55.

Program RISE Indonesia memetakan Indonesia mengidap beberapa masalah krusial dalam sektor pendidikan, termasuk: (1) penyelarasan pendidikan dan pelatihan guru, (2) sistem evaluasi dan karir guru, dan (3) kewenangan dan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Catatan di atas menjadi indikasi bagaimana kerangka kebijakan pendidikan yang ditawarkan UU Sisdiknas 2003 beserta berbagai aturan turunannya belum mampu mendongkrak hasil belajar murid-murid Indonesia.

Menurut argumen sebagian peneliti, ini salah satunya karena UU Sisdiknas 2003 masih memuat beragam peraturan yang tumpang tindih dengan UU lainnya – seperti UU Guru dan Dosen tahun 2012 – serta memuat pasal-pasal yang terlalu rinci sehingga menjadi kaku ketika ada upaya perubahan.

Menurut mereka, misalnya, hal ini sering membuat upaya transformasi dan inovasi seperti kebijakan-kebijakan Merdeka Belajar – dari Sekolah Penggerak hingga Kurikulum Merdeka – kerap tersendat kompleksitas hukum pendidikan dan bisa berjalan kurang optimal dalam menunjang capaian murid.

Inilah mengapa menurut kami, RUU Sisdiknas sebenarnya berpotensi menjadi peluang penting bagi Indonesia untuk memecah kebuntuan capaian pendidikannya. Mengingat potensinya yang besar dan luas, perumusannya perlu terus diperjuangkan dengan melibatkan publik dan seluruh pemangku kepentingan baik yang pro maupun kontra.

Peluang segar memecah kebuntuan

Salah satu upaya penting yang ingin dilakukan dalam RUU Sisdiknas baru adalah penyelarasan peraturan pendidikan yang ada saat ini.

RUU Sisdiknas yang baru rencananya tak hanya memperbarui UU Sisdiknas 2003, tapi juga akan mengintegrasikan dua UU penting lain dalam pendidikan Indonesia, yakni UU Guru dan Dosen tahun 2005 dan UU Pendidikan Tinggi tahun 2012. Ini demi menghilangkan tumpang tindih peraturan yang ada – misalnya standar nasional pendidikan yang kurang sinkron antara UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi.

Selain itu, dalam draf terbarunya, misalnya, RUU Sisdiknas menawarkan beberapa perubahan penting lain. Di antaranya adalah:

  • penyelerasan standar dan nomenklatur satuan pendidikan sehingga mempermudah murid berpindah jalur dan jenis pendidikan (misalnya antara pesantren formal dengan satuan lain),
  • penyederhanaan aturan administratif terkait pendidik dan tenaga kependidikan demi berfokus pada kompetensi guru sekaligus pengakuan kategori pengajar seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang sebelumnya tak dianggap guru, hingga
  • perluasan program wajib belajar menjadi 13 tahun dengan menambahkan prasekolah (setara Taman Kanak-Kanak Nol Besar atau TK-B) sebagai jenjang penting yang menguatkan fondasi perkembangan akademik anak.

Tentu, sebagai sebuah rancangan, wujud dan substansi RUU Sisdiknas saat ini belum final dan akan terus mengalami penggodokan.

Namun, berbagai perombakan besar ini harapannya pada akhirnya mampu mewujudkan payung hukum pendidikan yang lebih selaras, sederhana, dan terintegrasi, namun fleksibel dan terbuka terhadap inovasi-inovasi kebijakan baru untuk mendongkrak capaian belajar.

Seruan partisipasi publik

Meski mendapatkan sejumlah dukungan, RUU Sisdiknas juga menuai kritik dari berbagai pihak.

Beberapa isu yang sempat muncul, misalnya, termasuk terbatasnya pelibatan publik, terhapusnya pasal terkait tunjangan profesi guru, kekhawatiran terkait pelemahan keberadaan madrasah, dan penghapusan pasal-pasal penting dalam tiga UU tentang pendidikan sebelumnya.

Namun demikian, kami berpendapat bahwa alih-alih menghentikan RUU Sisdiknas karena kekurangannya selama proses perumusan, RUU ini punya urgensi tinggi terkait situasi darurat pendidikan di Indonesia. Ia perlu terus direvisi, diperkuat, dan disempurnakan dengan mengakomodasi pertimbangan berbagai pihak agar memperoleh rumusan yang terbaik.

Masih ada kesempatan luas bagi segenap pemangku kepentingan untuk berpartisipasi mematangkan rancangannya melalui dialog berbasis argumen rasional dan bukti empiris.

UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan pengusul RUU – dalam hal ini Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) – membuka ruang masukan sebagai bentuk pelibatan publik dalam menyusun UU.

Berbagai pihak seperti Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), hingga Forum Rektor Perguruan Tinggi Negeri pun turut menyerukan pentingnya Kemdikbudristek membuka diri seluas-luasnya atas masukan publik terhadap RUU Sisdiknas.

Bahkan, hingga saat ini sudah ada pihak-pihak yang aktif mengajak publik berdiskusi terkait bahasan-bahasan penting yang ada dalam RUU Sisdiknas.

Kanal YouTube bertajuk “Tanya Pak Doni Saja”, misalnya, rutin menyampaikan pandangan kritis atas berbagai isu RUU Sisdiknas. Kemdikbudristek harus merespons dengan baik – jangan sampai pembahasan kritis semacam ini dianggap sebagai angin lalu.

Kami juga berpendapat bahwa Kemdikbusristek perlu membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk secara kontinyu membuka pintu partisipasi, saran, dan kritik mengenai RUU Sisdiknas.

Pada awal tahun ini, RUU Sisdiknas ditolak untuk masuk ke dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR.

Terlepas apakah akan masuk ke Prolegnas Prioritas tahun 2024 ataupun tidak, Kemdikbudristek harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka serius dalam menggodok RUU penting ini dengan melibatkan publik dan pemangku kepentingan dalam penyusunannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now